“Ray! Aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini!” ucap gadis bernama Lusi.
Raya menatap gentar pintu kokoh yang menjulang di hadapannya. Ini kali pertama Raya datang untuk menemui orang yang sama sekali belum ia kenal. “Jujur aku takut! Aku merasa duniaku akan segera berakhir!” Raya tidak bisa menyembunyikan perasaan kalut yang terus menggelayut sampai membuatnya berkeringat dingin.
“Ray! Ingat satu hal! Semua demi Om Barata! Ayahmu! Kamu tenang saja! Kita akan menjaga rahasia ini! Terutama dari Tian! Lagi pula, Om Sugeng orangnya baik.”
“Tian?” tanya Raya yang semakin gemetaran.
“Iya, Tian! Memangnya kenapa, Ray?”
“Oh, ngga apa-apa! Aku hanya gugup!” Raya menyembunyikan sesuatu dari Lusi.
“Aku tahu, Tian adalah segalanya buat kamu! Tapi kali ini mendesak! Bahkan kamu bilang sendiri kalau Tian tidak bisa dihubungi? Sedangkan Om Barata harus segera mendapat tindakan! Semua demi Ayah kamu, Ray!” ucap Lusi yang terus meyakinkan Raya.
Gadis bernama Raya itu mematung. ‘Bagiku tetap saja ini sangat berat dan melanggar prinsipku,' batinnya yang hanya bisa pasrah menghadapi ketakutan dan merasa harga dirinya terinjak.
“Percaya sama aku, Ray! Demi Ayahmu!” ucap Lusi yang terus berusaha meyakinkan Raya kalau apa yang mereka lakukan adalah jalan satu-satunya untuk membantu Raya menghadapi kenyataan pahit.
Perlahan jemari tangan yang gemetaran itu berusaha untuk memencet bel, setelah pandangan matanya tak mampu lagi melihat Lusi yang sudah meninggalkannya sendirian. Tak lama berselang, terdengar suara klik dari pintu yang baru saja dibuka.
Jantung Raya berdegup semakin cepat. Seorang pria muncul dari balik pintu. Pria itu menatap Raya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tubuh Raya bergeming dingin mendapati kenyataan pahit yang harus dia jalani malam itu. Segalanya akan berubah tidak seperti harapan yang dahulu.
Pria itu menatap nanar gadis manis yang ada di hadapannya. Lantaran apa yang ada dalam pikiran pria itu sesuai dengan kenyataan. Raya yang malam itu mengenakan gaun berwarna putih dengan motif bunga-bunga kecil, tampak cantik menggantung hingga di atas lutut. Ditambah riasan flawless terlihat begitu feminin. Karena pria yang ada di apartemen itu tengah mencari daun muda untuk dijadikan wanita simpanannya.
Gadis bermata amber itu menatap ujung sepatu dari pria yang baru saja membukakan pintu untuknya. Raya sulit untuk menatap ke arah pria yang sama sekali tidak dia kenal. Karena sampai detik itu pun, nama Sebastian Danu masih melekat jelas di dalam hatinya. Walau kini Raya harus terluka atas sebuah pengkhianatan.
“Soraya?” tanya pria paruh baya yang terlihat karismatik dan matang.
“Iya, Om!” jawab Raya sembari terbata-bata.
“Ngga usah takut! Santai saja! Ayo masuk!” ajak pria itu dengan rayuannya.
Raya kembali berbicara dalam hatinya, ‘Masih ada waktu untuk melarikan diri, Ray! Tapi kalau aku lari, bagaimana aku bisa mendapatkan uang itu? Bagaimana dengan Ayah? Lalu apa aku harus masuk? Ini seperti akhir dari segalanya!’
“Ray? Ayo!” sekali lagi pria bernama Sugeng itu mengajak Raya masuk ke dalam apartemennya.
Raya menghela napas sembari melangkahkan kakinya untuk masuk melewati pintu apartemen. Tak lupa Raya melihat secara saksama, pin yang kembali ditekan oleh Sugeng untuk mengunci atau membuka pintu itu.
