“Papa dan Bunda kenapa sih pake acara menyetujui permintaan warga? Itu konyol banget asli! Apa Papa sama Bunda udah gak percaya Divya lagi?”
Nada suaraku sedikit meninggi, tapi bukan bermaksud untuk membentak dua orang tercintaku itu.Hanya saja, diri ini sudah tak bisa menahan kekesalan yang sedari tadi meluap-luap.Sehingga setelah Nizar pamit pulang, aku sengaja menemui mereka di kamarnya untuk meminta alasan kenapa menyetujui pernikahan konyol itu?Bukannya membela di depan warga, malah membiarkan terjebak dalam dilema pernikahan yang tak kuharapkan.Kini, Bunda turun dari ranjang dan menghampiriku yang tengah berdiri kaku di depan pintu.“Eh... eh, datang-datang malah nyolot. Perasaan Bunda gak pernah ngajarin Divya bicara pake nada tinggi depan orang tua.”Suara Bunda yang selembut sutera sampai dalam hati.Sukses membuatku mati kutu.“Maaf, Bun,” lirihku.Mengangkat wajah, menataBunyi bising masjid-masjid dari segala penjuru kota terpaksa membuatku mengerjap.Seingatku baru tidur sebentar, tapi ternyata hari sudah subuh lagi. Eh, tapi bentar... bentar deh!Ini kenapa aku tiba-tiba tidur di bantalnya Nizar? Mana aku meluk seolah-olah dia guling lagi?Sialan! Ini jadinya kayak aku yang nempel-nempel dia gak sih? Huwaa!Gak bisa! Gak bisa dibiarin ini!Amit-amit meluk cicak tubin.Aku mendongak sedikit, melihat wajahnya. Memastikan dia masih tidur.Dan syukurlah, tidurnya masih nyenyak. Gawat kalau dia bangun, mau ditaruh di mana mukaku yang cantik paripurna ini? Masa pindah ke pergelangan kaki?Aku juga gak sudi dia jadi besar kepala kalau tau insiden peluk-pelukan ini, bisa saja diungkit sampe lebaran haji dengan tujuan untuk melemahkanku di hadapannya.Detik berikutnya, aku berusaha memindahkan kaki yang menimpa kakinya dengan gerakan san
Sedikit panik, aku tak tahu harus bagaimana menjawab pertanyaan Sarah?Dijawab bohong, urusannya bakal panjang. Gak dijawab pun sama aja. Bakal berurusan sampe anak kucing jadi anak singa.Detik berikutnya, Nizar memecah keheningan di antara kami. “Sayang, aku pamit ya. Kamu semangat kerjanya.” Dia sambil mengedipkan sebelah matanya, membuatku mengerang sebal dalam hati. Cukup dalam hati. Gak bisa mengamuk di sini.Walaupun kesal banget dia manggil-manggil sayang, di depan Sarah lagi. Bikin malu aja.“Sarah, duluan ya!” teriak Nizar yang dibalas Sarah dengan anggukan singkat. Kulihat ibu anak 1 itu melongo sampai mobil berwarna hitam milik Nizar melewati gerbang kantor.Sesaat kemudian Sarah mengendus-endus tubuhku seakan mencium ada bau bangkai tikus.Aku sampai ikut mencium bau tubuh sendiri. Harum bau parfum.“Ngapain?”“Gue mencium aroma-aroma cinta lama belum kelar.”
