Rafael sebenarnya bukan datang untuk melihat hujan meteor. Dia hanya ingin melihat Milla.Namun, sepanjang malam Milla selalu bersama teman-temannya, membuatnya bahkan tidak punya kesempatan untuk berbicara dengannya.Saat hujan meteor berakhir, Rafael hanya bisa kembali ke camper-nya dengan kecewa. Entah kenapa, saat mengatur tempat parkir, sepertinya orang-orang sengaja menempatkan camper-nya sejauh mungkin dari Milla. Camper-nya berada di paling depan, sedangkan Milla di paling belakang.Mengingat kembali sikap dingin Milla terhadapnya, hatinya terasa tidak tenang. Namun, saat meraba kotak kecil di sakunya, dia kembali merasa percaya diri ....Saat ini, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. "Rafael! Rafael!"Itu suara Milla!Saat Rafael masih mengumpulkan keberanian untuk mencari Milla, Milla malah datang mencarinya lebih dulu.Rafael begitu bersemangat hingga hampir melompat dari sofa untuk membuka pintu. Begitu masuk, Milla langsung bertanya, "Ada apa? Asmamu kambuh? Kamu bawa oba
Di luar camper, di tempat persembunyian yang berjarak cukup jauh, dua mobil hitam terparkir di sana. Warna gelapnya menyatu sempurna dengan kegelapan malam.Seorang pengawal berbaju hitam berjalan ke arah pintu mobil belakang dan berkata dengan hormat, "Nona, pintu dan jendela sudah terkunci rapat. Mereka nggak akan bisa membukanya dari dalam.""Gimana dengan ponsel mereka?" Grace mengangkat alis, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana."Jangan khawatir, Nona," jawab pengawal itu dengan penuh percaya diri. "Ponsel Rafael di tangan kami. Selain itu, aku sudah memasang alat pengganggu sinyal di sekitar camper-nya. Kalaupun Milla membawa ponsel atau alat komunikasi lain, dia nggak akan bisa minta bantuan. Malam ini Milla nggak akan bisa keluar dari camper Rafael.""Bagus!" Grace menyunggingkan bibirnya, membentuk senyuman jahat.....Di dalam camper Rafael, Milla berusaha menenangkan diri dan segera menjelaskan situasi kepada Rafael."Jadi, kamu mencariku cuma karena menerima pesan i
"Kamu tahu berlian punya kepadatan tinggi dan bisa memotong kaca, 'kan?" Milla berdiri sambil berkata kepada Rafael, "Sekarang kita memang nggak punya palu, tapi di dalam camper ini ada gelas, piring, teko, dan ponselku.""Semua itu bisa kita gunakan untuk menghancurkan kaca. Hanya saja, kaca jendela ini cukup kuat. Kalau nggak ada benda tajam untuk membuka celahnya lebih dulu, kita nggak akan berhasil.""Aku paham!" Rafael mendapatkan kembali semangatnya. Dia mengikuti instruksi Milla, lalu menggoreskan cincin berlian itu ke jendela, membentuk tanda silang. Setelah itu, dia terus memperdalam garisnya sedikit demi sedikit.Beberapa saat kemudian, Rafael menatap retakan yang mulai terbentuk di kaca itu dan berujar, "Sepertinya sudah cukup. Kita bisa coba menghantamnya dengan benda lain."Milla menahannya. "Tunggu sebentar.""Tunggu apa?""Kita baru saja dikunci di dalam. Anak buah Grace pasti masih mengawasi dari luar. Kita tunggu sedikit lagi, sampai mereka yakin kita benar-benar menye
