Rika mengerti arti tatapan Satya. “Kamu bertemu dengan tante Raisa di panti?” tanya Satya pada Dinda dengan kening mengernyit hingga kedua alisnya menyatu. “Iya, Pah. Katanya, dia teman Papa. Benar begitu ‘kan? Dia juga meminta nomor ponselku, katanya kapan-kapan dia akan mengajakku main,” sahut Dinda ringan.“Oh, begitu. Iya, dia teman Papa. Hanya saja, Papa nggak terlalu dekat dengannya. Jadi, kamu nggak perlu dekat dengannya. Papa nggak terlalu mengenalnya.” Satya menatap Dinda mengintimidasi, seakan mengatakan kalau dia tidak suka kalau Dinda dekat dengan Raisa.“Aneh, taddi Tante Raisa bilang dia mengenal oma dan opa. Kenapa, Papa bilang nggak terlalu mengenalnya?” protes Dinda merasa ada yang disembunyikan Satya.“Anehnya di mana? Tentu saja banyak yang mengenal oma dan opa, Sayang. Itu karena mereka pengusaha,” Satya beralasan, sambil menghela nafas berharap Dinda percaya dan mengerti. “Oh, iya juga ya,” sahut Dinda dengan raut wajah seperti berpikir.“Sekarang, istirahatlah. B
Satya memasuki kamarnya dengan langkah berat, ekspresinya mencerminkan kekesalan. Di sudut ruangan, lampu kecil menyala, menerangi wajahnya yang tegang. Dia duduk di ujung ranjang, meremas-remas rambutnya dengan gerakan kasar. “Kenapa harus begini? Padahal semuanya baik-baik saja.”Satya tidak bisa menahan perasaannya. Ada sesuatu yang tidak beres dengan ciuman mereka. Wajah Rika yang datar dan sikapnya yang seolah meremehkan ciuman itu membuatnya bingung dan kesal.“Kenapa dia bersikap seperti itu? Apa dia pikir ciuman itu biasa saja? Sialan! Mungkin dia terlalu biasa dengan laki-laki lain, itulah sebabnya dia menganggap enteng!” umpatnya.Dia merenung sejenak, wajahnya tampak semakin tegang. Meskipun mengumpat seperti itu, tetapi sebenarnya ada keragu-raguan di dalam hatinya. Rika adalah seorang wanita baik, dan Satya tahu itu. Namun, kejadian malam itu mengguncang keyakinannya.Satya membisu sejenak “Ah, kenapa wajah dan senyumannya selalu melintas di pikiranku? Kenapa aku merasa s
Pagi itu, mentari masih malu-malu muncul di ufuk timur ketika Rika sibuk mempersiapkan diri untuk menjalani rutinitas paginya. Setiap hari, ritualnya dimulai dengan memastikan bahwa Dinda, putri semata wayang Satya, sudah siap untuk berangkat ke sekolah. Rika selalu mengecek tas Dinda, meyakinkan bahwa pekerjaan rumah sudah selesai, dan memberikan senyuman hangat sebelum melepas Dinda pergi.Namun, hari itu terasa berbeda. Meskipun suasana pagi yang tenang menyelimuti, ada ketegangan yang dirasakan. Rika mencoba untuk tetap fokus pada rutinitasnya, tapi ada kebekuan yang sulit dihindari. Setelah memastikan Dinda telah berangkat, Rika dan Satya duduk bersama di meja makan untuk sarapan.Perbincangan yang biasanya ramah dan hangat, sekarang menjadi sunyi. Rika lebih banyak terdiam, sementara Satya sibuk dengan ponselnya, mencoba menyibukkan diri. Setelah selesai sarapan, Satya hanya pamit tanpa menatap dengan dingin. “Saya, ke kantor dulu. Kalau ada apa-apa yang menyangkut Dinda langsun
Malam itu, hembusan angin malam masuk melalui jendela kamar Rika, menciptakan suasana yang hangat dan romantis. Rika, duduk di ujung tempat tidur dengan tatapan bingung di wajahnya, masih meresapi momen tak terduga yang baru saja terjadi. Di seberangnya, Satya duduk dengan ekspresi tegang, menantikan jawaban dari wanita yang ada di hadapannya.“Rika, aku tahu ini terdengar begitu mendadak, tapi aku benar-benar merasa seperti ini. Aku mencintaimu,” ucap Satya ragu.Rika memandang Satya dengan mata terbuka lebar “Apa? Bagaimana bisa begitu tiba-tiba?” Satya mengambil nafas dalam-dalam. “Aku tahu ini tiba-tiba, Rika. Tapi aku nggak bisa lagi menyembunyikan perasaanku. Aku ingin bersamamu, bukan hanya sebagai atasan dan pegawai.”Rika mengernyitkan keningnya. “Pak Satya, ini semua terlalu cepat. Kita perlu memikirkannya lebih baik.” Satya menatap Rika tulus. “Aku mengerti, tapi aku yakin perasaan ini nyata. Aku mencintaimu, Rika.” Satya berusaha meyakinkan.“Kenapa sekarang? Apa yang memb
