Pagi itu, Raiden yang baru saja keluar dari kamarnya, terkejut melihat Raya mematung dengan raut wajah penuh dendam. Bahkan terlihat jelas air mata yang berderai di pipi gadis itu. Namun, sorot matanya tidak menunjukkan kepedihan. Melainkan dendam.
“Hai!” sapa Raiden untuk mencairkan suasana. Senyum mengembang terlihat dari pemuda tampan yang tetap terlihat tampan walau rambutnya acak-acakan karena bangun tidur.
Raya menoleh ke arah sumber suara. Melihat Raiden tersenyum padanya. Dengan segera Raya menghapus air matanya. Susah payah ia menutupi masalahnya. Menampakkan senyum yang sedikit dipaksakan. “Hai!”
“Mau aku buatkan sarapan?” Raiden berusaha menghibur.
Raya justru melongo dibuatnya. “Sarapan? Memangnya bisa masak?” lantaran Raya sendiri tak bisa memasak. Dia merasa beruntung bertemu pria baik hati seperti Raiden.
“Jangan meremehkanku! Itu urusan mudah!” Raiden mengembangkan senyum sembari melangkahkan kaki. Namun, tiba-tiba dia menghentikan langkahnya.
“Apa kau meragukanku?” ucapnya sembari menoleh ke arah Raya.
“Ap—apa? Ah ... tidak-tidak! Maafkan aku! Bukan maksudku menyepelekanmu!” Raya tersipu karena dia meragukan kemampuan Raiden dalam memasak.
“Oh, aku pikir kamu meragukanku?”
“Tidak, Tuan!” Raya berusaha mengulas senyuman. Kali ini dia benar-benar tersenyum melupakan sejenak beban dalam hidupnya.
“Panggil saja, Rai!” ucapnya sambil melangkahkan kaki.
Raya mengangguk. “Ya, ya, ya!” Ia masih menebar senyuman setelah Raiden berjalan ke arah dapur.
‘Akhirnya aku bisa kembali mengulas senyum, walau aku masih memikirkan bagaimana masa depanku juga kondisi Ayah?' batinnya terus bergejolak. Jika kembali teringat ayahnya.
***
Raiden datang kembali untuk menghidangkan sarapan di atas meja. Pandangan Raiden mengedar ke seluruh penjuru ruangan. Namun ia tidak mendapati Raya di sana.
“Ke mana gadis itu?” gerutunya sembari menoleh ke segala arah. Dia melihat pintu terbuka. Dengan segera ia memeriksanya. Dia takut kalau para bandit itu datang kembali menemukan keberadaan mereka untuk menculik Raya.
“Celaka! Jangan-jangan ....”
Raiden berjalan dengan tergesa-gesa. Tiba-tiba menghentikan langkahnya. Dia bernapas lega setelah melihat Raya ada di dekat garasi. Raya terlihat tengah menelepon seseorang. Raut wajahnya sangat serius, kalut, dan kusut. Hal itu semakin membuat Raiden penasaran. Ia pun memutuskan untuk menguping percakapan Raya.
Pemuda itu bersembunyi di balik rimbunnya tanaman Janda bolong, milik pemilik rumah kontrakan. Lalu memasang telinga baik-baik. Karena apa yang didengar membuatnya semakin penasaran dengan sosok gadis bernama Raya yang ia tolong semalam.
‘Apa yang sebenarnya sedang dihadapi gadis itu? Siapa dia sebenarnya?’ batin Raiden sembari terus mengawasi.
‘Apa dia gadis malam? Atau gadis yang diculik seseorang?’ batinnya lagi.
Setelah melihat Raya selesai menelepon. Raiden segera berlari menuju ruangan tadi, dengan sarapan yang sudah tersaji di atas meja. Dia berusaha terlihat senatural mungkin, seolah tidak mengetahui apa pun dan tidak terjadi apa-apa.
Raiden menatap Raya yang baru saja masuk ke ruangan itu. “Ayo, makanlah!”
Raya buru-buru mengusap air matanya lagi. Ia tidak mau Raiden mengetahui apa yang menimpanya saat ini. Raya mengulas senyuman sembari duduk di sana. “Terima kasih,” ucapnya tulus.
Mereka pun menikmati sarapan bersama. Situasi sempat menghening. Raiden tak mau merasa canggung, sehingga dia mengawali perbincangan.
