“Apa pun alasanmu menyukaiku, entah itu hanya karena nama keluargaku ataupun bukan, aku sarankan sebaiknya kamu berhenti sekarang, Tuan Muda Hughes,” ucap Alicia dengan tegas. “Kamu tidak akan mendapatkan apa pun dariku. Kamu hanya akan terluka kalau kamu terus mengejar seseorang yang tidak akan pernah membalas perasaanmu,” lanjut Alicia. Meskipun ucapan tersebut terdengar sangat menusuk, tetapi Jason dapat merasakan kepedihan yang tersirat dari kalimat tersebut. Hanya saja Jason berpikir jika semua itu hanyalah akal-akalan wanita itu saja untuk membuatnya mundur. “Luka hanyalah hal kecil bagi seorang lelaki, Anya. Memangnya apa yang perlu ditakutkan?” Jason menunjukkan rasa percaya dirinya kembali dan tersenyum nakal. “Aku sangat menyukai tantangan asal kamu mau tahu.” Alicia hanya bisa terperangah, lalu ia pun menggeleng pelan. “Dasar keras kepala,” cibirnya. “Dari tadi kamu belum menjawab pertanyaanku, Anya,” keluh Jason, menyadari pem
“Tunggu sebentar, Rein. Aku ….”Alicia berniat mengambil kembali cincin dan kartu tanda pengenalnya dari atas meja di dekat Jason. Akan tetapi, Reinhard telah menarik lengannya sehingga Alicia hanya bisa pasrah dibawa pergi oleh suaminya tersebut.Tindakan Reinhard tentu saja menarik perhatian orang di sekeliling mereka, terutama karyawan Hernandez Group yang sedang makan siang di tempat tersebut. Mereka sangat terkejut dan mulai berbisik-bisik tentang apa yang mungkin sedang terjadi dengan bos mereka.Alicia dapat merasakan tatapan tajam yang tertuju padanya. Meskipun ia memakai masker, ia tetap menundukkan wajahnya karena tidak ingin ada yang mengenalinya. Namun, ia tahu jika tindakannya sia-sia belaka karena ia sudah menjadi pusat perhatian.Di satu sisi, Reinhard tidak peduli dengan keadaan sekelilingnya. Ia terus melangkah cepat, membawa Alicia pergi dari restoran tersebut.Sementara, Jason masih termangu di tempat duduknya, memperhatikan punggung Alicia yang semakin menjauh. Ket
“Jawab aku, Anya. Apa kamu menyukaiku?” Reinhard mendesak, matanya menatap dalam-dalam seolah berusaha mencari kebenaran dari raut wajah Alicia.Rasa bingung bercampur dengan rasa takut menyergap hati Alicia. Ia masih terperangah menghadapi pertanyaan gamblang yang diajukan oleh Reinhard hingga akhirnya pria itu kembali bertanya, “Ada apa? Apa kamu sedang mencari alasan untuk mengelak?”Alicia memalingkan wajahnya sejenak, menata debaran jantung yang masih berdebar kencang. Sembari meneguk salivanya dengan bersusah payah, ia kembali menatap Reinhard dengan tajam.“Apa otakmu sedang bermasalah hari ini, Rein?” Alicia membalas dengan sengit.Sebelum Reinhard sempat membalas ucapannya, Alicia kembali berkata, “Dengar, Rein. Aku tidak mengerti apa tujuanmu bertanya seperti itu. Tapi, satu hal yang pasti, aku tidak pernah berharap kamu akan cemburu karena aku tidak memiliki alasan untuk berharap seperti itu.”Lebih tepatnya, Alicia tidak ingin lagi menaruh harapan tersebut. Tidak ingin hati