Jantung Raya kembali berdebar kencang. Dia yang sudah melangkahkan kaki ke dalam apartemen, harus menerima apa pun yang terjadi di dalam sana tanpa bisa mengubah apa pun. Kecuali melarikan diri.
“Silakan duduk!” ucap pria matang berusia 50 tahun bernama Sugeng. Perangainya santai. Namun, senyumannya seakan membius.
“Iya, Om!” Raya berusaha bersikap sesantai mungkin. Walau dalam hatinya menyimpan ketakutan.
Pria itu duduk di sebelah Raya. Tatapannya menajam seperti ingin segera melahapnya.
“Usia kamu berapa, Ray?” tanya Sugeng sembari menyesap minuman yang sudah dia siapkan di sana.
“Dua puluh satu, Om.”
“Sedang mekar-mekarnya.”
“Mekar? Gimana maksudnya, Om?” Raya mulai risi dan takut.
“Ah, itu hanya anggapan Om saja! Bay the way, kamu sudah tahu, kan? Maksud pertemuan kita?”
Raya hanya mengangguk dan meremas jemari tangannya.
“Kenapa kamu memilih jalan ini, Ray? Soalnya Om dengar kalau kamu itu putri orang terpandang?” Sugeng tak main-main dalam memilih wanita yang dia inginkan. Berkelas, wangi, dan feminin.
“Namanya kehidupan, Om. Seperti roda yang berputar. Saya sangat membutuhkan uang untuk sesuatu hal. Jadi ....”
“Om paham soal itu!” Tatapan Sugeng kembali membara. Duduknya bergeser memangkas jarak antara keduanya. Suasana menghening sesaat, ketika Sugeng mulai membelai lembut rambut Raya yang bergelombang. Gadis itu hanya mampu memejamkan mata, lalu dengan sigap menghindar ketika Sugeng hendak mengecup pipinya.
“Loh kenapa?” tanya Sugeng dengan suara bariton yang sedikit serak.
“Saya ngga mau memulai kalau Om belum mentransfer uang itu ke rekening saya!” tegas Raya.
“Oh, masalah itu ... kamu ngga usah khawatir!” Sugeng mengambil ponsel. Lalu mengirimkan sejumlah uang sesuai permintaan ke rekening Raya yang sebelumnya sudah diinformasikan oleh teman Lusi.
“Coba cek sekarang!” Sugeng mengedipkan sebelah matanya.
“I—iya, Om!” dengan segera, Raya mengecek rekeningnya melalui ponselnya. Dia melihat uang itu sudah masuk ke sana. Dengan segera Raya mentransfernya lagi kepada Suseno—tangan kanan ayahnya. Tak lupa Raya memberikan perintah kepada Suseno untuk segera membayarkan uang operasi ayahnya itu.
“Gimana? Sudah masukkan?” Sugeng kembali menyesap sisa minuman dalam gelas yang tengah dia pegang.
“Sebentar, Om! Sinyalnya agak lemot!” Raya berusaha untuk mengulur waktu. Sembari mengirim pesan kepada Suseno.
“Masa, sih?” Sugeng mengernyitkan dahinya.
“Atau kamu mau Om belikan ponsel terbaru?” Sugeng mengernyitkan dahi sembari menyesap minuman lagi.
“Oh, ngga perlu, Om! Sudah saya cek! Sudah masuk transferannya, Om! Terima kasih!” Raya tak bisa menghindari kalau sebentar lagi dunianya akan berakhir.
“Kalau begitu kita mulai saja perjanjiannya!”
Sugeng mengambil selembar kertas yang berisi perjanjian kalau Raya harus menikah siri dengannya. Menjadi wanita simpanan yang harus siap kapan pun jika Sugeng merindukannya. Kontrak itu berlangsung selama enam bulan. Selama kontrak pernikahan itu, Sugeng menjamin kehidupan Raya, termasuk mendapat sejumlah uang untuk kebutuhannya.