“Ray!” panggil Raiden membuat Raya menatapnya.
“Ya?”
“Maaf, sebenarnya apa yang terjadi semalam?” tanya Raiden tegas.
Raya terdiam. Dia tidak punya pilihan lain, selain berkata jujur.
“Aku dijebak,” ucap Raya sembari mengambil segelas air mineral yang sudah disajikan.
“Dijebak?” Raiden hampir tidak percaya.
Raya mengangguk. Ia termenung mengingat kembali apa yang terjadi beberapa hari belakangan ini.
“Terlalu rumit untuk aku ceritakan saat ini. Karena aku bingung, dari mana aku harus memulai ceritanya.”
“Oh, baiklah! Tidak apa-apa! Semoga masalahmu bisa cepat selesai.” Raiden yang merasa iba tidak mau memaksa Raya untuk bercerita. Walau dalam hatinya begitu penasaran.
“Kamu sendirian tinggal di sini? Soalnya aku ngga lihat siapa pun lagi,” tanya Raya penasaran.
“Aku sebatang kara,” ucap Raiden dengan raut wajah pilu.
“Maaf, aku ngga bermaksud untuk mengingatkanmu ....”
“Tidak masalah! Lalu kamu sendiri tinggal di mana?” sahutnya karena penasaran.
“Aku tinggal di Kota. Ibuku sudah lama meninggal, dan saat ini Ayahku sedang sakit. Ya ... kejadian semalam itu terpaksa aku lakukan. Aku kabur karena aku ngga mau masa depanku lebih hancur lagi.
“Kabur?” Raiden penasaran.
Raya mengangguk. Ia kembali mengingat bagaimana dia berusaha keras untuk kabur dari Om Sugeng.
“Rai, maaf kalau aku lancang. Tapi ... aku mohon, tolong aku!” Raya kembali menatap dengan bulir bening yang terus membasahi pipinya.
Raiden tercengang. Sampai-sampai ia tidak jadi mengunyah sereal itu. “I—iya! Katakan saja!”
“Apa aku boleh menumpang tinggal denganmu untuk sementara waktu?”
“Oh, ya ... tentu saja! Tapi ... apa yang sebenarnya terjadi? Paling tidak sebagai tuan rumah, aku harus tahu maksud dan tujuanmu!” Raiden berpura-pura mendesak Raya untuk mengatakan hal yang sesungguhnya.
Raya bergeming. Dadanya penuh sesak. Segala luka bercampur menjadi satu. Emosinya memuncak tapi tak tahu arah dan bagaimana ia menyelesaikan semuanya.
“Semalam aku hampir saja kehilangan masa depanku! Aku benar-benar bodoh! Ceroboh! Aku malu, Rai! Aku bukan wanita seperti itu!”
“Ray! Tenang!” Raiden beranjak dari tempat duduknya. Ia berusaha menenangkan Raya dengan menyandarkan Raya ke bahunya.
“Masalah yang kamu hadapi mungkin sangat berat. Tapi semoga semua cepat teratasi. Kamu bisa tinggal di sini selama yang kamu inginkan!”
“Tapi, bagaimana kalau pacarmu tahu? Aku ngga mau terjadi salah paham.” Raya tidak mau menambah masalah dalam hidupnya.
“Tenang saja! Aku ngga punya pacar,” tegas Raiden sembari menahan malu.
“Oh, Terima kasih!”
“Ya sudah! Makanlah selagi hangat!” ucap Raiden yang kembali ke posisi semula untuk menghabiskan sereal hangat yang dia buat.
“Ngomong-ngomong ... kamu menjadi joki?”
“Balap motor!” tandas Raiden.
“Sudah lama menjadi joki?” tanya Raya yang juga penasaran dengan kehidupan Raiden. Orang yang begitu berjasa karena menyelamatkan masa depannya semalam.
“Ya, profesiku itu terselubung. Dunia malam, taruhan, ya ... begitulah! Tapi ... Lumayanlah! Karena aku hanya seorang pengangguran.”
Raya hanya tersenyum. Dia tidak mau kalau perbincangan itu menyinggung Raiden. Karena tidak ada maksud lain selain ingin berbincang.
“Kamu sendiri? Bekerja atau kuliah?” Raiden kembali melempar pertanyaan untuk Raya.
