Tidak mugkin.Mustahil.Sekujur tubuh Cantika menjadi kaku saat melihat surat perjanjiannya terpampang di layar komputer Ben. Matanya mendadak terasa panas.“Aku tau, ini tulisan kamu,” kata Ben lagi.Cantika pucat pasi mengutuk kecerobohannya. Dia baru saja menggali kuburannya sendiri dengan menyertakan surat pernjanjiannya dengan Miko ke dalam folder yang dikirimnya pada Ben. Karena foto perjanjiannya itu diambil tepat setelah Cantika pergi dengan Ben ke Depok, dia keliru menyalinnya bersamaan. “Memangnya ... kenapa?” tanya Cantika dengan suara bergetar. “Setelah baca surat itu, terus apa? Itu cuma tulisan tangan biasa. Apa pun yang ada di situ, intinya we’re married.”“Palsu,” dengkus Ben sinis. “Pernikahan kontrak yang bahkan nggak terdaftar? Kalian nggak sah.”“Mungkin sekarang memang begitu. Tapi, kamu baca sampai akhir? Perjanjian bisa berubah.”Bagaimanapun caranya, Cantika tidak ingin menunjukkan kelemahan di depan Ben. Dia tidak ingin kalah lagi dari pria itu. Hatinya terus
“Kalau gitu, mulai sekarang jangan ganggu aku,” ucap Cantika lirih.Helaan napas Ben menggelitik dagu Cantika. “Kasih tau aku alasannya. Jelasin biar aku ngerti.” Nada pria itu melunak.Namun, Cantika hanya menggeleng dengan air mata yang kembali mengalir.“Kalo kamu cuma butuh suami, aku bisa gantiin dia.”“Nggak bisa gitu, Ben. Nggak bisa gitu.”“Ya terus apa? Apa yang bikin kamu lebih milih cowok jadi-jadian yang nggak jelas orientasi seksualnya itu? Jadi dia homo apa biseks? Oke, itu nggak penting. Gila ya, dari awal aku udah ngerasa curiga sama dia. Tau-tau main serobot pacar orang,” oceh Ben dongkol.Seharusnya Cantika menyingkir sejak tadi. Tapi berada di pangkuan Ben membuatnya nyaman. Plus, lengan kokoh yang mendekap pinggangnya terasa hangat di cuaca sejuk begini. Cantika jadi lupa untuk beranjak.“Pokoknya aku nggak bisa. Tolong jangan ganggu aku untuk sekarang. Ini satu-satunya cara aku bertahan.” Tangan Cantika memegang pinggiran meja kuat-kuat. “Anggap kita selesai.”Man
Cantika buru-buru menjejalkan barang-barangnya ke dalam tas selagi menunggu render desainnya. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tinggal ia sendiri yang tersisa di ruangan arsitek. Gara-gara perdebatannya dengan Ben, sepanjang siang Cantika tidak bisa konsentrasi. Akibatnya, semua pekerjaan jadi terhambat.Cantika melirik ponselnya dan sekali lagi melihat notifikasi pesan balasan dari Miko yang belum sempat dibacanya. Dia mengambil ponselnya, baru akan membuka pesan itu ketika tiba-tiba mendengar suara gaduh.Kucing bertengkar? Terkanya mengerutkan dahi.Penasaran, Cantika keluar ruangan dan memandang ke lorong. Asal suaranya dari tangga, disusul suara Ubay si penjaga kantor. “Pak, Bapak nggak pa-pa? Weleh, weleehh, jangan tidur di sini, Pak. Nanti masuk angin.” Nadanya terdengar cemas.Tanpa pikir panjang, Cantika segera menuruni anak tangga dan mendapati Ubay sedang menyelipkan tangan di antara kedua lengan bosnya, berusaha mengangkatnya dari belakang.“Ubay, Pak Bos kenapa