Langit malam terhampar dengan gemerlap bintang, menciptakan suasana romantis di sekitar mereka. Satya dan Rika duduk bersama di kamar Rika, wajah mereka bersinar dengan kebahagiaan setelah momen penuh emosi yang baru saja mereka alami. "Rika, aku nggak pernah berpikir kalau aku berani menyatakan perasaan ini. Aku senang kita bisa berbicara terbuka satu sama lain." Rika tersenyum bahagia "Aku juga, Pak Satya. Aku merasa sangat bahagia." Satya melihat mata Rika dengan lembut, mencoba mengekspresikan lebih banyak perasaannya. "Rika, aku ingin kita berdua menjalani ini bersama. Aku ingin memberikan yang terbaik untukmu." Rika meraih tangan Satya "Baiklah, Pak Satya. Aku berharap kita bisa melewati semua ini bersama-sama." Mereka saling tersenyum, suasana hangat memenuhi ruangan. Satya kemudian menyadari bahwa Rika terlihat lelah. "Baiklah, sekarang saatnya untuk istirahat. Kamu pasti lelah setelah hari ini." "Iya, Pak. Terima kasih sudah mengerti." Satya bangkit dari tempat duduknya,
Rika merasa wajahnya memanas ketika menyadari bahwa kemungkinan Satya melihat bra-nya di kamar mandi. Meskipun dia merasa malu, Rika berusaha keras untuk menyingkirkan pikirannya yang membuatnya jadi canggung. Dia melanjutkan mandi, berharap agar Satya tidak mengingat momen memalukan itu.Sambil mencuci wajahnya, Rika mencoba meyakinkan dirinya sendiri, "Tenang saja, Rika. Mungkin Pak Satya nggak memperhatikan itu. Dia kan selalu cuek." Namun, kegelisahan tetap menghantui pikirannya.Setelah selesai mandi, Rika berusaha untuk menjalani pagi dengan wajah tegar. Dia mengenakan pakaian bersih dan merapikan rambutnya. Saat melangkah ke arah meja makan, Rika mencoba tersenyum dan memberikan sapaan pagi kepada Satya yang sudah duduk di sana."Selamat pagi, Pak Satya," sapa Rika, berusaha untuk terdengar sebiasa mungkin. Satya melihat Rika sambil tersenyum, dan berbisik "Pagi, Rika! Eh, tadi aku menemukan bra-" Rika memotong Satya dengan cepat, "Ah, itu! Bra-ku tadi malam memang terjatuh di
“Memangnya, Papa mau ikut? Kita cuma mau ke Ancol, lho. Bukankah Papa selalu menolak, kalau aku mengajak ke sana? Papa selalu bilang, ‘apa yang mau dilihat, hanya pantai. Pergi saja liburan ke Bali atau ke luar negeri.’ Begitu, ‘kan ucapan Papa padaku!” protes Dinda, membuat Satya menggaruk belakang lehernya meski tidak gatal. Rika yang melihatnya menahan tawa.“Itu dulu. Sekarang nggak lagi. Kalau bersama kalian berdua, kemana pun akan jadi tampak indah,” sahutnya sambil mengulum senyum, lalu menyuap makanan ke dalam mulutnya.“Jadi, beneran Papa mau ikut?” tanya Dinda, tatapannya seperti meledek bagi Satya. “Iyalah, Papa harus memastikan kalian berdua terlindungi. Jadi, sebisa mungkin Papa harus berada di dekat kalian berdua. Ini hanya untuk keamanan kalian berdua.” Satya beralasan.Dinda tersenyum mendengar ucapan papanya. Dia tidak mendebat papanya. Dinda tahu itu hanya alasan saja agar bisa bersama dengan Rika.“Jadi, bagaimana Tante. Kita ajak nggak nih, Papa?” tanya Dinda meng
