"Bu, Opa, dan Oma, weekend besok aku sama Syakila ada rencana liburan ke villa. Eum, kalau boleh kita mau nitip Aira, gak lama kok, cuma dua hari." Dengan sedikit malu Devan meminta izin saat mereka sedang bersantai di depan televisi.Aira sendiri sudah lebih dulu terlelap ditemani mommy-nya di kamar. Jadi anak itu tidak protes ketika daddy-nya akan pergi berdua saja dengan sang mommy."Tentu saja boleh, Nak. Kalian memang perlu liburan setelah semua yang kalian alami," ucap Sukoco."Ibumu benar, Dev. Pergilah, buat hari-hari kalian menyenangkan." Bamantara menimpali."Sola Aira, kami siap menjaganya. Dia anak yang baik, pasti akan mengerti." Amber juga mengeluarkan pendapatnya."Terima kasih, semuanya. Aku akan beri tahu kabar ini pada Syakila." Devan terlihat bahagia. Bulan madu kedua ini pasti akan menyenangkan."Ah, bagaimana kalau kita ajak Aira menengok rumah kita, Sayang. Supaya dia tidak sedih kalau daddy dan mommy-nya pergi berlibur," usul Amber pada suaminya."Ide yang bagus
"Sayang ... Ahh...."Untuk yang kedua kalinya Devan mencapai puncak kenikmatan bersama Syakila di villa. Sepasang suami istri itu benar-benar menikmati bulan madu kedua ini. Hampir tak terlewatkan oleh mereka aktivitas saling mencintai, dan memadu kasih begitu mereka sampai di tempat penginapan itu. Apalagi Devan memilih villa yang lumayan jauh dari keramaian. menurutnya agar aktivitas mereka lebih privasi. Tentu hal itu semakin membuat mereka semakin intens.Dua manusia berlawanan jenis itu masih tersengal dengan napas memburu di balik selimut putih yang menutupi tubuhnya. "Kau benar-benar hebat, Sayang. Terima kasih." Devan memberikan pujian pada sang istri karena berhasil mengimbangi permainannya yang brutal.Lelaki itu betul-betul merindukan momen ini. Bagaimana tidak? Kemarin-kemarin dia terpaksa harus puasa menjamah tubuh indah Syakila. Banyak kejadian tak terduga yang mereka alami."Sama-sama, Mas. Kamu juga hebat. Masih gagah seperti yang dulu," sahut Syakila dengan suara ber
"Kenapa seperti ada yang mengikuti ya?" gumamnya, lalu menoleh ke belakang. Tetapi tak ada siapapun di sana. Jalanan sepi."Mas, ayok!" teriak Syakila yang sudah lebih dulu berjalan."Eh, iya, Sayang." Devan terkesiap kemudian menyusul, ikut mengantri bersama sang istri.Beberapa orang yang juga membeli bubur mengajak mereka ngobrol. Ada yang sama-sama pendatang, ada juga yang asli penduduk setempat. Syakila dan Devan menyukai keramahan penduduk di sekitar villa yang mereka sewa."Ini buburnya, Neng," ucap si penjual bubur pada Syakila, setelah beberapa waktu mengantri."Iya, Mang. Terima kasih." Syakila menerima kantong kresek berisi bubur, sementara Devan yang membayarnya."Mari, Ibu-ibu, kami duluan," pamitnya pada ibu-ibu yang masih mengantri."Mari, Neng, A, selamat liburan ya, semoga sukses," sahut seseibu dengan lantang."Sukses apa nih, Bu?" Devan sengaja menanggapi, karena tertarik dengan misteri di balik kata 'sukses' itu."Ya sukses jadi belendung atuh, hamil teh. Apalagi c