“Kuliah semester akhir. Tapi, mungkin ngga akan berakhir dengan sebuah gelar.”
“Maksudnya?”
“Mungkin aku ngga bisa melanjutkan kuliahku. Masalah yang aku hadapi sangat berat, Rai! Aku harus belajar mengikhlaskan segalanya. Aku merasa duniaku jungkir balik saat ini!” Raya berbicara sembari gemetaran.
“Masalah yang dihadapi dalam kehidupan tak ubahnya bagai ujian. Setelah kamu berproses melewati semua itu, walau tidak mudah. Yakinlah, kebahagiaan tersirat di dalamnya. Seperti kata orang! Pengalaman adalah pelajaran berharga dalam kehidupan!” Raiden berusaha menguatkan Raya. Karena ia pun tengah menghadapi masalah yang cukup rumit.
“Kelihatannya, kamu sudah mengalami permasalahan yang rumit?” tanya Raya yang mulai tenang setelah mendengar apa yang Raiden sampaikan.
“Begitulah kehidupan!” Raiden hanya mengulas senyumannya.
“Terkadang indah, tapi lebih banyak ujiannya. Tinggal bagaimana mental kita menghadapi itu semua.”
“Ya, kamu benar!” ucap Raya yang merasa menemukan orang yang tepat untuk berkeluh-kesah.
“Sudah, habiskan dulu makananmu! Jangan sampai bersisa!” pinta Raiden.
“Baiklah! Sekalian aku mau minta izin keluar sebentar.”
“Ambillah kunci ini!” Raiden memberikan kunci rumah kontrakannya.
“Tapi ....”
“Aku punya serepnya!”
Raiden yang penasaran menyelidiki diam-diam. Dari penelusuran itu, Raiden mendapati Raya bertemu dengan seseorang di sebuah jalanan sepi. Pria yang bertemu dengan Raya membawakan satu kantong berisi sesuatu. Lalu mereka terlihat berbincang sebentar. Tak lama setelahnya, Raya kembali menangis. Raya kembali menaiki taksi, sedangkan Raiden mengikuti pria yang baru saja bertemu dengan Raya.
Pria itu pergi ke rumah sakit. Raiden kembali mengikuti hingga pria itu masuk ke dalam ruang perawatan. Rasa penasaran itu mengantarkan Raiden menemukan sebuah fakta bahwa pria yang tengah dirawat di sana bernama Barata. Seorang pengusaha terkemuka yang diberitakan bangkrut.
‘Apa mungkin, Raya adalah putri dari Barata? Soraya Barata yang dikabarkan baru saja putus dari tunangannya?’ gerutunya dalam hati. Namun, Raiden masih penasaran dengan masalah yang melanda Raya. Hatinya bergetar melihat berita pagi ini. Semua menyudutkan Soraya Barata.
***
Raya bertemu dengan Suseno pagi itu. Lantaran dia meminta tolong untuk mengambilkan beberapa setel pakaian di rumahnya. Saat ini Raya memilih untuk bersembunyi karena takut akan anak buah Sugeng. Selain itu, semua aset Barata tengah disita, lantaran perusahaannya tengah mengalami krisis. Semua diduga akibat ulah Tian. Namun, bukti yang mengarah padanya, begitu sulit didapatkan. Semua dijalankan dengan sangat rapi..
Raya berusaha meminta tolong kepada Suseno untuk mendapatkan bukti kecurangan Tian—mantan tunangannya. Karena saat ini Tian memiliki kekuasaan di perusahaan Barata. Semua berawal ketika Barata jatuh sakit. Perusahaan membutuhkan seseorang untuk menggantikannya. Sehingga Barata menunjuk Tian untuk menggantikan posisinya sementara waktu sampai Barata sembuh. Karena pada saat itu, Tian adalah calon menantunya. Namun, bukannya amanah. Tian justru melakukan banyak kecurangan dan membatalkan pernikahan dengan Raya.
***
Malamnya, Raya menjenguk Barata di rumah sakit. Itu pun Raya lakukan diam-diam dengan bantuan Suseno. Barata dipindahkan ke ruang perawatan yang baru setelah kondisinya stabil pasca operasi.
Raya menggenggam tangan ayahnya. Pria yang selalu ada untuk Raya, menjadi Ayah sekaligus Ibu untuk putrinya.
