Zola menatap malas wajah suaminya yang nampak berantakan itu. Kesal dengan pertanyaan Darel, Zola memilih untuk kembali membaringkan tubuhnya. Perutnya sudah tidak terlalu sakit, ya walaupun Zola masih merasakan nyeri. Hanya sedikit,tidak seperti saat di rumah. Perutnya terasa begitu panas dan perih bersamaan.“Zola, sayang. Maaf pertanyaan ku tadi. Pasti sejak dulu, keluargamu sudah mengenal Edgar. Kalian semua memiliki lingkungan yang sama dan tentunya, bisnis yang sama. Jadi, tidak mungkin jika kau tidak mengenalnya,” Darel segera meralat ucapannya. Ia tidak ingin, sampai membuat Zola kembali marah. Lagi pula, dirinya sudah nampak begitu buruk sekarang. Darel tidak ingin membuat suasana semakin runyam dengan pertanyaannya. Soal Edgar, Darel bisa mencari tahu nanti.Zola tidak memperdulikan ucapan Darel. Ia memutuskan untuk memejamkan matanya, berharap agar Darel berhenti mengoceh. Namun, Zola baru mengingat bahwa ponselnya belum berada dalam genggamannya. Seketika, Zola mengubah p
“Seharusnya kau berobat,” ucap seorang pria yang memakai kacamata yang saat ini tengah memperhatikan perawat yang bertugas mencabut selang infus Zola. “Saya sudah menghabiskan dua kantong infus, dokter. Jad-” “Ke psikiater.” Potong dokter yang menangani Zola. “Aku tidak gila! untuk apa datang ke psikiater?” Zola merasa tidak nyaman mendengar ucapan sang dokter. dirinya menderita asam lambung dan hal itu tidak ada hubungannya dengan psikiater atau lebih tepatnya dokter jiwa. “Stres juga dapat memicu sebuah penyakit. Jadi aku sarankan, jika beban yang kau pikirkan sangatlah besar tidak ada salahnya mengunjungi dokter spesialis kejiwaan,” dokter yang terlihat sudah berumur tapi masih terlihat bugar itu, begitu ngotot pada pemikirannya. “Baiklah, setelah keluargamu beres mengurus administrasi kau boleh pulang.” Lanjut sang dokter saat perawat yang ditugaskan untuk melepas selang infus Zola sudah menyelesaikan tugasnya. Zola diam tidak menjawab. Ia kesal mendengar dokter itu menyinggu
Ternyata benar dugaan Darel. Zola sudah tidak berada di Rumah Sakit. wanita cantik itu pasti sudah ada yang menjemput. Jika dipikir lagi, tidak mungkin Zola dijemput oleh orang tuanya. Semenjak menikah dengannya, Zola membangun tembok pembatas dalam hubungannya dengan orang tuanya. Zola lebih memilih dirinya ketimbang harus menerima perjodohan bisnis yang orang tuanya lakukan. Lalu, siapa yang menjemput istrinya itu? Rumi pun, setahu Darel tidak berada di Balikpapan. sahabat istrinya itu sudah berada di Bandung semenjak dua bulan lalu. Darel ingin menghubungi ponsel Zola. Namun, Ia juga baru sadar bahwa ponsel istrinya saat ini ada padanya. Tidak ingin membuang waktu lebih lama lagi, Darel bergegas untuk keluar dari Rumah Sakit dan tancap gas menuju rumahnya. Kemana lagi istrinya, kalau tidak pulang ke rumah? Darel juga yakin, tidak mungkin Zola kembali pulang ke rumah orang tuanya. Itu mustahil. “Aku harus segera sampai di rumah.” gumamnya sambil memasuki mobilnya. *** “Wah, cob