"Syakila ..." Telinga tajam Devan dapat mendengar suara gelas yang jatuh. Gegas pria bergaya rambut Taper Fade itu naik ke atas kolam dan berjalan ke dapur, tanpa peduli cipratan air yang berjatuhan di lantai."Sayang, kamu gak pa-pa?" teriaknya terus berjalan.Sunyi. Tak ada jawaban apapun. Langkahnya semakin cepat dan pasti. Namun, ketika sampai dapur, tak ada siapapun di sana. Hanya pecahan gelas yang berserakan di lantai.Devan panik. Seketika ia mengitari sekitaran sambil terus memanggil istri tercintanya."Syakila ...""Sayang, kamu di mana?"Terus mencari ke setiap ruangan di vila, tetapi hasilnya nihil. "Sayang, bercandanya gak lucu loh. Kamu di mana ?" Devan masih berfikir positif. Mungkin istrinya ingin bermain-main dengannya."Sayang, ayolah. Keluar dong. Aku dah kedinginan nih, mau ganti baju. Temenin yuk." Devan terus berbicara sendiri sambil terus mencari.Hampir seluruh ruangan ia datangi, dan hasilnya tetap kosong. Panik, Devan mulai sangat panik. Apa yang terjadi de
"Oh, jadi kamu Syakila? Si perempuan kampung yang bermimpi jadi istri adikku?"Deg!Baru saja tiba di restoran yang dimaksud sang kekasih untuk bertemu keluarga pria itu, Syakila justru disambut sinis dua perempuan asing dalam balutan kebaya.“Maaf, kalian–”“Ck! Aku Yumna, kakak Kamil, dan ini Jasmin adik Kamil," potong wanita berkebaya cream itu lalu tertawa merendahkan."Jas, panggil Mama. Tamu spesialnya udah dateng," perintah Yumna lagi–masih membiarkan Syakila berdiri di ambang pintu masuk restoran.Beribu tanya sontak berkecamuk di benak Syakila. Dia memang belum dikenalkan pada keluarga Kamil. Tapi, pria itu mengatakan bahwa hari ini keluarganya mengundang Syakila. Lantas, mengapa mereka justru memperlakukannya seperti ini?"Mana gadis kampung itu?" Sebuah suara terdengar dari arah belakang, membuat Syakila tersadar dari lamunan.Dia mendapati seorang wanita paruh baya yang juga mengenakan kebaya tengah berdiri congkak. Tak hanya itu, dia berjalan diikuti Kamil yang diapit len
Ucapan Syakila menggantung, terlebih kala mendapati bosnya tersenyum. "Tahu, dong. Sang Pemimpi kan, namanya? Dongengnya bagus-bagus. Ibu suka nonton sama cucu Ibu." Seketika wajah Syakila memerah karena malu. Ternyata selama ini bos-nya diam-diam mengikuti kegiatan barunya."Hehehe, saya cuma iseng aja, Bu. Daripada gak ngapa-ngapain," terang Syakila kikuk."Udah ada endorse masuk belum?""Endorse apaan, Bu? Orang cuma live begituan siapa yang mau pake.""Ya udah. Kalau gitu, Ibu orang pertama yang akan pake jasa kamu. Mulai malam nanti, kamu live baju-baju dagangan Ibu, ya."Mata Syakila sedikit terbelalak. Bukan ia tak mau membantu bosnya itu, tetapi ia takut baju-baju yang ia pasarkan di platform itu tidak laku. Intinya ia takut gagal!"Tapi saya belum tahu caranya gimana, Bu. Kalau ada yang pesen bagaimana?" Itu hanya alasan saja. Sejauh ini Syakila sudah cukup mengerti perdagangan online. Akan tetapi, ia pura-pura gaptek, agar bosnya itu berpikir ulang."Udah, coba aja dulu.
