Setelah kembali ke rumah, Davie terkejut melihat sosok wanita yang tak asing baginya. Wanita itu adalah Naura, mantan kekasihnya. Untuk apa dia datang ke rumah Davie? Padahal Davie sudah melarangnya.Davie mempercepat langkahnya untuk menghampiri Naura yang terlihat sibuk dengan penggorengannya. Dengan sedikit kasar, Davie menarik tangan wanita itu agar menoleh padanya. Jelas terlihat ekspresi terkejut Naura saat menatap Davie."Kamu ngapain di sini?""Ehm, aku cuma-""Cuma apa?!" Davie sedikit meninggikan suaranya saat menyela ucapan Naura. "Aku udah bilang sama kamu kan sebelumnya. Jangan pernah datang ke rumah aku. Urusan kamu sama suami kamu belum selesai. Kamu kesini cuma nambah masalah aja."Naura hendak berbicara. Namun suara Khairil yang masih berada di dalam kamar langsung menginterupsi. Davie dan Naura kompak menoleh ke arah pintu kamar Khairil yang baru saja dibuka. Khairil sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Pria itu hanya mengenakan handuk kimono berwarna p
Ileana dan Jian sudah masuk ke dalam ruang produksi. Berdasarkan hasil pengecekan beberapa hari terakhir, ada banyak kerusakan di sebagian alat-alat produksi. Tampaknya perusahaan harus segera menggantinya dengan yang baru. Alat-alat itu memang sudah lama juga tidak diganti. Wajar saja sering mengalami kerusakan.Ileana mengambil sebuah catatan yang nantinya akan dijadikan sebagai pelaporan ke atasan. Sementara Jian mengecek alat-alat yang rusak tersebut. Mungkin untuk sementara waktu mereka akan memperbaikinya agar kegiatan produksi tetap berjalan."Ilea, kenapa lo nggak biarin gue mukul dia lagi sih? Gue masih kesel sama tuh orang," ujar Jian."Gue cuma nggak mau lo terlibat masalah hanya karena belain gue, Ji," jawab Ileana tanpa menoleh ke arah Jian. "Gue harus perbaiki reputasi gue lagi di sini. Udah banyak banget fitnah yang disebar, perkara gue dekat sama anaknya boss."Jian menghentikan aktivitasnya untuk menatap Ileana yang masih sibuk dengan catatannya. "Tapi menurut gue, it
Sudah seminggu sejak pertemuannya dengan Davie terakhir kali di rumah waktu itu, Ileana tidak pernah bertemu kembali dengannya. Pria itu tidak datang ke kantor. Padahal Davie terkenal sangat disiplin dan patuh pada peraturan. Bahkan Davie sering datang lebih pagi sebelum karyawan lain.Ileana merasa hampa kali ini. Tidak ada yang mengganggunya. Memang menyebalkan, namun Ileana merasa kehilangan sosok pria itu.Ileana menghembuskan napas panjang. Merasa tidak bergairah untuk bekerja. Sejak tadi, ia terus duduk melamun di ruangannya."Heh!"Sebuah tepukan di pundak membuat Ileana terlonjak kaget. "Ih, Jian! Kaget gue!""Ya suruh siapa lo ngelamun dari tadi. Gue panggilin nggak dengar-dengar. Terpaksa gue tepuk pundak lo," ujar Jian sambil duduk di samping Ileana. "Lo kenapa sih? Dari tadi diam aja. Ada apa?""Hhh! Gue kepikiran Davie, Ji. Gimana kabarnya sekarang ya? Udah seminggu loh dia nggak masuk ke kantor."Jian mendecak kesal. Disentilnya dahi Ileana hingga membuat Ileana mengaduh
Saat jam makan siang, Ileana bersama Jian berencana untuk pergi ke kantin kantor. Hari ini, Ileana tidak sempat membawa bekal karena kesiangan. Jadi, terpaksa ia makan di kantin.Dalam perjalanan menuju kantin, Ileana sempat memperhatikan beberapa karyawan yang berpapasan dengannya. Mereka tampak memperhatikan Ileana, seolah sedang meremehkan dirinya.Entah itu perasaan Ileana saja, atau memang sedang terjadi sesuatu, namun Ileana tidak mengetahuinya. Bahkan tatapan karyawan yang ada di kantin saat ini pun sama. Tatapan mereka membuat Ileana merasa tidak nyaman."Ji, lo ngerasa nggak sih?" tanya Ileana sambil duduk di kursi kantin."Ngerasa apa?""Karyawan di sini lihatin gue terus. Tatapannya sinis, kayak ngeremehin gue."Jian menoleh ke beberapa karyawan yang ada di kantin. Tapi semua mengalihkan pandangan saat Jian menatap mereka."Abaikan aja. Nggak usah dipikirin," ujar Jian saat menyadari hal tersebut. "Sekarang, fokus aja sama karir lo. Nggak usah pikirin mereka. Anggap aja mer