Milla tertegun sejenak. Perasaannya berubah jauh lebih cepat daripada pikirannya. Rasa nyeri yang tajam terasa di hatinya, ini pertama kalinya dia merasakan hal seperti ini.Chris melihat tatapannya yang tak bergerak dan tubuhnya yang tegang, mengira wanita ini benar-benar ketakutan. Dia pun melembutkan suaranya. "Nggak apa-apa, tadi itu bukan ular berbisa ....""Hm." Milla menggigit bibirnya, lalu tanpa sadar mencengkeram erat lengan kekar Chris.Chris terkejut sesaat. Ini pertama kalinya dia merasakan bagaimana rasanya saat seorang wanita bergantung padanya. Dia terdiam sejenak sebelum menggendong Milla.Meskipun terpisah oleh dua lapis kain, Milla bisa merasakan dengan jelas detak jantung Chris yang kencang dan kehangatan di dadanya. Rasa aman itu membuatnya tanpa sadar merapat lebih dekat. Kedua tangannya melingkari leher Chris dengan erat, tubuhnya bersandar dalam pelukannya.Sudut bibir Chris tanpa sadar terangkat sedikit. "Ayo, aku antar kamu ke rumah sakit."Tiba-tiba, Milla te
Tessa awalnya ingin mengatakan sesuatu kepada Milla, tetapi tiba-tiba menyadari bahwa dia mungkin mengganggu urusan penting anak muda. Dia pun segera melambaikan tangannya, "Aku nggak ada urusan apa-apa kok! Eee ... kalian lanjutkan saja!""Nenek, sebenarnya ada apa?" tanya Chris dengan serius."Nggak ada yang lebih penting dari urusan kalian. Lanjutkan, lanjutkan! Dah!" Setelah berkata demikian, panggilan langsung terputus. Yang paling penting adalah mendapatkan cicit!"Dasar ...." Melihat Milla meletakkan ponselnya, Chris berinisiatif mencairkan suasana, "Grace dan orang-orangnya sudah berada dalam kendaliku. Bagaimana kamu ingin mengatasi mereka?"Milla berpikir sejenak sebelum menyahut, "Jangan gegabah, biarkan saja dulu."Chris sedikit terkejut. "Maksudmu, membiarkannya begitu saja?""Mana mungkin." Mata Milla berkilat tajam."Lalu, apa rencanamu?" Chris penasaran."Seperti biasa."Chris merenung sejenak, lalu melanjutkan kalimatnya, "Membalasnya dengan cara yang sama?"Milla meng
"Eee ... pakai sabuk pengaman." Milla menoleh, berusaha memecah keheningan yang membuat canggung.Chris memperhatikan rona merah di wajahnya dengan tatapan penuh makna. Kemudian, dia duduk tegak kembali."Mau tahu apa permohonanku?" tanya Chris yang mengambil inisiatif.Milla segera menyadari godaan dalam suara pria itu. Dia tidak ingin terjebak, jadi memilih untuk memejamkan matanya. "Kalau dibocorkan, nanti nggak terwujud. Aku mulai ngantuk, tidur dulu."Chris yang berada di samping hampir tidak bisa menahan tawa. Langsung berpura-pura tidur?Awalnya Milla hanya berpura-pura tidur, tetapi tidak lama kemudian, dia benar-benar tertidur. Dia baru tersadar kembali saat mereka tiba di rumah sakit.Dokter memeriksa lukanya dan memastikan bahwa ular itu tidak berbisa. Kakinya hanya terkilir ringan. Setelah luka-lukanya didisinfeksi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.Melihat waktu sudah larut dan Milla tampak lelah, Chris memutuskan untuk membiarkannya beristirahat semalam di kamar VI
Busana kelas atas, merek ternama, dan lagi-lagi topik membosankan seperti itu.Alis Milla tampak sedikit berkerut. Setiap kali sekelompok sosialita yang memiliki prioritas aneh ini berkumpul, suasananya terkesan dingin dan membuat tidak nyaman.Milla tidak ingin terjebak dalam lingkaran pergaulan mereka yang aneh, takut kecerdasannya ikut menurun.Namun, Grace malah sengaja memancing suasana dan Milla pun terpaksa menanggapi, "Menurutku, kalian yang dibesarkan dalam lingkungan pendidikan elite kaum bangsawan, seharusnya tahu sendiri apa arti dari 'berkelas', tanpa perlu aku jelaskan panjang lebar.""Ya ya, tentu saja kami tahu apa itu berkelas. Soalnya kami sendiri memang berasal dari keluarga bangsawan sejati. Jadi, nggak perlu kamu ajari."Grace berkata dengan nada angkuh, "Jangan menghindar dari topik, ya. Kami benar-benar penasaran, gaun yang kamu kenakan itu merek jadi dari mana? Kenapa nggak kamu sebut saja?"Grace masih terus terpaku pada hal itu. Melihat yang lain juga hanya te
