Kedatangan Sarah sontak saja memutuskan ketegangan yang tercipta antara aku dan Nizar.
Aku bangkit dari dudukku. Berpelukan dan cipika-cipiki dengan Sarah ala-ala perempuan sosialita kalau bertemu.Tak ketinggalan, kulihat Nizar dan Mas Irfan juga bersalaman, lalu saling melempar senyuman.“Kalian udah lama?” tanya Sarah menatapku bergantian dengan Nizar.“Mayan, udah karatan pantat gue duduk di sini,” sindirku membuat Sarah tertawa sambil memukul lenganku.Kebiasaan dia kalau gemas malah main tangan. Anehnya, karena ia hanya kerap ringan tangan kalau sama aku. Jika dengan orang lain, dia bisa tenang.“Dih, kek besi aja pantat lu. Udah, ah. Ayo ke depan, mumpung belum banyak orang. Gak ikhlas gue kalo berdiri paling belakang, yang ada niat nonton Fabio Asher malah dapatnya cuma liatin kepala orang doang,” ujar Sarah, kemudian berlalu lebih dulu.Aku mengikutinya. Sedang para suami berjalan di belakang kami. Malah kAku mundur seolah membiarkan sepasang insan itu melepaskan kerinduan.Tanganku yang tadinya tertaut dengan tangan Nizar pun sedikit merenggang, tapi saat ingin melepas, Nizar justru mengeratkan genggamannya. Entah, siapa gerangan gadis muda itu? Dia pasti habis nonton Fabio Asher juga. Terlihat dari pakaiannya yang basah kuyup, sama seperti kami. “Gak nyangka ketemu Kak Nizar di sini. Ibu baik-baik aja, Kak?” tanya wanita yang tidak kutahu namanya itu setelah mengurai pelukan. Dilihat-lihat, mereka sudah saling mengenal lama agaknya. Kalaupun belum, gak mungkin sedekat itu. Apalagi sampai membahas Ibu mertuaku. Tapi, tetap saja, dada ini agak sesak melihatnya.Aku gak cemburu kan? Tolong siapa pun di sini, katakan kalau aku gak cemburu!Lagian, gak mungkin juga aku cemburu sama Dia? Aku tersenyum kecut sambil menunduk. Menghela napas berat, menoleh ke arah Sarah sebentar yang ternyata saat ini jug
Minggu pagi, yang biasanya selesai salat subuh kembali tidur dan bangun ketika lapar, kini aku harus bangun pagi-pagi sekali. Ikut membantu Bi Sumi di dapur. Walaupun, lebih banyak nonton dan nanya soal masakan ke Bi Sumi layaknya reporter yang sedang wawancara di acara masak-masak. Namun, aktivitasku terhenti ketika Nizar datang dengan pakaian olahraganya.“Vy, joging bareng, yuk!” ajaknya.Aku yang memang tergolong pribadi yang malas olahraga tentu saja menolak, tetapi bukan Nizar namanya kalau menyerah begitu saja. Dia baru berhenti mengajak, ketika aku dengan sangat terpaksa memutuskan ikut joging bersamanya.“Ya udah, iya. Tapi aku ganti baju dulu,” ujarku. Setelah ganti baju dengan pakaian olahraga lengkap dengan sepatu kets, kami pun mulai joging dari rumah hingga ke lokasi car free day yang tak jauh dari rumah.“Vy, tanding lari, yuk! Kalau menang kamu boleh jajan apa aja sepuasnya di sini.” Nizar me
Wanita yang sebenarnya cantik itu menghentakkan kaki sebelum akhirnya pergi bersama segudang kekesalannya. Aku menatap punggungnya hingga menjauh, tersenyum penuh kemenangan. Setelah itu, menghela napas lalu membuka botol air minum yang konon akan diberikan khusus untuk Nizar. Lumayan ini, gak perlu beli lagi. Kadang-kadang rezeki datangnya tak terduga. Dan aku pun meminumnya hingga tandas setengah. Entah emang haus atau karena masih kebawa kesal dan aura-aura panas melihat wanita tadi sok manis banget di hadapan Nizar?Aku saja yang notabene istri sah gak pernah tuh mau nempel-nempel begitu. Kayak memang terkesan memamerkan bukit kembarnya pada Nizar. “Gak usah cemburu gitu, ah, Sayang. Aku milik kamu, kok.” Nizar tersenyum lebar. Tuh, kan, kebiasaan besar kepala dia. “Tapi, aku suka kalau kamu cemburu.”“Siapa yang cemburu? Kagak ya! Cuma gak enak aja liat pemandangan kek gitu,” semburku. Nizar berdehem pelan. Dari raut wajahnya, sepertinya ia tak bisa percaya begitu saja dengan