Raya gemetaran saat Sugeng menyodorkan surat perjanjian itu. Apalagi uang sudah masuk ke rekeningnya. Dia berusaha mencari cara untuk kabur. Namun, dia begitu takut melawan Sugeng. Raya masih mematung sembari menatap secarik kertas bermeterai dan bolpoin warna hitam di sebelahnya.
“Tunggu apalagi, Sayang? Bukankah saya sudah menuruti apa mau kamu?” Sugeng menatap Raya dengan penuh intimidasi.
‘Ya Tuhan! Apa yang harus aku lakukan? Apakah masa depanku harus berakhir seperti ini?’ batin Raya yang masih ragu untuk menandatangani surat perjanjian itu. Tak pernah ter bayangkan sebelumnya kalau masa depannya akan berakhir dengan seorang Sugar Daddy. Saking paniknya perut Raya mulai mulas. Keringat kembali bercucuran dan Raya merasa begitu tertekan.
“Ma—maaf, Om! Ap—apa tidak bisa dibatalkan?”
“Hah?” jawab Sugeng spontan. Dia mengernyitkan dahinya sembari terus menatap Raya.
“Hei! Kamu jangan main-main!”
“Tapi, Om! Ini pertama kali saya terjebak dengan situasi yang memaksa saya menyetujuinya.”
“Saya ngga peduli! Saya juga sudah menuruti mau kamu! Memberikan uang sebanyak yang kamu minta! Lantas? Saya ngga mendapatkan apa yang saya inginkan?” ucap pria paruh baya itu sembari menatap lekat.
“Ngga bisa!” bentak Sugeng sembari menggebrak meja.
Raya terdiam. Dia benar-benar panik melihat pria itu naik pitam.
“Saya ngga suka main-main! Kecuali di atas ranjang, Nona!” tandas Sugeng dengan tatapan menyeringai.
Raya bertambah panik, saat Sugeng mendekatinya dengan terus memangkas jarak. Gadis itu pun merasakan embusan napas panas Sugeng yang beraroma alkohol. Raya berusaha untuk bergeser. Dia semakin takut saat Sugeng meraih pinggangnya.
Raya berontak. Sugeng terus berusaha meyakinkan Raya. Tubuhnya dingin, dadanya berdebar, dan Raya terus melawan. Hingga lengan pakaian gadis itu robek karena Sugeng menariknya dengan paksa. Raya berlari ke arah pintu. Dia berusaha menekan pin. Namun, Sugeng kembali meraihnya.
“Lepaskan saya, Om! Saya mohon!” ucap Raya yang masih berusaha berontak dengan sisa tenaganya. Rambutnya sudah acak-acakan. Sugeng terus mencoba meluluhkan Raya dengan sekuat tenaga. Merayunya dengan bualan kata-kata manis. Air mata berjatuhan ketika Sugeng berhasil mendekapnya.
