“Divya, please….”
Adrian kini buka suara. Namun, aku mengalihkan pandangan, tak mau melihatnya.“Div, aku mohon! Aku ingin menikah denganmu,” mohonnya padaku, seolah tersakiti.Bukankah di sini aku yang harusnya menangis? Jelas-jelas, dia sudah ketahuan selingkuh dengan Alana, tetapi masih ngotot mempertahankanku.Adrian terus mengiba, hingga dari sudut mata, kulihat ibu Adrian tampak geram.“Tidak usah mengemis seperti itu pada wanita sepertinya, Adrian. Di luar sana, masih banyak wanita yang lebih pantas bersamamu!” cecarnya tiba-tiba.“Dan kau, Divya!” Tante Bella menunjukku. “Kau membatalkan pernikahan dengan putraku tanpa alasan. Jangan harap kami bisa menerimamu kembali sebagai menantu jika kelak kau datang padanya lagi.”Aku bergeming tanpa ekspresi. Membiarkan ucapan ibu Adrian itu tanpa tanggapan.Nyatanya, aku tidak mungkin memutuskan sesuatu tanpa alasan. Tapi jika aku mengatakannya tanpa bukti, mereka tak akan percaya.Pastinya, mereka akan berpihak pada Adrian. Bisa saja, Adrian juga tak akan mengakui perbuatannya.“Seharusnya dari awal kami tak merestui hubungan kalian karena kau memang tak pantas untuk Adrian. Adrian, ayo pulang! Biarkan saja wanita itu menjadi perawan tua.”***“Divya, sebenarnya apa yang terjadi, Nak? Kenapa kamu tiba-tiba membatalkan rencana pernikahan kalian?” tanya Papa begitu keluarga Adrian sudah pulang membawa amarah dan kekesalannya karena aku membatalkan pernikahan secara sepihak.“Adrian ....” Aku ragu untuk melanjutkan. Sekilas, kulirik Papa yang juga menunggu penjelasanku.“Adrian selingkuh sama Alana, Pa, Bun,” lirihku, menunduk sambil meremas jari-jari tangan.“Apa?!” Papa spontan berdiri. Berkacak pinggang. Dari ekspresinya, tentu saja ia murka.Bunda lantas menghampiri Papa dan menenangkannya.Pria tua kesayangan kami itu lantas kembali duduk, tetapi kulihat dadanya masih bergerak naik turun saking emosinya.“Kenapa kamu bisa menyimpulkan seperti itu, Nak? Apa kamu punya buktinya?” tanya Bunda lembut setelah suasana ruang tamu kami kembali kondusif.Aku menggeleng pelan. “Kemarin, aku hanya gak sengaja melihatnya saat datang ke rumah Om Benny mencari Alana yang belum ke kantor, Bun. Aku terpaksa datang ke sana cuma mau ngecek keadaan Alana. Ternyata, yang kudapati Alana berada di dalam kamar, bersama Adrian. Dan mereka ....” Aku tercekat pilu.“Astagfirullah!” Bunda mengusap pelan dadanya. Barangkali sudah mengerti apa yang terjadi tanpa kukatakan sekalipun.“Kenapa kamu tak jujur saja pada keluarganya Adrian tadi, Nak? Diammu, membuat mereka mengeluarkan sumpah serapahnya padamu. Jujur saja, Papa sakit hati mendengarnya.”“Mereka pasti akan membela Adrian dan menuduhku mengarang cerita, Pa.”Suasana berubah hening.“Papa, Bunda ... maafkan Divya jika membuat malu keluarga karena membatalkan pernikahan ini secara sepihak,” tuturku.“Tidak, Nak. Justru kami akan menyalahkan diri jika kamu tetap menikah dengannya, dan dia malah berbuat yang tidak-tidak setelah pernikahan kalian nanti,” kata Papa.Bunda menghampiriku, mengusap lembut punggung ini. “Sekarang, kamu tidak usah memikirkan yang gak-gak dulu. Bunda dan Papa akan dukung apa pun keputusan kamu. Jodoh itu udah ada yang atur, Nak. Kalau gak sama Adrian, insyaAllah nanti kamu mendapatkan pria yang lebih baik darinya,” tambah Bunda.Aku mengangguk dan beralih memeluk Bunda.Tangisku kembali tumpah.Hanya saja, aku tak menyangka bila waktu berlalu begitu cepatDi antara gemerlap pelaminan, mata ini menangkap pemandangan pahit. Di sana, Adrian tengah merangkul Alana--sepupuku dari keluarga Papa.Walau aku sendiri yang membatalkan pernikahan, tapi dalam diam hati ini tetap penuh dengan kehancuran.