Pukul 17.00 sore, Ileana dan Jian berjalan beriringan. Mereka berencana untuk pulang bersama. Sejujurnya, Jian yang memaksa karena ia tidak ingin Ileana terlalu lama menunggu angkutan umum. Ileana hanya bisa pasrah dan menuruti permintaan Jian.Saat kaki mereka melangkah menuju lobi, mereka disambut oleh beberapa karyawan di sana. Para karyawan tengah berkumpul dan melempar tatapan sinis hanya kepada Ileana saja."Ada apa nih?" tanya Jian."Ji, kamu jangan dekat-dekat sama pelakor deh. Dia itu murahan, munafik lagi," celetuk salah satu dari karyawan di sana."Iya, bener tuh," sahut yang lain kompak.Jian mengernyit heran. "Kalian tuh dengar gosip darimana sih? Jangan asal tuduh sembarangan. Kalian bisa aku laporin loh. Menuduh tanpa bukti.""Ada kok buktinya!""Mana? Coba tunjukin," tantang Jian dengan ekspresi kesalnya.Semua karyawan itu terdiam. Mereka tidak bisa memberikan bukti apapun. Jian lantas mendecih pelan. Menatap semua karyawan dengan sinis."Kalau nggak ada bukti, jangan
Sesampainya di rumah, Ileana mempersilahkan Jian untuk duduk di kursi teras. Ileana terduduk lemas di kursi sambil meneteskan air mata. Tubuhnya sudah sangat bau karena telur busuk yang dilemparkan kepadanya. Tanpa disadari, Ileana sudah menangis. Menumpahkan rasa sakit dan pahit yang disebabkan oleh ulah Naura.Jian merasa prihatin melihat Ileana. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa selain diam. Hanya ada suara isak tangis dari Ileana yang memecah keheningan di antara mereka."Mereka jahat. Jahat banget," gumam Ileana lirih. "Apa salah gue?""Lo nggak salah, Ilea," jawab Jian.Ileana semakin terisak. Ia tak malu lagi menangis di depan Jian. Baginya, Jian sudah seperti saudaranya sendiri. Hanya pria itu yang selalu mengerti keadaannya."Ilea, jangan nangis," ucap Jian lagi sambil mengusap punggung tangan Ileana yang terletak di atas meja kecil. "Semuanya bakal baik-baik aja. Suatu saat, mereka bakal kena karmanya. Lo harus percaya itu.""Gue nggak sanggup, Ji. Gue udah capek kali ini."
Keesokan harinya, tepat pukul 08.00 pagi, Ileana tiba di perusahaan terkutuk itu sambil membawa sebuah amplop putih di tangan kanannya. Ia bahkan hanya memakai kaos putih polos dan jeans biru serta sepasang sepatu converse hitam liris putih. Tak lupa, kemeja kotak-kotak berwarna hitam ia ikatkan di pinggangnya.Ileana mengabaikan tatapan para karyawan yang telah ikut merendahkannya kemarin sore. Tujuannya kali ini hanya untuk bertemu dengan Davie.Pintu ruangan Davie diketuk sampai akhirnya suara dari dalam memintanya untuk masuk. Setelah berada di dalam, Ileana segera menghampiri meja kerja Davie dan menyerahkan amplop putih itu.Davie menatap amplop itu sejenak, lalu beralih menatap Ileana sambil bertanya, "Apa ini?""Surat pengunduran diri.""Apa maksud kamu?""Apa kamu tuli? Apa perlu aku ulangi lagi? Itu surat pengunduran diri," ucap Ileana sarkas.Davie mendorong amplop itu ke arah Ileana. "Saya nggak terima surat pengunduran diri ini. Kamu nggak bisa keluar dari sini.""Kenapa?