"Satya, panggil saja Satya. Nggak perlu memanggil dengan sebutan bapak, terlalu aneh, seperti ada jarak di antara kita," ucap Satya dengan senyuman hangat.Rika mengangguk mengerti, "Baik, Pak Satya. Eh, Satya.” Rika menunduk dalam-dalam. Namun, Satya merasa itu pun masih kurang. Dia terdiam sejenak, memikirkan sesuatu untuk panggilannya. Setelah sejenak berpikir, ia akhirnya berkata, "Bagaimana kalau panggil aku dengan panggilan 'dear' bagus, ‘kan?"Ketika Satya menyebut kata itu, Pak Surya, supir yang serius dan penuh pengalaman, yang sedang fokus mengemudi, memperhatikan ekspresi Satya melalui spion mobil. Ekspresi malu dan ragu tergambar jelas di wajah Satya. Pak Surya tersenyum sendiri melihatnya.Namun, kegembiraan Pak Surya berubah ketika Satya menyadari, bahwa Pak Surya melihatnya. "Pak Surya! Apa yang Bapak lihat?" bentak Satya, wajahnya memerah.Pak Surya hanya tersenyum dan tetap fokus mengemudi. "Maaf, Pak Satya. Saya hanya fokus ke depan kok," ujarnya pura-pura serius. Ri
Terdengar suara langkah kaki yang makin lama makin mendekat. Semua menatap ke ambang pintu, melihat siapa yang datang."Riana!" teriak Nia. Riana yang berdiri di ambang pintu menatap ke arah Raisa dan Maharani bergantian. "Aduh maaf aku datang ke sini nggak bilang-bilang Ibu, ternyata Ibu sedang ada tamu. Aku menunggu di dalam saja ya, " ujar Riana sambil tersenyum."Eh nggak apa-apa, ayo sini masuk. Ibu Maharani, kenalkan ini menantu saya Riana namanya. Dia baru menikah dengan Andri, satu bulan yang lalu." Nia memperkenalkan Riana kepada Maharani, dengan harapan akan mendukung ceritanya tentang kejelekan Rika. Raisa tersenyum menyeringai melihat sandiwara yang sudah diaturnya berhasil. Raisa memang sengaja menyuruh Nia untuk memperlengkap cerita, menjelekkan Rika dengan kedatangan Riana.Riana menghampiri Maharani dan Raisa sambil tersenyum dan mengulurkan tangannya. Maharani berdiri dan menyambut uluran tangan dari Riana sambil memperkenalkan diri. "Riana sini duduklah dekat ibu." N
Keesokan paginya, sinar matahari mulai menerangi rumah mewah keluarga Mahendra. Nyonya Maharani duduk di meja makan, menikmati secangkir the setelah mereka sarapan bersama. "Sudah siap berangkat, Satya dan Papa?" tanya Nyonya Maharani, senyum tipis terukir di bibirnya.Satya mengangguk, "Ya, Ma. Aku akan berangkat sekarang. Sampai nanti." Satya mencium Dinda yang masih duduk di meja makan. Hari itu Satya dan Richard memang ada meeting pagi hari, jadi dia tidak mau terlambat karena terjebak kemacetan jalanan.Dengan senyum hangat, Nyonya Maharani melambaikan tangan pada Satya dan suaminya yang melangkah keluar rumah. Dinda pun berpamitan untuk berangkat ke sekolah.“Oma, aku juga berangkat sekolah dulu, ya,” ujar Dinda sambil menggendong tas sekolahnya. Rika membantu Dinda membetulkan tasnya dan melangkah keluar rumah bersama Dinda, karena hari itu Rika ada perlu bertemu orang penerbitan.“Iya, hati-hatilah.” Maharani tersenyum melepas kepergian cucunya. Begitu mereka pergi dan tak te
“Nggak, Sayang. Papamu nggak tahu, kalau Tante datang. Tante sengaja nggak memberitahunya karena Tante datang untuk menyapa Oma dan Opamu,” sahut Raisa lembut. Dinda mengernyitkan keningnya.“Bukankah, papaku nggak suka kalau Tante datang ke sini? Lalu, kenapa masih datang?” Dinda menajamkan tatapannya. Mendengar ucapan Dinda membuat Raisa kesal, namun terlihat jelas dia berusaha menguasai amarahnya.“Dinda, Sayang. Mungkin Tante Raisa ingin menyapa Oma, bukan bertemu papamu,” bela Maharani tidak mau suasana semakin memanas. Meski dia juga tidak suka Raisa datang, namun Maharani tidak mau kalau cucunya berkata tidak sopan. Dinda tertunduk merasa bersalah akan teguran omanya.“Baiklah, silahkan lanjutkan ngobrolnya. Aku juga mau kerjakan PR sekolahku bersama Tante Rika.” Dinda menatap Raisa kesal, lalu pergi menuju kamarnya.“Hemm, sepertinya Dinda tidak menyukaimu,” desis Maharani tajam. Raisa memaksakan senyumannya. “Iya, itu pasti karena hasutan Rika,” tuduhnya dengan tatapan sinis.
