Pov Ranisa
Selama setengah jam perjalanan, kami hanya berbicara mengenai hal-hal ringan saja. Sambil sesekali bercanda tawa dengan Farel. Kami sampai di sebuah Restoran pinggir pantai yang sangat indah dan pastinya terkesan mewah.
Mas Riko turun terlebih dahulu, dan mengitari mobil untuk membukakan pintu untukku. Aku merasa sangat tersanjung dengan perlakuan manis Mas Riko. Terlebih dahulu, Mas Riko menggendong Farel agar aku tidak terlalu kesulitan saat turun sambil menggendong bayi.
Bukan kah wanita sangat suka diperlakukan istimewa seperti itu? Bagaimana aku bisa mengelak terus setiap kali Mas Riko memberikan perhatiannya padaku? Sementara aku sendiri memang haus akan perhatian dan kasih sayang pasca Mas Heru di penjara.
Kami masuk ke dalam restoran itu layaknya sepasang suami istri dengan seorang bayi di dalam pelukan Mas Riko. Aku juga terpaksa menggandeng tangan Mas Riko karena ia terus memaksa selama jalan menuju pintu masuk.
Pov Ranisa "Sayang, mulai sekarang jangan sungkan meminta apa pun padaku. Aku akan memenuhi semua kebutuhanmu," ucap Mas Riko saat kami sudah selesai menyantap semua hidangan yang tadi aku pesan. "Baik, Mas. Aku boleh meminta apa pun kan?" jawabku dengan hati yang senang. Jika saja tidak ada orang di sini, ingin sekali aku melompat-lompat saking senangnya mendengar ucapan Mas Riko tadi. Sebelumnya, saat bersama Mas Heru pun aku memang sudah biasa dimanjakan dengan barang-barang mewah dan makanan Restoran. Aku juga rutin perawatan kecantikan ke salon. Semua itu tentu saja atas permintaanku dan Mas Heru tak pernah menolaknya. Setidaknya aku sudah terbiasa menikmati fasilitas mewah dan makanan ala orang kaya. "Mas, apa benar nanti kita akan menikah siri?" tanyaku mengulang kembali perkataan Mas Riko tadi. "Tentu saja, Sayang. Kenapa? Apa kamu meragukan aku?" "Bu-bukan begitu, Mas. Aku ga mau nanti
Pov Heru Lima bulan sudah aku mendekam dalam jeruji besi ini. Tak seorang pun yang pernah datang barang sekali saja untuk menjengukku. Vonis hukumanku sudah jatuh dan aku harus menjalani masa-masa penderitaan ini selama 8 tahun. Jangankan Winda, Ranisa yang kuanggap sangat mencintaiku dan akan mendukungku dalam keadaan seperti ini pun tak menampakkan batang hidungnya. Mungkin ini karma bagiku, karena sudah menyakiti dan hampir saja membunuh Winda. Aku terlalu kalap mata saat itu. Aku hanya tergoda oleh rayuan dan kata manis Ranisa. Terlebih lagi karena Ranisa sedang mengandung. Anak yang selama bertahun-tahun sudah sangat kunantikan dari pernikahanku bersama Winda. "Winda... Maafkan aku, aku menyesal. Aku menyadari, tidak ada wanita yang mencintaiku setulus dirimu di dunia ini," lirihku sambil meringkuk di lantai kamar penjara yang dingin. Dalam ruangan sempit ini, diisi oleh 30 orang tahanan dengan kasus yang berbeda-beda. Di d
Pov Heru Subuh ini sudah terdengar ramai sekali suara dari para narapidana yang keluar masuk sel tahanan. Biasanya yang bangun subuh ini adalah orang-orang yang memang akan melakukan shalat subuh. Atau napi yang tidak tidur semalaman, lalu ikut bergabung dengan yang akan menjalankan shalat di mushalla lapas. Hanya saat jam-jam shalat seperti itu, para napi akan diberikan izin khusus keluar masuk kamarnya. Dan biasanya, Pak Agus adalah orang yang paling rajin bangun shubuh di kamar ini. Ia akan membangunkan kami semua untuk ikut shalat berjamaah di mushalla. Meski hanya ada beberapa yang akan bangun. Tak jarang Pak Agus mendapat kata kasar dari napi yang merasa tidurnya terganggu karena dibangunkan. Tapi, tak sekali pun Pak Agus marah. Dan akan membangunkannya lagi keesokan shubuh. Hingga mereka hanya diam atau menjawab dengan deheman saja. Berbeda dengan shubuh ini, saat semuanya sudah pergi dan keadaan sel sudah ag
