"Ternyata begitu. Tapi, kenapa Nenek menyuruh Herbert untuk membunuh Keenan? Apa itu nggak terlalu berlebihan?" tanya Venick dengan penasaran. Keenan ini hanya seorang tokoh kecil, membunuhnya hanya akan menyia-nyiakan sumber daya."Keenan? Aku bahkan nggak tahu dia itu siapa, kenapa aku bisa membunuhnya? Sepertinya itu keputusan Herbert sendiri. Tapi, itu nggak penting lagi. Entah orang itu hidup atau mati, nggak ada pengaruhnya," kata Luciana sambil melambaikan tangannya.Saat sedang berbicara, Luciana tiba-tiba merinding dan napasnya menjadi terengah-engah. Pada saat yang bersamaan, ada perasaan kesemutan mulai menyebar ke seluruh tubuhnya."Nenek nggak enak badan?" Venick segera menyadari ada yang aneh."Hanya penyakit lama kambuh saja. Pergi ke mobil dan ambilkan obatku, cepat." Luciana langsung memerintahkan Venick."Baik."Venick tidak berani menunda dan buru-buru berlari ke mobil Rolls-Royce di depan, lalu mulai mencari-cari. Beberapa saat kemudian, dia kembali dengan sebotol o
"Nenek!" Melihat Luciana yang tiba-tiba terjatuh, Venick terkejut. Dia tidak berani menunda dan langsung membawa neneknya ke rumah sakit. Setelah berusaha sekuat tenaga, nyawa Luciana berhasil diselamatkan, tetapi kondisinya sangat buruk."Dokter, bagaimana dengan nenekku?" Saat dokter keluar dari kamar pasien, Venick buru-buru maju dan bertanya."Tuan Venick, apa nenekmu sering mengonsumsi obat-obatan khusus?" tanya dokter."Ya, kondisi tubuh nenekku tidak baik, jadi dia mengonsumsi beberapa suplemen," jawab Venick tanpa menyangkal.Dokter menggelengkan kepalanya. "Mungkin bukan suplemen biasa. Pasien sangat kecanduan obat itu, banyak racun yang terkumpul di tubuhnya dan ditambah dengan usianya yang sudah tua juga. Kami benar-benar tidak bisa banyak membantunya.""Kenapa bisa begitu? Kalian adalah rumah sakit terbaik di sini, apa tidak ada cara lain?" kata Venick sambil mengernyitkan alisnya."Satu-satunya solusi untuk saat ini adalah biarkan pasien terus mengonsumsi obat itu. Dengan
"Kak, kita benar-benar akan meninggalkan tempat ini?" Roselyn merasa agak enggan saat melihat ruang kantor yang luas dan mewah ini.Belakangan ini, Roselyn yang menjadi sekretaris presdir selalu dihormati oleh orang-orang. Ke mana pun dia pergi, dia selalu mendapat sanjungan. Karena statusnya ini, Roselyn bahkan berhasil meniduri beberapa pria muda kaya raya. Kini, Ariana malah diberhentikan dari posisinya. Posisi Roselyn sebagai sekretaris pun hanya bisa berakhir."Gimana lagi? Sebelum pemimpin keluarga siuman, kita hanya bisa mendengar perintah," balas Ariana yang selesai membereskan ruang kantornya, lalu tak kuasa menghela napas. Dia tentu tidak bersedia menyerah begitu saja karena posisi ini didapatkannya dengan susah payah. Akan tetapi, Luciana yang memegang kekuasaan sehingga dia tidak bisa melawan."Semua gara-gara kamu! Kalau kamu nggak membuat Nyonya Tua Keluarga Warsono marah, jabatan Kak Ariana mana mungkin dicabut!" Roselyn sontak mengalihkan pandangannya, lalu menatap Luth
"Hah?" Venick hanya bisa terperangah karena tamparan itu. Dia memegang pipinya yang perih dan sulit memercayai kenyataan ini. Bagaimanapun, ini pertama kalinya dia ditampar oleh orang. Seketika, dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa.Adapun Helen dan lainnya, mereka hanya bisa saling bertatapan dengan terkejut. Berani sekali Luther menampar cucu keturunan resmi Keluarga Warsono? Besar sekali nyalinya!"Ka ... kamu menamparku?" Setelah tersadar dari keterkejutan, wajah Venick seketika menjadi sangat muram. Tatapannya itu seolah-olah ingin melahap Luther."Kenapa memangnya? Siapa suruh kamu bicaranya begitu lancang?" timpal Luther dengan tidak acuh."Dasar nggak tahu diri! Pengawal, hajar dia!" perintah Venick dengan gusar."Baik!" Beberapa pengawal yang berdiri di belakang pun mengeluarkan tongkat, lalu menyerbu ke arah Luther.Melihat ini, Luther segera mengangkat kakinya dan menendang para pengawal hingga semua terjatuh ke tanah. Tindakannya ini sungguh gesit dan kejam!Ekspresi V