“Aw!” ringisku saat hendak beranjak dari tempat tidur.Area sensitif di bawah sana rasanya perih banget astaga. Aku jadi ingat, Sarah pernah bilang kalau melakukan itu pertama kali tubuh berasa kayak remuk redam. Tapi, aku juga tidak pernah membayangkan bakal sesakit dan se-perih ini. Sepertinya, Nizar memang suka sekali menyakitiku. Sudah menyakiti hati, malah sekarang badanku yang dibikin sakit dan pegal-pegal.“Mau aku bantu?” tanya Nizar, sigap menahan tubuhku yang sedikit tertatih. Pandangan kami sempat terkunci satu sama lain. Ya ampun! Aku jadi malu ber-semuka dengannya kalau mengingat kejadian tadi. Semacam gak ada harganya banget aku jadi cewek. “Aku bisa sendiri,” ketusku menolak sontak memutuskan kontak mata dengannya. Aku tetap melangkah pelan, walau kurasa sedikit mengangkang karena yang di bawah gak nyaman banget kalau jalan. Mana belum pakai baju lagi, jadi kudu pakai selimut untuk membalut tubuh. Lengkaplah ke
“Maaf, harusnya aku bisa lebih hati-hati dan gak ngebiarin kamu minum air itu tadi.” Nizar tertunduk lesu. Sesekali membuang napas berat. Padahal bukan salahnya, tapi malah menyalahkan diri. “Terus, kalau aku gak minum, kamu yang mau minum begitu?” tanyaku ketus. Sengaja menyerangnya dengan pertanyaan ambigu yang memicu perdebatan. Bukan wanita namanya, kalau tidak senang memancing. Memancing keributan sama pasangannya.Lagian, aku tak suka dia jadi menyalahkan diri begitu. Aku merasa kehilangan sosok Nizar yang kelebihan dosis percaya diri.“Bukan begitu, Sayang. Tapi....”“Gak usah dibahas lagi, Niz. Keadaan gak akan bisa diubah,” ucapku cepat.“Vy... aku harap kamu gak nyesal karena udah ngasi semuanya ke aku.” Aku tertawa sinis. “Kalau aku nyesal, kamu mau apa? Mau balikin yang udah kamu renggut?”Nizar diam, menunduk. Tetapi, kulihat ia tersenyum tipis. “Gak, Vy.”Detik berikutnya, pri
Aku bangkit bersama emosi yang menggebu. Membalas tak kalah tajam tatapan Alana yang seolah menghakimiku. Dan sekarang kami saling beradu tatapan kebencian mendalam beberapa detik.Hingga akhirnya aku memutuskan aliran aksi tatap-tatapan ini dengan tawa licik.“Alana... Alana....” Aku tertawa sambil memegangi perut. Kesannya malah kayak orang gila. “Lu pikir gue doyan suami orang?!” Nada suaraku meninggi. Tawaku terhenti, berganti dengan gelengan. “Kagak, Alana! Kagak!”“Dan lu harus tau....” Aku mengacungkannya jari telunjuk tepat di depan wajahnya, seperti yang ia lakukan padaku tadi. “Gue sudah menikah.”Mendengar perkataanku, paling tidak aku melihat raut wajah Alana berubah syok bukan kepalang. Perlahan tapi pasti, kepalan tangannya yang tadi mengeras kayak batu pun pelan-pelan mengendur.“Kak Div, lu...?” tanyanya sedikit terbata. Barangkali, sulit untuk percaya dengan kenyataan ini. “Apa? Mau bilang gue ngarang