Davie berjalan menuju ruang engineer. Tujuannya saat ini memastikan apakah Ileana tetap bekerja hari ini atau tidak. Ia membuka pintu ruangan tersebut, namun tidak ada siapapun di sana."Oh, mungkin lagi di ruang produksi kali," gumamnya lalu beranjak pergi menuju ruang produksi.Saat Davie memasuki ruang produksi, para engineer di sana langsung menunduk hormat padanya. Mereka menatap Davie dengan heran. Pasalnya Davie tidak fokus pada mereka dan terlihat celingukan mencari seseorang.Salah satu kepala engineer di sana menghampiri Davie. "Maaf, Pak, cari siapa?""Oh," Davie berdeham sejenak lalu melanjutkan ucapannya, "...saya cari Ileana. Dia kemana? Saya ada perlu sama dia.""Hari ini, Ilea izin nggak masuk, Pak. Tadi sempat ketemu saya."Davie mengangguk paham. "Terus, Jian kemana? Kok dia juga nggak ada?""Kalau Jian saya nggak tahu, Pak. Soalnya dia nggak ada ngasih info ke saya dari pagi. Padahal kerjaan lumayan banyak hari ini. Kemarin ada catatan dari Ilea soal mesin produksi
20 tahun kemudian….Braga keluar dari rutan sambil membawa tas berisi pakaian dan peralatan mandinya. Setelah 20 tahun lamanya berada di penjara, akhirnya hari ini, Braga bisa menghirup udara bebas.Tampak dari sisi gerbang rutan, seorang wanita, berusia kurang lebih 25 tahun, melambaikan tangan ke arah Braga. Wanita itu sudah terlihat sukses saat ini.Braga tersenyum manis sambil menghampiri wanita itu. Dipeluknya wanita itu dengan penuh cinta dan kasih sayang."Akhirnya Papa bebas juga."Wanita itu adalah Nisaka. Ia sudah tumbuh menjadi anak yang dewasa dan mandiri. Di usianya yang ke 25 tahun, Nisaka sudah memiliki rumah dan mobil berkat kerja kerasnya selama ini. Dukungan Davie dan Ileana juga sangat berpengaruh pada karirnya."Iya, Nak. Alhamdulillah, Papa bisa bebas sekarang. Papa nggak nyangka, kamu udah sebesar ini, Nak. Kamu juga udah sukses sekarang," ucap Braga sambil melepas pelukannya dan menatap wajah Nisaka.Nisaka tersenyum. "Alhamdulillah, Pa. Nisa bisa sampai di titi
6 tahun kemudian….Davie bersama Adinda yang sudah berusia 6 tahun bermain di taman kota, ditemani oleh Ileana dan Nisaka. Sedangkan Bi Tuti sudah meninggal setahun yang lalu, bersamaan dengan meninggalnya Khairil di dalam tahanan karena bunuh diri.Saat itu, Khairil mengalami depresi karena tidak tahan menjalani hukuman di dalam penjara. Ia memutuskan untuk gantung diri di dalam tahanan. Tahun lalu merupakan tahun terburuk bagi Davie dan Ileana. Mereka harus kehilangan dua orang yang disayang sekaligus. Bi Tuti sudah seperti orang tua sendiri bagi Davie dan Ileana. Setelah kehilangan Bi Tuti, Davie dan Ileana sempat terpuruk. Ditambah lagi ada berita tentang Khairil yang juga tewas gantung diri.Tapi semua itu bisa mereka lewati seiring berjalannya waktu. Mereka baru saja mengunjungi Braga dan Nisaka yang sudah beranjak remaja itu pun semakin memahami kondisi Braga saat ini."Tante," panggil Nisaka setelah selesai berlarian dengan Adinda."Iya, Nisa. Ada apa?" tanya Ileana."Nisa mau