Tatapan tajam Reinhard telah dipenuhi dengan emosi yang sulit untuk dijelaskan─sesuatu yang bahkan ia sendiri tidak yakin bagaimana mengungkapkannya. Namun, ia tidak bisa berdiam diri, menerima ucapan Alicia yang terus meremehkannya.“Kalau bukan wanitaku, lalu kamu wanita siapa?” balas Reinhard dengan sengit. “Atau kamu lebih suka menjadi wanita Jason Hughes?”Alicia terperangah, tidak menyangka Reinhard akan membalikkan ucapannya.“Lihatlah! Kamu masih saja tidak percaya padaku," keluh Alicia seraya menghela napas panjang. Ia sangat kesal dengan tuduhan tak berdasar tersebut. “Bukankah tadi pagi sudah kujelaskan kalau sejak awal aku tidak memiliki hubungan apa pun dengannya? Kami hanya bertemu secara kebetulan saja, Rein.”“Kalau memang begitu, kenapa kamu masih menemuinya siang ini? Aku sudah memperingatkanmu untuk menjauhinya, bukan? Apa kamu hanya menganggap ucapanku sebagai angin lalu?” Reinhard mendesiskan kata-katanya dengan tajam. Jelas sekali kemarahan dan cemburu mewarnai s
"Bagaimana kalau Anda juga memberikan hadiah untuk meminta maaf?" Owen kembali memberikan saran kepada majikannya. Reinhard menatap Owen dengan satu alis terangkat. “Hadiah?” Owen mengangguk kecil. “Mungkin bunga atau perhiasan bisa meredakan sedikit kemarahan Nyonya. Tidak ada salahnya kalau Anda mencobanya, Tuan Muda.” Reinhard tampak mempertimbangkan ucapan asistennya tersebut, lalu berkata, “Kalau begitu, bantu saya untuk memilih hadiahnya sekarang, Owen.” “Tapi, sekarang Anda masih ada janji dengan Direktur Hughes, Tuan Muda?” Mendengar hal itu, Reinhard mendengus kasar. “Saya rasa pembicaraanku dengan si gondrong narsis itu tidak perlu dilanjutkan.” “Tapi, tadi sekretaris beliau menghubungi saya dan mengatakan kalau Direktur Hughes tetap ingin berbicara dengan Anda. Katanya beliau ingin memperpanjang kontrak kerja sama dengan Divine,” terang Owen. Beberapa waktu lalu sekretaris Jason menghubungi Owen ketika Reinhard sedang berbincang dengan istrinya di dalam mobil.
“Ma-Margaret, kenapa kamu di sini?” tanya Alicia dengan gugup. Ia masih memalingkan wajahnya dari Margaret, khawatir rekan kerjanya itu melihat kondisinya. “Apa yang terjadi padamu, Anya?” Margaret menatap Alicia dengan bingung. Ia telah berdiri di samping meja kerja Alicia. Suaranya terdengar penuh kekhawatiran. “Wajahmu ….” Alicia tersentak. Sontak, ia memegang wajahnya dan baru menyadari jika ia lupa memakai maskernya. “Aku ….” Suara Alicia terdengar serak. Ia tidak tahu percuma saja menutupinya karena Margaret sudah terlanjur melihat semuanya. Ia berusaha merapikan wajahnya yang kusut karena basah oleh air mata. Margaret masih memandangnya dengan penuh pertanyaan. “Anya, apa kamu baik-baik saja?” tanyanya sekali lagi. Perlahan Alicia menoleh. Ia tersenyum tipis. “Maaf sudah membuatmu cemas, Margaret. Aku baik-baik saja,” jawabnya. Margaret menghela napas pelan. “Apanya yang baik-baik saja? Jelas kamu sangat tidak baik,” tukasnya. Alicia tersenyum kecut. “Wajahku ini hanya k
“Terima kasih. Saya akan berusaha bekerja dengan baik.” Percakapan telepon Margaret dengan orang di seberang teleponnya itu pun berakhir. Dengan seulas senyuman merekah, ia pun menghampiri meja pantry, mengambil dua cangkir espresso yang baru selesai diseduh. Baru saja Margaret hendak keluar dari ruangan pantry, ia dikagetkan dengan kehadiran Alicia di dalam ruangan tersebut. “Astaga, Anya!” Margaret berteriak secara spontan, hampir menjatuhkan salah satu cangkir yang dibawanya. Dengan cepat Margaret meletakkan kembali kedua cangkir kopi tersebut di atas meja pantry. Ia meringis pelan karena cairan kopi yang masih panas mengenai salah satu tangannya. “Kenapa kamu tidak bisa bersuara sih?” protes Margaret seraya berjalan menuju ke wastafel untuk meredakan rasa perih pada tangannya dengan air yang mengalir. Alicia tidak memberikan respon apa pun atas situasi yang dialami Margaret. Ia hanya member