Di sisi lain, dengan tekad dan keyakinan, Syakila mulai memulai streaming. Menjajakan beberapa baju yang ia bawa. Merapalkan doa-doa dalam hati, berharap usahanya membuahkan hasil. Nyatanya, realita tak sesuai ekspektasi.Apa yang sempat Syakila khawatirkan terjadi. Baju-baju dagangan Bu Sukoco yang di live tak banyak yang terjual.Awalnya Syakila berpikir positif. Mungkin karena dirinya masih pemula, sehingga butuh proses dan waktu untuk membuahkan hasil memuaskan.Namun, hal demikian berlarut pada live-live berikutnya. Malahan, semenjak Syakila menjual baju di dalam live-nya, jumlah penonton dan sawerannya semakin berkurang tiap harinya. Itupun banyak yang mengeluhkan dongeng yang Syakila ceritakan tak semenarik dulu."Sekarang jadi gak asik.""Jadi malas nonton.""Jangan sambil dagang dong, kayak dulu. Biar dongengnya lebih fokus dan menarik."Dan masih banyak lagi komen-komen yang membuat Syakila down.Mawar yang biasa bertaburan pun ikut meredup. Tersisa beberapa orang saja dan
"Dalam hidup ada dua pilihan. Mau menyerah, atau bertahan? Jika bertahan membuatmu sakit, maka menyerahlah. Tetapi, bila menyerah ternyata juga sulit, maka tinggalkan keduanya. Kamu tidak perlu menjadi lilin untuk bisa bermanfaat bagi kehidupan. Cukup menjadi air putih. Sederhana, tetapi besar manfaatnya untuk kehidupan."Syakila mendongak. Matanya mengerjap tak mengerti dengan apa yang di katakan Devan. Mata dengan hiasan bulu lentik alami itu memandang wajah Devan, membuat lelaki itu gemas. 'Kenapa tingkahnya lucu begitu?' batin Devan, saat sesekali mencuri pandang pada Syakila."Maksudnya apa, Mas?" tanya Syakila polos.Pria berambut belah pinggir ala-ala korea itu hanya menghela napas. "Lupakan! Memang susah ngomong sama anak kecil."Syakila mencebik. Selalu begitu setiap dirinya berbicara dengan Devan. Lelaki tampan yang berusia beberapa tahun di atasnya itu selalu menganggap ia anak kecil yang tak mengerti apapun."Ayok! Buruan!" pekik Devan."Ke mana?" Syakila pun ikut memekik
"Syakila ..." Telinga tajam Devan dapat mendengar suara gelas yang jatuh. Gegas pria bergaya rambut Taper Fade itu naik ke atas kolam dan berjalan ke dapur, tanpa peduli cipratan air yang berjatuhan di lantai."Sayang, kamu gak pa-pa?" teriaknya terus berjalan.Sunyi. Tak ada jawaban apapun. Langkahnya semakin cepat dan pasti. Namun, ketika sampai dapur, tak ada siapapun di sana. Hanya pecahan gelas yang berserakan di lantai.Devan panik. Seketika ia mengitari sekitaran sambil terus memanggil istri tercintanya."Syakila ...""Sayang, kamu di mana?"Terus mencari ke setiap ruangan di vila, tetapi hasilnya nihil. "Sayang, bercandanya gak lucu loh. Kamu di mana ?" Devan masih berfikir positif. Mungkin istrinya ingin bermain-main dengannya."Sayang, ayolah. Keluar dong. Aku dah kedinginan nih, mau ganti baju. Temenin yuk." Devan terus berbicara sendiri sambil terus mencari.Hampir seluruh ruangan ia datangi, dan hasilnya tetap kosong. Panik, Devan mulai sangat panik. Apa yang terjadi de
"Kenapa seperti ada yang mengikuti ya?" gumamnya, lalu menoleh ke belakang. Tetapi tak ada siapapun di sana. Jalanan sepi."Mas, ayok!" teriak Syakila yang sudah lebih dulu berjalan."Eh, iya, Sayang." Devan terkesiap kemudian menyusul, ikut mengantri bersama sang istri.Beberapa orang yang juga membeli bubur mengajak mereka ngobrol. Ada yang sama-sama pendatang, ada juga yang asli penduduk setempat. Syakila dan Devan menyukai keramahan penduduk di sekitar villa yang mereka sewa."Ini buburnya, Neng," ucap si penjual bubur pada Syakila, setelah beberapa waktu mengantri."Iya, Mang. Terima kasih." Syakila menerima kantong kresek berisi bubur, sementara Devan yang membayarnya."Mari, Ibu-ibu, kami duluan," pamitnya pada ibu-ibu yang masih mengantri."Mari, Neng, A, selamat liburan ya, semoga sukses," sahut seseibu dengan lantang."Sukses apa nih, Bu?" Devan sengaja menanggapi, karena tertarik dengan misteri di balik kata 'sukses' itu."Ya sukses jadi belendung atuh, hamil teh. Apalagi c