Kupejamkan mata sebentar, sembari menelan ludah yang terasa getir.Memang, aku tak sempat mengabari Sarah tentang pernikahan ini, bukan gak mau? Tapi tadi malam, buat bernapas aja susah. Yang kurasakan cuma sesak dan hampa.“Gue gak kepikiran sampe sana,” lirihku menggeleng pelan.Membuang napas kasar. Lantas, beranjak. Duduk di sofa, diikuti Sarah. Aku menceritakan awal mula kenapa bisa menikah dengan mantan kekasihku yang sudah putus selama 2 tahun itu? Dimulai dari Nizar yang sebelumnya memang sempat datang ke rumah untuk melamar, tapi aku tolak matang-matang.Berlanjut pada ajakan pulang bareng yang ternyata menyisakan masalah serumit memecahkan sandi rumput.Sampai akhirnya, menikah, di atas label kepergok mesum di tempat umum. Sialnya, karena bukannya prihatin mendengar ceritaku, Sarah malah tertawa terbahak-bahak. Seolah melupakan rasa ibanya tadi.Seakan apa yang telah kusampaikan i
“Bagus gimana, njir?! Malu-maluin aja itu kalau dipake. Lu niat gak sih ngasih hadiah? Ya kali ngasih baju tipis banget, menerawang lagi.” Aku ngedumel, menyampaikan isi hati. Seandainya Sarah ada di sini, kutimpuk wajahnya pake baju tipis ini. Serius!Tapi, kalau sama Sarah memang sudah terbiasa blak-blakan dan buka-bukaan. Bisa dibilang, tidak ada rahasia di antara kita. Bukannya merasa bersalah dengan kado pemberiannya, kudengar Sarah malah tertawa terbahak-bahak. Tuh kan, tuh kan! Dia kalau ketawa, Mbak Kunti pun jadi insecure. “Itu baju mahal, njir!” “Mahal dari mana kurang bahan begini? Yang ada gue kena siraman rohani 7 tanjakan, 7 turunan, 7 tikungan dari Bunda kalo nekat pake baju dari lu. Gak ada bagus-bagusnya!” semburku. “Kayak jaring ikan tau gak sih?”“Woylah, Burung Pipit!” Sarah tertawa lagi.Lucunya di mana sih?“Lu polos banget sih, njir! Yang ada gue malah kas
“Mau jalan-jalan dulu gak?” tanya Nizar memecahkan keheningan saat kami berada dalam perjalanan ke rumahnya. Aku yang bersandar dengan pandangan lurus ke depan, menoleh sebentar ke arahnya.“Ke mana?” tanyaku.“Ke hatimu.”Sialan!Ini sama saja membangunkan singa yang lagi tidur. Padahal, tadi aku sudah lembut banget bertanya padanya. Gak ada nada ketus-ketus lagi. Namun, dia sepertinya sengaja memancing perdebatan. Dasar laki-laki. Gak tenang hidupnya kalau melihat perempuan tak mengomel dalam sehari saja.Aku membuang pandangan ke luar jendela. Kesal banget sama si Nizar. Sumpah!“Ke mana aja yang kamu mau.”Gak ada! Gak mood ke mana-mana lagi sekarang. Padahal tadi mau-mau aja diajak ke manapun untuk melepaskan kesedihan karena pisah sama Papa dan Bunda.“Gak usah!” ketusku. “Langsung ke rumah aja. Tapi, mampir beli martabak dulu ya. Mau beliin buat Ibu.”Tidak lucu juga kalau per
Aku berdiri mematung, mengedarkan pandangan ke segala penjuru dapur, tanpa tahu harus melakukan apa pagi ini? Niat awal tadi, mau ala-ala istri sholehah yang menyiapkan sarapan untuk suaminya sebelum berangkat kerja. Tapi masalahnya, aku....Menggigit jari, lalu menggaruk kepala yang tak gatal. Sadar, kalau dari dulu aku cuma bisa masak air dan indomie doang.Tapi kalau gak ngapa-ngapain, takut malah nanti dikira istri yang tidak becus melayani suami. Walaupun ibu mertua sangat baik, tapi kan gak enak hati juga kalau sepagi buta ini tinggal ongkang-ongkang kaki di kamar.Seketika itu, jadi ingat sahabatku yang baik hati walau kadang rada gak waras. Aku merogoh ponsel dari saku switer dan segera menelponnya. “Halo,” ucapnya pelan. Suaranya ada serak-serak manja menggoda. Aku tebak dia baru bangun tidur. “Maesaroh. Bantuin gue pliss!” Aku to the point.“Apaan? Lu gak bis
