Audrey mengerjap pelan. Kelopak matanya terasa berat. Kenapa gelap sekali? Ia berada dimana?Apa iblis itu membawanya ke suatu tempat yang gelap begini?Ia berusaha bergerak dan mulutnya mengeluarkan erangan. Sekujur ototnya nyeri, kepalanya berdenyut. Apakah ia telah disiksa?Ia bergeser. Tubuh besar dan keras terbaring di sebelahnya. Iblis itu. Jika dia tidur, ia bisa melarikan diri. Ia abaikan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Ia merangkak menuju secercah cahaya itu, berharap itu adalah jalan keluar.Sebuah geram mengantuk, mengagetkannya, “Kau mau kemana?”“Aku...aku perlu...”“Tunggu, aku akan mengantarkanmu.”Untuk ukuran seorang iblis, herannya ia terdengar baik.“Aku bisa pergi sendiri.”“Audrey, kemungkinan kau akan terjatuh sebelum berjalan tiga langkah.”Nama itu lagi? Kenapa pria itu terus-terusan memanggilnya dengan nama itu?Sebelum ia bergerak lagi pria itu sudah di sisinya. Membantunya bangkit, mendorongnya pelan menuju jalan keluar gua. Setelah satu langkah kecil keluar
Setelah bisa makan, Audrey terlelap baberapa jam dan saat ia terbangun, sudah menjelang sore.Menjalani pemulihan kecanduan dimanapun bukan hal yang mudah. Dan menjalaninya di dipermukaan gua di sebuah hutan Meksiko dengan seseorang yang dianggap asing yang dikira musuh adalah hal yang mengerikan.“Kau ingin keluar?”Audrey diam. Benaknya bahkan lebih letih daripada tubuhnya. Iblis-iblis dalam mimpinya sudah diam dan rasa sakitnya sedikit berkurang. Tapi keraguan tersembunyi masih tertinggal.Pria di depannya terkesan meyakinkan.Jika lelaki ini memang benar, berarti ia telah dicekoki obat-obatan dan dimanfaatkan. Seluruh ingatannya pergi.Tapi jika pria ini telah berbohong, merencanakan sesuatu yang jahat, sebaiknya ia melarikan diri. Ia merasa bingung sekarang. Apakah ia harus mempercayai lelaki ini, atau pilih melarikan diri?Keraguan bukan sesuatu yang terbiasa ia rasakan, ia bahkan belum memahami itu apa.Masih lemah dan tak berdaya. Ia hanya bisa menunggu dan melihat apa yang ak
Jadi ia memang ingat. Pertanda bagus. Tak terlukis kebahagiaan Nathan saat itu.“Ya. Kau tak membocorkan keberadaan kita. Kenapa?”“Aku tidak tahu.” Kening mulus Audrey mengerenyit.“Aku tahu, mungkin kau belum mengingatku, Audrey. Tapi alam bawah sadarmu mengingatku.”Selama beberapa saat Audrey menatap Nathan.Lelaki itu tak bergerak, ingin wanitanya mengigatnya. Ditatapnya wajah di depannya, agar mau mengungkapkan kejujuran. Ia tak mau menunggu jawaban Audrey lebih lama. “Katakan Audrey, kau mengingatku?”“Wajahmu tak asing. Aku sering melihatmu di mimpi-mimpi burukku.” Akhirnya wanita itu mengakuinya.Nathan berpaling sebelum Audrey dapat melihat dampak buruk dari kalimatnya. Mengetahui bahwa Audrey hanya mengingatnya dalam mimpi buruk tak membuat ia terkejut. Sebab ia merasa sangat andil dalam permasalan yang selama ini mendera wanita terkasihnya ini. Ia telah abai sehingga Ventria dan Yanti hilang dan terbunuh. Mungkin hal itu juga yang membuat Audrey memutuskan pergi mencari se