"Sayang ... Ahh...."Untuk yang kedua kalinya Devan mencapai puncak kenikmatan bersama Syakila di villa. Sepasang suami istri itu benar-benar menikmati bulan madu kedua ini. Hampir tak terlewatkan oleh mereka aktivitas saling mencintai, dan memadu kasih begitu mereka sampai di tempat penginapan itu. Apalagi Devan memilih villa yang lumayan jauh dari keramaian. menurutnya agar aktivitas mereka lebih privasi. Tentu hal itu semakin membuat mereka semakin intens.Dua manusia berlawanan jenis itu masih tersengal dengan napas memburu di balik selimut putih yang menutupi tubuhnya. "Kau benar-benar hebat, Sayang. Terima kasih." Devan memberikan pujian pada sang istri karena berhasil mengimbangi permainannya yang brutal.Lelaki itu betul-betul merindukan momen ini. Bagaimana tidak? Kemarin-kemarin dia terpaksa harus puasa menjamah tubuh indah Syakila. Banyak kejadian tak terduga yang mereka alami."Sama-sama, Mas. Kamu juga hebat. Masih gagah seperti yang dulu," sahut Syakila dengan suara ber
"Bu, Opa, dan Oma, weekend besok aku sama Syakila ada rencana liburan ke villa. Eum, kalau boleh kita mau nitip Aira, gak lama kok, cuma dua hari." Dengan sedikit malu Devan meminta izin saat mereka sedang bersantai di depan televisi.Aira sendiri sudah lebih dulu terlelap ditemani mommy-nya di kamar. Jadi anak itu tidak protes ketika daddy-nya akan pergi berdua saja dengan sang mommy."Tentu saja boleh, Nak. Kalian memang perlu liburan setelah semua yang kalian alami," ucap Sukoco."Ibumu benar, Dev. Pergilah, buat hari-hari kalian menyenangkan." Bamantara menimpali."Sola Aira, kami siap menjaganya. Dia anak yang baik, pasti akan mengerti." Amber juga mengeluarkan pendapatnya."Terima kasih, semuanya. Aku akan beri tahu kabar ini pada Syakila." Devan terlihat bahagia. Bulan madu kedua ini pasti akan menyenangkan."Ah, bagaimana kalau kita ajak Aira menengok rumah kita, Sayang. Supaya dia tidak sedih kalau daddy dan mommy-nya pergi berlibur," usul Amber pada suaminya."Ide yang bagus
Devan memandang layar ponselnya dengan alis berkerut. "Panggilan tak terjawab?" gumamnya sambil membuka notifikasi. "Jo? Kok banyak banget panggilannya?" Ia menghela napas panjang, merasa bersalah telah melupakan handphonenya sejak sore tadi.Devan benar-benar tenggelam dalam waktu berkualitas bersama Syakila, sang istri. Mereka berdua memanfaatkan momen langka tanpa gangguan. Rasanya nyaman bisa menikmati hari hanya berdua, tanpa memikirkan urusan luar. Andai saja Aira, putri kecil mereka, tidak mengetuk pintu kamar untuk mengingatkan waktu sholat Maghrib, mungkin mereka masih saja berlama-lama berbincang di kamar.Kini, setelah sholat berjamaah bersama keluarga, Devan baru menyadari betapa banyak panggilan dari Jo. Ia mencoba menelepon balik, tetapi panggilannya tak dijawab."Kenapa, Mas?" suara lembut Syakila menyadarkannya. Wanita itu mendekat, membawa segelas teh hangat, lalu duduk di sampingnya di atas karpet ruang keluarga.Devan menunjukkan layar ponselnya. "Jo telepon berkali