Aku mengarahkan pandangan menatap punggung lebar pria itu dengan perasaan yang entahlah!Bingung. Ah, pokoknya macam-macam rasanya. Perhatian Nizar padaku masih sama seperti dulu. Tak ada yang berubah darinya. Aku hanya melihatnya berubah dari segi penampilan. Dulu, ia tak pernah memakai kacamata di hari dan waktu biasa. Sekarang, di setiap keluar rumah, selalu pakai. Berada di rumah pun, kadang dipakai. Seolah menjadi identitas baru untuk seorang Nizar Ghifari.Lekas kutepis pujian yang terlintas dalam pikiran tentangnya, tetapi sisi lain senantiasa mengingat cara pria bercambang tipis itu meninggalkan dan mencampakkan diri ini setelah menjalin kasih selama 5 tahun. Saat itu, aku merasa tak melakukan kesalahan, walau memang sedikit egois dan sering ngambek. Tapi, bukankah itu sifat umum yang dimiliki wanita? Tapi, dia pergi begitu saja. Hanya meninggalkan pesan, ‘Kamu terlalu baik buat aku.’Luka
Kedatangan Sarah sontak saja memutuskan ketegangan yang tercipta antara aku dan Nizar. Aku bangkit dari dudukku. Berpelukan dan cipika-cipiki dengan Sarah ala-ala perempuan sosialita kalau bertemu.Tak ketinggalan, kulihat Nizar dan Mas Irfan juga bersalaman, lalu saling melempar senyuman. “Kalian udah lama?” tanya Sarah menatapku bergantian dengan Nizar. “Mayan, udah karatan pantat gue duduk di sini,” sindirku membuat Sarah tertawa sambil memukul lenganku. Kebiasaan dia kalau gemas malah main tangan. Anehnya, karena ia hanya kerap ringan tangan kalau sama aku. Jika dengan orang lain, dia bisa tenang. “Dih, kek besi aja pantat lu. Udah, ah. Ayo ke depan, mumpung belum banyak orang. Gak ikhlas gue kalo berdiri paling belakang, yang ada niat nonton Fabio Asher malah dapatnya cuma liatin kepala orang doang,” ujar Sarah, kemudian berlalu lebih dulu. Aku mengikutinya. Sedang para suami berjalan di belakang kami. Malah k
Beberapa bulan kemudian. Aku sengaja datang agak siang ke kantor hari ini. Berhubung, tadi pagi-pagi aku sudah sibuk di rumah, menata perlengkapan bayi bersama ibu mertua. Maklum karena aku sudah mendekati HPL. Jadi, segala sesuatunya harus disiapkan biar kalau adek bayi sudah launching, gak ribet lagi. Turun dari mobil yang mengantar ke kantor, aku melangkah sesekali membalas senyum karyawan yang berpapasan denganku di lantai dasar. Menghampiri resepsionis lebih dulu sekadar untuk menanyakan barangkali ada titipan atau mungkin informasi penting untukku yang dititipkan pada resepsionis. “Ada info?” tanyaku pada wanita berambut panjang terurai itu. “Iya, Bu. Informasinya soal Pak Nizar, beliau sudah datang dari tadi dan mungkin sekarang sudah di ruang CEO.” Aku mengerutkan dahi mendengar perkataan wanita itu. Mas Nizar ke sini kenapa tadi gak bilang ke aku kalau mau ke sini? Tiba-tiba banget datang ke kantor. “Oh, ya sudah. Aku langsung ke atas kalau begitu.” “B
Setelah beberapa saat terdiam, Pak Santoso kembali melanjutkan kalimatnya. “Waktu itu, di lokasi anak itu ditemukan, memang terbilang minim sekali kendaraan yang lewat, tempatnya juga masih susah diakses, bahkan jaringan internet pun belum merata. Jadi, agak susah untuk mendapatkan pertolongan.”“Tanpa mempertimbangkan asal usul, saya dan istri mau-mau saja membantu anak itu, apalagi di sana memang tidak ada yang mengenalinya. Kasihan juga, jika dia terlambat mendapat pertolongan hanya karena kami menolak menolongnya. Berharap setelah dia sadar, kami bisa mengantarnya pulang menemui keluarganya. Hanya saja ....”Kami menatap Pak Santoso penuh tanya, sama-sama menunggu apa yang akan dikatakan selanjutnya?“Setelah sadar, anak itu tidak mengingat asal usulnya, bahkan tak mengingat namanya sendiri. Dokter mengatakan, kalau dia terkena amnesia retrograde, di mana dia melupakan semua ingatan sebelum kecelakaan, meski dengan faktor eksternal dia mungkin masih bi