“Jadilah wanita tangguh.” Ucap seorang wanita berhijab yang saat ini tengah mengelus lembut rambut panjang Zola. wanita itu tidak lain adalah Dania Joyokusumo, ibu kandung Zola. saat ini keduanya tengah berada di gazebo yang berada di belakang rumah. Zola hanya mampu menundukkan wajahnya. Rasa malu begitu menggerogoti isi kepalanya. Pria pilihannya ternyata tidak layak menyandang status sebagai suaminya. Keputusannya untuk menikah dengan Darel juga telah menorehkan luka pada hati orang tuanya. dan kini, ia justru terpuruk dalam pilihannya sendiri. “Jangan merasa bersalah, karena manusia tidak dapat melihat isi hati seseorang. Kau adalah korban dari keegoisan suamimu. Jangan bebankan hal itu pada dirimu. Kau masih memiliki kesempatan untuk bisa mendapatkan apa yang telah dirampas olehnya,” Zola menggeser posisi duduknya lebih dekat pada Dania. Ia memposisikan dirinya duduk berhadapan langsung dengan sang ibu. “Aku sudah berdosa, sepertinya Tuhan sedang menghukum diriku. maafkan aku,
Darel menghembuskan napas kasarnya. Bingung, bagaimana cara menjelaskan soal hilangnya Zola pada Dessy. Lebih tepatnya, kesalahan Darel sendiri yang sudah begitu terlambat saat menjemput Zola di Rumah Sakit. Ingin pergi ke rumah orang tua Zola, namun ia sangat yakin jika dirinya menginjakkan kaki ke rumah itu. Sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi. Darel belum siap untuk dihina, lagi. “Apa benar, kalian bertengkar?” pertanyaan Dessy membuyarkan lamunannya. Darel kembali menatap wajah wanita yang telah melahirkannya itu. riwayat penyakit jantung yang dimiliki oleh Dessy membuat Darel harus begitu berhati-hati saat mengatakan suatu. bisa saja, hal itu membuat Dessy kembali dirawat di Rumah Sakit.“Tidak ma, kami baik-baik saja. aku akan kembali lagi, untuk menjemput istriku. Mama istirahat saja di rumah,”Belum sempat Darel keluar dari rumah, pria itu mendapati bahwa Zola sudah kembali.“Zola?” Dessy menyambut kedatangan anak mantunya itu dengan perasaan bahagia.“Ma,” Zola melang
“Baiklah, aku setuju dengan syarat yang kau inginkan.” Ucap Darel sesaat sebelum dirinya keluar dari kamar. Zola menarik napas dalam-dalam, lalu merebahkan tubuhnya pada kasur. suasana hatinya berubah bahagia saat mendengar Darel menerima tawarannya. syarat yang diberikan Zola tidaklah mudah. Ia sangat begitu mengenal Darel. Pria itu begitu menjunjung tinggi martabat dan harga dirinya. selalu pamer tentang pekerjaan dan status sosialnya. sekarang, jabatannya sudah turun drastis. entah apa yang akan ia lakukan kedepannya agar bisa kembali menjadi GM kembali. Tapi, Zola tidak ingin banyak berpikir. yang harus ia lakukan saat ini adalah beristirahat sejenak dan kembali lagi melakukan aktifitas seperti biasa, besok tentunya. *** Keesokan harinya, Zola kembali memulai aktifitas sehari-hari. sarapan bersama dengan suami dan mertuanya, menjadi rutinitas hariannya. “Kalian akan berangkat bersama?” Dessy mengawali pembicaraan. suasana yang terlalu kaku membuat Dessy semakin penasaran denga
Edgar membuang napas kasar ke udara. Tatapannya kembali pada Zola yang masih setia duduk di hadapannya.Ia pikir, wanita ini akan memohon agar bisa bekerja sama dengan Travel Agency yang dimilikinya. Namun, sepertinya pemikirannya salah besar. “Anda terlalu sensitif, saya hanya baru mengatakan pointnya. Tapi, anda sudah tersinggung.” Zola menarik napas panjang, lalu berkata “Maaf atas sikap saya, tapi seperti yang anda katakan. Sepertinya Hotel kami tidak memiliki standarisasi yang anda inginkan!” Edgar melambaikan tangannya pada seorang waiters. Seperti tidak memperdulikan ucapan Zola. “Kita bicara lagi, setelah memesan minuman.” Tanpa melihat daftar menu, Zola nampak begitu malas-malasan dan hanya memesan kopi Gayo kesukaannya. “Anda penikmat kopi?” tanya Edgar. Zola mengangguk mengiyakan tanpa menjawabnya. Saat Edgar mengalihkan pandangannya ke arah lain, diam-diam Zola mengamati wajah pria berwajah tampan itu. Hidung mancung, bibir sedikit tebal dan manik hitam seperti burun
