Rika terjatuh di atas tubuh Satya. Detakan jantung mereka seolah menjadi satu, dan dunia di sekitar mereka tampak berhenti sejenak."Ma-maaf, Pak," gumam Rika dengan wajah yang memerah, mencoba untuk bangkit. Namun, Satya dengan cepat menahannya, tangannya yang hangat menyentuh lembut lengan Rika."Nggak apa-apa. Tunggu sebentar," ucap Satya sambil tersenyum penuh makna. Wajahnya yang dekat dengan Rika, menghasilkan keintiman yang membuat denyut jantung Rika semakin tak beraturan.Seketika itu pula, Satya merasa ada kekuatan yang mendorongnya, memandang bibir Rika yang terbuka lebar di depannya. Tanpa ragu, Satya melanjutkan dengan mengambil kesempatan yang tak terduga ini. Ia menahan Rika dengan lembut, membuat wanita itu tak dapat bergerak."Bisakah aku bertanya sesuatu?" ucap Satya dengan mata yang penuh kelembutan. Meski terkejut, Rika hanya bisa mengangguk, matanya masih terfokus pada wajah pria di depannya."Sudah lama aku ingin melakukan ini," ucap Satya pelan, lalu dengan lemb
Rika membalas pesan. “Nggak apa-apa, Pak. Saya mengerti, nggak perlu di bahas lagi. Lupakan saja, itu bukan sesuatu yang penting.” Setelah membalas pesan, Rika kembali pada aktivitasnya membungkus makanan menjadi bingkisan untuk dibawanya ke panti.Mata Satya melebar tak percaya saat pesan singkat dari Rika terpampang di layar ponselnya. "Aku rasa kita bisa melupakan saja kejadian tadi," bunyi pesan itu. Satya merasa seakan dunianya runtuh seketika. Baru saja, ciuman mereka terjadi. Kini, Rika seolah merendahkan momen itu dengan satu pesan sederhana.Tentu saja, Satya tidak dapat menahan kekecewaan dan kesal di dadanya. "Apa maksudnya ini?" desisnya sendiri sambil menggerutu. "Lalu, ciuman itu hanya main-main baginya? Mungkin bagimu itu hanya momen biasa, tapi buatku, itu adalah sesuatu yang bermakna. Aku nggak bisa meredam perasaanku begitu saja." Satya menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur.“Sial! Kenapa dia begitu padaku?” Satya menatap langit-langit kamarnya dengan kening me
Rika menarik nafas dalam-dalam, dia berusaha bersikap tenang mendengar sesuatu yang baru saja terlontar dari mulut Dinda, sesuatu yang mengejutkan dan memicu gelombang dalam hatinya."Dinda, apa yang kamu katakan tadi, Sayang?" tanya Rika, matanya mencari kepastian dalam mata Dinda. Dinda menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab, "Tante Rika, aku tahu ini terdengar gila, tapi aku ingin Tante menjadi mamaku."Rika terkejut mendengar pernyataan itu. Pandangannya bertemu dengan mata Dinda, mencari tahu apakah ini hanya lelucon atau sesuatu yang serius. Dinda nampak tulus, penuh harapan, dan rasa rindu yang mendalam untuk memiliki sosok mama di kehidupannya. Dia memang sering mendengar hal itu dari mulut Dinda. Namun, tidak dengan menyebarkan ke orang banyak."Kenapa, Dinda?" tanya Rika dengan lembut. "Apa yang membuatmu menginginkan hal seperti itu?" Dinda menggigit bibirnya sebelum menjawab, "Aku sudah lama merindukan sosok mama, Tante tahu itu. Aku tahu aku bisa mempercayaim
“Raisa!” gumam Rika dalam hati saat melihat rombongan para donator. Rika mengenali wanita itu sebagai Raisa. Mereka pernah bertemu di sebuah restoran saat Rika bersama Satya. Saat itu, pertemuan mereka tidak berlangsung dengan baik karena kesalahpahaman yang diciptakan Satya.Rika menelan ludahnya. Menarik nafas dalam-dalam, berusaha untuk tetap tenang. Dia tidak tahu apakah Raisa mengingatnya atau tidak. “Tante mengenalnya?” tanya Dinda saat memperhatikan Rika yang terus menatap Raisa tanpa berkedip. “Eh, iya, Sayang. Dia … dia, ah sudahlah—“ Rika meragu, menatap ke arah Dinda. “Dia siapa?” cecar Dinda.Saat Rika sedang kebingungan menjawab pertanyaan Dinda, ponselnya berbunyi. Rika melihat nama Satya di layar ponselnya. “Dinda, sebentar. Papamu menelepon. Tunggu sebentar di sini, ya,” titahnya sambil melangkah menjauh untuk menjawab panggilan telepon dari Satya.“Halo, Pak,” jawab Rika. “Halo Rika, kamu sudah ada di panti asuhan?” tanyanya ragu. “Sudah, Pak. Saya sudah di panti asuh