“Maaf, apa Pak Bima mengenal orang di foto itu?” tanya Dev dengan sirat penuh pengharapan.Namun, Papa bukannya langsung menjawab, justru buru-buru memalingkan muka. Sempat kulihat matanya berkaca-kaca.Papa menangis? Benarkah?Ya Tuhan, aku semakin tak mengerti melihat situasi ini. Sebenarnya ada apa?“Apa kamu benar-benar tidak ingat apa-apa tentang foto ini?” tanya Papa lagi, “setidaknya sedikit saja.”Kulihat Dev tampak berpikir, tapi bersamaan dengan itu terdengar pula isakan tangis Bunda. Aku pun beralih menggenggam tangannya dan memeluk erat tubuh yang masih lemah itu dengan maksud untuk menenangkan.“Bun, ada apa?” tanyaku, yang tanpa direspons olehnya hingga pelukan kami terurai.“Saya hanya bisa ingat sekilas memiliki adek balita saat itu. Namun, saya tidak mengingat nama dan bagaimana rupanya? Mungkin sekarang sudah sebesar Divya. Terus terang, ketika melihat Divya, saya merasa cukup dekat padanya. Seperti per
BRAK!Pintu tiba-tiba terbuka dengan keras. Aku dan Nizar kompak menoleh, melihat siapa yang datang?Ya. Mereka adalah ibu mertuaku dan Putri. Keduanya kini berdiri di ambang pintu dengan raut cemas. Ibu mertua langsung berjalan cepat menghampiri kami. Napasnya terengah dan tanpa basa-basi bertanya padaku. “Vy Sayang ... apa yang terjadi, Nak? Kamu gak apa-apa, kan?” Dia meraba pipiku barangkali memastikan aku baik-baik saja. “Kenapa bisa pingsan, sih, Sayang?” Ibu Hanna kembali bertanya, bahkan sebelum satu pertanyaannya kujawab.Selang beberapa detik, beliau menatap Nizar dengan tatapan mencurigai. “Kamu kali yang gak becus jagain istri, sampai menantu Ibu pingsan segala?”Aku tersenyum hangat. Beralih menggenggam tangan ibu mertuaku itu. “Ivy baik-baik aja, Bu. Gak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku cuma sedikit kecapean dan syok aja dengar kabar Bunda kecelakaan.”“Tapi, Aunty Sayang, Ibu lebih syok dengar Aunty dib
Aku mengerjap pelan, mencoba mengamati sekeliling. Hal pertama yang kulihat, ruangan serba putih yang cukup asing dalam pandangan.Aroma obat-obatan pun seketika menguar menusuk indra penciumanku.Sesaat kesadaranku sudah terkumpul, aku merasakan sebuah tangan menggenggam erat tangan ini, ibu jarinya sesekali mengusap-usap lembut punggung tanganku. Aku menoleh ke samping kanan, ternyata kekasih hatiku duduk di sana sambil mengutak-atik ponsel. Rupanya, ia belum menyadari kalau istrinya yang cantik jelita inj sudah bangun dan kini sedang menatapnya. Lagipula, kenapa aku bisa tiba-tiba berada di rumah sakit segala?Ah! Seingatku, tadi memang sempat lemas banget di kantornya Pak Dev karena kepalang syok mendengar kabar Bunda kecelakaan, tapi setelahnya aku tak mengingat apa-apa lagi.Ngomong-ngomong soal Bunda. Bagaimana keadaannya sekarang? “Mas ...,” lirihku.Begitu mendengar suaraku, Nizar sedikit tersentak,