“Raya.” Senyuman mengembang di wajah Barata.
“Iya, Ayah.” Suara lembut itu menyejukkan relung hati sang ayah.
“Apa kamu sibuk?”
“Lumayan, Yah. Maaf kalau Raya baru sempat menemani Ayah lagi.”
“Ayah mengerti. Kamu pasti sibuk mempersiapkan pernikahanmu dengan Tian, kan?”
Deg!
Ucapan Barata membuat Raya bingung. Harus menjawab apa atas pertanyaan itu.
Seketika Raya mematung. Dia gelagapan karena bingung harus menjawab apa di saat seperti ini. Saat dia kembali mengingat bagaimana seorang Sebastian Danu mengkhianatinya. Dia kembali teringat ucapan seseorang yang rasanya seperti belati yang menancap dalam relung hatinya.“Soraya Barata tidak lebih dari seorang gadis polos yang mudah diperdaya!”Ucapan Mili sang musuh bebuyutan, masih terngiang dalam benak Raya. Saat mereka berhadapan dalam pertandingan basket antar fakultas satu bulan yang lalu.Beberapa waktu belakangan ini, setelah Barata drop. Sebastian Danu bukannya menjadi sandaran Raya. Dia justru mengembalikan cincin tunangannya kepada Raya. Bahkan percakapan mereka pun masih terekam jelas dalam ingatan Raya.“Ray, maksudku bukan ingin menyakiti atau mengkhianatimu.” ucap Tian saat itu yang masih terngiang dalam benak Raya. Perih tapi sulit untuk melupakannya.Masih pula jelas terlintas dalam ingatan Raya bagaimana suasana kafe yang sendu. Ditambah alunan lagu bernuansa sedih m
Kedua bola mata Raya menajam menatap surat undangan yang dia genggam. Tangannya mulai gemetaran seakan langit runtuh di atasnya. “Lusi Wiryawan dan Sebastian Danu?” Bahkan bibirnya pun gemetar menyebut dua nama itu. Nama orang-orang yang dulu ia percaya dan selalu peduli padanya. Ternyata sikap baik mereka hanya topeng belaka, setelah mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan dari seorang Soraya Barata. Jantung Raya seakan berhenti berdetak. Tubuh yang gemetaran itu perlahan berubah melemas yang semakin merajai. Napasnya sesak mendapati kenyataan pahit. Hatinya hancur berkeping-keping, melihat kenyataan yang tidak bisa lagi terbantahkan. Matanya terus berkedip, berharap air matanya tidak tumpah saat itu. Suseno terlihat khawatir dengan kondisi Raya. Pria matang itu tahu bagaimana hancurnya hidup seorang Soraya Barata. Raya ingin berteriak. Namun, tidak bisa. Situasinya tidak memungkinkan. Sehingga gadis itu hanya menahan luka serta amarahnya dalam hati, hingga wajahnya memerah pa
Diam-diam Raya nekat pergi ke suatu tempat yang pastinya akan membuat dia sangat terluka. Namun, ini jalan satu-satunya agar Raya bisa menemui Tian. Bukan untuk mengucapkan selamat, melainkan untuk memaki Tian dan Lusi. Ya! Raya pergi ke gedung yang menjadi tempat berlangsungnya acara pernikahan mereka. Setelah semalaman Raya memikirkan konsekuensinya. Dia memutuskan untuk datang ke acara itu. Walau taruhannya adalah hati yang terluka. Baginya tidak akan ada bedanya. Kemarin, sekarang, ataupun esok, hatinya tetap saja akan terluka. Bahkan tidak ada satu orang pun yang mengira, kalau Raya akan nekat datang ke sana. Raya mengenakan gaun pengantin yang sebelumnya memang sudah ia persiapkan untuk acara pernikahannya yang gagal. Dia sengaja mengenakan gaun itu untuk mempermalukan Tian. Raya melangkah dengan anggun ketika baru saja turun dari mobil dan menginjakkan kakinya masuk ke dalam lobi gedung. Semua orang pun menatap kedatangan Raya. Bahkan teman-teman dekat Lusi mencibir kehadiran