Wanita di samping Nathan menarik-narik ikatannya. Ia sadar harapannya untuk bisa melarikan diri sirna sudah.“Apa kabarmu kakak ipar?” Lelaki tingginya hampir sama dengan Nathan itu menyapa Audrey.“Sia-sia menyapa, dia tak ingat padamu,” ujar Nathan.“Apa maksudmu?”Sambil memegang erat tangan Audrey yang terikat, Nathan mendekat ke arah sepupunya itu. "Akan kulatakan di perjalanan nanti. Semakin cepat kita mengudara, semakin aku bisa rileks.”Di belakangnya, Audrey merintih pelan sembari menyentak-nyentakkan talinya. Tidak diragukan lagi, ia berusaha kabur. Nathan mengabaikan reaksi dan suara yang Audrey timbulkan. Nathan menjelaskan pada Bernardo apa yang ia ketahui.Bernardo melayangkan pandangan ke arah Audrey. “Jadi maksudmu ia tidak ingat siapa dirinya, kita, juga apa yang telah dilakukannya?”“Tidak ingat sedikitpun. Kita harus menyembuhkan dia bagaimanapun caranya, mengembalikan ingatannya.”“Sebaiknya ia kita ungsikan ke Miami”Helikopter menunggu mereka. Untuk beberapa saat
Klinik DOE, Miami12 Oktober 2024Hati Nathan menyimpan kesedihan mendalam saat menatap Audrey yang tidak berdaya dan ketakutan. Istrinya itu tidak sadarkan diri hampir sepanjang penerbangan dari Meksiko ke Miami. Ketika telah terjaga, ia diam dan siaga. Sore pukul dua puluh waktu setempat, mereka telah sampai pada sebuah klinik swasta yang menangani khusus agen-agen DOE beserta keluarganya, Audrey menjadi liar. Menendang-nendang serta menjerit seperti binatang buas yang kesakitan. Dalam keadaan terikat, tidak ketidakberdayaannya semakin membuatnya marah.Sekarang ia telah terbaring dengan tangan terikat di ranjang. Namun matanya... Ya, Tuhan, mata itu menunjukkan rasa panik dan keputus asaan. Ekspresi itu mengingatkan Nathan tentang film yang mengisahkan gadis yang sejak kecil berada di hutan jauh dari peradaban dan dirawat oleh kawanan gorilla, yang saat ini merasa ketakutan akan dibunuh oleh kawanan manusia yang tidak ia kenal. Laksana binatang yang terperangkap, tidak berdaya. Na
Dengan bersemangat, tanpa membuang waktu, Nathan segera memotong satu serpih ayam dan memasukkan ke dalam mulutnya. Sembari mengunyah, ia memotong sesuapan kemudian diulurkan ke wanita terkasihnya.Nathan hampir melompat girang saat Audrey mau membuka mulut dan memakan potongan yang ia sodorkan.Dalam hitungan menit, mereka sudah melahap ayam, kentang tumbuk dan sayuran kukus di hadapan mereka. Bukan makanan mewah, tapi ini makanan terenak mereka selama berhari-hari. Pipi Audrey sudah mulai merona.“Kau belum menceritakan apapun padaku.” Audrey menagih cerita yang telah Nathan janjikan.Nathan menekan sebuah tombol di ranjang untuk membuat Audrey mendapatkan posisi yang lebih nyaman, lalu menyusun bantal-bantal di belakang punggungnya. “Bersandarlah, dan aku akan menceritakannya kepadamu.”Mengejutkan Nathan, Audrey menggeser tubuhnya ke bantal itu dengan posisi nyaman dan menatap wajah Nathan dengan penuh perhatian.Nathan duduk di kursinya sambil melayangkan seulas senyum.“Kenapa s
"Bisakah kau katakan padaku, apa yang kau ingat tentang Benigno Jacob Andriano?”“Pria yang Nathan bilang telah mencekokiku dengan obat-obatan?”“Ya”“Benakku kabur. Nama itu sepertinya tidak asing, tapi aku tidak tahu kenapa. Aku melihat bayang-bayang samar, kabur…aku tak yakin apa itu, kapan mereka… jika mereka memang ada.”“Apa yang kau ingat tentang tiga bulan belakangan ini? Dimana kau berada? Kenapa kau pergi sendirian seperti itu? Bagaimana ia menemukanmu?” Patrick menanyakan itu dengan ketajaman dan kecepatan AK-47.Mata Audrey beralih dari Patrick ke Nathan. Ekspresi kedua pria itu dingin. Kemudian benaknya mencari-cari, menggapai informasi apapun. Ini pertama kalinya ia ditanyai. Mereka berdua terlihat mengharapkan jawaban darinya, dan tak ada yang bisa ia berikan. Jantungnya berdebar seiring denyut di kepalanya. Rasanya sakit. Makanan yang ia telan naik kembali ke kerongkongan. “Aku…aku tidak…”Nathan berdiri dan menepuk pundaknya. “Sudah cukup, Patrick.”Mata coklat gelap