“Nak Divya.” Aku menoleh ke sumber suara.Sudah berdiri Om Benny di dekatku.Pandangannya lurus ke depan, ke arah putrinya yang tampak cantik dengan balutan gaun pengantin di singgasana pelaminan.Ya, sebelumnya, Papa memutuskan untuk membongkar kelakuan Alana pada orang tuanya sesuai dengan apa yang didengar dariku.Untungnya, Alana mengakui perbuatan tak senonohnya itu di hadapan orang tuanya.Tante Nur—ibunya Alana syok sampai pingsan dan sempat dirawat di rumah sakit karena jantungnya kumat mengetahui kelakuan putrinya.Orang tua mana tak kecewa jika putri semata wayang yang menjadi permata dalam keluarga justru mencederai nama baik keluarga?Ah, tetapi tak ada yang bisa disesali. Seperti nasi yang sudah jadi bubur bentuknya tidak bisa dikembalikan seperti semula.Jalan satu-satunya, adalah dengan menyatukan mereka demi menjaga nama baik yang telanjur tercoreng.“Atas nama Kalana, Om minta maaf. Jangan benci Kalana ya, Nak. Di sini Om yang salah mendidiknya,” ujar pria yang berwajah plek ketiplet dengan Papa itu. “Om juga tidak menyangka, jika ternyata dia tega menusuk saudaranya sendiri dari belakang.”Aku membuang napas berat. “Divya ingin marah, Om. Tapi, percuma karena semua sudah terjadi.”“Aku turut mendoakan yang terbaik untuk pernikahan Alana dan Adrian,” ucapku lagi.Kini, sedikit kusunggingkan bibir agar terlihat baik-baik saja.“Maaf sekali lagi, Nak! Om juga mendoakan agar kamu mendapatkan suami yang bisa menghargai juga mencintaimu sepenuh hatinya.”“Terima kasih, Om.”Begitu Om Benny kembali pada aktivitasnya, tak lama, aku memutuskan untuk meninggalkan acara tanpa menemui dua pengkhianat itu.Aku melajukan mobil dengan kecepatan standar di tengah keheningan malam.Air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya jatuh membasahi pipi.Kupacu mobil membelah kegelapan malamEntah sudah berapa lama aku mutar-mutar tanpa tujuan untuk sekadar menenangkan hati.Namun mendadak, yang kurasakan justru malam yang begitu mencekam.Kucoba berpikir positif, mungkin karena perasaanku saja.Tapi, sesaat kemudian, seorang pengendara motor berhenti di tengah jalan.Kepalang panik membuatku buru-buru menginjak rem, tetapi entah mengapa rem mobil ini tak bisa berfungsi? Keringat dingin pun mulai mengucur di seluruh tubuhku.Bagaimana ini?Terus kucoba menghentikan laju mobil, tetapi hasilnya nihil.BRAK!Aku menunduk menutup wajah begitu mobil terguncang dahsyat karena menabrak pohon.Ya, aku terpaksa membanting mobil ke kiri ketika melihat ada pohon besar di sana agar lajunya terhenti.Tak lagi kupikirkan keselamatanku ketika terdesak mengambil keputusan untuk menabrakkan gerobak roda empat ini pada pohon.Daripada menabrak pengendara motor yang kuduga motornya sedang mogok sehingga berhenti di tengah jalan.“Astagfirullah!”Aku mengatur napas ketika merasa sudah tenang.Aku tak kenapa-kenapa. Tetapi, mobil pemberian Papa rusak parah dan kulihat asap mulai mengepul tebal di bagian depan.Cepat, aku keluar dari mobil karena takut terjadi ledakan dan bisa-bisa ikut melenyapkanku.Aku celingak-celinguk mencari pertolongan. Nyatanya, mencari seseorang di tengah kegelapan dan kesunyian malam seperti ini cukup susah.Entah di mana pria yang motornya rusak tadi? Apa sudah pergi? Tiba-tiba sekali. Apa tak melihatku hampir mati gara-gara dia yang berada di tengah jalan?Kurongoh ponsel dari saku celana untuk menghubungi orang rumah. Namun, baterainya pun tinggal 2%. Sedikit lagi dibacakan yasin.Aku mendengus sebal. Hingga sesaat kemudian, sebuah mobil tiba-tiba berhenti tepat di hadapanku. Seorang pria tak kukenal turun dari sana dan langsung membekap mulutku tanpa mengatakan apa pun.Aku tersentak, berusaha melepaskan diri.Tuhan, ada apa lagi ini?