Raya ikut tercengang melihat pria itu. Namun, Raya hanya bisa diam melihat apa yang terjadi. “Kau bertanya? Bertanya-tanya?” tanya pria itu kepada Lusi terkesan sedikit konyol. “Dia calon suamiku,” ucap Raya yang terpaksa mengatakan hal itu. Walau dalam hatinya begitu kesal karena tidak sesuai dengan skenario yang ada. “Siapa dia? Pasti pria sewaan, bukan?” ujar Tian sembari meledek dengan nada meremehkan. Raya tersenyum mendengar ucapan Tian. Lalu menghela napasnya dan melangkah mendekati pria yang datang bagai pahlawan. Raya mengeratkan kedua tangannya pada pinggang pria itu. “Dia pewaris Wilaga Grup. Iyakan, Rai?” Raya menatapnya sembari memberikan kode dengan mengedipkan sebelah mata. “Sepertinya aku tidak perlu memperkenalkan diri lagi. Terima kasih sudah hadir dalam acara pernikahanku dengan Soraya Barata.” Ya! Pemuda itu adalah Raiden. Dia datang menyamar menjadi seorang sultan. Lantaran keluarga Adiwilaga adalah orang terkaya di kota itu. Namanya sudah merajai jagat raya
“Ikut saja! Dari pada kamu melamun terus kerasukan, lebih baik ikut bersamaku!” Raiden berusaha mencairkan suasana. “Heh! Ngga usah menakut-nakutiku!” “Bukan masalah menakutimu! Tapi ... rumah ini memang angker! Ngga baik melamun ataupun seorang diri dalam kesunyian!” bisik Raiden dengan tatapan mata meyakinkan. “Rai! Hentikan!” teriak Raya sembari kesal. “Aku ngga bohong! Suer!” ucapnya sembari mengacungkan dua jarinya. “Hhh!” dengkus Raya sembari melirik. “Kenapa?” tanya Raiden sembari menahan tawa. “Kamu merusak lamunanku saja, Rai!” “Aku tahu malam ini kamu sedih, tapi ngga baik loh terus-menerus meratapi kesedihanmu! Lagi pula untuk apa menangisi pria pecundang seperti Tian? Ngga guna!” tegas Raiden yang berusaha menguatkan. “Terus kita mau ke mana?” “Pastinya ke suatu tempat yang belum pernah kamu kunjungi!” “Hah?” “Ah, sudahlah! Ikut saja!” “Eh, tunggu! Rai!” teriak Raya sembari terkejut karena Raiden menarik tangannya. Udara malam itu membuat Raya kedinginan, wala
Brakkk!!! “Aaa ...,” teriak Raya. Dua bola mata amber itu menatap asap mengepul di hadapannya. Lamunannya buyar seketika mendapati sesuatu hal mengerikan tepat di depan matanya. Di sana baru saja terjadi insiden mengerikan yang menimpa dua joki yang tengah balapan. Belum lagi suara sirene mobil polisi yang membuat mereka lari berhamburan untuk menyelamatkan diri masing-masing. “Raya! Ray! Cepat naik!” teriak Raiden yang juga khawatir melihat kondisi Raya yang mematung dengan tatapan kosong. “Astaga! Dia melamun?” dengan segera Raiden memakaikan helm untuk gadis itu dan meraih tangannya agar Raya segera membonceng. Malam menjelang pagi mereka beraksi membelah jalanan dengan kecepatan tinggi. Udara dingin yang menusuk tulang belulang seakan tidak mereka pedulikan. Di pikiran mereka yang ada saat itu adalah menyelamatkan diri dari kejaran polisi. Ketika sampai di persimpangan jalan, Rio dan Raiden berpisah. Raiden masih melajukan kecepatan motornya menyelusup di antara gang sempit d
Hingar-bingar terlihat di mansion mewah milik Tuan Adiwilaga. Keluarga besar tengah bersiap menyambut kedatangan Tuan muda Raihaga yang sudah lama tinggal di Luar Negeri. Di antara mereka ada yang benar-benar senang, ada juga yang hanya topeng belaka. Berpura-pura senang akan kehadiran sang pewaris, padahal mereka berusaha melenyapkannya. Ya! Adiwilaga dijuluki seorang sultan karena dia adalah orang paling terpandang di kota. Tidak heran kalau kedatangan Raihaga menuai pro dan kontra. Pria misterius itu pun akan segera menginjakkan kaki untuk yang pertama kali setelah 23 tahun berlalu. “Tuan muda sudah tiba!” ucap salah seorang penjaga pintu utama aula yang menjadi tempat jamuan keluarga besar. Semua mata tertuju ke arah pintu. Tatapan mereka seperti tidak berkedip ketika seorang pria gagah yang mengenakan setelan jas dan kaca mata hitam itu berjalan dengan begitu elegan berkarisma. Beberapa di antara tamu keluarga itu bersiap untuk menyanjung dengan tujuan mendekati untuk mendapa