“Nggak diangkat?”Miko menoleh dan menggeleng. “HP Cantika mati. Gue cuma mau ngabarin pulang telat, sih. Tadi lupa bilang.” Dia kembali duduk di sebelah Olin.“Emang kalian nggak chat-an?” tanya Olin menelengkan kepala untuk menatap wajah Miko.“Kalo kerja? Jarang. Hari ini chat terakhir dari dia cuma ngasih tau dia bakal lembur.”Olim manggut-manggut. “Mungkin dia lagi sibuk sama kerjaannya. By the way ... jangan bilang Cantika kalo lo nemenin gue ke sini.” Tangannya menggenggam sepotong kertas berisi nomor antrian.“Kenapa? Kita kan belum tau hasilnya, itu baru dugaan gue aja. Lo tetep harus jalanin pemeriksaan.”Olin menggeleng pelan dan bersikeras. “Jangan. Gue nggak mau dia khawatir.”Tidak ada lagi yang diucapkan oleh Miko. Lelaki itu menggenggam ponsel dengan kedua tangan seraya memandanginya. Mereka diam selama beberapa saat. Suara-suara orang yang berseliweran, alarm giliran masuk, serta aroma disinfektan mengisi kekosongan mereka. Sampai Olin kembali bersuara.“Oh iya, lo y
Kebohongan adalah hal yang sebisa mungkin dihindari oleh Cantika. Sejak kecil, mendiang ayahnya selalu menanamkan nilai-nilai kebaikan serta kejujuran. Cantika yang menyayangi dan menghormati beliau tetap memegang prinsip tersebut meski melewati masa-masa sulit setelah kepergian ayahnya.Mahasiswa-mahasiswi di kampus yang tidak kenal dekat dengan Cantika banyak yang menilainya sebagai tuan putri angkuh, nona yang hanya mau berteman dengan sesama kasta tinggi, hingga gosip yang melabelinya anak clubbing. Dari semuanya, hanya satu hal yang benar mengenai Cantika, yaitu modis. Selain itu, semua hanya gosip belaka.Penyebab kemunculan persepsi itu sederhana, karena Cantika memang membatasi diri tidak mau bergaul dengan mahasiswa lain selain Olin yang beda jurusan saat masuk kuliah. Wajah cantik serta gaya berpakaian yang bermerek hasil hibahan para tante dan sepupunya tanpa sengaja memberi kesan melenceng pada dirinya.Cantika tidak pernah berniat menipu siapa pun tentang sosoknya. Tentan
“Cantika ke toilet?” tanya Miko. Datang membawa sekantong minuman di tangannya. Dia lalu mengeluarkan satu per satu gelas bubble tea dari kantong tersebut di atas meja.Olin meremas kertas di tangannya, menunjuk sembarang arah. “Katanya lanjutin bikin video transisi buat kontennya.”Setiap mereka bertiga pergi di akhir pekan, sering kali tujuannya adalah untuk membantu Cantika membuat konten. Perempuan itu mencari tempat-tempat estetik dan viral agar postingannya tak ketinggalan tren. Kadang-kadang Miko dan Olin juga masuk dalam satu bingkai bersama Cantika. Berkat itulah studio Olin cukup ramai pengunjung. Beberapa pasien yang datang ke klinik tempat Miko bekerja juga asalnya dari unggahan Cantika di media sosial. Tempat-tempat yang direkomendasikan Cantika, makanan, pakaian, sepatu, tas, atau apa pun itu sering kali membuat pengikutnya di medsos penasaran dan berujung menjajalnya.Mata Miko tertuju pada kertas yang dipegang Olin, duduk di seberang perempuan itu. “Hasilnya udah kelua
Akhir-akhir ini Cantika tidak lagi pulang larut meski juga tidak pulang tepat waktu. Beberapa kali Miko melihat Cantika duduk manis di sofa menunggunya. Menyiapkan jus seperti rutinitas mereka biasanya. Jika melihat sepintas, semua tampak normal. Hanya satu yang tak normal bagi Miko.Dirinya, yang menganggap segalanya terasa janggal.Kalau di awal pernikahan mereka, Miko akan merasa senang dengan perbuatan Cantika. Namun perubahan Cantika yang seperti semula malah membuatnya tak nyaman. Apalagi setelah kepulangannya dari Surabaya. Setiap kali Cantika mengajaknya bicara, Miko banyak menghindar.“Gimana kerjaan hari ini, Mik?”“Masih adaptasi,” jawab Miko singkat.“Oh iya, habis mandi kamu mau nonton?”“Nggak, Can. Aku capek.”“Ngobrol bentar, yuk.”“Aku mau mandi dulu, ya. Badan aku lengket banget, nggak betah."Masalahnya bukan Miko tidak ingin bicara pada Cantika, dia hanya takut. Takut apa yang hendak dikatakan perempuan itu adalah hal yang sudah lama dicemaskannya. Ini bukan lagi p
