"Kau yakin akan kembali sekarang?" Wenny bertanya pada Lucia yang terlihat sedang mengemas barang miliknya. "Tidak ingin ikut denganku dulu?"Rencananya, hari ini Lucia akan pulang ke kota Y. Sementara Wenny akan kembali ke negaranya sendiri. Keduanya sama-sama sedang berkemas saat ini, karena sebentar lagi mereka akan ke bandara."Tidak. Aku sudah terlalu lama pergi." Sembari menjawab pertanyaan Wenny, Lucia melipat pakaian miliknya dan memasukkan ke dalam tas. "Aku harus kembali dan menyelesaikan masalahku dengan Dean." Bagaimanapun juga, dia tetap harus menghadapi Dean. Tidak mungkin dia terus menghindarinya terus."Setidaknya, tunggu sampai kau siap.""Aku sudah siap untuk bicara dengannya."Setelah merenung dan menenangkan diri selama dua minggu lebih, Lucia akhirnya sudah merasa lebih tenang dan bisa berpikir dengan baik. Seandainya nanti dia berbicara dengan Dean, dia tidak akan meledak-ledak seperti terakhir kali memergoki Dean bersama Carissa."Aku tidak tahu apa yang akan d
Dean yang sejak tadi terus menatap ke depan, akhirnya memutar tubuhnya hingga menghadap Lucia. "Tidak. Aku tidak pernah berniat untuk membalas dendam padamu, dan aku tidak pernah merencakan kejadian malam itu, termasuk menyebarkan vidio itu.” “Memang bukan kau yang melakukan itu, tapi kau menyuruh Carissa.”Itulah informasi yang Lucia dapat dari orang tidak dikenal itu. Dean dan Carissa bekerja sama untuk menjebaknya. Orang itu juga mengatakan kalau Dean tidak pernah mencintainya. Dean mendekati Lucia hanya untuk membalas dendam padanya.“Aku tidak pernah menyuruh Carissa. Nanti, akan aku tunjukkan bukti kalau aku tidak ada hubungan sama sekali dengan kejadian itu,” kata Dean dengan yakin. "Aku akan memberitahu semuanya padamu nanti.""Tidak. Aku ingin tahu sekarang." Lucia tidak mau mengulur waktu lagi, karena sudah sejak lama, dia ingin tahu mengenai kejadian 3 tahun lalu. "Kau tidak ingin masuk ke dalam dulu?"Lucia menggeleng usai menyeka sisa air matanya. "Tidak. Nanti saja."
"Maafkan aku. Ibu berpikir kalau kalian bekerja sama untuk menyembunyikan Jensen. Jadi, dia memintaku untuk menggunakan cari itu memancingnya keluar."Sebenarnya, Dean tidak setuju dengan rencana ibunya itu. Sejak awal, Dean tidak setuju menggunakan cara itu, dia takut Lucia akan kecewa dan marah padanya, tapi ibunya mengancam akan menghancurkan Lucia dan keluarganya, jika Dean tidak ingin menggunakan cara itu. Selain menjadi menantu keluarga berpegaruh di kota Y, ibu Dean juga berasal dari keluarga berpengaruh di kota C. Itu sebabnya, Dean terpaksa menyetujui rencana ibunya. Jika sampai keluarga dari pihak ibunya bertindak, Dean tidak yakin bisa melindungi Lucia dan keluarga nanti. Itu sebabnya, dia terpaksa menyetujui permintaan ibunya, dengan maksud, akan melakukan pesta pernikahan mereka lagi nanti, setelah Jensen ditemukan, tapi sayangnya, cara itu tidak membuahkan hasil.Setelah menunggu selama sebulan lebih, Jensen tidak kunjung datang. Padahal, berita mengenai batalnya perni
Lucia mengurai pelukan Dean, mendongakkan kepada hingga netranya bertabrakan dengan mata hitam Dean. "Kau belum menjelaskan mengenai pertemuanmu dengan Carissa. Kenapa kau sering sekali bertemu dengannya di hotel berbeda?"Bukannya menjawab pertanyaan Lucia, Dean justru menarik senyuman sangat tipis di bibirnya, kemudian menggodan Lucia. "Kau sungguh berpikir aku memiliki hubungan dengan Carissa?""Sudahlah. Percuma saja bertanya padamu." Wajah Lucia nampak cemberut, dia mendorong dada suaminya dengan pelan. Saat dia akan bangkit, tangan Dean langsung menahan pinggangnya."Mau ke mana?""Tidak ke mana-mana," jawan Lucia acuh tak acuh."Masih cemburu dengannya?" tanya Dean seraya mengamati eskpresi istrinya. Tatapannya begitu lekat hingga membuat Lucia menjadi salah tingkah.Melihat Lucia bungkam, Dean kembali tersenyum tipis. "Aku tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Carissa. Aku bertemu dengannya, karena ada hal penting yang harus aku bicarakan dengannya.""Hal penting apa?"Dean m