Setelah menemui keluarga besar serta kolega yang sudah menantikannya bertahun-tahun, Raiden yang menyamar menjadi Raihaga dibawa oleh Baskoro untuk menemui tuan besar Adiwilaga yang tidak lain adalah ayah kandung Raihaga “Bas! Kenapa tuan Adiwilaga ngga menemui putranya di ruangan tadi?” tanya Raiden sembari menarik tangan Baskoro yang berjalan di depannya. “Ingat satu hal, Rai! Bahkan tembok di dalam mansion ini memiliki telinga!” bisik Baskoro sembari melihat situasi. “Sebenarnya apa yang terjadi dengan keluarga ini?” tandas Raiden sembari menatap nanar ke arah Baskoro. “Jangankan kamu, aku sendiri saja bingung dengan masa lalu Tuan besar.” “Tapi kenapa kamu malah melibatkan aku sejauh ini, Baskoro?” Raiden mencengkeram kerah baju Baskoro. “Kau berhutang padaku, Rai!” jawab Baskoro yang terlihat pasrah dengan sikap kasar Raiden. Raiden semakin beringas untuk melayangkan bogem mentah ke arah Baskoro. Namun Baskoro menepis dan kembali merapikan bajunya. “Sudah aku bilang! Bahka
Hari-hari Raiden semakin tersudut, ketika Tian berusaha untuk mempengaruhi para kolega perusahaan Wilaga, bahwa Raihaga yang saat ini kembali bukanlah pewaris yang sebenarnya. Tentu saja hal itu membuat Raiden semakin gusar. Di satu sisi dia sudah terlanjur masuk dalam peran itu. Di sisi lain dia ingin segera mengakhirinya dengan cara membayar lunas hutang Raiden kepada Baskoro. Di ruangan kerjanya, Raiden hanya menatap layar laptopnya tentang rahasia itu. Dia berpikir untuk menemui sosok yang bernama Ratna. “Tidak mungkin Baskoro tidak mengenal Bu Ratna. Aku harus mencari tahunya,” gerutunya sembari memutar bolpoin di sela jemarinya. Tak lama berselang seseorang yang memuakkan masuk tanpa permisi ke dalam ruangan Raiden. Mata Raiden menajam menatap orang yang datang, “Tampaknya kau begitu sulit melupakanku?” ucap Raiden dengan nada sindiran. “Cuih!” Tian muak melihat wajah Raiden yang menyeringai. “Ngapain ke sini?” tanya Raiden sembari menyandarkan bahunya ke sandaran kursi yan
Kedua netra beradu antara dendam dan masa lalu. ‘Aku tidak akan pernah melupakan pengkhianatan ini, Tian! Kamu sudah membuatku terjerembap dalam kesulitan yang seharusnya tidak pernah aku rasakan!’ batin Raya begitu ingin mendamprat pria pengkhianat di hadapannya. ‘Soraya si gadis malang! Kelinci kecil bodoh! Begitu yang mudahnya aku masuk ke dalam kehidupanmu dan mengeruk kepercayaan beserta harta kekayaan keluargamu!’ batin Tian yang masih saja membenci Raya. Hanya karena Raya berbeda takdir dengan Lusi—gadis yang sebenarnya Tian cintai sejak lama. “Gadis lugu mau ke mana?” tanya Tian sembari menyeringai. Raya hanya diam mengepalkan tangan kanannya dengan begitu erat. Dia tidak mau terjadi keributan yang akan mempersulit Raiden. Raya berusaha menahan amarah dengan tidak menghiraukan Tian. Dia melangkah ke samping untuk menghindari Tian. Namun apa yang terjadi? Tian justru kembali mencegatnya. “Minggir!” ucap Raya. “Kalian memang cocok! Sama-sama penipu!” ucap Tian sembari menc