Bab 13 Zola menepikan mobilnya tidak jauh dari area Cafe tempat janjiannya. Ia bergegas turun dari mobil, saat melihat bagian kap mesin mobil mengeluarkan asap lumayan banyak. “Apa yang terjadi?” Zola merasa kebingungan. walaupun jalanan ramai dilewati dengan kendaraan, tapi tak satupun dari mereka yang berniat membantu Zola. saat akan menelepon Darel, sebuah mobil keluaran terbaru barwarna hitam berhenti tepat di depan mobilnya. “Butuh bantuan?” Zola membulatkan matanya, tak menyangka jika pemilik mobil tersebut adalah Edgar. Pria berwajah tampan sekaligus datar itu, nampak jelas menatapnya dengan tatapan yang Zola sendiri tidak dapat mengartikan hal itu. “Ya, aku bingung. Biasanya juga tidak pernah kejadian seperti ini. tapi, tenang saja aku sudah mencoba menghubungi suamiku. mungkin sebentar lagi, ia akan datang.” Sahut Zola, walaupun teleponnya belum terhubung dengan Darel. entah mengapa pria itu tidak langsung menjawab panggilannya. walau sebenarnya Zola sendiri berencana un
Hari berlalu begitu saja, tidak ada yang menarik bagi Zola kecuali rasa berkecamuk dalam hatinya. walaupun hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh ayahnya, tetap saja Zola merasa sedikit kecewa. sebentar lagi dunia akan tahu, bahwa ayahnya memiliki wanita lain dan tentu saja, buah hati dengan wanita itu. ya, siapa lagi kalau bukan Isa. pria yang sudah ia anggap sebagai sahabat dan kakaknya itu kini justru berubah statusnya sebagai adiknya. pria itu akan menyandang status sebagai seorang anak Joyokusumo.“Sudah siap, sayang?” Zola mendongak, menatap wajah teduh ibunya yang terlihat begitu cantik dalam balutan kebaya berwarna gold.Zola tersenyum tipis, dadanya masih saja sesak walau ia sudah berusaha untuk meyakinkan diri bahwa ia sudah siap dengan semuanya. tanpa menunggu arahan ibunya, Zola bangkit dari tempat duduknya dan berjalan keluar menuju ke tempat Resepsi Pernikahan Isa dan Rumi. Zola memang sengaja tidak menemani Rumi saat acara akad nikah, bukan tanpa alasan. Ia lebi
Zola bersandar pada kursi depan mobil, tepatnya di samping Edgar yang saat ini tengah menyetir. suasana terasa begitu hening sesaat setelah keduanya sampai detik ini tidak ada yang memulai pembicaraan. Zola memejamkan mata, meresapi kejadian yang tadi terekam jelas dalam otaknya, bagaimna telatennya Edgar saat menyuapkan makanan. tanpa Zola sadari, pria di sampingnya terlihat mencuri pandang dan mendapati Zola tersenyum sendiri.“Apa yang sedang kau lamunkan, sayang? kau tersenyum begitu manis dan rasanya tidak adil jika tak kau bagi padaku,” deretan kalimat yang diucapkan oleh Edgar membuat Zola membuka mata dan langsung menatap sang pujaan hati.“Hanya mengingat kejadian yang lucu.” Sahut Zola berusaha untuk tidak mengatakan yang sebenarnya. malu, rasanya jika ia harus jujur pada Edgar soal hal yang baru saja ia lamunkan. jika sampai kekasihnya itu tahu, dapat dipastikan bagaimna Edgar akan berbangga hati dan besar kepala.“Benarkah? tap-”“Sudahlah, jangan diperpanjang!” sela Zola