“Halo, apa kabar, Tante?” sapanya ramah, dengan senyuman mengembang. "Raisa," ucapnya pelan, suaranya tersirat dengan rasa takut dan kekecewaan. Raisa tersenyum lembut, seperti biasa, seakan dia tidak membawa beban masa lalu yang rumit."Hai, Tante Maharani. Maaf datang tanpa pemberitahuan sebelumnya," katanya sopan sambil tersenyum menatap Maharani. Maharani hanya mengangguk pelan, dia mencoba menahan kecanggungan yang melanda hatinya. Kekesalannya pada Raisa akan kejadian masa lalu, muncul kembali."Nggak masalah. Silakan duduk," ucapnya singkat, mencoba menunjukkan kesopanan meski hatinya terusik oleh kehadiran Raisa. Dia ingat siapa Raisa, wanita yang pernah menolak Satya ketika Satya ingin menikahinya. Padahal saat itu mereka menjalin hubungan.Raisa duduk di hadapannya, menatap Maharani dengan penuh pengertian. "Terima kasih, Tante," ucapnya. "Aku tahu kehadiranku mungkin mengejutkan Tante. Tapi aku ingin bicara tentang Satya." Raisa berkata lantang.Maharani menegangkan dirinya
“Iya, Oma udah ketemu dengannya. Apakah dia benar-benar baik padamu, Sayang?” tanya oma penuh penekanan seakan ingin meyakinkan dirinya. "Iya, Oma. Tante Rika sangat membantu Dinda dalam tugas-tugas sekolah dan selalu mengawasiku," ungkap Dinda dengan bangga.Oma tersenyum lega. "Itu bagus. Oma senang kalau tante Rika selalu baik padamu." Namun, tatapan Oma tiba-tiba berubah menjadi serius. "Tapi, Dinda, apakah kamu tahu kalau tante Rika itu akan menjadi calon Mama Dinda?"Dinda terkejut mendengarnya. "Eh, Oma udah tahu?" Oma mengangguk perlahan. "Iya, Sayang. Papamu memberitahu kalau dia mencintai Rika. Dia ingin menikahinya."Dinda terdiam sejenak, kemudian, dia tersenyum cerah. "Dinda tahu, Oma. Bahkan, Dinda yang meminta Papa untuk menikah dengan tante Rika." Oma mengernyitkan keningnya terkejut mendengarnya. "Oh, benarkah? Kenapa, Sayang?""Dinda sangat menyayangi tante Rika, Oma. Dia selalu baik padaku dan selalu ada untukku. Dinda ingin tante Rika menjadi bagian dari keluarga k
"Kamu tahu, Satya, asal-usul Rika nggak jelas. Kita juga nggak tahu apakah dia benar-benar wanita yang baik-baik. Papa hanya ingin yang terbaik untukmu dan Dinda," ucap Richard dengan tatapan tajam. "Aku paham, Pap. Tapi aku yakin, Papa pasti sudah menyelidiki Rika, bukan?" Satya menekankan ucapannya. Papanya mengangguk pelan, "Tentu saja. Tapi itu bukanlah jaminan. Papa belum tahu siapa orang tuanya." "Bagiku, yang terpenting bukanlah dari mana asal Rika. Bagiku, yang penting adalah Rika mencintai dan menyayangi Dinda dengan tulus. Dan yang tak kalah pentingnya, aku mencintainya," ujar Satya dengan tegas. “Lalu, bagaimana jika suatu saat keluarganya muncul? Bagaimana kalau dia terlahir dari orang tua yang berbuat kriminal? Bukankah itu akan jadi masalah buat kita? Kamu harus berpikir jauh ke depan Satya!” bentak Richard mengingatkan. Satya tersenyum lembut, "Untukku, siapa pun orang tua Rika bukanlah hal yang penting. Yang penting adalah aku akan menjalani hidup bersamanya. Aku p