"Kami akan melakukan apapun sebisa kami. Pertama kami akan coba menghipnotis. Sampai kami tahu, efek seperti apa yang terus di bawa obat itu. Aku tak suka merawatnya dengan menggunakan banyak macam obat.”Nathan menarik napas, siap dengan ancaman bila memang itu diperlukan. “Lakukan sebisamu. Jika dia tidak mengalami perkembangan, aku akan membawanya pulang bersamaku, akan kusembuhkan dengan caraku. Mungkin aku tidak akan memaksanya untuk sesuatu yang memang sudah betul-betul hilang dari ingatannya."Mata gelap Patrick menelusuri wajah Nathan, kemudian berpaling ke arah Profesor Dimitri. “Bagaimana menurutmu?”Profesor Dimitri mengangguk. “Nathan dan aku sudah membicarakan tentang ini tadi malam. Audrey merasa lebih tenang bersamanya, kurasa ini ide bagus.”Patrick menatap Nathan. “Kau tahu, Beningno sudah pasti akan mencarinya?”“Pasti aku akan menjaganya.” Nathan kembali menoleh ke arah Profesor Dimitri. “Apa yang seharusnya kuharapkan?”Ekspresi Dimitri terlihat frustasi. “Berdasar
Ceritakan tentang anakku.” Audrey bertanya saat mereka duduk di teras kecil itu.Audrey tiba-tiba bertanya kepada Nathan.“Beberapa kali kau mengatakan kata ‘anakku’, itu menyiratkan kalau anakku bukan anak kandungmu karena kau bilang kau suamiku.”Sungguh Nathan merasa ini episode tersulit yang harus ia dan istrinya lalui.Lelaki itu menatap ke arah cangkir kopinya yang telah kosong.Audrey tahu, sesuatu yang ia lupakan dan masih menjadi misteri itu bukan suatu kabar baik.“Kau pernah menikah dengan seseorang sebelum aku nikahi.” Akhirnya kata itu keluar dari bibirnya.“Apakah dia, Benigno yang aku cari?” Audrey menatap Nathan dengan ekspresi dalam, rasa ingin tahunya terlihat jelas.“Bukan.”“Lantas?”“Baiklah, aku akan membuka semua identitasmu.”Audrey memposisikan dirinya pada pose senyaman mungkin. Ia telah siap mendengarkan cerita Nathan.“Aku masih berkabung atas berpulangnya sahabatku, rekan kerjaku pada perusahaan yang kami berdua jalankan, ketika seminggu setelah pemakamanny
Sinar matahari menyinari kamar tidur nyaman ini. Kehangatan lembut meresap pada permukaan kulitnya.Pernahkah ia merasa lebih aman dan bahagia? Audrey sulit menjawab karena ingatannya hampir tak ada.Tapi ia tak bisa membayangkan merasa lebih aman daripada yang ia rasa sekarang ini.Kemarin, setelah singgah di sebuah desa terdapat sebuah toko bahan pangan, Ia melihat Nathan mengisi dua troli besar dengan sejumlah bahan makanan. Mereka berkendara selama berkilo-kilometer, jauh memasuki daerah pegunungan. Saat kemudian Nathan memasuki jalan berkerikil di puncak bukit, napas Audrey terasa terhenti, ia mengira dirinya telah melihat surga dalam perjalanan tadi, tapi itu hanya awalnya saja.Rumah kayu dua lantai milik Nathan terletak di puncak bukit menjulang. Terdapat teras kecil, di kedua lantai. Mereka menghadap lembah memikat dipenuhi pepohonan hijau menyejukkan. Tinggi dan masiv, pegunungan menjulang di kejauhan, menambah keindahan yang menakjubkan. Ia keluar dari mobil begitu Nathan be