Zola hanya dapat memandang penuh dengan banyak pertanyaan di kepalanya. saat ini, Zola tidak dapat mengalihkan pandangannya pada Edgar yang terlihat begitu lahap menyantap makanan yang sudah tersedia diatas meja. sesekali Edgar melirik ke arah Zola yang terlihat diam saja dan belum menyentuh makanannya. Edgar tidak terlalu ambil pusing, ia terus saja menikmati makanannya. "Apa kau sering datang ke tempat seperti ini?" akhirnya Zola memutuskan untuk bertanya. ia sudah tidak tahan lagi melihat ekspresi wajah Edgar yang terlalu menikmati makanan. bukan jijik karena berada ditempat warung lesehan seperti ini, lebih ke rasa penasaran karena Zola sendiri belum Pernah makan ditempat seperti ini. apalagi seorang Edgar Valden, seorang pebisnis kaya raya. "tidak sering, hanya saja orang tuaku pernah sesekali mampir ke tempat seperti ini dan jujur saja, aku merasa lidahku cocok untuk makanan seperti ini. apa ini terlihat aneh?" Zola menggeleng, terlihat dipaksakan dan terkesan aneh dengan sen
Rumi tidak memperpanjang perdebatannya dengan Isa. mungkin untuk saat ini, ia harus sedikit mengalah untuk mengesampingkan kepentingan sahabatnya sendiri. walau Rumi tidak tahu pasti, apa yang membuat Isa merubah sifatnya menjadi lebih membenci Zola. Rumi juga tidak ingin munafik, pernikahannya sudah tinggal menghitung hari dan ia tidak ingin pernikahannya hancur berantakan. katakanlah ia egois, tapi Rumi begitu mencintai Isa. *** Zola menatap layar laptopnya sembari menghela napas kasar. pekerjaan yang menumpuk disertai dengan sekelumit permasalahannya membuat tubuh dan pikirannya seperti diperas habis. ingin sekali rasanya pergi ke suatu tempat yang menenangkan diri, tapi Zola terlalu gengsi jika harus menghubungi terlebih dahulu Edgar. Ia ingin agar pria itu berinisiatif untuk menghubungi dirinya terlebih dahulu. “Hai, apa aku mengganggumu?” Zola mengangkat wajah, menatap tak percaya jika pria yang baru saja menghiasi pikirannya, justru kini berdiri di ruangannya. dengan senyu
Pandangan Zola teralihkan pada ponselnya yang berdering. wanita cantik itu lantas merogoh ponsel yang berada di dalam saku celananya. Zola menatap pada Edgar, seperti meminta izin pada kekasihnya itu untuk mengangkat panggilan telepon tersebut.“Rumi,” ucapnya pelan yang diangguki oleh Edgar.“Hallo,”‘Zola, maafkan aku.’ sahut Rumi tanpa berbasa-basi.‘aku tahu, pernikahanku ini berdampak pada kehidupanmu. tapi, aku sungguh tidak tahu jika keadaannya sampai seperti ini. Isa baru saja menghubungi diriku dan mengatakan akan membatalkan pernikahan ini. bagaimana ini, Zola? undangan sudah terlanjur tersebar dan…aku malu sekali. aku tidak tahu, apa Masalahnya sampai Isa memutuskan hal ini tanpa berbicara padaku. namun,” ada jeda waktu saat Rumi kembali akan melanjutkan perkataannya. ‘aku yakin, ini berhubungan denganmu.’“Kenapa harus aku, Rumi? bukankah kita sahabat, lantas apa yang mendasari dirimu yakin jika Isa membatalkan pernikahan ini gara-gara diriku?” ucap Zola tanpa mengalihkan
“Aku pikir ayah akan sedikit mengasihi kami, sebagai keluarga. namun, nyatanya kami harus kembali di tampar oleh fakta menyedihkan soal pengkhianatan yang ayah lakukan pada ibu.”PRAK!Daries membanting piring yang ada dihadapannya, membuat piring berbahan keramik itu pecah berantakan di lantai. baru kali ini, Zola melihat wajah kemarahan sang ayah. dan itu semua disebabkan oleh Isa. anak kandungnya yang sudah lama ia rahasiakan. “Cukup Daries, kau membuat Zola ketakutan.” “Sebagai seorang ibu, kau tidak bisa mengajari dan mendidik anak kita! lihat kelakuannya sekarang setelah bercerai, berani sekali mengungkapkan isi hatinya dan berencana meninggalkan rumah ini!”Zola menatap wajah ibunya, berharap agar wanita itu bisa sedikit saja tegas pada ucapan Daries. tapi, kenyataannya tidak seperti yang Zola inginkan. Dania hanya dapat menundukkan wajah tanpa berani menatap langsung wajah Daries.‘setidaknya aku tidak selemah ibuku,’ batin Zola lalu pergi meninggalkan ruang makan. Setelah
