Setelah melewati tembok kota, yang muncul di hadapan Jayden tidak ada bedanya dengan sebuah kota. Ada berbagai bangunan di depan sana, dari kamp, tempat latihan, tempat uji coba, gudang senjata, bunker, bandara militer, dan sebagainya. Terdapat pula fasilitas sipil.Jayden mengamati sesaat. Dari skala ini, tempat ini setidaknya bisa memuat 100 ribu orang. Dengan semua ini, mereka bisa saja menyerang kota dengan mudah.Saat ini, Jayden sekalipun dibuat takjub dengan pemandangan di depan matanya. Paviliun Lingga benar-benar pintar bersembunyi. Tanpa diduga, mereka menyembunyikan begitu banyak kekuatan. Mata-mata dari Atlandia bahkan tidak menyadari hal ini.Tiba-tiba, Jayden mulai menyesali pilihannya. Jika dia membunuh Yusuf di sini, apakah dirinya masih punya peluang untuk hidup? Jelas tidak mungkin."Silakan, Jenderal." Suara Bahran membuat Jayden tersadar dari lamunannya. Bahran membawanya ke ruang komando di tengah markas. Hanya beberapa orang yang tahu bahwa terdapat ruang bawah ta
"Pura-pura mati untuk menipu semua orang? Ada kejadian seperti itu?" tanya Yusuf sambil mengangkat alisnya."Aku juga nggak percaya kalau nggak melihat dengan mata kepala sendiri. Aku dipermainkan habis-habisan oleh Walter kali ini. Sekarang, bawahanku sudah berada di bawah komandonya. Aku nggak bisa membalikkan situasi lagi, makanya ingin meminta bantuanmu." Jayden menggeleng dengan pasrah."Tunggu, biar kucerna dulu." Yusuf tampak merenung. Sesaat kemudian, dia bertanya, "Maksudmu, rencana kami gagal dan Walter nggak mati. Selain itu, semua pasukanmu diambil alih olehnya dan kamu sudah buntu?""Benar, kira-kira seperti itu." Jayden mengangguk."Kalau rencanamu gagal dan pasukanmu diambil alih, gimana kamu bisa bebas dan datang ke sini?" tanya Yusuf dengan penasaran."Jujur saja, aku berpura-pura menyerah. Aku menipu mereka, lalu mencari peluang untuk kabur," timpal Jayden."Gimana caranya?" tanya Yusuf lagi.Jayden menyusun kata-katanya dan menjelaskan, "Sebelumnya, aku minta maaf pa
"Ada apa?" tanya Yusuf dengan nada datar."Kami menangkap 2 orang mata-mata di luar. Mereka seharusnya dari Atlandia. Apa yang harus kita lakukan, Master?" tanya mata-mata itu."Mata-mata?" Yusuf mengangkat alisnya dan menatap Jayden sesaat. Kemudian, dia menginstruksi, "Bawa masuk, biar kuinterogasi.""Baik!" Mata-mata itu mengiakan, lalu memberi isyarat tangan kepada orang-orang di luar. Segera, 2 orang berpakaian hitam yang diikat pun dilempar masuk.Begitu selotip di mulut dirobek, salah satu pria berpakaian hitam sontak memaki, "Berengsek kamu, Jayden! Beraninya kamu mengkhianati kami! Kamu pantas mati!""Tampar dia," perintah Yusuf dengan tidak acuh."Baik!" Mata-mata Paviliun Lingga segera maju dan menampar pria berpakaian hitam itu tanpa henti sampai mulutnya berdarah dan sebagian giginya copot."Jawab pertanyaanku. Kalau menolak, kalian hanya akan mati. Kalian orang Atlandia?" tanya Yusuf."Cih!" Pria berpakaian hitam yang wajahnya membengkak meludah dan membentak, "Ayo bunuh
"Tuan, mata-mata itu bukan diutus olehku. Aku benar-benar nggak tahu soal ini. Aku sudah memberitahumu semua yang terjadi dalam 2 hari ini. Kalau aku menipumu, petir boleh menyambarku!" jamin Jayden dengan penuh keyakinan."Hahaha! Jangan gugup begitu. Aku cuma bercanda kok." Yusuf menepuk bahu Jayden dan berujar sambil tersenyum, "Aku percaya padamu. Kedua mata-mata ini seharusnya diutus oleh Walter. Dia takut kamu kabur, makanya menyuruh orang membuntutimu.""Walter sangat licik. Dia bisa melakukan apa saja. Wajar kalau melakukan hal seperti ini. Untung tempat ini sangat aman, jadi mereka segera ketahuan. Kalau nggak, lokasi markas ini mungkin akan bocor!" ucap Jayden dengan lega."Aku nggak tahu berapa banyak informasi yang telah mereka dapatkan. Tapi, aku rasa Walter sudah tahu tentang lokasi markas ini," kata Yusuf."Walter sudah tahu? Kalau begitu, apa kita harus mundur?" tanya Jayden sambil mengangkat alis."Mundur?" Yusuf terkekeh-kekeh sebelum meneruskan, "Jangan panik. Meskip