Raya menunduk malu sembari memejamkan matanya. Dia menduga Raiden adalah pria mesum yang menyentuhnya saat dirinya setengah mabuk. Namun, melihat tatapan Raiden yang tulus membuat Raya merasakan suatu debaran yang telah lama hilang. Debaran yang pernah ada untuk seseorang yang sudah berkhianat kepadanya. Kini debaran itu kembali muncul kepada orang yang berbeda. “Kenapa? Lapar?” tanya Raiden bingung melihat gelagat Raya yang seakan mematung. Padahal Raya sedang mengartikan rasa yang tiba-tiba muncul dari lubuk hatinya yang terdalam. ‘Astaga! Nggak-nggak, perasaan ini mungkin hanya kebetulan melintas,’ batin Raya yang menolak perasaan yang mulai bersemi. Dia kembali fokus pada topik perbincangannya. “Terus bagaimana dengan rumah ayahku?” Raya mengalihkan pembicaraan. “Oh, itu ... tenang saja! Aku sudah atasi.” “Berhutang?” tandas Raya. “Memangnya kau pikir wajahku ini wajah-wajah penuh kesulitan?” kesal Raiden. “Dari mana lagi?” “Astaga! Bocah ini!” gerutu Raiden. “Aku sudah te
Rasa hangat mulai terasa membelai tubuh Raya. Perlahan dia menggeliat manja, merasakan kenyamanan seakan menjalar di sekujur tubuhnya. Ia menghidu napas dalam sembari meremas rambut panjangnya. Merasakan sensasi kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cahaya terang yang hangat itu perlahan menyelusup ke matanya yang masih terpejam, membuatnya ingin membuka mata. Raya menyipitkan matanya untuk menatap ke arah jendela yang sudah tidak asing lagi baginya. Ia diam sejenak memandang setiap sudut ruangan. “Astaga!” “Ini? Nggak mungkin!” Soraya terkesiap melihat ruangan itu. Parahnya lagi, Raya menyadari dirinya sudah mengenakan piama. “Nggak mungkin!” ujarnya sembari duduk di tepi ranjang sambil mengingat kejadian semalam. “Apa aku mimpi?” ucapnya lagi dengan mencubit pipinya. “Aw! Sakit! Berarti ini?” Raya beranjak dan terlihat kebingungan. Ia menatap ke arah jam dinding yang menunjukkan waktu siang hari. Lalu ia kembali melangkah ragu menuju pintu untuk membukanya. Saat i
Raya seakan mengulangi lagi masa kelamnya sebelum bertemu Raiden. Semua karena ulah Tian yang berusaha menguasai kekayaan keluarga Barata. Malam itu, Raya melangkah gontai mengenakan gaun berwarna marun yang menampakkan belahan dadanya. Sepatunya pun berwarna senada yang begitu kontras dengan warna kulit Raya yang seputih susu. Gincu merah bold dan bulu mata lentik membuat Raya terlihat nakal. Dia memencet bel kamar hotel itu dengan ragu. Tak butuh menunggu lama, seorang pelayan membukakan pintunya. Degup jantung Raya semakin kencang. Dia menyadari konsekuensinya setelah melangkahkan kaki ke dalam sana. “Silakan masuk, Nona!” ucap pelayan itu. Seorang pria dengan seragam serba hitam. “Kenapa di dalam sana gelap sekali?” tanya Raya yang sedikit ketakutan melihat situasi gelap di dalam sana. “Tidak apa-apa, Nona! Saya akan mengantar. Tuan muda sudah menunggu!” Raya berusaha tersenyum di antara hati yang terluka. Dia melangkah mengikuti pelayan itu. Terlihat dari jarak beberapa mete
Suseno berusaha untuk menenangkan Barata yang sudah merindukan rumahnya. Lantaran ia tidak tahu menahu dengan apa yang terjadi saat ini. “Mohon maaf, Tuan, kalau saya lancang.” “Ya, ada apa, Seno?” “Sebaiknya Anda menunda kepulangan Anda tanpa memberitahu Nona Raya, saya mengerti betul bagaimana Nona sibuk mengatur waktu dengan banyaknya urusan yang harus diselesaikan. Saya takut, kalau tiba-tiba Tuan pulang tanpa memberitahu, Nona Raya merasa sedih karena Anda tidak melibatkannya.” “Masa sih? Aku rasa Raya justru senang. Ya ... walau sedikit terkejut,” ucap Barata yang masih mengeyel. “Tapi sebaiknya menunggu Nona Raya menemui dokter yang menangani Anda, Tuan!” ucap Seno khawatir. “Sudah pasti Nona Raya akan menyalahkan saya kalau sampai Tuan pulang tanpa memberi kabar terlebih dahulu,” sahut Suseno lagi dengan jurus final. Barata mendengkus tak bisa menolak, “Baiklah aku akan menurutimu! Kita tunggu Raya datang dan aku akan mengatakan kalau aku sudah merindukan suasana rumah y