Semalaman Edgar tidak tidur dengan tenang. pria berlesung pipi itu terus saja terbayang wajah Zola yang dipenuhi oleh air mata. betapa rapuhnya pondasi hati wanita yang dulu ia kenal begitu tegar dan tak gampang untuk menangis. Zola juga merupakan wanita yang tidak mudah untuk menunjukkan kesedihannya. pasti ada sesuatu yang membuat kekasihnya itu begitu terpuruk dan terlihat begitu putus asa. karena waktu telah menunjukkan pukul setengah delapan, Edgar bergegas untuk mandi dan melakukan aktifitas seperti biasanya.“Sebaiknya kau pikir ulang untuk menikahi anak Joyokusumo itu,”Edgar menghentikan sendok yang berisi makanan yang sudah hampir masuk ke dalam mulutnya. pernyataan yang baru saja keluar dari bibir Valden membuat suasana hati dan nafsu makan Edgar seketika hilang begitu saja. bukankah slhal ini sudah dibahas berulang kali dan kesepakatannya adalah ia boleh menikahi Zola, yang penting hal itu tidak berdampak buruk pada bisnis keluarga ini. Melihat ekspresi wajah Edgar yang t
“Aku bilang keluar!” teriak Zola tanpa peduli jika suaranya terdengar sampai keluar. walaupun kamar ini kedap suara, namun saat ini pintu kamar Zola tidak ditutup dan bisa saja suaranya terdengar sampai keluar. melihat ekspresi wajah kesal Zola, tidak membuat Isa tergugah untuk pergi. pria itu justru terlihat menyilangkan kaki, santai sekali.“Aku belum berkata sampai point' pentingnya. menyerah saja, kau tidak akan bisa bersaing denganku. dari dulu, kau tergantung pada kemampuan ku untuk mengelola Hotel.”Zola menghela napas kasarnya, berupaya untuk tidak percaya dengan pendengarannya. namun, telinganya masih berfungsi dengan normal.“Maksudmu?”“Bersaing adil denganku tanpa melibatkan Edgar. aku sudah bicara dengan orang tua itu, kau tidak akan dilibatkan dalam proses pernikahan kami. lebih tepatnya, kau akan menjadi bagian dari tamu penting pernikahanku,”“Sejak kapan kau merencanakan ini semua?” tegas Zola, dalam hatinya berharap ini hanyalah ilusinya.“Sejak aku tahu, siapa jati
Zola menghela napas dalam-dalam, lalu menghembuskan secara perlahan-lahan. bagi Zola, seharusnya ayahnya tidak melakukan ini. ia juga anak Daries, untuk apa melakukan hal yang tak masuk akal begitu. menyuruhnya dan Edgar mengurusi hal-hal yang harusnya sudah di kerjakan oleh anggota wedding organizer, jadi tidak masuk akal untuk memaksakan diri mereka untuk…Zola menggeleng cepat, kesal dengan pemikirannya sendiri dan merasa terbebani dengan permintaan sang ayah. saat akan merebahkan tubuhnya di kasur, suara ketukan pintu membuatnya harus menunda keinginannya untuk beristirahat sejenak. saat membuka pintu kamar, betapa terkejutnya Zola saat melihat Isa berada di depan kamarnya. “Boleh masuk?”Zola menggeleng cepat, tidak mengizinkan Isa masuk ke dalam kamarnya. “Ada yang ingin aku bicarakan, anggap saja ini sebagai kado pernikahanku.” Isa masih berusaha untuk meyakinkan Zola.“tap-” belum sempat Zola mencerna perkataan Isa, pria itu langsung menerobos masuk kedalam kamar Zola. “Kau