Teriakan di luar membuat semua orang terhenti. Jo, Alex, dan anak buahnya langsung berlari mengejar, meninggalkan Devan, Syakila, dan Bamantara yang masih terkejut di dalam ruangan.“Bagaimana dia bisa kabur?!” Devan menggeram.“Mas, biarkan mereka yang urus,” ujar Syakila dengan suara gemetar, memegang lengannya.Devan menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Namun, di matanya, api kemarahan terhadap Kamil belum padam.Di luar gedung, Kamil dengan kondisi babak belur berlari sekuat tenaga. Tali yang mengikat tangannya rupanya berhasil ia lepas dengan pisau kecil yang tersembunyi di sepatunya. Para pengejarnya masih mengejar dari belakang, namun Kamil menemukan sebuah celah di pagar dan melarikan diri ke jalan raya yang cukup gelap.Dia mengira dirinya aman, sampai sirine polisi tiba-tiba terdengar semakin mendekat. Sebuah mobil patroli berhenti tepat di hadapannya, membuatnya panik.“Angkat tanganmu!” teriak salah satu petugas sambil mengarahkan senjatanya.Namun, Kamil tid
Pintu yang tiba-tiba terbuka itu mengagetkan semua orang di dalam ruangan. Kamil langsung berbalik, matanya menyipit marah. "Siapa di sana?!" teriaknya dengan nada tinggi penuh ancaman. Setelah menoleh dengan harapan yang hampir padam, sosok Devan berdiri tegap di ambang pintu dengan wajah yang penuh luka, tetapi matanya menyala dengan amarah yang tak terbendung. Di belakangnya Alex dan Jo berdiri, masing-masing memegang senjata seadanya."Permainanmu sudah selesai, bajingan!"ujar Devan dengan nada dingin namun tegas. Kamil tertawa sinis. "Oh, jadi kalian yang datang ke sini? Lucu sekali. Apa kalian juga ingin menyaksikan pernikahanku dengan Syakila?""Diam kau, Brengsek! Itu tidak akan pernah terjadi!" Devan berteriak dengan amarah yang kian menyala."Oh, ya? Apa hakmu melarang kami menikah? Kau bukan siapa-siapanya Syakila sekarang.""Dia istriku, brengsek!" Untuk kesekian kalinya Devan berteriak penuh emosi."Itu dulu, sebelum kamu menceraikannya. Tapi sekarang ....?Devan tak la
Devan mengepalkan tangannya erat-erat, pandangannya terpaku pada gedung tua di depan mata. Cahaya remang dari lampu jalan membuat tempat itu terlihat lebih mengerikan, seolah menyimpan ribuan rahasia gelap. Di sampingnya Jo dan Alex berdiri dengan wajah tegang. "Kita harus cepat," bisik Devan, menggenggam erat linggis di tangannya. Alex mengangguk. "Aku sudah periksa, penjaga hanya ada dua orang di dalam.""Aku tidak peduli berapa banyak penjaga di sana," balas Jo seraya menggenggam obeng besar di tangannya. "Kita lakukan ini bersama. Jangan pikiran Kamil, fokus selamatkan Opa." Alex menepuk pundak Devan dari belakang.Devan mengangguk. Ia tahu Kamil bukan hanya seorang pengancam biasa. Gangguan jiwanya yang dipenuhi obsesi berlebihan terhadap istrinya, telah membuatnya menjadi sosok yang berbahaya. Mereka harus bergerak cepat sebelum Kamil melakukan sesuatu yang lebih buruk. "Ayok!"Dengan langkah pelan mereka mendekati pintu besi gudang. Alex menyelinap lebih dulu, memastikan si
"Kamu nampak semakin cantik dengan riasan itu, Sayang. Aku jadi semakin tergila-gila padamu." Tangan Kamil terulur hendak menyentuh pipi mulus Syakila setelah selesai dirias oleh MUA yang disewanya."Jangan sentuh aku!" Syakila memalingkan muka, menghindar."Baiklah. Aku menghargai kamu karena kita belum menikah. Setelah akad, tidak ada lagi alasan bagimu menolakku.""Sadar Kamil! Mau berpuluh-puluh kali pun kamu mengucapkan ijab qobul untuk menikahiku, itu tidak akan pernah sah karena aku masih sah menjadi istri Mas Devan.""Kata siapa? Laki-laki itu sendiri yang sudah menandatangani gugatanmu. Kamu tidak percaya? Sebentar aku punya buktinya." Kamil beranjak mengambil sesuatu di dalam lemari.Sebuah map merah ia bawa ke hadapan Syakila, dan menyodorkannya. "Ini, lihatlah." Wanita berbalut kebaya putih itu mengernyit, tetapi tidak menolak untuk melihat ketika isi map itu dikeluarkan oleh Kamil."Gak mungkin." Syakila merebut kertas itu, membacanya dengan saksama. "Pasti ini rekayasam