“Bisakah kamu berjanji padaku untuk tidak memberitahu Tuan Scott, Anya?”Margaret kembali memohon. Melihat wajahnya yang memelas, Alicia pun mengangguk setuju. Namun, ia berkata, “Tapi, ada satu syarat.”Margaret menatap Alicia dengan cemas. “Sya-syarat apa?”Alicia tersenyum penuh arti, lalu menjawab, “Mulai hari ini bekerjalah untukku. Tidak ada lagi pengawasan dan kamu harus melakukan apa yang kuminta.”“Apa?” Margaret tampak terkejut.“Kenapa? Kamu tidak mau?” selidik Alicia, dapat melihat keengganan wanita itu.Margaret menggigit bibirnya dengan erat. “Bukan begitu. Aku hanya merasa ini tidak adil untukku. Kenapa aku harus melakukan perintahmu?” protesnya.Seringai kecil terukir di sudut bibir Alicia. Ia tahu jika persyaratannya terlalu memberatkan wanita itu. Namun, Alicia perlu membuktikan ketulusan dan kesetiaan wanita itu. Ia tidak ingin tertipu oleh harapan kosong yang diberikan wanita itu.“Tentu saja kamu harus melakukannya karena kamu harus menebus perbuatanmu," sahut Ali
Alicia menatap langit-langit kamar, pikirannya tak henti-henti mengembara. Semakin Reinhard memintanya untuk melupakan pertanyaan itu, semakin besar rasa ingin tahunya."Kenapa Xavier tiba-tiba menanyakan kecelakaan itu?" gumamnya pelan.Alicia menghela napas panjang dan berbalik, memeluk bantalnya.Ia tahu Reinhard tidak akan menanyakan hal itu tanpa alasan. Pria itu mungkin menyembunyikan sesuatu darinya dan seperti biasanya, Alicia lagi-lagi merasa berkecil hati.“Ah, tidak! Apa yang aku pikirkan?” Alicia menggelengkan kepalanya dengan kuat, mencoba mengusir rasa khawatirnya yang berlebihan.“Aku harus percaya padanya. Xavier bertanya seperti itu, pasti karena ada sesuatu yang penting yang ingin dipastikannya saja.”Embusan napas kasar bergulir dari bibir Alicia. Ia pun memejamkan matanya kembali, mencoba untuk mencari potongan ingatan yang hilang di dalam memorinya tersebut.Namun, semakin ia mencoba, semakin kuat rasa sakit yang menghantamnya. Seolah ada dinding tebal yang mengha
“Daripada membicarakan dia, ada hal penting yang ingin kutanyakan padamu,” ucap Reinhard, suaranya tiba-tiba menjadi lebih serius.“Hal apa?” tanya Alicia. Suaranya masih diselimuti kekhawatiran.Namun, Reinhard tidak langsung menjawab sehingga keheningan yang tercipta di antara mereka membuat rasa ingin tahu Alicia yang berada di ujung telepon tersebut semakin besar.“Xavier─”Sebelum Alicia sempat mendesaknya, Reinhard akhirnya bersuara. “Alicia, mengenai kecelakaanmu waktu itu, apa kamu bisa menceritakannya padaku?”“Kecelakaanku?” gumam Alicia yang diliputi kebingungan.“Maaf, aku bukan ingin memaksamu untuk mengingat kenangan buruk itu. Tapi …,” Reinhard menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, “aku ingin tahu bagaimana kamu bisa tidak ada di dalam pesawat waktu itu?”“Kenapa kamu bertanya tentang hal ini?” tanya Alicia dengan bingung.“Aku hanya ingin tahu semuanya tentangmu, Sayang,” dalih Reinhard.Ia terpaksa berbohong. Ia tidak ingin Alicia mengetahui permasalahan rumi