Tiga minggu setelah selesai dengan urusan pernikahan Karina dan Jian, Davie mengajak Ileana untuk kembali ke Jakarta. Sedangkan Karina dan Jian masih akan menetap di Bandung untuk beberapa bulan.Davie dan Ileana sudah berpamitan dengan keluarga besar Karina dan Jian. Mereka pulang ke Jakarta menggunakan pesawat.Dan sekitar beberapa jam, mereka tiba di Jakarta. Davie dan Ileana masuk ke dalam taksi yang akan membawa mereka pulang ke rumah.Sesampainya di depan rumah, Nisaka langsung menghampiri mereka. Nisaka sangat merindukan Om dan Tantenya itu. Bi Tuti juga memasakkan makanan spesial untuk menyambut Davie dan Ileana. Mereka makan bersama setelah Davie dan Ileana selesai membersihkan diri."Nisa, kamu mau ikut Om jalan-jalan nggak?" tanya Davie setelah selesai makan."Mau sih, Om. Tapi Om kan baru pulang. Nanti capek loh.""Nggak masalah. Om mau ngajak kamu ke suatu tempat. Kamu pasti seneng.""Boleh deh kalau gitu. Tante juga ikut, kan?" tanya Nisaka pada Ileana.Ileana langsung m
"Oh iya, gimana sama Braga?" tanya Karina setelah melepas pelukannya pada Ileana.Ileana menghela napas panjang. Haruskah ia mengingat kembali nama itu? Ia masih belum sepenuhnya memaafkan kesalahan Braga, meskipun Braga sudah berusaha untuk menebus semuanya. Tapi tetap saja, luka itu masih terasa sampai sekarang."Dia bilang mau nyerahin diri ke polisi. Surat tanah dan rumah punya mendiang Ayah juga udah dibalikin ke aku. Sebelum Ayah meninggal, Braga sempat ketemu sama Nisaka di taman. Mereka main bareng, terus berpisah lagi. Dan di hari yang sama, aku kehilangan Ayah," ucap Ileana lirih.Karina mengusap punggung tangan Ileana. Berniat menenangkannya. "Aku bisa ngerti perasaan kamu. Aku juga mau minta maaf karena sempat dengar obrolan kamu sama Davie. Dari situ, aku sengaja cari tahu soal Braga, siapa dia sebenarnya, dan apa pekerjaannya. Aku sempat kaget waktu baca kasus pembunuhan yang dia lakuin sama Kakak kamu.""Terus, dia juga udah banyak nipu orang. Uang yang dia dapat itu da
Sepulang dari Bogor, Ileana merasakan nyeri yang teramat dahsyat di area perutnya. Ileana sampai membungkuk untuk berjalan masuk ke rumah."Sayang, kamu kenapa?" tanya Davie cemas."Nggak tahu, Mas. Perut aku sakit banget."Davie bisa melihat bulir-bulir keringat sudah bermunculan di kening Ileana. Segera ia menggendong Ileana masuk ke dalam rumah. Merebahkan tubuhnya di atas kasur.Tapi hal yang paling mengejutkan adalah, noda darah di bagian bawah gamis yang dikenakan Ileana saat ini. Noda darah itu begitu banyak dan kental."Sayang, kok baju kamu banyak darah gini?" tanya Davie.Ileana tidak merespon. Davie pun menatap wajah sang istri yang sudah pucat dan tak sadarkan diri. Hal itu tentunya menimbulkan kepanikan tersendiri bagi Davie. Ada apa ini?"Bi! Bi Tuti!" teriak Davie memanggil Bi Tuti.Bi Tuti yang mendengar teriakan Davie pun bergegas masuk ke dalam kamar. "Ada apa, Mas Davie?""Bi, ini Ileana pingsan. Terus ada darah di gamisnya," jawab Davie panik."Ya Allah! Cepat diba