“Lepasin!” Aku memberontak. Memukul-mukul tangan dan dada pria asing ini.Walau kekuatannya cukup besar, aku tak boleh lengah. Kuinjak kakinya dengan keras hingga ia memekik kaget.Aku berhasil lepas dan punya kesempatan untuk kabur, tetapi sebuah tangan lain tak kalah cepat menarik lenganku dan mendorong tubuhku hingga terpojok di samping mobil.Bersama dengan itu, mata ini melotot tajam tatkala melihat wujud sang pelaku.“Adrian, lu?” tanyaku kaget, menatapnya nyalang.Mengapa dia berada di sini?Bukankah seharusnya ia masih bersama Alana? Lalu, kenapa tiba-tiba sudah berada di sini? Apa sengaja mengikutiku?“Ya. Ini aku, Sayang. Setelah kupikir, aku gak bisa melepaskanmu begitu saja, Divya. Aku gak mau kita putus.”“Lu jangan gila, Adrian!” sungutku. “Lu sekarang sudah menikah dengan Alana. Jangan lupakan jika pernikahan kalian bermula karena pengkhianatan kalian juga.” Jujur saja, aku tak habis thinking dengan Adrian yang masih memintaku untuk kembali bersamanya, padahal jelas-jelas kini ia sudah menikah dengan Alana—sepupuku. Entah apa yang ia mau? Di saat semua orang ber-euforia dengan acara pernikahannya, dia justru pergi dan mengejarku. “Aku gak peduli, Divya. Percaya sama aku ... aku cinta sama kamu.” Susah payah kuteguk ludah yang terasa keras lewat kerongkongan. Adrian sepertinya sengaja menyiram bensin pada percikan bara api. Baru saja ingin berbicara, sosok yang kukira motornya sedang mogok tadi datang dan membuka helm-nya. Membuatku melongo tak percaya. Apa jangan-jangan Adrian memang sengaja ingin menjebakku? Licik sekali dia. “Dia ….” Aku menunjuk pria berambut gondrong itu, menatapnya bergantian dengan Adrian. Adrian tersenyum licik. “Ya, dia temanku.” “Sialan!” Aku menend
“Gimana maksudnya?” tanyaku dengan alis yang sedikit terangkat. “Kamu kan lagi galau sekarang abis dikhianati pacar, ditinggal nikah pula. Makanya aku tawarin, mau diobatin, gak? Mumpung aku lagi buka praktik pengobatan gratis untuk hati yang terluka.” Aku menggigit pipi bagian dalam, susah payah menahan senyum, tapi rada kesal juga. Dipikir luka hati kayak luka terbuka yang bisa dijahit, lalu diperban apa? Ingin sekali aku memakinya, tetapi yang keluar dari mulut malah, “Caranya?” Kayaknya, aku ketularan anehnya Nizar deh! “Minum sianida,” jawab Nizar sambil tertawa. Aku menatap bengis pria bercambang tipis yang sedang tertawa puas di atas penderitaanku itu.Sebenarnya dia mau mengobati atau menyuruh mati? Kuhela napas berat, lantas mengalihkan pandangan ke luar jendela mobil. “Ide yang cemerlang, tapi aku belum tau mau dikuburin di mana?” “Janganlah. Amal kamu walaupun banyak gak akan membawamu ke surga kalo matinya bunuh diri,” ucapnya. Tanpa sadar, aku tersenyum tipis m