"Rika," gumam Satya, suaranya lembut, "Tunggu sebentar di kamarmu, ya? Aku akan menemui papa dan mamaku terlebih dahulu."Rika mengangguk sopan, siap untuk menunggu. Namun, ketika ia hendak melangkah pergi, tiba-tiba Satya menarik lengan ringan Rika, menahannya."Tunggu," ucapnya pelan, lalu memeluknya dengan lembut. Rika merasakan hangatnya pelukan itu, bagai sebuah perlindungan yang tidak pernah dirasakannya. Rika merasakan detak jantung Satya yang seiring dengan detaknya sendiri.Setelah sesaat, Satya melepas pelukannya perlahan-lahan, dengan senyum hangat di wajahnya. Rika tersenyum balas, matanya berbinar oleh kehangatan yang ia rasakan. "Aku akan menunggumu," ucapnya dengan lembut sebelum berbalik dan meninggalkan ruang kerja Satya.Satya mengamatinya sejenak, melihat langkahnya yang ringan menjauh. Kemudian, dengan langkah mantap, dia melangkah ke ruang keluarga di mana papa dan mamanya baru saja tiba.Dengan hati yang gelisah, Satya melangkah masuk ke ruang keluarga di mana pa
Satya membuka pintu ruang kerjanya dengan langkah pasti, diikuti oleh Rika yang sedikit ragu. Ruangan itu tenang, hanya suara keributan dari luar yang terdengar samar-samar. Satya menoleh pada Rika dengan senyum hangat."Rika, tolong tutup pintu ruang kerja ini?" Rika menatap Satya dengan ekspresi ragu. Dia diam sejenak, seolah mempertimbangkan permintaan itu dengan serius. "Apakah kita seharusnya menutup pintu? Ini terasa sedikit aneh..." gumam Rika.Satya tersenyum, menangkap kebingungan Rika. Dia menghampiri pintu dan dengan lembut menutupnya. "Kita memang tidak biasa menutup pintu ini saat kita bicara pekerjaan, tapi terkadang privasi itu penting, bukan?"Rika mengangguk pelan, tetapi kebingungannya masih terlihat di wajahnya. Tiba-tiba, Satya berbalik dan tersenyum, membuat Rika terkejut. "Kenapa kaget, Rika? Apa yang kamu pikirkan?""Oh, nggak apa-apa. Aku hanya nggak nyangka pintu akan ditutup begitu tiba-tiba." Satya tersenyum lebih lebar lagi, melihat kebingungan Rika. "Aku m
“Eh, maksud Papa juga melanjutkan ngobrol. Hemm, tapi urusan Papa bukan hanya ngobrol saja, kok. Hemm, itu urusan pekerjaan juga. Biografi Papa dan menanyakan perkembanganmu,” jawab Satya sedikit gugup. Rika mengulum senyum melihat kegugupan Satya.“Oh, gitu. Iya, aku ngerti kok, Papa.” Dinda tersenyum ceria sok mengerti, namun hal itu membuat Satya lega. “Oke, Papa ke kamar dulu,” pamitnya melempar senyum lega pada Rika dan Dinda. Anggukan kecil terlihat dari Rika dan Dinda. Satya bergegas keluar dari kamar Rika.“Astaga anak itu buat aku bingung saja. Lagi pula kenapa datang di saat seperti itu sih. Mengganggu saja. Lho, kok aku kesal pada Dinda sih! Aduh bisa gila kalau begini,” Satya membatin sambil melangkah menuju kamarnya.Satya segera memasuki kamarnya dengan langkah cepat, sorot matanya penuh ketegangan. Dia mengambil ponselnya dan segera mencari nomor Raisa. Setelah menemukannya, dia menekan nomor tersebut. Setelah beberapa kali dering, suara Raisa akhirnya terdengar di sebe