Begitu mendengar Grace kembali menyudutkan Milla, Tessa yang tadinya hendak pergi bersama beberapa sahabat lamanya langsung berhenti melangkah. Perhatiannya kini kembali tertuju ke arah keramaian itu."Putra ketiga Keluarga Ruhian itu terkenal santai dalam urusan cinta. Selama ini belum pernah terdengar dia tertarik pada wanita mana pun," ujar seseorang mengungkapkan keraguannya.Namun, Grace malah tersenyum penuh keyakinan. "Aku nggak bohong, kok. Kalian tahu 'Beauty Star', berlian yang baru dilelang itu? Itu dibeli sama Rafael! Karena Milla suka bintang, dia berniat ngasih berlian itu sebagai hadiah untuk Milla!""Serius?""Kalau nggak percaya, kalian bisa cek sendiri. Lihat saja, apakah 'Beauty Star' sekarang atas nama Rafael atau bukan?" Grace berbicara dengan penuh rasa percaya diri.Ekspresi Tessa berubah sedikit.Grace tahu benar bahwa Tessa tidak suka wanita yang reputasinya sembrono. Maka, dia langsung memanfaatkan celah itu dan menambahkan, "Tadi malam, Rafael juga pergi bers
"Tapi memang sih, orang seperti Graham itu benar-benar unik. Nggak pernah ada wawancara atau laporan media, katanya seumur hidup belum pernah menikah! Keluarga Dolken punya harta sebesar itu, tapi nggak jelas akan diwariskan ke siapa," ucap Mona sambil berdecak menyayangkannya."Pastilah dia pernah patah hati!" Hara langsung berspekulasi penuh keyakinan, "Tapi pria yang bisa seumur hidup nggak menikah itu langka sekali. Gara-gara dia nggak punya istri atau anak, Ayah sampai bingung harus kasih hadiah apa ...."Mona dan Hara saling bergandengan, lalu mendekati pelayan Keluarga Angle yang tadi bertugas mencatat hadiah.Sebagian besar tamu yang datang ke tempat seperti ini pasti punya tujuan tersembunyi. Jadi pelayan pun tak terkejut saat mereka bertanya dan menjawab dengan tenang, "Pak Graham sudah datang."Sorot mata kedua orang itu langsung berbinar bersamaan. "Di mana dia?""Barusan sudah naik ke atas," jawab pelayan sambil menengadah ke arah lereng. "Kemungkinan besar sekarang sudah
Melihat sorot mata Graham yang diam-diam menanti pujian seperti anak kecil, Milla pun tersenyum dan menggoda, "Tentu saja aku percaya pada guruku. Kalau begitu, sepertinya kita harus mendaki cukup jauh, ya!"Graham tertawa lepas, "Gadis cerdik!"Baru saja mereka melewati gerbang pertama, datang beberapa pria dari arah berlawanan. Dari kejauhan, mereka langsung membungkuk memberi salam, "Pak Graham! Nggak nyangka Anda juga hadir hari ini ...."Graham segera dikerubungi untuk saling menyapa dan bertukar basa-basi, sementara Milla berdiri sedikit menjauh sambil memperhatikan pemandangan di sekitar gerbang.Saat itulah terdengar suara seorang wanita dari belakang yang agak terkejut dan sinis, "Eh, bukannya ini Milla? Lama nggaka jumpa!"Milla menoleh dan ternyata orang yang berdiri di sana adalah Hara.Tak jauh di belakangnya, Mona terlihat sibuk membawa sejumlah kantong hadiah besar dan sedang mendaftarkan barang-barang mereka kepada pelayan Keluarga Angle di depan gerbang pertama."Kamu