Siapa lagi yang bisa mengubah suasana hati Reinhard secepat ini jika bukan istri tercintanya, Alicia Lorenzo?Ternyata, wanita itu sudah mengirimkan beberapa pesan untuknya tanpa ia sadari.Reinhard bergegas membuka pesan-pesan tersebut dan membacanya dengan penuh antusias.[Kamu lagi apa, Suamiku?][Kamu lagi sibuk?][Sesibuk-sibuknya kamu, jangan sampai lupa makan. Aku tidak ingin kamu sakit.][Kamu tidak rindu aku?][Baiklah, aku tidak akan mengganggumu lagi. Selamat bekerja.]Ketegangan yang dirasakan Reinhard seketika menguap saat membaca pesan singkat beruntun dari istrinya tersebut. Tanpa membuang waktu, ia langsung menekan nomor kontak wanita pujaannya itu dan melakukan panggilan video.Baru dering pertama, panggilan tersebut langsung terhubung. Akan tetapi, Alicia tidak menyalakan kameranya sehingga Reinhard tidak dapat melihat wajahnya.“Halo,” sahut Alicia di seberang teleponnya.“Sayang, kameramu belum on,” ucap Reinhard mengingatkan.“Aku memang sengaja,” timpal Alicia, t
Di ruang kerjanya yang berada di kantor pusat Divine, Reinhard duduk bersandar di kursinya, mendengarkan laporan dari Owen dan Ethan Millano, salah satu anggota tim khusus yang ia tempatkan di Nexus."Seperti yang Anda duga, proyek kerja sama ini memang mencurigakan," ujar Ethan dengan nada serius.Pria bertubuh kurus dan berpenampilan necis itu kembali melanjutkan, “Saya sudah menelusurinya dan sejak awal Tuan Muda Nicklah yang menerima kerja sama ini. Tapi, beliau tidak tahu kalau perusahaan rekanan ini sangat bermasalah.”Reinhard, yang sejak tadi bersandar di kursinya, menyipitkan mata. “Teruskan.”Ethan mengeluarkan beberapa dokumen dan menyerahkannya kepada Owen, yang kemudian meneruskannya kepada Reinhard. “Perusahaan rekanan ini, Vega Tech, sebenarnya hanya sebuah perusahaan cangkang. Tidak ada proyek besar yang pernah mereka tangani sebelumnya, dan sumber pendanaan mereka juga tidak jelas.”Reinhard membuka dokumen itu dan meneliti setiap lembarannya. Dahinya berkerut saat me
“Nexus, ya?” Liliana tiba-tiba ikut menimpali. “Tadi Tante juga sempat lihat beritanya di TV. Sepertinya lagi jadi trending topic.”Mendengar hal tersebut, Alicia segera mengambil remote televisi dan mencari saluran berita yang sedang tayang. Amora, Liliana, dan Winny ikut memperhatikan layar dengan penuh rasa ingin tahu.Tak lama, sebuah berita bisnis muncul di layar. Seorang reporter sedang berbicara dengan latar belakang gedung tinggi yang memiliki logo Nexus di bagian depannya.“… pengambilalihan mendadak ini mengundang banyak spekulasi di antara para pebisnis. Walaupun Reinhard Xavier Hernandez tidak membuat pernyataan secara langsung, tetapi kehadirannya di Nexus memicu asumsi mengenai perubahan kepemilikan perusahaan tersebut.”Alicia terpaku menatap layar televisi tersebut. Wajah Reinhard disorot oleh kamera media. Pria itu berjalan keluar dari gedung Nexus dengan pengawalan ketat dan mengabaikan semua pertanyaan dari para wartawan.“Kamu beruntung dapat pria hebat, Alicia,” p
“Nenek, bagaimana keadaanmu?”Suara riang Amora terdengar memenuhi ruangan saat ia masuk bersama ibu mertuanya, Liliana Ritter.Alicia dan neneknya langsung menoleh bersamaan. Melihat kedatangan mereka, Alicia segera bangkit dari tempat duduknya, menghampiri Amora dan menuntun langkahnya menuju tempat duduknya tadi.“Terima kasih, Alicia,” ucap Amora seraya tersenyum kecil dan menatap adik iparnya dengan seksama.Ia kemudian terkekeh kecil. "Kalau dipikir-pikir, kamu benar-benar sudah dewasa sekarang. Sudah tahu bagaimana merawat orang lain."Alicia terkejut dengan pujian itu. "Ka-Kak Amora?" Wajahnya langsung memerah.Amora tersenyum penuh arti. Ia ingat betul, dulu saat ia masih mengandung Ryuji, Alicia hampir tak pernah menunjukkan kepedulian seperti ini."Memangnya dulu aku seburuk itu sampai Kakak harus menggodaku begitu?" gerutu Alicia, pura-pura kesal."Aku memujimu, Alicia," sahut Amora seraya memutar bola matanya.Liliana Ritter, yang sejak tadi meletakkan barang bawaannya di