Mata indah ini menatap orang tuaku dan Nizar secara bergantian sebelum akhirnya memutuskan untuk duduk di sebelah Bunda. “Nah, itu orangnya sudah ada. Baiknya Nak Nizar tanyakan sendiri padanya,” kata Papa tersenyum kecil ke arah Nizar, lalu melirikku sekilas.Kali ini, kulihat Nizar tampak salah tingkah begitu pandangan kami bertemu beberapa detik. Kenapa dia? Tak biasanya seperti itu. Dia yang tadinya tampak senyum-senyum ketika bersama Papa dan Bunda, seketika senyum manis itu memudar begitu ada aku. Senyum manis? Jangan berlebihan memujinya, nanti dia besar kepala. “Memang ada apa, Pa?” tanyaku dengan alis terangkat.Tak ada jawaban.Baik Papa dan Bunda hanya sama-sama tersenyum tipis. Di sofa lain, Nizar juga bergeming dengan wajah datarnya. Sebenarnya apa sih yang mereka bicarakan sebelumnya?Kenapa malah perasaanku yang tiba-tiba jadi dag dig dug ser?“Ini, Sayang....” Bunda buka suara. Tangannya bergerak mengusap pelan bahu ini. “Nak Nizar ke sini mau melamar kamu.”De
“Apa kamu sedang uji coba remot langit untuk menggantikan Mbak Rara jadi pawang hujan di Mandalika?”Pertanyaan Nizar membuatku buru-buru melepaskan diri dari pelukannya yang tadi menahan tubuh ini ala-ala drama bollywood. Apa-apaan sih dia meluk-meluk kayak gitu? Jangan-jangan dia sengaja lagi cari kesempatan dalam kesempitan. Dasar mantan!“Siapa juga yang mau jadi pawang hujan? Ngaco aja kalo ngomong,” sungutku.Melipat tangan di depan dada sambil mengerucutkan bibir kesal.Enggan melihat wajahnya yang sedari tadi sok manis itu. Tapi, dia emang manis sih!“Kamu tuh. Dibilangin mau hujan juga, tetap ngotot pergi. So-soan gak mau diantar,” cecar Nizar. “Sejak kapan sih kamu jadi gengsian begitu?”Aku bergeming, tak ingin menanggapi perkataannya lagi. Hingga tak lama, security kantor datang membawa payung yang kuduga itu permintaan Nizar. Dia membentangkan payung tersebut dan memaksaku ikut bersamanya. Dengan segenap rasa malas, daripada tinggal di kantor lebih lama dalam situa
Sebab kesalahpahaman itu, aku dan Nizar diarak warga hingga ke rumah yang memang sudah tak begitu jauh lagi. Padahal, tadi sudah membela diri sampai memohon agar dilepaskan saja, tapi tak membuahkan hasil. Sialnya lagi, karena beberapa warga yang memergokiku sedang berduaan dengan Nizar di mobil tadi, sebagian mengenal baik keluargaku. Kalau tidak salah, ada Pak RT juga. Aku ingat wajahnya, dia beberapa kali datang ke rumah bertemu Papa. Jadi, manalah mungkin aku bisa berkilah untuk sekadar memalsukan alamat, karena mereka sudah tahu tanpa kuberi tahu sekalipun. Ini tuh semua gara-gara si Nizar, seandainya dia gak maksa-maksa aku ikut mobilnya tadi, kita gak bakal dihakimi.Dituduh mesum, padahal kami gak ngapa-ngapain juga. Hanya sebatas meluk doang, itu pun karena terpaksa. Tau begini, gak mau aku ikut pulang si Nizar. Emang dasar, dia selalu membuat hidupku runyem. “Pak Bima!” teriak Pak RT menggedor-gedor pintu rumahku.Caranya menggedor macam mau menggerebek istri sah yan
“Papa dan Bunda kenapa sih pake acara menyetujui permintaan warga? Itu konyol banget asli! Apa Papa sama Bunda udah gak percaya Divya lagi?” Nada suaraku sedikit meninggi, tapi bukan bermaksud untuk membentak dua orang tercintaku itu. Hanya saja, diri ini sudah tak bisa menahan kekesalan yang sedari tadi meluap-luap.Sehingga setelah Nizar pamit pulang, aku sengaja menemui mereka di kamarnya untuk meminta alasan kenapa menyetujui pernikahan konyol itu?Bukannya membela di depan warga, malah membiarkan terjebak dalam dilema pernikahan yang tak kuharapkan. Kini, Bunda turun dari ranjang dan menghampiriku yang tengah berdiri kaku di depan pintu. “Eh... eh, datang-datang malah nyolot. Perasaan Bunda gak pernah ngajarin Divya bicara pake nada tinggi depan orang tua.” Suara Bunda yang selembut sutera sampai dalam hati. Sukses membuatku mati kutu. “Maaf, Bun,” lirihku. Mengangkat wajah, menata