"Kenapa tidak tidur?" tanya Dean lembut usai menarik selimut untuk menutupi tubuh keduanya. "Tidak mengantuk?"Lucia menggeleng pelan seraya memainkan jemari tangannya di dada suaminya. Saat ini, dia sedang berbaring miring dengan kepala yang berada di lengan suaminya. Sementara itu, ada tangan Dean melingkar di pinggangnya."Tidur sebentar. Setelah itu kita makan di bawah."Bagaimanapun, mereka belum istirahat. Dia langsung mengajak istrinya ke rumah sakit tempat adiknya dirawat, setelah tiba di Bristol. Setelah itu, baru membawanya ke hotel. Bukannya membiarkan istrinya istirahat, dia justru menghajar istrinya tanpa ampun. Jadi, dia takut istrinya lelah."Aku tidak mengantuk."Lucia sudah lama tidur di pesawat. Jadi, wajar saja kalau tidak mengantuk. Meskipun dia merasa tubuhnya pegal, tapi matanya tidak mau terpejam."Tidak lelah?" tanya Dean seraya menunduk ke bawah untuk melihat wajah istrinya. "Tidak."Tidak?Dean nampak mengerutkan keningnya. Istrinya terlalu tanggguh atau sta
"Jangan terlalu dipikirkan. Aku akan meminta orang untuk mencarinya lagi." Dean akhirnya angkat bicara setelah melihat istrinya sejak tadi diam saja. Saat ini, mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit tempat Bernice dirawat. Semenjak tidak berhasil mengikuti mobil hitam yang diduga dinaiki Jensen, Lucia menjandi murung. Entah apa yang ada di pikirannya, tapi dia lebih banyak diam sejak kemarin."Kita pasti bisa menemukannya. Jangan cemas lagi," ujar Dean sembari menatap istrinya yang duduk di sebelahnya."Aku tidak mencemaskannya, tapi aku marah padanya." Suara Lucia mulai terdengar bergetar. "Bagaimana bisa dia hidup tanpa beban setelah menghancurkan hidup Bernice." Mata Lucia pun mulai berkaca-kaca, dan tidak lama setelahnya, air matanya pun luruh begitu saja. Entah kenapa, belakangan ini, dia merasa sangat sensitif. Mudah sekali menangis. Padahal, dulu dia tidak begitu."Jika dia tidak peduli denganku, aku masih bisa memakluminya, tapi aku tidak bisa memaafkannya, karena
"Sayang, makanlah. Ini sudah sore." Dean sedang berusaha membujuk istrinya untuk makan, karena sejak pulang dari rumah sakit, Lucia langsung mengurung diri kamar hotel. Dia terus berbaring sambil melamun.Sudah berkali-kali Dean mengajaknya untuk makan, tapi Lucia menolak. Alasannya, karena dia tidak selera makan. Akhirnya Dean membiarkan istrinya untuk sendiri dulu. Dia tahu kalau istrinya itu masih terkejut dengan dengan kondisi Bernice. Jadi, butuh waktu untuk menerima kenyataan yang ada."Aku belum lapar," jawab Lucia tanpa menoleh pada Dean. Lucia nampak sedang duduk di dekat dinding kaca kamarnya sembari menatap ke luar dengan tatapan kosong.Dean akhirnya menghampiri istrinya setelah meletakkan makanan yang tadi baru saja diambil dari atas nakas. "Tapi, kau harus tetap makan. Aku tidak mau kau sakit."Lucia memutar tubuhnya ke samping setelah suaminya berdiri tepat di sampingnya. "Nanti aku akan makan jika sudah lapar."Kau masih memikirkan Bernice?”Lucia mengangguk dengan waj
"Di mana Carissa?" tanya Dean setelah asistennya masuk ke ruangan kerjanya."Sedang dalam perjalanan, Tuan.""Lalu Rebecca?""Sudah di tempat yang Tuan perintahkan."Dean berpikir sebentar, lalu berkata, "Tunggu di bawah. Aku hubungi istriku dulu."Nolan menjawab seraya mengangguk, kemudian keluar dari ruangan itu."Sayang, kau sedang apa?" tanya Dean setelah panggilan telponnya tersambung. "Baru selesai makan. Kau kapan ke sini?" Terdengar suara Lucia di ujung telpon."Belum tahu. Pekerjaanku masih banyak."Tidak terdengar apa pun di sebrang sana, hingga Dean kembali membuka suaranya, "Kenapa? Sudah merindukan aku?""Bekerjalah, aku tutup dulu telponnya."Tahu kalau istrinya sedang marah, Dean segera berbicara, "Aku akan ke sana lusa.""Benarkah?" Suara Lucia terdengar antusias, tidak lesu seperti sebelumnya. "Kau tidak berbohong, kan?""Tidak. Setelah urusanku selesai. Aku akan langsung terbang ke sana."Lucia terdengar memekik kegirangan. Sepertinya dia merasa sangat senang saat t