Segera, pelayan membawakan anggur dan camilan. Jayden dan Yusuf pun terlihat sangat menikmati.Saat ini, di luar gunung, di sebuah rumah petani yang terlihat biasa. Luther dan Huston sedang menikmati teh sambil menunggu peluang.Sejak Jayden dibawa pergi, mereka terus membuntuti dan akhirnya tiba Pegunungan Heidam. Pegunungan Heidam sangat luas dan terletak di perbatasan.Separuh wilayahnya termasuk wilayah Atlandia, sedangkan separuh lagi termasuk wilayah musuh. Selama bertahun-tahun ini, kedua negara termasuk hidup berdampingan dengan damai. Meskipun demikian, tetap ada sedikit konflik di antara kedua belah pihak.Letak geografis Pegunungan Heidam agak khusus. Itu sebabnya, di sini hanya ada beberapa keluarga yang hidup dengan bertani dan berburu."Kak, Jayden sudah masuk cukup lama dan sinyalnya hilang sejak tadi. Mata-mata kita juga nggak memberi informasi apa pun. Apa mungkin terjadi sesuatu di dalam sana?" tanya Huston dengan ekspresi serius."Tunggu sebentar lagi." Luther berkat
Larut malam, di istana Atlandia."Uhuk, uhuk, uhuk ...." Walter duduk di pinggir ranjang sambil terbatuk hebat. Sekujur tubuhnya gemetar. Setiap kali terbatuk, terlihat percikan darah di lantai."Raja, obatnya sudah datang! Begitu mendengar Walter terbatuk, Haruna segera mengambilkan obat dan menghampiri dengan tergesa-gesa.Haruna meletakkan mangkuk obat, lalu menepuk punggung Walter dengan ringan. Sorot matanya dipenuhi kecemasan.Sesaat kemudian, batuk Walter akhirnya berhenti. Namun, lantai dipenuhi dengan genangan darah. Wajah Walter sungguh pucat. Keringat dingin bercucuran di dahinya."Raja, cepat minum obatnya," ujar Haruna sambil mengambil mangkuk obat dan menyodorkannya dengan kedua tangan."Pahit sekali, aromanya saja sudah membuatku mual," tolak Walter sambil mengernyit. "Obat bagus memang pahit, ayo diminum," bujuk Haruna dengan lembut."Aku sudah mau mati, untuk apa minum obat lagi?" Walter menggeleng."Jangan bicara sembarangan! Kamu pasti bisa panjang umur!" ucap Harun
Walter tersenyum dan meneruskan, "Jayden terkena racun. Kalau ingin mempertahankan nyawa, dia harus menuruti perintah kita.""Gimana kalau ada yang bisa menetralisasi racun itu?" tanya Haruna dengan penasaran."Bukan masalah." Walter menjelaskan, "Jayden nggak bodoh. Dia tahu bekerja sama dengan Yusuf sangat berbahaya. Dulu, Yusuf mungkin akan berwaspada pada Jayden karena dia punya pasukan.""Tapi, sekarang dia nggak punya apa-apa. Statusnya nggak lagi setara dengan Yusuf. Dia hanya bakal mati kalau kehilangan nilainya. Hal ini nggak berlaku untuk kita. Dia adalah anggota Keluarga Bennett. Sekalipun dia memberontak, kita tetap bisa mengampuni nyawanya.""Kalau berhasil menyelesaikan misi ini dan menebus dosanya, bukankah dia akan hidup damai dan makmur seperti dulu? Jadi, menurutmu Jayden akan membuat pilihan seperti apa?""Raja, yang kamu katakan memang masuk akal. Tapi, hati manusia sulit ditebak. Kalau Jayden nggak bisa menilai situasi dengan baik dan memilih untuk terus melakukan
"Huston, sepertinya kamu belajar banyak selama ini. Kamu benar, kita memang nggak boleh bertindak gegabah, setidaknya harus tahu situasi di dalam. Mereka punya banyak ahli bela diri, jadi mata-mata kita nggak mungkin bisa masuk. Aku memutuskan untuk masuk sendiri," ujar Luther yang tersenyum."Apa nggak terlalu berbahaya, Kak? Kamu calon Raja Atlandia, nggak seharusnya mempertaruhkan nyawa seperti ini. Biar aku saja. Lagian, aku sudah mencapai tingkat master. Aku bisa kabur kalau bertemu bahaya," ucap Huston dengan cemas."Nggak boleh!" Luther menolak. "Kemampuanmu memang lumayan, tapi masih kurang kalau harus menghadapi ahli bela diri Paviliun Lingga. Kalau ketahuan oleh Yusuf, kamu nggak bakal bisa kabur.""Tapi ...." Huston masih ingin bicara, tetapi Luther sudah mengangkat tangan dan menyela, "Jangan membantah lagi. Aku yang membuat keputusan di sini. Kamu cukup menunggu kabarku di sini."Usai berbicara, Luther membawa mata-mata itu keluar. Huston memang merasa cemas, tetapi tidak