Tidak ada gunanya jabatannya dipulihkan. Apabila Keluarga Warsono tidak senang, mereka bisa saja mencabut jabatan Ariana dengan mudah."Sebutkan permintaan ketigamu," ujar Venick."Ketiga, berikan semua saham Grup Warsono milik kalian kepada Ariana." Luther mengulurkan jarinya lagi."Apa? Semua saham Grup Warsono? Kamu mau merampok kami?" bentak Venick dengan raut wajah yang sontak berubah.Grup Warsono memiliki nilai pasar puluhan triliun, bahkan prospeknya juga sangat bagus. Jika mereka menjual semua saham mereka, setidaknya bisa mendapatkan 140 triliun. Ini jelas adalah jumlah yang sangat besar bagi seluruh anggota Keluarga Warsono."Memeras kalian akan lebih mudah daripada merampok." Luther berucap dengan lantang, "Pokoknya, itu permintaanku. Semuanya tergantung dirimu sendiri.""Nggak mungkin! Aku nggak mungkin menyetujuinya!" tolak Venick dengan keras. Begitu dia menjabat sebagai pemimpin keluarga, seluruh kekayaan itu akan menjadi aset miliknya. Jadi, dia tidak mungkin memberika
"Setuju?" Helen dan Roselyn sungguh tercengang mendengarnya. Keraguan mereka seketika sirna, digantikan dengan keterkejutan.Mereka benar-benar tidak menyangka bahwa Keluarga Warsono akan menyetujui permintaan Luther. Keluarga Warsono membuang saham senilai triliunan begitu saja? Bukankah hal ini terlalu berlebihan?Di sisi lain, Ariana juga tampak tercengang. Dia tidak mengerti, Keluarga Warsono bersedia membayar begitu mahal hanya untuk sebuah botol obat?"Kalau setuju, suruh nenekmu datang untuk menandatangani kontrak. Setelah itu, aku akan langsung menyerahkan obat ini padanya," ujar Luther sambil tersenyum.Luther sama sekali tidak terkejut dengan keputusan Luciana karena tahu orang yang kecanduan Bubuk Dewata tidak akan bisa menahan godaan. Apalagi, Keluarga Warsono masih memiliki fondasi yang kuat setelah menyerahkan aset dan perusahaan mereka ini.Setelah melihat Venick mengemudikan mobilnya pergi, Ariana yang penasaran pun bertanya, "Luther, obat apa yang sebenarnya ada di tan
"Mau ingkar janji, ya?" tanya Luther sambil tersenyum. Kemudian, dia mengeluarkan ponselnya dan membuka rekaman suara sebelumnya. Terdengarlah suara mereka dengan jelas.Selesai mendengarnya, wajah Helen dan Roselyn tampak merah. Mereka tidak menduga bahwa Luther akan merekam percakapan mereka."Kak, masih ada pekerjaan di kantor. Aku pamit dulu," ujar Roselyn yang bergegas ingin melarikan diri."Ya, ya, aku juga sibuk," ucap Helen sembari mengangguk. Keduanya buru-buru kabur dan tidak berani membuang-buang waktu."Mereka memang seperti itu, jangan dimasukkan ke hati," ujar Ariana dengan tidak berdaya."Sudahlah, aku nggak akan mempermasalahkannya untukmu," sahut Luther dengan murah hati."Terima kasih, kamu memang sangat baik." Ariana tersenyum, lalu teringat pada sesuatu. Kemudian, dia bertanya dengan malu, "Luther, untung ada kamu yang selalu menemaniku. Bagaimana kalau kita menikah lagi?""Hah?" Luther tertegun mendengarnya. Untuk seketika, dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa
Di pinggiran ibu kota provinsi, di dalam pangkalan militer. Terlihat sekelompok tentara yang berbaris dengan rapi, begitu juga dengan para jenderal dan bintara. Jika dilihat dari kejauhan, tempat ini seperti dipenuhi oleh lautan manusia.Selain pasukan reguler, semua tokoh besar di kalangan militer dan politik yang bisa hadir sudah ada di sini. Semuanya dipenuhi penantian dan tampak sedikit gugup."Jenderal Raiyen, apa Dewi Perang Hani benar-benar akan datang hari ini?" Ivan yang berdiri di barisan depan merendahkan suaranya untuk bertanya pada jenderal di depannya.Baru-baru ini, mereka tiba-tiba mendapatkan kabar bahwa Dewi Perang Hani akan datang ke ibu kota provinsi. Sebagai komandan Kavaleri Harimau Macan yang merupakan unit resmi Hani, Raiyen sampai buru-buru datang kemari."Tentu saja, kamu nggak melihat 2 orang kepercayaan Dewi Perang Hani sudah di sini?" timpal Raiyen sambil memberi isyarat mata agar Ivan melihat ke depan.Ivan memandang, lalu menemukan 2 jenderal wanita yang