Pov Winda Sudah seminggu semenjak malam aku dan Hanan pergi makan malam berdua. Rasanya seperti baru kemarin. Aku terus membayangkannya dan tersenyum sendiri jika mengingat hal lucu yang dilakukan dan dikatakan Hanan selama dinner kami saat itu. Aku seperti ABG yang baru pertama kali jatuh cinta. Tapi, apakah benar aku sudah jatuh cinta pada pria berkacamat itu? Aku sendiri masih bingung dengan perasaanku sendiri. Aku ingin menolak mengakui kalau aku mulai mencintainya. Tapi, hati dan pikiranku tak bisa lepas dari bayang-bayang dirinya. Hanan. Apakah dia bisa menjaga hatinya hanya untukku, andai saja aku menerima cintanya kelak? Sedangkan, usianya masih jauh lebih muda dari usiaku. Mas Heru saja bisa tergoda pada wanita yang lebih muda dariku, apalagi Hanan. Pria itu pasti masih labil di usianya. Mudah jatuh cinta. Mudah pula berpaling jika ada yang lebih cantik dan menarik menurutnya. Aku sudah mulai rutin berbalas pesan setiap harinya
Pov Nia Sudah lama aku tidak pergi keluar bersama dengan Winda dan Ferdi. Terakhir kali aku bergabung bersama mereka itu adalah bulan lalu. Meski mereka masih saja sering mengajakku untuk sekedar makan bersama di restoran atau cafe langganan kami. Sebenarnya, aku hanya menghindari bertemu dengan Ferdi akhir-akhir ini. Karena aku menyadari, ada yang salah dengan perasaanku setiap kali aku bertemu dengannya. Belum lagi jika Ferdi masih dengan santainya merangkul dan memegang tanganku. Rasanya seperti ada aliran listrik yang menjalar di sekujur tubuhku oleh sentuhannya itu. Setiap kali ia menggoda Winda dengan kata-kata rayuan pulau kelapanya itu, hatiku jadi merasa tak nyaman. Apakah aku cemburu jika dia mendekatu Winda? Tapi, bukan kah sejak dulu aku tau kalau memang Winda adalah satu-satunya wanita yang ada di dalam hati Ferdi. Siang ini, aku sedang di kejaksaan. Mendampingi seorang nenek tua yang dituntut anaknya karena
Pov Author Tidak ada yang tau bagaimana perasaan mereka masing-masing. Baik, Winda mau pun Nia. Kedua sahabat itu sedang dilanda kegalauan dalam hatinya. Winda masih ragu mengartikan perasaannya pada Hanan. Begitu pula dengan Nia yang tiba-tiba saja memiliki perasaan aneh di dalam hatinya untuk Ferdi. Saat Ferdi memeluk Nia, gadis itu merasakan kehangatan dan kenyamanan yang selama ini ia cari. Meski ia sudah memiliki Winda sebagai sahabat terbaiknya, tempat berkeluh kesah membagi suka dan duka, tapi tetap saja ada yang kurang. Dan pelukan Ferdi itu seakan menutupi kekurangan yang selama ini ia rasakan. Nia merasakan hatinya tersentuh oleh pelukan Ferdi. "Gimana? Udah mulai nyaman rasanya?" tanya Ferdi pada Nia. Nia yang tersadar oleh pertanyaan Ferdi, bergegas melepas pelukan itu dan menjadi salah tingkah. Ferdi yang melihat sikap lucu Nia malah tertawa dan mengusap lembut puncak kepala Nia. "Tumben, salah tingkah gitu di de