"Enak saja. Jangan berani-beraninya kau menyalahkan dirimu. Ini semua salah Benigno. Sejak dulu bahkan sebelum aku mengenalmu, aku tahu siapa dia.”“Ceritakan bagaimana dia versimu.”Angin lembut menggerakkan rambut sebahu Audrey yang berwarna merah berpadu coklat yang keemasan, tampak kontras dengan pipinya yang bersih tanpa cela yang kini tidak pucat lagi, rona kemerahan telah tampak di situ.Begaimanapun saat ini adalah hari dimana ia merasa usahanya perlahan mulai menampakkan berita baik. Nathan akan menunda dulu cerita mengenai saudara tirinya itu agar tidak merusak suasana hati wanita ini.“Suatu saat aku akan menceritakan semua yang ingin kau katahui, ini hanya masalah waktu, SayangPanggilan itu sekali lagi membuat desir di hati Audrey tak tertahankan. Ia bisa menebak, lelaki di sampingnya tidak ingin suasana hatinya berubah karena mendengar sesuatu yang akan membuat ia tidak suka.Mungkin Nathan benar. Tapi ia tidak dapat mengenyahkan kenyataan bahwa jika ia tak pergi sendiri
Kau telah banyak membantu menguak tabir ini, Audrey,” ujar Patrick. “Berdasarkan informasi yang kau berikan dari sesi hipnotismu dua hari lalu, kami punya gambaran yang lebih jelas tentang keadaan fasilitas itu. Sepertinya dia punya banyak orang yang di rekrut untuk membantunya. Masalahnya, mereka itu siapa dan darimana asalnya?”“Mereka gelandangan.”“Apa?” Lima orang bertanya sekaligus.“Saat aku melatih, aku mendengar salah seorang pemuda menangis, mengatakan kalau dia ingin pulang. Pria yang memimpin latihan menghardiknya dan berkata, “Kau lupa? Kau tak punya rumah, layaknya idiot-idiot lain di sini. Kami memberi kalian para idiot gelandangan kesempatan tapi kalian bahkan tidak merasa beruntung.”“Itu masuk akal. Begitu banyak anak-anak jalanan sehingga tak ada yang kehilangan mereka saat mereka tak nampak.”Patrick berdiri, menandakan pertemuan hari ini akan usai. “Kau telah memberikan pemahaman baru bagi kami yang bahkan belum pernah kami pertimbangkan. Kerja yang bagus, Audrey.
Audrey mengedarkan pandangannya ke orang-orang dalam ruangan.“Suara lembut, jahat, melengking tapi maskulin, mengatakan padaku...” Audrey menelah ludah. “Dia akan menikmati saat menjinakkanku.”Nathan menahan perutnya yang bergolak, giginya gemeretak. Tapi ia berusaha menyembunyikan reaksi itu.Setelah menghembuskan napas panjang, Audrey berkata pelan. “Aku ingat rasa sakit...siksaan. Dia sangat menikmatinya.” Ia memejamkan mata, menahan gejolak di dadanya. “Aku mendengar tawa melengking...nyaris seperti memekik. Dia menertawakanku. Kurasa dia merancang siksaan berdasarkan yang menurutnya paling merendahkan dan sungguh menyakitkan.”Ketika Audrey membuka mata, Nathan yang memandangnya tidak berkedip, ingin melolong, ikut merasakan penderitaan nyata yang dipantulkan mata itu. Penderitaan dan rasa sakit tak terperi yang ia rasakan.“Aku digantung terbalik dalam kondisi telanjang...dan disirami air dingin. Kemudian dia menyuruh mereka meninggalkanku terbaring di satu tangan dan kakiku y
Troy Ferguson melangkahkan kaki ke dalam rumah utama, ia dilanda kebimbangan. Ia bertugas sebagai seorang eksekutor. Kali ini ia harus melakukan tugas itu lagi.Diketuknya pintu lab utama. Pemimpin membentak, “Masuk.”Dua pria berdiri di samping “Pemimpin”, mereka memegangi seorang wanita paruh baya, berambut gelap diantara mereka.Wanita itu telanjang. Tubuhnya lebam-lebam dan berdarah karena telah dipukuli. Penciumannya membawa aroma amis. Anak buah pemimpin sudah memakainya sebagai pelampiasan syahwat... wanita itu telah dihukum. Sungguh suatu pemandangan menyayat hati. Ia tak tahu alasannya, ia pun tak berani bertanya, karena kalau pemimpin sudah berkehendak, tiada yang boleh menghalangi. Jika pemimpin memilih untuk menghukum, itu haknya. Tidak ada yang boleh bertanya apalagi membangkang. Mata wanita itu bengkak dari pukulan bertubi-tubi yang telah ia terima. Dia mendongak, memandangnya dan sesuatu dalam dirinya tersentak, menusuk kebingungan tersebut. Wanita itu tersiksa, terluk