Sampai di ruangan, aku hanya duduk diam sambil menatap tumpukan berkas di meja yang seolah menatapku balik tanpa memberikan solusi. Sesekali memijat kening, mengingat perkataan Adrian yang beberapa saat lalu masih terngiang-ngiang jelas di benak ini. Mungkin, dia memang datang ke kantorku hanya untuk itu.Sekarang, aku merasa kalimat-kalimatnya seperti sebuah ancaman serius. Bagaimana kalau perusahan yang telah dirintis orang tuaku dari nol ini jatuh padanya? Kalau itu benar, tentu saja aku memutuskan untuk keluar dari perusahaan karena tak sudi satu kantor dengan Adrian. Namun, di sini yang menjadi taruhan adalah para karyawan yang telah setia menemani setiap proses TalentVista hingga sekarang.Bagaimana jika mereka benar-benar dikeluarkan setelah akuisisi? Bagaimana dengan nasib mereka?Akan tetapi, kalau aku memutuskan untuk tetap bertahan, maka yang ada hari-hari yang kujalani akan sangat buruk kalau be
Huft!Aku menghentakkan kaki seraya mengembuskan napas berat begitu duduk di dekat Nizar yang tengah sibuk menggerak-gerakkan jemarinya di atas ipad di taman dekat kolam renang rumah kami.Suasana di sini memang cukup adem, sehingga mendukung untuk bekerja meski cuaca di luar sana sangat menyala. Hari libur begini, sebenarnya tadi Nizar mengajakku jalan-jalan, tapi aku lagi malas karena memang badan cepat lelah semenjak hamil.Jadi, aku memilih quality time di rumah bersama keluarga mertua.Menyadari kedatanganku, Nizar melirik sekilas. “Kenapa kayak gitu? Kesal sama aku?” tanyanya.Aku menoleh padanya yang mulai meletakkan ipad-nya ke meja bundar di hadapan kami. “Gak ada,” ketusku.“Ya terus kenapa itu tadi datang-datang dan buang napasnya kayak orang kesal?” Nizar kini menatapku dengan serius. “Mau jalan-jalan? Atau pengen ditemani jajan? Mau nonton? Atau apa?” Belum satu pun pertanyaannya kujawab, dia kemb
Sore ini, aku memutuskan melakukan konferensi pers untuk menyampaikan pengumuman resmi tentang berita akuisisi yang memang sedang santer diperbincangkan akhir-akhir ini. Dengan maksud dan tujuan untuk meluruskan kebenarannya biar tidak menimbulkan berita simpang siur dan spekulasi-spekulasi pribadi tak berdasar. Sebab, kabar tersebut kini tak hanya ramai di area kantor, tetapi juga di luar kantor, bahkan di media sosial sudah rame.Media dan wartawan kini sudah berkumpul di lobi gedung, siap untuk meliput. Ruangan konferensi pers dipenuhi oleh sorot kamera dan mikrofon yang siap merekam apa saja yang akan kukatakan nantinya. Didampingi sekretarisku, aku masuk ke sebuah ruangan dan duduk pada tempat yang memang sudah disiapkan. Kamera wartawan yang sedari tadi menyoroti, sebenarnya membuatku risih. Tapi aku juga gak boleh protes dan menghalangi mereka untuk bekerja.Suasana berubah hening seketika.Sambil te
Ah, aku sampai lupa kalau dulu pernah terjebak dalam kata-katanya yang cukup menyakinkan kala itu. Nyatanya, semua hanyalah bualan semata. Lihatlah, sekarang! Dia tak jauh berbeda. Bisa-bisanya dia menyembunyikan masalah keuangan perusahaannya yang saat ini melanda? Setelah beberapa menit, kini giliran suamiku tercinta dan tersayang yang unjuk rasa, eh ... unjuk gigi. Maksudku, unjuk diri. Hari ini, dia terlihat begitu tampan dengan kacamata bening yang membingkai kedua matanya. Aku pernah bertanya padanya, kenapa tiba-tiba mengenakan kacamata? Padahal aslinya dia tidak ada masalah pada penglihatan. Ya, katanya ... karena dia hanya ingin mengubah penampilan di 2 tahun terakhir ini dan agar tidak ada yang terlalu mengenalinya ketika sedang menguntitku. Tapi, ya juga. Dulu saat pertemuan perdana kami, saat itu dia menolongku dari Adrian yang mau berbuat jahat pa