Dia ingin makan. Sungguh. Cantika tidak sedang berdiet. Namun setiap kali makanan tersedia di depan mata, dia jadi tak berselera. Rasa frustrasi benar-benar memengaruhi kondisi tubuhnya. Apakah ini efek asam lambung?“Selamat datang, Kak. Mau cari apa?” sapa si penjaga apotek yang kira-kira berusia akhir dua puluhan.“Umm ... apa, ya?” Cantika sendiri bingung. Apa orang seumurannya masih perlu Curcuma plus untuk meningkatkan nafsu makan? “Obat cacing deh, Mbak.”“Mau yang merek apa?” tanya si penjaga masih dengan senyum ramah.“Terserah deh, Mbak. Pilihin aja, biar nafsu makan dan nggak kembung mual.”“Untuk anak-anak atau dewasa?”‘Duh, mbaknya banyak nanya banget sih daritadi! Keluarin semua aja, sih!’ Cantika mengeluh dalam hati. Mulai tak sabar. Tapi menjawab juga, “Dewasa.”Penjaga apotek itu melangkah ke etalase satunya, mengambil selembar obat. Tapi tidak langsung memberikan pada Cantika. Malah menatapnya dan bertanya, “Kembung aja atau lemas juga?” Mungkin karena wajah kusut C
“Kamu tau kan, aku udah kenal sama Pak Dany?” Ben buru-buru menambahkan saat melihat mata kecokelatan Cantika nyaris keluar dari tempatnya. Raut wanita itu bercampur antara ngeri, kaget, dan tak percaya “Karena kerjaan, aku sering pergi meeting sama Om kamu—desain rumahnya, desain kantor dan kantor cabangnya. Pak Dany orang yang ramah dan supel. Beberapa kali kami ketemu di luar jam kerja. Aku dikenalin ke circle teman-teman bisnisnya. Dari situ aku jadi tau, kalau dia pebisnis yang hebat, tapi bukan suami yang baik. Orang-orang yang aku temui itu kurang lebih punya skandal yang mirip atau bahkan lebih parah dari Pak Dany.” Informasi ini terlalu banyak untuk dicerna. Mulut Cantika sampai menganga bingung, merunut penjelasan dari Ben satu persatu. “Kamu pasti merasa canggung setiap ketemu Tante Grace. Karena itu yang aku rasain,” komentar Cantika kemudian. Ben tersenyum tipis sebagai tanda setuju. “Tapi, apa hubungannya sama Olin? Kenapa Om Dany nyuruh kamu ... sama ...” Kalimat C
“Kamu ingat, pertama kali kita ketemu?” Jemari tangan Ben tenggelam di antara helaian rambut hitam Cantika, menyisirnya lembut. Sementara Cantika menyandarkan kepala di ceruk leher Ben. Mengenang pertemuan awal mereka.Cantika masih berada di kamar hotel tempat Ben menginap. Sekian lama tidak bertemu, ada kesempatan duduk berdua dengan tenang. Rasanya sangat banyak yang ingin dibicarakan.“Mana mungkin lupa? Pertemuan paling absurd dan kacau seumur hidupku.”“Dan paling memalukan dalam sejarahku,” Ben tertawa. “Aku juga nggak tau, kenapa aku bisa segila itu. Kayaknya paling parah selama aku mabuk.”“Apanya yang paling parah? Kayaknya kebiasaan mabuk kamu memang jelek. Kalau bukan karena ada aku sama Ubay, malam itu kamu hampir terguling jatuh dari tangga kantor, nyaris jadi sushi roll. Jangan sampai kamu mabuk di depan orang lain, apa lagi cewek, malu-maluin!”Ben menyeringai, mengangkat dagu Cantika. “Kamu takut aku nyentuh cewek lain?”Selama dua detik Cantika menatap mata biru safi