Sugeng berusaha meraup bibir Raya. Namun gadis itu tak kehabisan akal. Dia menutup mulut Sugeng dengan tangan kanannya. Lalu menginjak kaki Sugeng dengan sekuat tenaga.“Aw!” Sugeng kesakitan.‘Pokoknya ngga bisa! Aku harus kabur!’ batin Raya yang terus berusaha melepaskan diri dari pria itu.Raya tak menyia-nyiakan kesempatan. Dia kembali berlari dan meraih pintu untuk menekan tombol yang tadi dia lihat. Namun, Sugeng kembali berhasil meraih tangan Raya. Pria karismatik itu membopong Raya menuju ranjang. Raya terus meracau meminta Sugeng untuk melepaskannya. Bahkan gadis itu memperingatkan Sugeng dengan sebuah ancaman.“Om! Jangan mendekat! Kalau, Om nekat, saya tendang biji, Om!”Sugeng justru terkekeh. Melihat sikap brutal Raya. Pria itu justru semakin tertantang.“Rupa-rupanya kamu sudah tidak sabar merasakannya, ya?” jawab Sugeng dengan kondisi setengah mabuk.“Cuih! Amit-amit jabang bayi! Tujuh turunan tujuh tingkatan! Sorry, Om! Saya masih waras!”“Eh! Eh! Lancang kamu ya! Sema
Pagi itu, Raiden yang baru saja keluar dari kamarnya, terkejut melihat Raya mematung dengan raut wajah penuh dendam. Bahkan terlihat jelas air mata yang berderai di pipi gadis itu. Namun, sorot matanya tidak menunjukkan kepedihan. Melainkan dendam.“Hai!” sapa Raiden untuk mencairkan suasana. Senyum mengembang terlihat dari pemuda tampan yang tetap terlihat tampan walau rambutnya acak-acakan karena bangun tidur.Raya menoleh ke arah sumber suara. Melihat Raiden tersenyum padanya. Dengan segera Raya menghapus air matanya. Susah payah ia menutupi masalahnya. Menampakkan senyum yang sedikit dipaksakan. “Hai!”“Mau aku buatkan sarapan?” Raiden berusaha menghibur.Raya justru melongo dibuatnya. “Sarapan? Memangnya bisa masak?” lantaran Raya sendiri tak bisa memasak. Dia merasa beruntung bertemu pria baik hati seperti Raiden.“Jangan meremehkanku! Itu urusan mudah!” Raiden mengembangkan senyum sembari melangkahkan kaki. Namun, tiba-tiba dia menghentikan langkahnya.“Apa kau meragukanku?” uc
Seketika Raya mematung. Dia gelagapan karena bingung harus menjawab apa di saat seperti ini. Saat dia kembali mengingat bagaimana seorang Sebastian Danu mengkhianatinya. Dia kembali teringat ucapan seseorang yang rasanya seperti belati yang menancap dalam relung hatinya.“Soraya Barata tidak lebih dari seorang gadis polos yang mudah diperdaya!”Ucapan Mili sang musuh bebuyutan, masih terngiang dalam benak Raya. Saat mereka berhadapan dalam pertandingan basket antar fakultas satu bulan yang lalu.Beberapa waktu belakangan ini, setelah Barata drop. Sebastian Danu bukannya menjadi sandaran Raya. Dia justru mengembalikan cincin tunangannya kepada Raya. Bahkan percakapan mereka pun masih terekam jelas dalam ingatan Raya.“Ray, maksudku bukan ingin menyakiti atau mengkhianatimu.” ucap Tian saat itu yang masih terngiang dalam benak Raya. Perih tapi sulit untuk melupakannya.Masih pula jelas terlintas dalam ingatan Raya bagaimana suasana kafe yang sendu. Ditambah alunan lagu bernuansa sedih m