Aku membulatkan mata lebar-lebar bersamaan dengan jantung yang hampir saja bertukar peran dengan paru-paru melihat kenyataan di depanku. Beberapa kali, aku meneguk ludah, menggeleng pelan, lalu mengucek mata barangkali sedang mengantuk jadi salah lihat, tapi pemandangan itu tak berubah sama sekali. Dia memang Nizar--suamiku. Di sana, ia tengah tersenyum manis. Sungguh, aku tak menyangka jika aku yang penasaran dengan pekerjaannya, langsung dipertemukan dalam posisi kami sama-sama bekerja. Pertanyaanku tentang impian Nizar sekarang sudah terjawab. Ia sudah meraih impiannya untuk bekerja di perusahaan periklanan. Bahkan, mencapai lebih dari itu, karena sampai menjadi CEO.Sialnya, karena aku hanya sebatas tahu KreatifLumina Advertising yang memang saat ini sedang naik daun walau masih tergolong baru, tapi aku tidak pernah tahu jika orang penting di baliknya adalah Nizar Ghifari.Pantas saja, tadi waktu aku mengabarinya kalau ada urusan sampai malam, dia yang biasanya banyak tanya, ti
“Namanya juga usaha, biar kamu datang ke kantorku. Kalau gak dengan cara begitu, aku bingung mau ngajak kamu ke sana dengan cara apa? Kalau alasan pekerjaan, paling juga sama-sama perwakilan yang ketemu,” ungkap Nizar bersamaan dengan mobil yang berhenti di garasi.Mendengar pengakuannya membuatku hanya bisa menghela napas kasar. Bersiap untuk turun dari mobil. “Kan kamu bisa ngomong ke aku langsung. Bukan malah bikin rumit banyak orang. Kamu tuh senang banget cari gara-gara tau gak?” cecarku enggan menghentikan perdebatan ini. Biarkan larut hingga damai pada waktunya. Aku membuka pintu mobil. Turun. Menutupnya kembali dengan kasar. Lantas, berjalan cepat meninggalkan Nizar.Namun, langkahku mendadak terhenti saat Nizar mencekal tangan ini saat kaki sudah menjejaki teras. “Gak surprise dong kalau ngomong langsung. Kan ceritanya aku mau nunjukin ke kamu kalau udah berhasil mewujudkan impian bekerja di perusahaan periklanan. Kenapa? Kare
Beberapa bulan kemudian. Aku sengaja datang agak siang ke kantor hari ini. Berhubung, tadi pagi-pagi aku sudah sibuk di rumah, menata perlengkapan bayi bersama ibu mertua. Maklum karena aku sudah mendekati HPL. Jadi, segala sesuatunya harus disiapkan biar kalau adek bayi sudah launching, gak ribet lagi. Turun dari mobil yang mengantar ke kantor, aku melangkah sesekali membalas senyum karyawan yang berpapasan denganku di lantai dasar. Menghampiri resepsionis lebih dulu sekadar untuk menanyakan barangkali ada titipan atau mungkin informasi penting untukku yang dititipkan pada resepsionis. “Ada info?” tanyaku pada wanita berambut panjang terurai itu. “Iya, Bu. Informasinya soal Pak Nizar, beliau sudah datang dari tadi dan mungkin sekarang sudah di ruang CEO.” Aku mengerutkan dahi mendengar perkataan wanita itu. Mas Nizar ke sini kenapa tadi gak bilang ke aku kalau mau ke sini? Tiba-tiba banget datang ke kantor. “Oh, ya sudah. Aku langsung ke atas kalau begitu.” “B
Setelah beberapa saat terdiam, Pak Santoso kembali melanjutkan kalimatnya. “Waktu itu, di lokasi anak itu ditemukan, memang terbilang minim sekali kendaraan yang lewat, tempatnya juga masih susah diakses, bahkan jaringan internet pun belum merata. Jadi, agak susah untuk mendapatkan pertolongan.”“Tanpa mempertimbangkan asal usul, saya dan istri mau-mau saja membantu anak itu, apalagi di sana memang tidak ada yang mengenalinya. Kasihan juga, jika dia terlambat mendapat pertolongan hanya karena kami menolak menolongnya. Berharap setelah dia sadar, kami bisa mengantarnya pulang menemui keluarganya. Hanya saja ....”Kami menatap Pak Santoso penuh tanya, sama-sama menunggu apa yang akan dikatakan selanjutnya?“Setelah sadar, anak itu tidak mengingat asal usulnya, bahkan tak mengingat namanya sendiri. Dokter mengatakan, kalau dia terkena amnesia retrograde, di mana dia melupakan semua ingatan sebelum kecelakaan, meski dengan faktor eksternal dia mungkin masih bi