"Rika! Aku nggak menyangka harus bersaing dengan orang sepertimu!" teriak Raisa, merasa kesal karena Rika, yang menurutnya tidak selevel, menjadi rivalnya. Rika menghentikan langkahnya. Raisa tak tahan lagi, ia mengejar Rika dengan langkah cepat, matanya menyala api kemarahan.Tiba-tiba, muncul Dinda yang menghampiri, setelah dari toilet "Siapa dia, Tante? Kenapa Tante dikejar-kejar olehnya?" tanya Dinda keheranan, Dinda menatap Raisa dan dia ingat kalau wanita itu adalah wanita yang datang bersama orang yang disebut donator panti asuhan.Rika, yang masih merasa kesal, dan tidak tahu harus menjawab apa, memilih untuk tidak menjawab. Namun, Dinda tidak tinggal diam. Ia memutuskan untuk membela Rika, bahkan mengancam Raisa."Tante siapa? Apa masalah Tante dengan Tante Rika. Tante akan menyesal jika menyakiti Tante Rika. Dia nggak sendiri. Aku akan membuatmu menyesal," kata Dinda dengan tegas. Raisa hanya mencibir, merasa heran menatap Dinda. "Siapa kamu?" tanya Raisa, menghadap Dinda.
Rika mengerti arti tatapan Satya. “Kamu bertemu dengan tante Raisa di panti?” tanya Satya pada Dinda dengan kening mengernyit hingga kedua alisnya menyatu. “Iya, Pah. Katanya, dia teman Papa. Benar begitu ‘kan? Dia juga meminta nomor ponselku, katanya kapan-kapan dia akan mengajakku main,” sahut Dinda ringan.“Oh, begitu. Iya, dia teman Papa. Hanya saja, Papa nggak terlalu dekat dengannya. Jadi, kamu nggak perlu dekat dengannya. Papa nggak terlalu mengenalnya.” Satya menatap Dinda mengintimidasi, seakan mengatakan kalau dia tidak suka kalau Dinda dekat dengan Raisa.“Aneh, taddi Tante Raisa bilang dia mengenal oma dan opa. Kenapa, Papa bilang nggak terlalu mengenalnya?” protes Dinda merasa ada yang disembunyikan Satya.“Anehnya di mana? Tentu saja banyak yang mengenal oma dan opa, Sayang. Itu karena mereka pengusaha,” Satya beralasan, sambil menghela nafas berharap Dinda percaya dan mengerti. “Oh, iya juga ya,” sahut Dinda dengan raut wajah seperti berpikir.“Sekarang, istirahatlah. B
Satya memasuki kamarnya dengan langkah berat, ekspresinya mencerminkan kekesalan. Di sudut ruangan, lampu kecil menyala, menerangi wajahnya yang tegang. Dia duduk di ujung ranjang, meremas-remas rambutnya dengan gerakan kasar. “Kenapa harus begini? Padahal semuanya baik-baik saja.”Satya tidak bisa menahan perasaannya. Ada sesuatu yang tidak beres dengan ciuman mereka. Wajah Rika yang datar dan sikapnya yang seolah meremehkan ciuman itu membuatnya bingung dan kesal.“Kenapa dia bersikap seperti itu? Apa dia pikir ciuman itu biasa saja? Sialan! Mungkin dia terlalu biasa dengan laki-laki lain, itulah sebabnya dia menganggap enteng!” umpatnya.Dia merenung sejenak, wajahnya tampak semakin tegang. Meskipun mengumpat seperti itu, tetapi sebenarnya ada keragu-raguan di dalam hatinya. Rika adalah seorang wanita baik, dan Satya tahu itu. Namun, kejadian malam itu mengguncang keyakinannya.Satya membisu sejenak “Ah, kenapa wajah dan senyumannya selalu melintas di pikiranku? Kenapa aku merasa s