Kedua bola mata Raya menajam menatap surat undangan yang dia genggam. Tangannya mulai gemetaran seakan langit runtuh di atasnya. “Lusi Wiryawan dan Sebastian Danu?” Bahkan bibirnya pun gemetar menyebut dua nama itu. Nama orang-orang yang dulu ia percaya dan selalu peduli padanya. Ternyata sikap baik mereka hanya topeng belaka, setelah mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan dari seorang Soraya Barata. Jantung Raya seakan berhenti berdetak. Tubuh yang gemetaran itu perlahan berubah melemas yang semakin merajai. Napasnya sesak mendapati kenyataan pahit. Hatinya hancur berkeping-keping, melihat kenyataan yang tidak bisa lagi terbantahkan. Matanya terus berkedip, berharap air matanya tidak tumpah saat itu. Suseno terlihat khawatir dengan kondisi Raya. Pria matang itu tahu bagaimana hancurnya hidup seorang Soraya Barata. Raya ingin berteriak. Namun, tidak bisa. Situasinya tidak memungkinkan. Sehingga gadis itu hanya menahan luka serta amarahnya dalam hati, hingga wajahnya memerah pa
Diam-diam Raya nekat pergi ke suatu tempat yang pastinya akan membuat dia sangat terluka. Namun, ini jalan satu-satunya agar Raya bisa menemui Tian. Bukan untuk mengucapkan selamat, melainkan untuk memaki Tian dan Lusi. Ya! Raya pergi ke gedung yang menjadi tempat berlangsungnya acara pernikahan mereka. Setelah semalaman Raya memikirkan konsekuensinya. Dia memutuskan untuk datang ke acara itu. Walau taruhannya adalah hati yang terluka. Baginya tidak akan ada bedanya. Kemarin, sekarang, ataupun esok, hatinya tetap saja akan terluka. Bahkan tidak ada satu orang pun yang mengira, kalau Raya akan nekat datang ke sana. Raya mengenakan gaun pengantin yang sebelumnya memang sudah ia persiapkan untuk acara pernikahannya yang gagal. Dia sengaja mengenakan gaun itu untuk mempermalukan Tian. Raya melangkah dengan anggun ketika baru saja turun dari mobil dan menginjakkan kakinya masuk ke dalam lobi gedung. Semua orang pun menatap kedatangan Raya. Bahkan teman-teman dekat Lusi mencibir kehadiran
Raya ikut tercengang melihat pria itu. Namun, Raya hanya bisa diam melihat apa yang terjadi. “Kau bertanya? Bertanya-tanya?” tanya pria itu kepada Lusi terkesan sedikit konyol. “Dia calon suamiku,” ucap Raya yang terpaksa mengatakan hal itu. Walau dalam hatinya begitu kesal karena tidak sesuai dengan skenario yang ada. “Siapa dia? Pasti pria sewaan, bukan?” ujar Tian sembari meledek dengan nada meremehkan. Raya tersenyum mendengar ucapan Tian. Lalu menghela napasnya dan melangkah mendekati pria yang datang bagai pahlawan. Raya mengeratkan kedua tangannya pada pinggang pria itu. “Dia pewaris Wilaga Grup. Iyakan, Rai?” Raya menatapnya sembari memberikan kode dengan mengedipkan sebelah mata. “Sepertinya aku tidak perlu memperkenalkan diri lagi. Terima kasih sudah hadir dalam acara pernikahanku dengan Soraya Barata.” Ya! Pemuda itu adalah Raiden. Dia datang menyamar menjadi seorang sultan. Lantaran keluarga Adiwilaga adalah orang terkaya di kota itu. Namanya sudah merajai jagat raya
“Ikut saja! Dari pada kamu melamun terus kerasukan, lebih baik ikut bersamaku!” Raiden berusaha mencairkan suasana. “Heh! Ngga usah menakut-nakutiku!” “Bukan masalah menakutimu! Tapi ... rumah ini memang angker! Ngga baik melamun ataupun seorang diri dalam kesunyian!” bisik Raiden dengan tatapan mata meyakinkan. “Rai! Hentikan!” teriak Raya sembari kesal. “Aku ngga bohong! Suer!” ucapnya sembari mengacungkan dua jarinya. “Hhh!” dengkus Raya sembari melirik. “Kenapa?” tanya Raiden sembari menahan tawa. “Kamu merusak lamunanku saja, Rai!” “Aku tahu malam ini kamu sedih, tapi ngga baik loh terus-menerus meratapi kesedihanmu! Lagi pula untuk apa menangisi pria pecundang seperti Tian? Ngga guna!” tegas Raiden yang berusaha menguatkan. “Terus kita mau ke mana?” “Pastinya ke suatu tempat yang belum pernah kamu kunjungi!” “Hah?” “Ah, sudahlah! Ikut saja!” “Eh, tunggu! Rai!” teriak Raya sembari terkejut karena Raiden menarik tangannya. Udara malam itu membuat Raya kedinginan, wala