"Sa, aku keluar makan siang dulu, ya. Nanti kalau ada yang penting banget, baru telpon aku. Oke?" ucapku pada Salsa. "Oke. Tenang aja, aku bisa kok handle di sini selama kamu kencan." jawab Salsa dengan senyum yang sengaja meledekku. "Bisa aja kamu, Sa. Tapi, makasih lho. Kamu pengertian banget." balasku sambil bersiap menjemput Winda di butik. "Iya dong, Nan. Aku tu kenal kamu bukan baru kemarin sore. Aku tau lah gimana kamu. Selama ini, yang ada dalam pikiran kamu kan cuma belajar dan bekerja. Baru kali ini aku liat kamu bersemangat untuk keluar, padahal cuma pergi makan siang. Jadi, aku yakin ini bukan makan siang biasa," tebak Salsa tidak salah lagi. "Yap, kamu benar. Aku lagi deketin perempuan yang udah lama banget aku suka. Dia dulu pasien aku, Sa." "Jadi, ceritanya pasienku idolaku nih?" "Ya, namanya juga usaha. Soalnya dia pernah gagal berumah tangga. Dan parahnya lagi, mantan suaminya hampir aja ngebunuh dia. Itu m
Pov Hanan Winda menatapku dengan lekat seolah sedang mencari sesuatu di dalam sana. Mungkin sebuah kejujuran atau ketulusan dari ucapanku tadi. Dan akhirnya Winda mengangguk dengan sangat yakin dan mengukir senyum di bibirnya yang mungil. Tak dapat aku ungkapkan bagaimana rasa bahagianya diriku saat ini. Saat melihat Winda mengangguk dengan sangat yakin dan tulus. Kugenggam tangannya erat. "Terima kasih, Win. Aku berjanji akan membayar semua kesedihan yang pernah kamu rasakan di masa lalu. Alu akan berusaha untuk selalu membahagiakan dirimu dengan caraku sendiri," jelasku pada Winda. "Lakukan saja semua seperti seharusnya. Aku akan menunggu dan melihat apakah ucapanmu itu bisa aku percaya atau tidak," jawab Winda dengan bijaksana. "Baik. Aku akan membuktikannya padamu, saat kamu sudah resmi menjadi istriku." "Kugantungkan segala impian dan kebahagiaan terakhirku pada hatimu. Tolong jangan perna
Terima ksih tak terhingga aku ucapkan pada semua pembaca setia karya-karyaku di Good Novel. Baik itu yang membaca dengan koin gratis dan harus sedikit berjuang + bersabar agar bisa membaca kelanjutan bab nya, maupun yang bela-belain top up koin demi bisa buka bab bergembok. Selama ini aku selalu mengatakan terima kasih untuk pembaca royalku, itu bukan sekedar untuk pembaca yang buka bab dengan koin hasil top up. Tapi kata-kata itu juga aku tujukan pada pembaca pejuang koin gratis dan untuk semua yang sudah royal meluangkan waktunya untuk membaca hasil ketikan jari jemariku ini. Aku mohon jangan ada lagi yang salah paham dan berkecil hati. Siapa pun kalian, dimana pun kalian berada, meski hanya buka bab pertama dari novelku saja, aku sudah mencintai kalian. Sayang sekali novel ini sudah harus tamat. Tapi, terus dukung dan baca karyaku yang lainnya, ya. Semoga aku secepatnya bisa menambah daftar karya terkontrakku lagi di Good Novel. Sekali
Pov AuthorWaktu begitu cepat berlalu, dan saat ini di dalam ruangan bersalin Winda sedang berjuang untuk melahirkan anak keduanya. Winda baru masuk sekitar 15 menit yang lalu. Kondisi saat ini jauh berbeda dengan saat ia melahirkan anak pertamanya dulu. Anak kedua ini lebih di permudah prosesnya. Winda ditemani oleh Hanan di dalam ruangan. Sementara itu, di luar sudah menunggu Mami Mery, Diana, Cantika, Jason, Nia, dan juga Ferdi. Anak mereka titipkan pada orang tua Ferdi."Oma, apa Bunda baik-baik aja?" tanya Cantika sambil memeluk Mami Mery."Iya, Sayang. Bunda baik-baik aja kok di dalam. Itu Bundanya kan sedang berjuang ngelahirin dedek bayi. Kita berdoa sama-sama, ya. Semoga Bunda dan dedek bayi sehat dan selamat," jawab Mami Mery sambil menciumi putri semata wayangnya. "Oma dan Om Jason kok ga punya adek bayi kayak Bunda? Itu, Tante Nia sama Om Ferdi juga mau punya bayi lagi." Cantika yang lucu dan menggemaskan berkata dengan polosnya."Sayang, Oma udah tua