Pagi itu, mentari masih malu-malu muncul di ufuk timur ketika Rika sibuk mempersiapkan diri untuk menjalani rutinitas paginya. Setiap hari, ritualnya dimulai dengan memastikan bahwa Dinda, putri semata wayang Satya, sudah siap untuk berangkat ke sekolah. Rika selalu mengecek tas Dinda, meyakinkan bahwa pekerjaan rumah sudah selesai, dan memberikan senyuman hangat sebelum melepas Dinda pergi.Namun, hari itu terasa berbeda. Meskipun suasana pagi yang tenang menyelimuti, ada ketegangan yang dirasakan. Rika mencoba untuk tetap fokus pada rutinitasnya, tapi ada kebekuan yang sulit dihindari. Setelah memastikan Dinda telah berangkat, Rika dan Satya duduk bersama di meja makan untuk sarapan.Perbincangan yang biasanya ramah dan hangat, sekarang menjadi sunyi. Rika lebih banyak terdiam, sementara Satya sibuk dengan ponselnya, mencoba menyibukkan diri. Setelah selesai sarapan, Satya hanya pamit tanpa menatap dengan dingin. “Saya, ke kantor dulu. Kalau ada apa-apa yang menyangkut Dinda langsun
Terdengar suara langkah kaki yang makin lama makin mendekat. Semua menatap ke ambang pintu, melihat siapa yang datang."Riana!" teriak Nia. Riana yang berdiri di ambang pintu menatap ke arah Raisa dan Maharani bergantian. "Aduh maaf aku datang ke sini nggak bilang-bilang Ibu, ternyata Ibu sedang ada tamu. Aku menunggu di dalam saja ya, " ujar Riana sambil tersenyum."Eh nggak apa-apa, ayo sini masuk. Ibu Maharani, kenalkan ini menantu saya Riana namanya. Dia baru menikah dengan Andri, satu bulan yang lalu." Nia memperkenalkan Riana kepada Maharani, dengan harapan akan mendukung ceritanya tentang kejelekan Rika. Raisa tersenyum menyeringai melihat sandiwara yang sudah diaturnya berhasil. Raisa memang sengaja menyuruh Nia untuk memperlengkap cerita, menjelekkan Rika dengan kedatangan Riana.Riana menghampiri Maharani dan Raisa sambil tersenyum dan mengulurkan tangannya. Maharani berdiri dan menyambut uluran tangan dari Riana sambil memperkenalkan diri. "Riana sini duduklah dekat ibu." N
Keesokan paginya, sinar matahari mulai menerangi rumah mewah keluarga Mahendra. Nyonya Maharani duduk di meja makan, menikmati secangkir the setelah mereka sarapan bersama. "Sudah siap berangkat, Satya dan Papa?" tanya Nyonya Maharani, senyum tipis terukir di bibirnya.Satya mengangguk, "Ya, Ma. Aku akan berangkat sekarang. Sampai nanti." Satya mencium Dinda yang masih duduk di meja makan. Hari itu Satya dan Richard memang ada meeting pagi hari, jadi dia tidak mau terlambat karena terjebak kemacetan jalanan.Dengan senyum hangat, Nyonya Maharani melambaikan tangan pada Satya dan suaminya yang melangkah keluar rumah. Dinda pun berpamitan untuk berangkat ke sekolah.“Oma, aku juga berangkat sekolah dulu, ya,” ujar Dinda sambil menggendong tas sekolahnya. Rika membantu Dinda membetulkan tasnya dan melangkah keluar rumah bersama Dinda, karena hari itu Rika ada perlu bertemu orang penerbitan.“Iya, hati-hatilah.” Maharani tersenyum melepas kepergian cucunya. Begitu mereka pergi dan tak te
“Nggak, Sayang. Papamu nggak tahu, kalau Tante datang. Tante sengaja nggak memberitahunya karena Tante datang untuk menyapa Oma dan Opamu,” sahut Raisa lembut. Dinda mengernyitkan keningnya.“Bukankah, papaku nggak suka kalau Tante datang ke sini? Lalu, kenapa masih datang?” Dinda menajamkan tatapannya. Mendengar ucapan Dinda membuat Raisa kesal, namun terlihat jelas dia berusaha menguasai amarahnya.“Dinda, Sayang. Mungkin Tante Raisa ingin menyapa Oma, bukan bertemu papamu,” bela Maharani tidak mau suasana semakin memanas. Meski dia juga tidak suka Raisa datang, namun Maharani tidak mau kalau cucunya berkata tidak sopan. Dinda tertunduk merasa bersalah akan teguran omanya.“Baiklah, silahkan lanjutkan ngobrolnya. Aku juga mau kerjakan PR sekolahku bersama Tante Rika.” Dinda menatap Raisa kesal, lalu pergi menuju kamarnya.“Hemm, sepertinya Dinda tidak menyukaimu,” desis Maharani tajam. Raisa memaksakan senyumannya. “Iya, itu pasti karena hasutan Rika,” tuduhnya dengan tatapan sinis.