Reinhard menghentikan langkahnya sejenak di dekat parkiran mobil setelah berada di luar rumah terlantar tersebut. Ia menoleh sekilas ke arah bangunan yang kini bergema oleh jeritan putus asa Edwin.Owen, yang berdiri di sampingnya, melirik ekspresi dingin Reinhard sekilas sebelum akhirnya bertanya dengan hati-hati, “Tuan Muda, apa Anda percaya dengan ucapan Edwin tadi?”Reinhard menghela napas pelan, tatapannya masih terpaku pada rumah itu. "Percaya atau tidak, dia pantas mendapatkan semua ini."Owen meneguk salivanya dengan kasar, lalu mengangguk pelan. Ia dapat memahami kebencian Reinhard terhadap Edwin, mengingat semua hal yang dilakukan pria itu pada Alicia selama tiga tahun ini.Owen melirik darah Edwin yang masih menempel pada telapak tangan tuan mudanya tersebut. Ia pun memberikan sapu tangannya kepada Reinhard dan kembali bertanya, “Apa Anda tidak ingin menanyakannya langsung kepada Nyonya mengenai masalah ini, Tuan Muda?”Reinhard menerima sapu tangan itu tanpa berkata apa-ap
“Jangan … jangan lakukan itu … aku benar-benar tidak tahu apa-apa ….”Edwin tergagap, suaranya gemetar, hampir tak terdengar. Matanya terpaku pada kilatan tajam ujung pisau yang hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya. Ia tidak bisa membayangkan rasa sakit yang akan ia alami jika bilah itu merobek kulitnya.Seketika, Edwin tersentak ketika mata pisau menyentuh pipinya. Darah pun mengalir dari goresan tipis yang diberikan Reinhard pada wajahnya tersebut.Suara ringisan terdengar dari bibir Edwin tatkala pisau tersebut menyayat kulit wajahnya.. Air matanya pun perlahan mengalir. “Su-sudah kubilang … itu hanya kecelakaan. Waktu itu … aku terlalu mabuk dan aku─”Ucapan Edwin terhenti karena mata pisau tersebut telah beralih dan menancap di punggung tangannya. Suara erangan kesakitan lolos dari bibirnya, tubuhnya menegang sementara darah segar mulai merembes dari luka tersebut.Edwin berniat menarik tangannya, tetapi Reinhard malah menekan ujungnya semakin kuat. “Aarggh!” teriak Edwin.
“Aku juga bisa membuat seolah-olah kamu melarikan diri dari persidangan. Dengan begitu, polisi tidak akan mencurigai apa pun,” lanjut Reinhard dengan nada santai. "Bagaimana? Tidak ada lagi yang perlu kamu cemaskan, bukan?" Edwin menggeram, napasnya memburu karena kemarahan yang meluap-luap. “Kau …!” Tanpa berpikir panjang, Edwin mencoba menerjang ke arah Reinhard, tetapi sebelum sempat menyentuhnya, Owen sudah lebih dulu bertindak. Sebuah pukulan keras mendarat di wajah Edwin, membuatnya terhuyung ke belakang. Rasa sakit menyebar dari rahangnya hingga ke kepala. Sebelum Edwin sempat bereaksi, tangan kuat Owen segera mencengkeram kerah bajunya, lalu menariknya ke tepi kolam. “Lepaskan aku!” teriak Edwin, memberontak histeris. Owen menghempaskan tubuh Edwin dengan kuat hingga wajah pria itu menghantam besi di pinggiran kolam. Darah pun mengucur deras dari hidungnya. Reinhard telah berdiri dari tempat duduknya, berjalan ke tepi kolam. “Owen, cukup,” cegahnya saat melihat a