Brakkk!!! “Aaa ...,” teriak Raya. Dua bola mata amber itu menatap asap mengepul di hadapannya. Lamunannya buyar seketika mendapati sesuatu hal mengerikan tepat di depan matanya. Di sana baru saja terjadi insiden mengerikan yang menimpa dua joki yang tengah balapan. Belum lagi suara sirene mobil polisi yang membuat mereka lari berhamburan untuk menyelamatkan diri masing-masing. “Raya! Ray! Cepat naik!” teriak Raiden yang juga khawatir melihat kondisi Raya yang mematung dengan tatapan kosong. “Astaga! Dia melamun?” dengan segera Raiden memakaikan helm untuk gadis itu dan meraih tangannya agar Raya segera membonceng. Malam menjelang pagi mereka beraksi membelah jalanan dengan kecepatan tinggi. Udara dingin yang menusuk tulang belulang seakan tidak mereka pedulikan. Di pikiran mereka yang ada saat itu adalah menyelamatkan diri dari kejaran polisi. Ketika sampai di persimpangan jalan, Rio dan Raiden berpisah. Raiden masih melajukan kecepatan motornya menyelusup di antara gang sempit d
Hari-hari Raiden semakin tersudut, ketika Tian berusaha untuk mempengaruhi para kolega perusahaan Wilaga, bahwa Raihaga yang saat ini kembali bukanlah pewaris yang sebenarnya. Tentu saja hal itu membuat Raiden semakin gusar. Di satu sisi dia sudah terlanjur masuk dalam peran itu. Di sisi lain dia ingin segera mengakhirinya dengan cara membayar lunas hutang Raiden kepada Baskoro. Di ruangan kerjanya, Raiden hanya menatap layar laptopnya tentang rahasia itu. Dia berpikir untuk menemui sosok yang bernama Ratna. “Tidak mungkin Baskoro tidak mengenal Bu Ratna. Aku harus mencari tahunya,” gerutunya sembari memutar bolpoin di sela jemarinya. Tak lama berselang seseorang yang memuakkan masuk tanpa permisi ke dalam ruangan Raiden. Mata Raiden menajam menatap orang yang datang, “Tampaknya kau begitu sulit melupakanku?” ucap Raiden dengan nada sindiran. “Cuih!” Tian muak melihat wajah Raiden yang menyeringai. “Ngapain ke sini?” tanya Raiden sembari menyandarkan bahunya ke sandaran kursi yan
Kedua netra beradu antara dendam dan masa lalu. ‘Aku tidak akan pernah melupakan pengkhianatan ini, Tian! Kamu sudah membuatku terjerembap dalam kesulitan yang seharusnya tidak pernah aku rasakan!’ batin Raya begitu ingin mendamprat pria pengkhianat di hadapannya. ‘Soraya si gadis malang! Kelinci kecil bodoh! Begitu yang mudahnya aku masuk ke dalam kehidupanmu dan mengeruk kepercayaan beserta harta kekayaan keluargamu!’ batin Tian yang masih saja membenci Raya. Hanya karena Raya berbeda takdir dengan Lusi—gadis yang sebenarnya Tian cintai sejak lama. “Gadis lugu mau ke mana?” tanya Tian sembari menyeringai. Raya hanya diam mengepalkan tangan kanannya dengan begitu erat. Dia tidak mau terjadi keributan yang akan mempersulit Raiden. Raya berusaha menahan amarah dengan tidak menghiraukan Tian. Dia melangkah ke samping untuk menghindari Tian. Namun apa yang terjadi? Tian justru kembali mencegatnya. “Minggir!” ucap Raya. “Kalian memang cocok! Sama-sama penipu!” ucap Tian sembari menc