"Pak Rafael?"Melihat Rafael yang berdiri di sampingnya, untuk pertama kalinya Milla merasa kehadiran Rafael ini sangat tepat waktu."Kebetulan aku baru selesai makan sama teman, dari belakang tadi kulihat seperti kamu. Ternyata memang benar kamu!" ucap Rafael dengan ekspresi senang."Kamu siapa, ya?" Rafael menoleh ke arah pria di seberang Milla yang sedang menyumpal mulutnya dengan potongan daging.Belum sempat pria itu menjawab, Milla sudah berdiri sambil berkata, "Silakan lanjutkan makan. Aku sudah bayar semua, jadi ... sampai jumpa." Setelah itu, dia menarik Rafael pergi bersamanya.Rafael sempat menoleh ke belakang dan menangkap aura canggung di antara mereka, lalu bertanya, "Milla, jangan-jangan ... kamu lagi ikut kencan buta?""Mana mungkin?" sahut Milla jengkel."Tapi aku lihat suasananya canggung sekali, kalian makan berdua begitu ...." Rafael masih terlihat penasaran."Cuma dia yang makan, aku nggak!" jawab Milla dengan kesal. Dia sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya dipik
Setelah menutup telepon, Chris terdiam cukup lama. Kemudian, dia menelepon Wilson dan menyampaikan perintah Tessa padanya, "Cari orang yang bisa dipercaya, wakilkan aku untuk ketemu sama seseorang besok ...."Wanita apanya .... Chris sama sekali tidak ingin menghabiskan waktunya."Baik."Wilson juga merasa permintaan Tessa terlalu aneh. Setelah menutup panggilan itu, dia langsung menelepon untuk mencari wajah asing di tim pengawal Grup Mahendra dan memastikan tidak ada kesalahan untuk pertemuan besok.....Sore keesokan harinya.Milla mendorong pintu restoran tempat janji temu, di tangannya menggenggam setangkai mawar merah muda.Siang tadi, ibunya tiba-tiba bersikap misterius lewat telepon dan menyuruhnya datang ke tempat ini sambil membawa mawar sebagai penanda untuk bertemu seseorang.Katanya, orang itu akan menjadi pelindung rahasia selama Milla berada di Negara Melasa. Yang perlu dilakukan hanyalah bertemu langsung. Setelah itu, semua akan menjadi jelas.Ini adalah permintaan lang
Tiga hari kemudian.Di dalam kotak surat yang sudah berdebu, Nayla menerima sepucuk surat balasan. Isinya adalah ajakan untuk bertemu langsung di sebuah kafe tengah kota.Sore itu, Nayla berdandan rapi dan datang ke kafe yang dimaksud. Tak lama kemudian, muncullah seorang wanita tua berambut putih dengan aura yang luar biasa. Mereka saling mengenali lewat benda penanda yang telah disepakati, lalu duduk berhadapan."Nggak nyangka setelah sekian tahun, kamu masih bersedia membalas suratku," ucap Nayla penuh rasa syukur sambil memandang wanita tua di depannya."Aku dan mendiang ibu mertuamu adalah sahabat sejati," jawab wanita tua itu dengan penuh semangat. "Meski di tahun-tahun terakhir sebelum dia meninggal kami jarang bertemu karena jarak, tapi begitu dia menitipkan keluarganya padaku, aku sudah bersumpah akan melindungi kalian sampai napas terakhirku. Jadi, nggak perlu sungkan. Katakan saja, apa yang bisa kubantu?""Terima kasih banyak, Tante Winaya."Nayla tersenyum haru. "Putriku ak
Begitu mobil tiba di Grand Amary, Milla turun dan memperhatikan suara di belakangnya. Tepat saat dia melangkah masuk ke rumah, mobil Chris langsung menyala dan memutari taman bunga sekali, lalu melaju pergi. Dia tidak berlama-lama di sana.'Nggak masalah,' batin Milla sambil menggeleng pelan. Kemudian, dia masuk ke rumah untuk mandi dan naik ke ranjang untuk tidur. Saat dia masih berulang kali membolak-balik posisi di ranjang, telepon dari ibunya masuk."Milla, kamu sudah tidur?""Belum ... ada apa, Bu?""Sebentar lagi aku naik pesawat. Besok siang sampai rumah, kamu sempatkan untuk pulang, ya. Ada hal penting yang mau Ibu bicarakan," kata Nayla."Ada apa memangnya?" Milla sedikit gugup, mengira ibunya mengetahui bahwa dia menyembunyikan kondisi kesehatannya."Aku dengar kamu akan pergi ke Melasa untuk menghadiri perayaan 100 tahun Keluarga Angle?" Nayla ternyata menyinggung soal itu."Iya. Kenapa Ibu bisa tahu?"Milla merasa agak heran. Setelah Graham menyampaikan kabar itu, dia belum