Wanita itu menariknya lagi. Meski pandangannya kabur, Audrey mengingat secangkir teh yang ia minum tadi sebelum tidur. Sambil mengelakkan tangaai yang mencengkeram kuat, Audrey bergerak ke samping wanita itu dan mengulurkan tangan. Jemarinya menggenggam cangkir yang akan ia pergunakan. Sebagai senjata, benda itu bukan berarti apa-apa tapi lebih baik dari pada tak ada sama sekali. Ia menunggu sampai wanita itu mendekatinya lagi. Dan ketika ia sudah mendekat, tangan itu ia ayun sekuatnya. Getaran benturan dan suara gedebug memuaskan, memberi tahu Audrey serangannya mengenai sasaran.Terdengar raungan kemarahan. “Aku akan pergi dari sini!” gumamnya. Ia lari meninggalkan kamar.Titik-titik hitam itu muncul di penglihatan Audrey, bertambah besar. Tapi ia tidak bisa membiarkan wanita itu pergi begitu saja. Ia harus menghentikannya, dan tak ada orang lain yang dapat melakukan itu...kecuali dia sendiriTapi kakinya kaku tidak mau bekerja sama. Audrey tertatih, tersandung melintasi kamar dan m
"Bagaimana keadaanmu pagi ini?” tanya Nathan mengalihkan rasa canggungnya.“Baik, masih sedikit pusing.”“Ada yang kau ingat?”“Sedikit. Tidak ada yang penting.”“Seperti?”Audrey memijit keningnya dan meskipun Nathan lebih rela memakan kaca daripada memberikan lagi kepedihan pada istrinya itu, ia perlu tahu sebanyak yang ia bisa tentang apa yang Audrey ingat.“Ingatan-ingatan samar, bahkan lebih daripada saat aku tiba di sini.”Profesor Dimitri sudah memperkirakan hal itu. Pemulihan kecanduan obat-obatan membuat ingatan-ingatan itu memudar. Kita perlu mendapatkan sebanyak apapun yang bisa didapatkan sebelum ingatan itu memudar.Audrey mengangguk. “Iya, aku tahu… hanya saja sedikit sekali. Aku hanya ingat aku mengenakan pakaian putih…kurasa seragam. Aku ingat ruangan penuh matras, dan ada pertarungan. Tapi wajah-wajah di sana… semua berkabut.”Nathan memberikan sebuah bungkusan plastik kepada Audrey.“Ini apa?”“Peralatan melukis.”“Untuk apa?”“Kau pelukis yang berbakat, Audrey. Apa
"Kami akan melakukan apapun sebisa kami. Pertama kami akan coba menghipnotis. Sampai kami tahu, efek seperti apa yang terus di bawa obat itu. Aku tak suka merawatnya dengan menggunakan banyak macam obat.”Nathan menarik napas, siap dengan ancaman bila memang itu diperlukan. “Lakukan sebisamu. Jika dia tidak mengalami perkembangan, aku akan membawanya pulang bersamaku, akan kusembuhkan dengan caraku. Mungkin aku tidak akan memaksanya untuk sesuatu yang memang sudah betul-betul hilang dari ingatannya."Mata gelap Patrick menelusuri wajah Nathan, kemudian berpaling ke arah Profesor Dimitri. “Bagaimana menurutmu?”Profesor Dimitri mengangguk. “Nathan dan aku sudah membicarakan tentang ini tadi malam. Audrey merasa lebih tenang bersamanya, kurasa ini ide bagus.”Patrick menatap Nathan. “Kau tahu, Beningno sudah pasti akan mencarinya?”“Pasti aku akan menjaganya.” Nathan kembali menoleh ke arah Profesor Dimitri. “Apa yang seharusnya kuharapkan?”Ekspresi Dimitri terlihat frustasi. “Berdasar