Bunyi bising masjid-masjid dari segala penjuru kota terpaksa membuatku mengerjap.Seingatku baru tidur sebentar, tapi ternyata hari sudah subuh lagi. Eh, tapi bentar... bentar deh!Ini kenapa aku tiba-tiba tidur di bantalnya Nizar? Mana aku meluk seolah-olah dia guling lagi?Sialan! Ini jadinya kayak aku yang nempel-nempel dia gak sih? Huwaa!Gak bisa! Gak bisa dibiarin ini!Amit-amit meluk cicak tubin.Aku mendongak sedikit, melihat wajahnya. Memastikan dia masih tidur.Dan syukurlah, tidurnya masih nyenyak. Gawat kalau dia bangun, mau ditaruh di mana mukaku yang cantik paripurna ini? Masa pindah ke pergelangan kaki?Aku juga gak sudi dia jadi besar kepala kalau tau insiden peluk-pelukan ini, bisa saja diungkit sampe lebaran haji dengan tujuan untuk melemahkanku di hadapannya.Detik berikutnya, aku berusaha memindahkan kaki yang menimpa kakinya dengan gerakan san
Sedikit panik, aku tak tahu harus bagaimana menjawab pertanyaan Sarah?Dijawab bohong, urusannya bakal panjang. Gak dijawab pun sama aja. Bakal berurusan sampe anak kucing jadi anak singa.Detik berikutnya, Nizar memecah keheningan di antara kami. “Sayang, aku pamit ya. Kamu semangat kerjanya.” Dia sambil mengedipkan sebelah matanya, membuatku mengerang sebal dalam hati. Cukup dalam hati. Gak bisa mengamuk di sini.Walaupun kesal banget dia manggil-manggil sayang, di depan Sarah lagi. Bikin malu aja.“Sarah, duluan ya!” teriak Nizar yang dibalas Sarah dengan anggukan singkat. Kulihat ibu anak 1 itu melongo sampai mobil berwarna hitam milik Nizar melewati gerbang kantor.Sesaat kemudian Sarah mengendus-endus tubuhku seakan mencium ada bau bangkai tikus.Aku sampai ikut mencium bau tubuh sendiri. Harum bau parfum.“Ngapain?”“Gue mencium aroma-aroma cinta lama belum kelar.”
Beberapa bulan kemudian. Aku sengaja datang agak siang ke kantor hari ini. Berhubung, tadi pagi-pagi aku sudah sibuk di rumah, menata perlengkapan bayi bersama ibu mertua. Maklum karena aku sudah mendekati HPL. Jadi, segala sesuatunya harus disiapkan biar kalau adek bayi sudah launching, gak ribet lagi. Turun dari mobil yang mengantar ke kantor, aku melangkah sesekali membalas senyum karyawan yang berpapasan denganku di lantai dasar. Menghampiri resepsionis lebih dulu sekadar untuk menanyakan barangkali ada titipan atau mungkin informasi penting untukku yang dititipkan pada resepsionis. “Ada info?” tanyaku pada wanita berambut panjang terurai itu. “Iya, Bu. Informasinya soal Pak Nizar, beliau sudah datang dari tadi dan mungkin sekarang sudah di ruang CEO.” Aku mengerutkan dahi mendengar perkataan wanita itu. Mas Nizar ke sini kenapa tadi gak bilang ke aku kalau mau ke sini? Tiba-tiba banget datang ke kantor. “Oh, ya sudah. Aku langsung ke atas kalau begitu.” “B
Setelah beberapa saat terdiam, Pak Santoso kembali melanjutkan kalimatnya. “Waktu itu, di lokasi anak itu ditemukan, memang terbilang minim sekali kendaraan yang lewat, tempatnya juga masih susah diakses, bahkan jaringan internet pun belum merata. Jadi, agak susah untuk mendapatkan pertolongan.”“Tanpa mempertimbangkan asal usul, saya dan istri mau-mau saja membantu anak itu, apalagi di sana memang tidak ada yang mengenalinya. Kasihan juga, jika dia terlambat mendapat pertolongan hanya karena kami menolak menolongnya. Berharap setelah dia sadar, kami bisa mengantarnya pulang menemui keluarganya. Hanya saja ....”Kami menatap Pak Santoso penuh tanya, sama-sama menunggu apa yang akan dikatakan selanjutnya?“Setelah sadar, anak itu tidak mengingat asal usulnya, bahkan tak mengingat namanya sendiri. Dokter mengatakan, kalau dia terkena amnesia retrograde, di mana dia melupakan semua ingatan sebelum kecelakaan, meski dengan faktor eksternal dia mungkin masih bi