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun dan menyiapkan sarapan untuk Mas Hanan dan Cantika. Hanya menu sederhana saja hari ini yang bisa aku buat, karena ternyata stok di kulkas tidak mencukupi lagi untuk membuat bubur ayam favorite Mas Hanan dan Cantika. Jadilah pagi ini aku hanya membuat nasi goreng spesial ala-ala cheff rumahan. Di rumahku sudah ada seorang asisten rumah tangga yang mulai bekerja seminggu yang lalu. Dia adalah ibu-ibu yang aku temui sedang mendorong gerobak menjajakan pisang yang ternyata juga punya orang lain. Hanya demi bisa membeli beras hari itu, ia rela berpanas-panasan berkeliling menjualkan pisang milik tetangganya. Menurut ibu itu, jika laki 1 sisir, maka ia akan mendapat 5 ribu rupiah sebagai untungnya. Sementara sejak pagi, baru laku 2 sisir. Untuk membeli sekilo beras saja belum cukup. Apalagi membeli telor sebagai lauknya makan. Di rumah ada dua orang anaknya yang sedang menunggu dengan perut lapar karena sudah sejak semalam belum makan nasi. Ha
Setelah petugas keamanan komplek datang, wanita itu segera dibawa bersama dengan seorang Dokter wanita. Mungkin karena tadi Mas Hanan mengatakan ia sedang dalam keadaan hamil besar, jadi untuk berjaga-jaga mereka juga membawa seorang Dokter. Dan ternyata itu juga sangat membantu. Wanita itu mengamuk awalnya karena bersikeras tak ingin pergi dan menganggap Mas Hanan adalah suaminya yang benama Jaka itu.Jalan terakhir yang dipilih Dokter adalah memberikannya suntik penenang. Dan setelah menunggu selama lima menit, akhirnya dia benar-benar tenang dan akhirnya tertidur. Mereka semua membawa wanita itu untuk ditangani oleh ahli kejiwaan dan akan mencari tau tentang informasi keluarganya.Sampai saat aku dan Mas Hanan sudah berada di dalam kamar, kami masih saja heran dengan bagaimana wanita itu bisa masuk ke rumah kami dan menganggap Mas Hanan adalah suaminya.Aku bahkan sempat membaca secarik kertas yang dia lemparkan pada Mas Hanan saat baru datang itu. Itu adalah surat d
Aku sangat terkejut dengan kedatangan wanita hamil yang tiba-tiba saja marah dengan melempar kertas pada suamiku itu. Entah apa maksudnya. Mas Hanan juga terlihat sangat heran. Kemudian dia berjalan lebih dekat pada Mas Hanan. Seketika itu juga, wanita hamil itu menghambur ke dalam pelukan suamiku. Dia memeluk Mas Hanan dengan sangat erat.Mas Hanan tampak semakin bingung dan berusaha menjauhkan wanita itu dari tubuhnya. Tapi, pelukannya terlihat semakin erat. Aku yakin Mas Hanan sangat takut berbuat kasar karena kondisi wanita itu yang sedang hamil besar."Mas, tega sekali kamu ninggalin aku demi perempuan ini? Apa kurangnya aku, Mas? Lihat ini, Mas. Aku juga bisa hamil, Mas. Aku bisa seperti dia. Tinggalin dia, Mas. Kembali padaku. Ini anak kita. Dia akan segera lahir ke dunia ini, Mas," ucap wanita itu dengan isak tangis yang tak bisa ia tahan.Sementara aku? Aku yang tadinya sudah berdiri, lantas kembali terduduk di atas kursi yang untungnya sangat lembut itu. Tubuh