Raya menunduk malu sembari memejamkan matanya. Dia menduga Raiden adalah pria mesum yang menyentuhnya saat dirinya setengah mabuk. Namun, melihat tatapan Raiden yang tulus membuat Raya merasakan suatu debaran yang telah lama hilang. Debaran yang pernah ada untuk seseorang yang sudah berkhianat kepadanya. Kini debaran itu kembali muncul kepada orang yang berbeda. “Kenapa? Lapar?” tanya Raiden bingung melihat gelagat Raya yang seakan mematung. Padahal Raya sedang mengartikan rasa yang tiba-tiba muncul dari lubuk hatinya yang terdalam. ‘Astaga! Nggak-nggak, perasaan ini mungkin hanya kebetulan melintas,’ batin Raya yang menolak perasaan yang mulai bersemi. Dia kembali fokus pada topik perbincangannya. “Terus bagaimana dengan rumah ayahku?” Raya mengalihkan pembicaraan. “Oh, itu ... tenang saja! Aku sudah atasi.” “Berhutang?” tandas Raya. “Memangnya kau pikir wajahku ini wajah-wajah penuh kesulitan?” kesal Raiden. “Dari mana lagi?” “Astaga! Bocah ini!” gerutu Raiden. “Aku sudah te
Rasa hangat mulai terasa membelai tubuh Raya. Perlahan dia menggeliat manja, merasakan kenyamanan seakan menjalar di sekujur tubuhnya. Ia menghidu napas dalam sembari meremas rambut panjangnya. Merasakan sensasi kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cahaya terang yang hangat itu perlahan menyelusup ke matanya yang masih terpejam, membuatnya ingin membuka mata. Raya menyipitkan matanya untuk menatap ke arah jendela yang sudah tidak asing lagi baginya. Ia diam sejenak memandang setiap sudut ruangan. “Astaga!” “Ini? Nggak mungkin!” Soraya terkesiap melihat ruangan itu. Parahnya lagi, Raya menyadari dirinya sudah mengenakan piama. “Nggak mungkin!” ujarnya sembari duduk di tepi ranjang sambil mengingat kejadian semalam. “Apa aku mimpi?” ucapnya lagi dengan mencubit pipinya. “Aw! Sakit! Berarti ini?” Raya beranjak dan terlihat kebingungan. Ia menatap ke arah jam dinding yang menunjukkan waktu siang hari. Lalu ia kembali melangkah ragu menuju pintu untuk membukanya. Saat i
Raya seakan mengulangi lagi masa kelamnya sebelum bertemu Raiden. Semua karena ulah Tian yang berusaha menguasai kekayaan keluarga Barata. Malam itu, Raya melangkah gontai mengenakan gaun berwarna marun yang menampakkan belahan dadanya. Sepatunya pun berwarna senada yang begitu kontras dengan warna kulit Raya yang seputih susu. Gincu merah bold dan bulu mata lentik membuat Raya terlihat nakal. Dia memencet bel kamar hotel itu dengan ragu. Tak butuh menunggu lama, seorang pelayan membukakan pintunya. Degup jantung Raya semakin kencang. Dia menyadari konsekuensinya setelah melangkahkan kaki ke dalam sana. “Silakan masuk, Nona!” ucap pelayan itu. Seorang pria dengan seragam serba hitam. “Kenapa di dalam sana gelap sekali?” tanya Raya yang sedikit ketakutan melihat situasi gelap di dalam sana. “Tidak apa-apa, Nona! Saya akan mengantar. Tuan muda sudah menunggu!” Raya berusaha tersenyum di antara hati yang terluka. Dia melangkah mengikuti pelayan itu. Terlihat dari jarak beberapa mete
Suseno berusaha untuk menenangkan Barata yang sudah merindukan rumahnya. Lantaran ia tidak tahu menahu dengan apa yang terjadi saat ini. “Mohon maaf, Tuan, kalau saya lancang.” “Ya, ada apa, Seno?” “Sebaiknya Anda menunda kepulangan Anda tanpa memberitahu Nona Raya, saya mengerti betul bagaimana Nona sibuk mengatur waktu dengan banyaknya urusan yang harus diselesaikan. Saya takut, kalau tiba-tiba Tuan pulang tanpa memberitahu, Nona Raya merasa sedih karena Anda tidak melibatkannya.” “Masa sih? Aku rasa Raya justru senang. Ya ... walau sedikit terkejut,” ucap Barata yang masih mengeyel. “Tapi sebaiknya menunggu Nona Raya menemui dokter yang menangani Anda, Tuan!” ucap Seno khawatir. “Sudah pasti Nona Raya akan menyalahkan saya kalau sampai Tuan pulang tanpa memberi kabar terlebih dahulu,” sahut Suseno lagi dengan jurus final. Barata mendengkus tak bisa menolak, “Baiklah aku akan menurutimu! Kita tunggu Raya datang dan aku akan mengatakan kalau aku sudah merindukan suasana rumah y