“Halo, apa kabar, Tante?” sapanya ramah, dengan senyuman mengembang. "Raisa," ucapnya pelan, suaranya tersirat dengan rasa takut dan kekecewaan. Raisa tersenyum lembut, seperti biasa, seakan dia tidak membawa beban masa lalu yang rumit."Hai, Tante Maharani. Maaf datang tanpa pemberitahuan sebelumnya," katanya sopan sambil tersenyum menatap Maharani. Maharani hanya mengangguk pelan, dia mencoba menahan kecanggungan yang melanda hatinya. Kekesalannya pada Raisa akan kejadian masa lalu, muncul kembali."Nggak masalah. Silakan duduk," ucapnya singkat, mencoba menunjukkan kesopanan meski hatinya terusik oleh kehadiran Raisa. Dia ingat siapa Raisa, wanita yang pernah menolak Satya ketika Satya ingin menikahinya. Padahal saat itu mereka menjalin hubungan.Raisa duduk di hadapannya, menatap Maharani dengan penuh pengertian. "Terima kasih, Tante," ucapnya. "Aku tahu kehadiranku mungkin mengejutkan Tante. Tapi aku ingin bicara tentang Satya." Raisa berkata lantang.Maharani menegangkan dirinya
“Iya, Oma udah ketemu dengannya. Apakah dia benar-benar baik padamu, Sayang?” tanya oma penuh penekanan seakan ingin meyakinkan dirinya. "Iya, Oma. Tante Rika sangat membantu Dinda dalam tugas-tugas sekolah dan selalu mengawasiku," ungkap Dinda dengan bangga.Oma tersenyum lega. "Itu bagus. Oma senang kalau tante Rika selalu baik padamu." Namun, tatapan Oma tiba-tiba berubah menjadi serius. "Tapi, Dinda, apakah kamu tahu kalau tante Rika itu akan menjadi calon Mama Dinda?"Dinda terkejut mendengarnya. "Eh, Oma udah tahu?" Oma mengangguk perlahan. "Iya, Sayang. Papamu memberitahu kalau dia mencintai Rika. Dia ingin menikahinya."Dinda terdiam sejenak, kemudian, dia tersenyum cerah. "Dinda tahu, Oma. Bahkan, Dinda yang meminta Papa untuk menikah dengan tante Rika." Oma mengernyitkan keningnya terkejut mendengarnya. "Oh, benarkah? Kenapa, Sayang?""Dinda sangat menyayangi tante Rika, Oma. Dia selalu baik padaku dan selalu ada untukku. Dinda ingin tante Rika menjadi bagian dari keluarga k
"Kamu tahu, Satya, asal-usul Rika nggak jelas. Kita juga nggak tahu apakah dia benar-benar wanita yang baik-baik. Papa hanya ingin yang terbaik untukmu dan Dinda," ucap Richard dengan tatapan tajam. "Aku paham, Pap. Tapi aku yakin, Papa pasti sudah menyelidiki Rika, bukan?" Satya menekankan ucapannya. Papanya mengangguk pelan, "Tentu saja. Tapi itu bukanlah jaminan. Papa belum tahu siapa orang tuanya." "Bagiku, yang terpenting bukanlah dari mana asal Rika. Bagiku, yang penting adalah Rika mencintai dan menyayangi Dinda dengan tulus. Dan yang tak kalah pentingnya, aku mencintainya," ujar Satya dengan tegas. “Lalu, bagaimana jika suatu saat keluarganya muncul? Bagaimana kalau dia terlahir dari orang tua yang berbuat kriminal? Bukankah itu akan jadi masalah buat kita? Kamu harus berpikir jauh ke depan Satya!” bentak Richard mengingatkan. Satya tersenyum lembut, "Untukku, siapa pun orang tua Rika bukanlah hal yang penting. Yang penting adalah aku akan menjalani hidup bersamanya. Aku p