Kebahagiaan yang Tuhan berikan seakan tak pernah ada habisnya. Kehamilan keduaku yang awalnya membuatku agak susah makan dan beraktifitas karena mabuk berat, ternyata hanya berlaku 2 bulan saja. Setelah kehamilan memasuki 7 bulan, semua orang sudah sangat tidak sabar menantikannya lahir. Terlebih lagi, saat aku memberitahukan hasil USG tentang bayi yang ada dalam kandunganku ini berjenis kelamin laki-laki. Itulah yang membuat semua orang sangat senang dan tidak sabar menantikan kehadirannya. Malam ini, di rumahku sedang diadakan acara do'a tujuh bulanan. Sangat banyak tamu yang datang. Hampir semua orang yang aku undang, menampakkan batang hidungnya malam ini di kediamanku yang sudah semakin besar karena Mas Hanan bersikeras merenovasinya beberapa bulan yang lalu. "Selamat ya, Win," ucap Nia, sahabatku yang paling aku sayangi dan selalu ada untukku dalam kondisi apapun. "Makasih ya, Beb. Kamu juga, bentar lagi mau nujuh bulanan kan?" jawabku dan kami saling berpe
Saat aku membayar semua belanjaanku di toko roti itu, aku masih dapat mendengar pertengkaran hebat antara Ranisa dan seorang wanita yang mengaku suaminya telah diambil oleh Ranisa itu. Kerumunan yang ada di sana terlihat semakin ramai dan tidak sedikit di antara mereka yang menghadapkan kamera ponselnya ke arah dua wanita yang sedang bersiteru itu. Sungguh pemandangan yang sangat memalukan untuk ditonton. Setelah selesai, aku mengajak Cantika untuk kembali masuk ke dalam mobil. Aku sudah tak ingin tau lagi dengan semua yang menimpanya. Meski dalam hati kecilku merasa iba, karena aku sempat melihat Ranisa sedang diamuk oleh wanita itu. Rambutnya ditarik dan wajahnya ditampar berkali-kali. Mirisnya, di samping Ranisa sedang berdiri seorang anak laki-laki yang aku tau itu adalah anak Ranisa. Entah bagaimana perasaan anak itu saat melihat ibunya dimaki dan dihina, diperlakukan seperti itu di depan umum. Mungkin sekarang ia belum mengerti dengan apa yang terjadi saat ini.
Sudah tiga bulan sejak meninggalnya Mas Heru. Dan aku memang menuruti semua saran Nia. Berusaha tidak peduli lagi pada masa lalu dan memikirkannya. Aku sama sekali berhasil melupakan segalanya dengan sangat mudah. Ternyata, semua itu berasal dari niat dalam hati kita sendiri. Jika kita benar-benar ingin melupakannya, maka lakukan lah dengan sangat elegan. Tidak perlu berusaha sekuat tenaga untuk membencinya. Hari ini aku sengaja pergi ke butik karena memang sudah lama aku tidak berkunjung langsung ke sana. Diana mengurus semuanya dengan sangat baik. Dari bagi hasil yang aku berikan pada Diana, dia sudah mampu membeli rumah dan mobil pribadi. Meski tidak yang terlalu mewah. Tapi, itu cukup berharga karena dibeli dari hasil kerja kerasnya. Diana juga berhasil memasarkan produk butikku ke luar negri. Sejak saat itulah, butik selalu banjir orderan. Diana memang sangat menguasi ilmu marketing yang bagus dan mampu memikat calon pembeli dengan sangat baik. "Bunda, nant
Pov Winda Tidak ada yang bisa aku lakukan di rumah saat hari kerja seperti ini. Cantika sudah selesai aku bantu mandi dan makan. Kami juga sudah bercengkrama dan saling bertukar pikiran tentang liburan akhir bulan yang sudah direncanakan oleh Mas Hanan kemarin. Rumah dan segalanya sudah beres dan rapi. Aku merasa sedikit bosan sebenarnya. Pernah aku berniat untuk kembali mengurus butik, tapi tak tega jika setiap hari harus membawa atau meninggalkan Cantika. Keduanya sama-sama tidak akan baik untuk tumbuh kembangnya. Lagi pula, Mas Hanan tidak memberikanku izin karena saat ini kami berencana untuk menambah momongan lagi. Aku sudah tidak memakai KB lagi dalam dua bulan terakhir. Namun, sepertinya masih belum beruntung untuk bulan ini. Dengan malas, aku menggeser-geser beranda media sosialku di ponsel. Banyak sekali orang yang memberikam tag pada akunku saat ini. Aku merasa heran, tumben sekali teman-temanku menandaiku pada sebuah berita yang berjudul 'Ditemuk