Butuh waktu bagi Cantika untuk menceritakan semuanya pada Ben. Mulai dari pertengkaran dengan ibunya sebelum pergi, niatnya untuk menggugurkan kandungan yang kemudian dibatalkan, kepergiannya dengan bantuan petunjuk dari Sheril, higga kehidupannya di Sydney.Lalu, kecelakaan yang membuat Cantika mengalami pendarahan terjadi. Awal petaka bagi janinnya. Jika memaksakan untuk tetap mengandung dan melahirkan, kemungkinan lahir dengan fisik dan organ yang cacat adalah 90 persen, sementara hidupnya dipertaruhkan.Alasan mengapa teman-teman di tempat kerjanya begitu ketat menjaga dan melindungi Cantika adalah karena kecelakaan tersebut disebabkan oleh seorang penguntit yang mengikuti Cantika di jalan pulang.Ben amat marah mendengar rangkaian cerita itu. Bukan marah kepada Cantika, marah kepada dirinya yang tidak ada di sana melindungi Cantika dan anak mereka. Marah kepada pria-pria yang mengganggu Cantika.“Karena bukan pertama kalinya ada orang yang terang-terangan nunjukkin ketertarikan m
“Aku tau kamu masih marah, tapi jangan ambil keputusan impulsif kayak gitu, Can.”Ben mengikuti Cantika keluar dari kedai yang sudah tutup. Melewati selasar toko-toko menuju ke jalan besar. Paving tegel batu terbentang di sepanjang selasar, menguarkan nuansa abu-abu pada lorong itu.Kendati desain setiap toko berbeda, tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok sehingga tampak rapi dipandang mata. Tidak ada satu pun sampah di sana. Kebersihannya memanjakan penglihatan.“Iya atau nggak sama sekali?” desak Cantika berhenti melangkah.Ben terdiam dan memejamkan mata erat-erat. Lima menit mungkin cukup untuh menggerakkan hati Cantika. Lima menit mungkin bisa menggoyahkan pilihannya. Tapi ... apakah dia mampu?Cantika sudah terlampau terluka. Saat mereka bertemu, tidak ada lagi binar kerinduan yang pernah dilihatnya. Penyesalan, benci, dan muak mungkin telah menggantikan perasaan itu. Meski kemungkinan untuk membuat Cantika luluh sangatlah kecil, Ben tetap ingin memcoba memperbaiki mereka.“
“Maybe it’s too late, tapi aku pengin dengar sendiri dari kamu. Katanya ... kamu hamil. Gimana kabar kamu, gimana kabarnya? I am so sorry, you went through a lot withouth me,” ucap Ben sungguh-sungguh“Kabar? Kamu nanya kabar sekarang??” Nadanya meninggi. Cantika mendengkus sinis. “Jangan bercanda! Ke mana aja kamu selama ini?” Disentaknya tangan Ben kasar.“Aku diusir mamaku. Aku nggak punya tempat pulang. Biarpun Olin dan Miko rela nampung aku, tapi nggak ada satu hari pun tanpa rasa bersalah setiap bertatapan sama Miko. Aku juga nggak bisa libatin Olin di antara masalahku sama Miko. Menurut kamu, gimana kabarku? Apa aku bisa lebih baik-baik aja dari pada sekarang?” Cantika menunjukkan senyum getirnya.Ben berdiri dari bangkunya, menatap Cantika dalam. “Aku benar-benar menyesal. Harusnya saat itu aku di samping kamu. Aku terlalu egois dan berengsek karena cuma mikirin diriku sendiri.”Entah sudah berapa ribu maaf yang dilontarkan Ben, rasanya Cantika sudah muak. Pada akhirnya mereka
Nada sambung telepon yang menyambut di seberang membuatnya tak sabar. Ben terus mengentak-entakan kaki di lantai. Notifikasi pesan dari Theo yang sejak pagi diabaikannya berubah menjadi suatu urgensi ketika Ben membukanya malam ini.Pesan yang dikirim Theo belakangan ini sering tidak penting dan absurd. Theo melaporkan segala kegiatannya pada Ben setiap perjalanan kerja ke luar kantor membuat Ben kerap kali jengah dan mengabaikannya.Perkara hewan liar yang ditemui Theo di jalan, barang incarannya, sarapannya, makan siangnya, makan malamnya, tempat Theo pergi, kadang juga foto selfie! Orang lain yang melihatnya mungkin akan mengira Theo abnormal. Bahkan Ben sudah lebih dulu berpikir demikian.Namun dari sekian ribu pesan yang dikirim Theo, baru kali ini ada pesan yang berbobot. Foto seseorang yang diambil Theo berlatar kedai kopi. Itu sebabnya ketika panggilannya dijawab, Ben tidak membuang waktu.“Di mana lo ambil foto itu?” tanya Ben berusaha tetap datar.“Gue kan udah bilang gue ke