"Rika," gumam Satya, suaranya lembut, "Tunggu sebentar di kamarmu, ya? Aku akan menemui papa dan mamaku terlebih dahulu."Rika mengangguk sopan, siap untuk menunggu. Namun, ketika ia hendak melangkah pergi, tiba-tiba Satya menarik lengan ringan Rika, menahannya."Tunggu," ucapnya pelan, lalu memeluknya dengan lembut. Rika merasakan hangatnya pelukan itu, bagai sebuah perlindungan yang tidak pernah dirasakannya. Rika merasakan detak jantung Satya yang seiring dengan detaknya sendiri.Setelah sesaat, Satya melepas pelukannya perlahan-lahan, dengan senyum hangat di wajahnya. Rika tersenyum balas, matanya berbinar oleh kehangatan yang ia rasakan. "Aku akan menunggumu," ucapnya dengan lembut sebelum berbalik dan meninggalkan ruang kerja Satya.Satya mengamatinya sejenak, melihat langkahnya yang ringan menjauh. Kemudian, dengan langkah mantap, dia melangkah ke ruang keluarga di mana papa dan mamanya baru saja tiba.Dengan hati yang gelisah, Satya melangkah masuk ke ruang keluarga di mana pa
Satya membuka pintu ruang kerjanya dengan langkah pasti, diikuti oleh Rika yang sedikit ragu. Ruangan itu tenang, hanya suara keributan dari luar yang terdengar samar-samar. Satya menoleh pada Rika dengan senyum hangat."Rika, tolong tutup pintu ruang kerja ini?" Rika menatap Satya dengan ekspresi ragu. Dia diam sejenak, seolah mempertimbangkan permintaan itu dengan serius. "Apakah kita seharusnya menutup pintu? Ini terasa sedikit aneh..." gumam Rika.Satya tersenyum, menangkap kebingungan Rika. Dia menghampiri pintu dan dengan lembut menutupnya. "Kita memang tidak biasa menutup pintu ini saat kita bicara pekerjaan, tapi terkadang privasi itu penting, bukan?"Rika mengangguk pelan, tetapi kebingungannya masih terlihat di wajahnya. Tiba-tiba, Satya berbalik dan tersenyum, membuat Rika terkejut. "Kenapa kaget, Rika? Apa yang kamu pikirkan?""Oh, nggak apa-apa. Aku hanya nggak nyangka pintu akan ditutup begitu tiba-tiba." Satya tersenyum lebih lebar lagi, melihat kebingungan Rika. "Aku m
“Eh, maksud Papa juga melanjutkan ngobrol. Hemm, tapi urusan Papa bukan hanya ngobrol saja, kok. Hemm, itu urusan pekerjaan juga. Biografi Papa dan menanyakan perkembanganmu,” jawab Satya sedikit gugup. Rika mengulum senyum melihat kegugupan Satya.“Oh, gitu. Iya, aku ngerti kok, Papa.” Dinda tersenyum ceria sok mengerti, namun hal itu membuat Satya lega. “Oke, Papa ke kamar dulu,” pamitnya melempar senyum lega pada Rika dan Dinda. Anggukan kecil terlihat dari Rika dan Dinda. Satya bergegas keluar dari kamar Rika.“Astaga anak itu buat aku bingung saja. Lagi pula kenapa datang di saat seperti itu sih. Mengganggu saja. Lho, kok aku kesal pada Dinda sih! Aduh bisa gila kalau begini,” Satya membatin sambil melangkah menuju kamarnya.Satya segera memasuki kamarnya dengan langkah cepat, sorot matanya penuh ketegangan. Dia mengambil ponselnya dan segera mencari nomor Raisa. Setelah menemukannya, dia menekan nomor tersebut. Setelah beberapa kali dering, suara Raisa akhirnya terdengar di sebe