“Raya, nanti kita pikirkan sama-sama bagaimana jalan keluarnya. Kalau memang membutuhkan biaya besar, aku minta waktu untuk membantu kamu menyiapkan uang! Walau mungkin nggak sebesar apa yang kamu butuhkan.” “Maksud kamu?” Raya menatap dalam kedua bola mata Raiden. “Mau pergi untuk balapan lagi?” sahut Raya yang masih menatap nanar ke arah Raiden yang juga tengah menatapnya. “Setelah kejadian malam itu? beberapa pembalap mengalami kecelakaan dan kita dikejar-kejar polisi? Kamu mau balik balapan lagi?” ketusnya. “Tapi kan ....” Raiden terbata-bata. “Atau jangan-jangan beberapa hari ini kamu nggak pulang karena memang ikut balapan?” tanya Raya dengan tegas membuat Raiden bingung harus menjawab apa. Awalnya memang Raiden berniat untuk mengikuti balapan karena harus melunasi hutangnya pada Baskoro. Namun dia terjebak dalam situasi yang di luar dugaannya. Tidak mungkin Raiden mengatakan semuanya kepada Raya. Karena dia sudah berjanji untuk merahasiakan semuanya. “Nggak bisa jawab kan?
Setelah mengasingkan diri beberapa hari pasca membuat keributan di pesta pernikahan Sebastian Danu, Soraya Barata memberanikan diri untuk menemui ayahnya. Dia ragu untuk mengatakan yang sebenarnya. Namun aib itu tidak bisa ditutupi lagi karena lambat laun Tuan Barata akan mengetahuinya juga. Barata yang sudah mulai pulih, melengkungkan senyuman sembari menatap putrinya yang datang untuk menjenguk. Namun Raya merasa langkah kakinya begitu berat. “Soraya Putriku!” ucap pria paruh baya yang terlihat lebih sehat dari sebelumnya. “Ayah,” ucap Raya sembari menahan gejolak nelangsa dalam benaknya. Barata yang merindukan putrinya seraya merentangkan kedua tangannya menyambut pelukan hangat putri semata wayangnya. Kehangatan itu tak ubahnya seperti melepas kerinduan Barata setelah beberapa hari tanpa putri kesayangan di sampingnya. “Dari mana saja, Nak? Bahkan Ayah sempat berpikir kalau kamu lupa untuk mengundang Ayah ke acara pernikahanmu,” ucap Barata yang begitu murung. Dia takut kalau p
Saat ini Raiden tengah duduk bersebelahan dengan Tuan Adiwilaga. Dia tampak canggung karena baru pertama kali bertemu dengan sosok tersohor yang jarang orang mengetahui bagaimana wajah aslinya. Selama ini Tuan Adiwilaga menutup diri dan hanya orang-orang tertentu yang bisa bertatap muka secara langsung. “Apa kau tahu bagaimana rasanya seorang ayah yang kehilangan putra satu-satunya?” tanya Tuan Adiwilaga yang seakan mengintimidasi. ‘Apa maksud dari pertanyaan Tuan Adiwilaga?’ batin Raiden sembari memperlihatkan gelagat kalau dirinya tertampar dengan pertanyaan pria paruh baya itu. “Apa Papa marah karena aku baru kembali setelah sekian lama aku menghilang?” Raiden berusaha memainkan perannya. Tuan Adiwilaga mengulas senyum sembari mendengkus, “Lalu jika kau menjadi aku, apa kau percaya kalau pemuda yang ada di hadapanmu saat ini benar-benar anak kandungmu?” Deg! Raiden tercekat dengan kalimat yang baru saja terlontar dari mulut pria paruh baya itu. ‘Apa sebenarnya dia sudah menge