Chris memicingkan matanya dan berbicara dengan nada sinis, "Pak Zeno mungkin terlalu lama hidup sendiri, jadi sudah lupa apa itu dinamika dalam hubungan, ya?"Persaingan yang kekanak-kanakan antara kedua pria itu membuat Milla merasa lelah. Dia merasa enggan terus berada di tengah mereka, sehingga akhirnya memutuskan untuk berdiri. "Aku ke toilet dulu. Kalian lanjutkan saja."Begitu Milla pergi, perseteruan antara Chris dan Zeno tidak perlu lagi ditutupi."Orang yang muncul tadi malam, itu kamu yang atur, 'kan?" tanya Chris. Ucapannya terdengar seperti pertanyaan, tapi nadanya penuh keyakinan."Apa maksudmu, Pak Chris? Orang yang mana?" Zeno tersenyum samar, meski raut wajahnya tetap tegang.Chris mencibir dingin. "Kita sama-sama tahu, nggak usah basa-basi.""Kamu cemburu?" Zeno berdiri perlahan dengan sorot mata yang gelap dan menantang. "Lalu ke mana saja kamu semalam? Hari ini muncul di sini dan mulai sok peduli? Kamu takut?""Takut sama semua sumpah yang dulu kamu ucapkan pada adik
"Aku belum sempat mengucapkan terima kasih secara resmi padamu soal semalam," Milla membuka pembicaraan lebih dulu.Zeno tersenyum sambil menggeleng pelan. "Sejak pertama kita kenal, kamu sudah sering bilang terima kasih padaku.""Itu artinya kamu memang selalu membantuku," Milla mengenang masa lalu, bibirnya melengkung membentuk senyum kecil. "Tapi aku belum pernah benar-benar membalas kebaikanmu.""Kalau begitu, utang saja dulu."Zeno tetap tampak tenang. Mereka duduk saling berhadapan, tetapi tidak banyak yang dibicarakan.Di tengah suasana yang mulai canggung, dokter masuk bersama perawat untuk memeriksa hasil EKG yang telah direkam sejak pagi, lalu melakukan beberapa pemeriksaan dasar. Setelah itu, dokter berkata, "Kondisi tubuhmu nggak ada masalah. Asalkan nanti cukup istirahat di rumah dan jangan terlalu sering mengalami perubahan emosi yang drastis.""Jadi aku sudah boleh keluar rumah sakit sekarang?" tanya Milla.Dokter mengangguk.Zeno melirik ke arahnya sambil tersenyum. "Ke
Milla tidak tidur semalaman.Pukul 4 pagi, Joy mengirim pesan padanya. Setelah diselidiki oleh detektif pribadi, plat nomor mobil off-road hitam yang diingatnya memang tidak bermasalah dan identitas pemilik mobil juga tidak mencurigakan. Orang itu tinggal di dekat desa tempat kejadian semalam.Jadi, kesimpulan dari detektif adalah itu bukan aksi penguntitan, hanya kebetulan."Menurutku itu bukan kebetulan." Milla menggenggam ponselnya beberapa saat sebelum akhirnya menelepon Joy. Dia tetap pada pendiriannya."Intuisimu?" tanya Joy.Milla tidak menjawab secara langsung. "Waktu mobil itu mengikutiku, aku merasa sangat nggak nyaman. Aku nggak percaya itu cuma kebetulan semata.""Tapi, pemilik mobil dan orang-orang di sekitarnya sudah diperiksa, semua aman. Tapi, aku akan terus minta mereka selidiki." Joy memercayai Milla, hanya saja memang belum ada bukti."Sudahlah, nggak perlu buang tenaga." Milla berkata, "Meskipun instingku benar, pelaku di balik ini pasti sudah merancang semuanya den