“Maaf, apa Pak Bima mengenal orang di foto itu?” tanya Dev dengan sirat penuh pengharapan.Namun, Papa bukannya langsung menjawab, justru buru-buru memalingkan muka. Sempat kulihat matanya berkaca-kaca.Papa menangis? Benarkah?Ya Tuhan, aku semakin tak mengerti melihat situasi ini. Sebenarnya ada apa?“Apa kamu benar-benar tidak ingat apa-apa tentang foto ini?” tanya Papa lagi, “setidaknya sedikit saja.”Kulihat Dev tampak berpikir, tapi bersamaan dengan itu terdengar pula isakan tangis Bunda. Aku pun beralih menggenggam tangannya dan memeluk erat tubuh yang masih lemah itu dengan maksud untuk menenangkan.“Bun, ada apa?” tanyaku, yang tanpa direspons olehnya hingga pelukan kami terurai.“Saya hanya bisa ingat sekilas memiliki adek balita saat itu. Namun, saya tidak mengingat nama dan bagaimana rupanya? Mungkin sekarang sudah sebesar Divya. Terus terang, ketika melihat Divya, saya merasa cukup dekat padanya. Seperti per
BRAK!Pintu tiba-tiba terbuka dengan keras. Aku dan Nizar kompak menoleh, melihat siapa yang datang?Ya. Mereka adalah ibu mertuaku dan Putri. Keduanya kini berdiri di ambang pintu dengan raut cemas. Ibu mertua langsung berjalan cepat menghampiri kami. Napasnya terengah dan tanpa basa-basi bertanya padaku. “Vy Sayang ... apa yang terjadi, Nak? Kamu gak apa-apa, kan?” Dia meraba pipiku barangkali memastikan aku baik-baik saja. “Kenapa bisa pingsan, sih, Sayang?” Ibu Hanna kembali bertanya, bahkan sebelum satu pertanyaannya kujawab.Selang beberapa detik, beliau menatap Nizar dengan tatapan mencurigai. “Kamu kali yang gak becus jagain istri, sampai menantu Ibu pingsan segala?”Aku tersenyum hangat. Beralih menggenggam tangan ibu mertuaku itu. “Ivy baik-baik aja, Bu. Gak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku cuma sedikit kecapean dan syok aja dengar kabar Bunda kecelakaan.”“Tapi, Aunty Sayang, Ibu lebih syok dengar Aunty dib
Aku mengerjap pelan, mencoba mengamati sekeliling. Hal pertama yang kulihat, ruangan serba putih yang cukup asing dalam pandangan.Aroma obat-obatan pun seketika menguar menusuk indra penciumanku.Sesaat kesadaranku sudah terkumpul, aku merasakan sebuah tangan menggenggam erat tangan ini, ibu jarinya sesekali mengusap-usap lembut punggung tanganku. Aku menoleh ke samping kanan, ternyata kekasih hatiku duduk di sana sambil mengutak-atik ponsel. Rupanya, ia belum menyadari kalau istrinya yang cantik jelita inj sudah bangun dan kini sedang menatapnya. Lagipula, kenapa aku bisa tiba-tiba berada di rumah sakit segala?Ah! Seingatku, tadi memang sempat lemas banget di kantornya Pak Dev karena kepalang syok mendengar kabar Bunda kecelakaan, tapi setelahnya aku tak mengingat apa-apa lagi.Ngomong-ngomong soal Bunda. Bagaimana keadaannya sekarang? “Mas ...,” lirihku.Begitu mendengar suaraku, Nizar sedikit tersentak,