Seorang perempuan duduk dengan kaki bersilang di sebuah toko kue. Rambut panjangnya melewati bahu, lurus, dan terkuncir rapi. Kaus lengan panjang bergaris dan celana panjang linennya tampak sangat nyaman. Sesekali perempuan itu melirik keluar jendela kaca di sebelahnya sambil mendengarkan orang yang mengoceh dari airpods hitam yang menyumbat satu telinganya. “Gue nggak habis pikir ya, sama tuh anak. Dia anggap apa gue selama ini? Udah setahun, tapi masih nggak ada kabar sama sekali. Email atau chat pun nggak. Apanya yang jangan dicari? Apanya yang tenang aja? Kalo begini terus, dia bisa bikin gue darah tinggi! Awas aja kalau dia pulang sambil cengengesan atau pasang tampang centilnya kayak biasa, gue jitakin itu anak!” “Sabar, Lin. Sabar ...” Seorang perempuan berseragam toko membawakan segelas minuman ke mejanya. Ada gelas latte kosong dan sepiring pastry yang hanya tersisa sesuap lagi di hadapan perempuan berkuncir itu. “Gimana bisa sabar?! Ini bukan seminggu atau sebulan lagi, ud
Ben bukan jenis orang yang sering mengakses media sosial. Kendati pernah membuat akun insta, dia tidak menggemari media sosial yang populer di kalangan masyarakat luas itu. Selama lebih dari sepuluh tahun, foto yang bertahan di akunnya hanya lima.Sebelumnya Ben pernah mengisi feed-nya dengan beberapa foto Viona dan foto mereka berdua. Sekian tahun setelah putus, Ben lalu menghapusnya. Lebih tepatnya, sesaat setelah bertemu Cantika. Karena Ben baru mulai mengakses media sosialnya kembali saat itu.Ben juga tidak tertarik menggulir beranda insta-nya untuk melihat unggahan orang-orang. Namun ketika mengenal Cantika, ia mulai menjelajahi akun miliknya yang sudah berdebu itu.Sudah satu jam sejak Ben memeriksa profil Cantika. Tidak ada unggahan terbaru di feed maupun story-nya. Perempuan itu menghilang lagi tanpa jejak. Ben membaca kolom-kolom komentar, berharap ada tanda yang bisa membantunya. Namun usahanya nihil. Cantika hanya membalas komentar-komentar di postingannya sebagai bentuk b
Belum ada satu pun dari mereka yang berani bicara. Tiga orang yang sudah dewasa itu mati kutu di depan ibunya Cantika. Aura kelam Arita mengintimidasi. Mereka hanya diam memerhatikan ketika Arita membuka kunci pagar rumahnya.“Kalian mau terus di depan sana?”Olin menelan ludah susah payah dan menoleh pada Miko dan Ben bergantian. Dua pria itu juga menatapnya, menunggu petunjuk. Begitu Olin mengangguk pelan, mereka masuk ke rumah mengekori Arita.“Saya ingat kamu,” kata Arita pada Olin meski tidak menyebut nama. “Tapi kenapa kamu datang dengan suami Cantika?”Rumah mungil itu terasa seperti pengadilan untuk Olin. Jantungnya berpacu cepat saking takut dan gugupnya. Olin memang sudah terbiasa mengabaikan cemooh orang lain terhadap dirinya. Tetapi, ia masih tidak terbiasa dengan nada tajam dan sorot menuding Arita.Menyadari perubahan sikap Olin, Miko berusaha menggantikannya menjawab. “Umm ... begini—”Namun belum selesai kalimat Miko, Arita memotong. “Kamu teman perempuan ini?” Pasti y