“Maaf, apa Pak Bima mengenal orang di foto itu?” tanya Dev dengan sirat penuh pengharapan.Namun, Papa bukannya langsung menjawab, justru buru-buru memalingkan muka. Sempat kulihat matanya berkaca-kaca.Papa menangis? Benarkah?Ya Tuhan, aku semakin tak mengerti melihat situasi ini. Sebenarnya ada apa?“Apa kamu benar-benar tidak ingat apa-apa tentang foto ini?” tanya Papa lagi, “setidaknya sedikit saja.”Kulihat Dev tampak berpikir, tapi bersamaan dengan itu terdengar pula isakan tangis Bunda. Aku pun beralih menggenggam tangannya dan memeluk erat tubuh yang masih lemah itu dengan maksud untuk menenangkan.“Bun, ada apa?” tanyaku, yang tanpa direspons olehnya hingga pelukan kami terurai.“Saya hanya bisa ingat sekilas memiliki adek balita saat itu. Namun, saya tidak mengingat nama dan bagaimana rupanya? Mungkin sekarang sudah sebesar Divya. Terus terang, ketika melihat Divya, saya merasa cukup dekat padanya. Seperti per
BRAK!Pintu tiba-tiba terbuka dengan keras. Aku dan Nizar kompak menoleh, melihat siapa yang datang?Ya. Mereka adalah ibu mertuaku dan Putri. Keduanya kini berdiri di ambang pintu dengan raut cemas. Ibu mertua langsung berjalan cepat menghampiri kami. Napasnya terengah dan tanpa basa-basi bertanya padaku. “Vy Sayang ... apa yang terjadi, Nak? Kamu gak apa-apa, kan?” Dia meraba pipiku barangkali memastikan aku baik-baik saja. “Kenapa bisa pingsan, sih, Sayang?” Ibu Hanna kembali bertanya, bahkan sebelum satu pertanyaannya kujawab.Selang beberapa detik, beliau menatap Nizar dengan tatapan mencurigai. “Kamu kali yang gak becus jagain istri, sampai menantu Ibu pingsan segala?”Aku tersenyum hangat. Beralih menggenggam tangan ibu mertuaku itu. “Ivy baik-baik aja, Bu. Gak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku cuma sedikit kecapean dan syok aja dengar kabar Bunda kecelakaan.”“Tapi, Aunty Sayang, Ibu lebih syok dengar Aunty dib
Aku mengerjap pelan, mencoba mengamati sekeliling. Hal pertama yang kulihat, ruangan serba putih yang cukup asing dalam pandangan.Aroma obat-obatan pun seketika menguar menusuk indra penciumanku.Sesaat kesadaranku sudah terkumpul, aku merasakan sebuah tangan menggenggam erat tangan ini, ibu jarinya sesekali mengusap-usap lembut punggung tanganku. Aku menoleh ke samping kanan, ternyata kekasih hatiku duduk di sana sambil mengutak-atik ponsel. Rupanya, ia belum menyadari kalau istrinya yang cantik jelita inj sudah bangun dan kini sedang menatapnya. Lagipula, kenapa aku bisa tiba-tiba berada di rumah sakit segala?Ah! Seingatku, tadi memang sempat lemas banget di kantornya Pak Dev karena kepalang syok mendengar kabar Bunda kecelakaan, tapi setelahnya aku tak mengingat apa-apa lagi.Ngomong-ngomong soal Bunda. Bagaimana keadaannya sekarang? “Mas ...,” lirihku.Begitu mendengar suaraku, Nizar sedikit tersentak,