Sampai di ruangan, aku hanya duduk diam sambil menatap tumpukan berkas di meja yang seolah menatapku balik tanpa memberikan solusi. Sesekali memijat kening, mengingat perkataan Adrian yang beberapa saat lalu masih terngiang-ngiang jelas di benak ini. Mungkin, dia memang datang ke kantorku hanya untuk itu.Sekarang, aku merasa kalimat-kalimatnya seperti sebuah ancaman serius. Bagaimana kalau perusahan yang telah dirintis orang tuaku dari nol ini jatuh padanya? Kalau itu benar, tentu saja aku memutuskan untuk keluar dari perusahaan karena tak sudi satu kantor dengan Adrian. Namun, di sini yang menjadi taruhan adalah para karyawan yang telah setia menemani setiap proses TalentVista hingga sekarang.Bagaimana jika mereka benar-benar dikeluarkan setelah akuisisi? Bagaimana dengan nasib mereka?Akan tetapi, kalau aku memutuskan untuk tetap bertahan, maka yang ada hari-hari yang kujalani akan sangat buruk kalau be
Huft!Aku menghentakkan kaki seraya mengembuskan napas berat begitu duduk di dekat Nizar yang tengah sibuk menggerak-gerakkan jemarinya di atas ipad di taman dekat kolam renang rumah kami.Suasana di sini memang cukup adem, sehingga mendukung untuk bekerja meski cuaca di luar sana sangat menyala. Hari libur begini, sebenarnya tadi Nizar mengajakku jalan-jalan, tapi aku lagi malas karena memang badan cepat lelah semenjak hamil.Jadi, aku memilih quality time di rumah bersama keluarga mertua.Menyadari kedatanganku, Nizar melirik sekilas. “Kenapa kayak gitu? Kesal sama aku?” tanyanya.Aku menoleh padanya yang mulai meletakkan ipad-nya ke meja bundar di hadapan kami. “Gak ada,” ketusku.“Ya terus kenapa itu tadi datang-datang dan buang napasnya kayak orang kesal?” Nizar kini menatapku dengan serius. “Mau jalan-jalan? Atau pengen ditemani jajan? Mau nonton? Atau apa?” Belum satu pun pertanyaannya kujawab, dia kemb
Sore ini, aku memutuskan melakukan konferensi pers untuk menyampaikan pengumuman resmi tentang berita akuisisi yang memang sedang santer diperbincangkan akhir-akhir ini. Dengan maksud dan tujuan untuk meluruskan kebenarannya biar tidak menimbulkan berita simpang siur dan spekulasi-spekulasi pribadi tak berdasar. Sebab, kabar tersebut kini tak hanya ramai di area kantor, tetapi juga di luar kantor, bahkan di media sosial sudah rame.Media dan wartawan kini sudah berkumpul di lobi gedung, siap untuk meliput. Ruangan konferensi pers dipenuhi oleh sorot kamera dan mikrofon yang siap merekam apa saja yang akan kukatakan nantinya. Didampingi sekretarisku, aku masuk ke sebuah ruangan dan duduk pada tempat yang memang sudah disiapkan. Kamera wartawan yang sedari tadi menyoroti, sebenarnya membuatku risih. Tapi aku juga gak boleh protes dan menghalangi mereka untuk bekerja.Suasana berubah hening seketika.Sambil te
Ah, aku sampai lupa kalau dulu pernah terjebak dalam kata-katanya yang cukup menyakinkan kala itu. Nyatanya, semua hanyalah bualan semata. Lihatlah, sekarang! Dia tak jauh berbeda. Bisa-bisanya dia menyembunyikan masalah keuangan perusahaannya yang saat ini melanda? Setelah beberapa menit, kini giliran suamiku tercinta dan tersayang yang unjuk rasa, eh ... unjuk gigi. Maksudku, unjuk diri. Hari ini, dia terlihat begitu tampan dengan kacamata bening yang membingkai kedua matanya. Aku pernah bertanya padanya, kenapa tiba-tiba mengenakan kacamata? Padahal aslinya dia tidak ada masalah pada penglihatan. Ya, katanya ... karena dia hanya ingin mengubah penampilan di 2 tahun terakhir ini dan agar tidak ada yang terlalu mengenalinya ketika sedang menguntitku. Tapi, ya juga. Dulu saat pertemuan perdana kami, saat itu dia menolongku dari Adrian yang mau berbuat jahat pa