“Raya, nanti kita pikirkan sama-sama bagaimana jalan keluarnya. Kalau memang membutuhkan biaya besar, aku minta waktu untuk membantu kamu menyiapkan uang! Walau mungkin nggak sebesar apa yang kamu butuhkan.” “Maksud kamu?” Raya menatap dalam kedua bola mata Raiden. “Mau pergi untuk balapan lagi?” sahut Raya yang masih menatap nanar ke arah Raiden yang juga tengah menatapnya. “Setelah kejadian malam itu? beberapa pembalap mengalami kecelakaan dan kita dikejar-kejar polisi? Kamu mau balik balapan lagi?” ketusnya. “Tapi kan ....” Raiden terbata-bata. “Atau jangan-jangan beberapa hari ini kamu nggak pulang karena memang ikut balapan?” tanya Raya dengan tegas membuat Raiden bingung harus menjawab apa. Awalnya memang Raiden berniat untuk mengikuti balapan karena harus melunasi hutangnya pada Baskoro. Namun dia terjebak dalam situasi yang di luar dugaannya. Tidak mungkin Raiden mengatakan semuanya kepada Raya. Karena dia sudah berjanji untuk merahasiakan semuanya. “Nggak bisa jawab kan?
Setelah mengasingkan diri beberapa hari pasca membuat keributan di pesta pernikahan Sebastian Danu, Soraya Barata memberanikan diri untuk menemui ayahnya. Dia ragu untuk mengatakan yang sebenarnya. Namun aib itu tidak bisa ditutupi lagi karena lambat laun Tuan Barata akan mengetahuinya juga. Barata yang sudah mulai pulih, melengkungkan senyuman sembari menatap putrinya yang datang untuk menjenguk. Namun Raya merasa langkah kakinya begitu berat. “Soraya Putriku!” ucap pria paruh baya yang terlihat lebih sehat dari sebelumnya. “Ayah,” ucap Raya sembari menahan gejolak nelangsa dalam benaknya. Barata yang merindukan putrinya seraya merentangkan kedua tangannya menyambut pelukan hangat putri semata wayangnya. Kehangatan itu tak ubahnya seperti melepas kerinduan Barata setelah beberapa hari tanpa putri kesayangan di sampingnya. “Dari mana saja, Nak? Bahkan Ayah sempat berpikir kalau kamu lupa untuk mengundang Ayah ke acara pernikahanmu,” ucap Barata yang begitu murung. Dia takut kalau p
Saat ini Raiden tengah duduk bersebelahan dengan Tuan Adiwilaga. Dia tampak canggung karena baru pertama kali bertemu dengan sosok tersohor yang jarang orang mengetahui bagaimana wajah aslinya. Selama ini Tuan Adiwilaga menutup diri dan hanya orang-orang tertentu yang bisa bertatap muka secara langsung. “Apa kau tahu bagaimana rasanya seorang ayah yang kehilangan putra satu-satunya?” tanya Tuan Adiwilaga yang seakan mengintimidasi. ‘Apa maksud dari pertanyaan Tuan Adiwilaga?’ batin Raiden sembari memperlihatkan gelagat kalau dirinya tertampar dengan pertanyaan pria paruh baya itu. “Apa Papa marah karena aku baru kembali setelah sekian lama aku menghilang?” Raiden berusaha memainkan perannya. Tuan Adiwilaga mengulas senyum sembari mendengkus, “Lalu jika kau menjadi aku, apa kau percaya kalau pemuda yang ada di hadapanmu saat ini benar-benar anak kandungmu?” Deg! Raiden tercekat dengan kalimat yang baru saja terlontar dari mulut pria paruh baya itu. ‘Apa sebenarnya dia sudah menge