Sampai di ruangan, aku hanya duduk diam sambil menatap tumpukan berkas di meja yang seolah menatapku balik tanpa memberikan solusi. Sesekali memijat kening, mengingat perkataan Adrian yang beberapa saat lalu masih terngiang-ngiang jelas di benak ini. Mungkin, dia memang datang ke kantorku hanya untuk itu.Sekarang, aku merasa kalimat-kalimatnya seperti sebuah ancaman serius. Bagaimana kalau perusahan yang telah dirintis orang tuaku dari nol ini jatuh padanya? Kalau itu benar, tentu saja aku memutuskan untuk keluar dari perusahaan karena tak sudi satu kantor dengan Adrian. Namun, di sini yang menjadi taruhan adalah para karyawan yang telah setia menemani setiap proses TalentVista hingga sekarang.Bagaimana jika mereka benar-benar dikeluarkan setelah akuisisi? Bagaimana dengan nasib mereka?Akan tetapi, kalau aku memutuskan untuk tetap bertahan, maka yang ada hari-hari yang kujalani akan sangat buruk kalau be
Huft!Aku menghentakkan kaki seraya mengembuskan napas berat begitu duduk di dekat Nizar yang tengah sibuk menggerak-gerakkan jemarinya di atas ipad di taman dekat kolam renang rumah kami.Suasana di sini memang cukup adem, sehingga mendukung untuk bekerja meski cuaca di luar sana sangat menyala. Hari libur begini, sebenarnya tadi Nizar mengajakku jalan-jalan, tapi aku lagi malas karena memang badan cepat lelah semenjak hamil.Jadi, aku memilih quality time di rumah bersama keluarga mertua.Menyadari kedatanganku, Nizar melirik sekilas. “Kenapa kayak gitu? Kesal sama aku?” tanyanya.Aku menoleh padanya yang mulai meletakkan ipad-nya ke meja bundar di hadapan kami. “Gak ada,” ketusku.“Ya terus kenapa itu tadi datang-datang dan buang napasnya kayak orang kesal?” Nizar kini menatapku dengan serius. “Mau jalan-jalan? Atau pengen ditemani jajan? Mau nonton? Atau apa?” Belum satu pun pertanyaannya kujawab, dia kemb
Sore ini, aku memutuskan melakukan konferensi pers untuk menyampaikan pengumuman resmi tentang berita akuisisi yang memang sedang santer diperbincangkan akhir-akhir ini. Dengan maksud dan tujuan untuk meluruskan kebenarannya biar tidak menimbulkan berita simpang siur dan spekulasi-spekulasi pribadi tak berdasar. Sebab, kabar tersebut kini tak hanya ramai di area kantor, tetapi juga di luar kantor, bahkan di media sosial sudah rame.Media dan wartawan kini sudah berkumpul di lobi gedung, siap untuk meliput. Ruangan konferensi pers dipenuhi oleh sorot kamera dan mikrofon yang siap merekam apa saja yang akan kukatakan nantinya. Didampingi sekretarisku, aku masuk ke sebuah ruangan dan duduk pada tempat yang memang sudah disiapkan. Kamera wartawan yang sedari tadi menyoroti, sebenarnya membuatku risih. Tapi aku juga gak boleh protes dan menghalangi mereka untuk bekerja.Suasana berubah hening seketika.Sambil te
Ah, aku sampai lupa kalau dulu pernah terjebak dalam kata-katanya yang cukup menyakinkan kala itu. Nyatanya, semua hanyalah bualan semata. Lihatlah, sekarang! Dia tak jauh berbeda. Bisa-bisanya dia menyembunyikan masalah keuangan perusahaannya yang saat ini melanda? Setelah beberapa menit, kini giliran suamiku tercinta dan tersayang yang unjuk rasa, eh ... unjuk gigi. Maksudku, unjuk diri. Hari ini, dia terlihat begitu tampan dengan kacamata bening yang membingkai kedua matanya. Aku pernah bertanya padanya, kenapa tiba-tiba mengenakan kacamata? Padahal aslinya dia tidak ada masalah pada penglihatan. Ya, katanya ... karena dia hanya ingin mengubah penampilan di 2 tahun terakhir ini dan agar tidak ada yang terlalu mengenalinya ketika sedang menguntitku. Tapi, ya juga. Dulu saat pertemuan perdana kami, saat itu dia menolongku dari Adrian yang mau berbuat jahat pa