Malam hari, pukul 20.00 malam, Ileana masih termenung sambil duduk di kursi taman. Pemakaman Ikhwan sudah ia laksanakan sebelum hari gelap. Bahkan ia tak sempat menghubungi keluarga Ikhwan yang lainnya, kecuali Aldi dan Diana. Itupun karena Davie yang berinisiatif menghubungi mereka.Ileana seperti tidak memiliki semangat hidup saat ini. Kepergian Ikhwan masih menjadi mimpi baginya. Tidak menyangka akan secepat ini terjadi. Impian hidup bahagia bersama Ikhwan, Davie dan Nisaka lenyap sudah. Padahal Ileana sudah berhasil mengambil surat-surat penting itu dari Braga. Sampai harus mengorbankan Davie untuk sesaat demi Ikhwan."Ayah…." lirihnya.Sedangkan dari arah pintu masuk, Davie berdiri menatap sang istri yang duduk membelakanginya. Davie bisa merasakan kesedihan istrinya saat ini."Om."Davie menoleh ke samping kanan. Ternyata Nisaka juga ikut memandangi Ileana. "Kamu kok belum tidur, Nisa?""Nisa nggak bisa tidur, Om. Kepikiran sama Tante Ilea. Tante kelihatan sedih banget, Om," uja
Seharian ini, Nisaka tampak bahagia karena bisa bermain bersama Braga di taman hingga menjelang sore. Braga pun pamit sambil menitipkan Nisaka pada Davie dan Ileana. Braga juga meminta maaf untuk kesekian kalinya pada pasangan suami istri itu."Titip dia ya, Ilea, Davie. Gue cuma percaya sama kalian," ucap Braga."Iya, Ga. Dia aman sama kita," kata Davie."Makasih banyak ya. Gue pamit sekarang."Davie hanya mengangguk dan membiarkan Braga pergi. Sedangkan Ileana tidak berkata apapun. Ia hanya diam sambil menatap kepergian Braga. Setelah itu, dipeluknya Nisaka yang menangis karena Braga pergi."Nisa, kamu yang sabar ya. Nanti kalau urusan Papa kamu selesai, dia pasti bakal balik lagi," ujar Ileana menguatkan."Iya, Tante. Nisa bakal nunggu Papa.""Ya udah, sekarang kita jemput Kakek yuk!" ajak Davie penuh semangat.Ileana melepas pelukannya pada Nisaka dan bergegas menuju ke mobil untuk menjemput Ikhwan. Perjalanan kali ini akan sedikit jauh. Itu sebabnya Davie sudah membeli beberapa m
"Nisa, Om mau bicara sebentar."Nisaka menatap Davie dengan senyum terkembang. Saat ini, hatinya sedang bahagia karena bisa melihat wajah sumringah Davie setelah bertemu kembali dengan Ileana."Om mau ngomong apa?"Davie mengelus kepala Nisaka, lalu menjawab, "Kita bicara di taman aja ya. Soalnya ini pembicaraan serius.""Oh, oke."Nisaka berdiri dan melangkah, mengikuti Davie menuju taman di halaman depan rumah. Mereka duduk bersebelahan di kursi taman bercat putih."Nisa, sebelumnya, Om minta maaf karena baru ngasih tahu kamu hari ini. Om harap, kamu bisa nerima dan nggak marah ya," ucap Davie sebelum memulai percakapan seriusnya."Iya, Om."Davie menghembuskan napas panjang dan memulai ceritanya. "Siang ini, kamu ikut Om sama Tante ke taman kota ya. Ada yang mau ketemu sama kamu.""Siapa, Om?""Hhh!" Davie diam sejenak. Sedikit takut untuk mengatakan semuanya pada Nisaka. "Kamu ingat cowok yang narik kamu waktu itu?" tanyanya kemudian."Ingat. Memangnya kenapa, Om?""Ehm, dia itu …
Keesokan harinya, pukul 07.00 pagi, Ileana memasukkan barang-barang Davie ke dalam tas berukuran sedang. Mereka bersiap untuk pulang ke rumah karena kondisi Davie sudah mulai stabil.Davie memperhatikan sang istri yang sibuk mengurus perlengkapannya. Ia sama sekali tidak diberi izin untuk membantu. Padahal Davie sudah merasa sehat."Udah semua ini kan, Mas?" tanya Ileana sambil memperhatikan setiap sudut ruangan."Udah semua, Sayang. Nggak banyak kok barang yang dibawa. Cuma itu aja," jawab Davie."Ya udah, kita pulang sekarang ya. Kebetulan taksi online-nya udah nunggu di parkiran.""Iya, Sayang."Davie membawa tas itu di tangan kanannya, sementara tangan kiri menggenggam tangan kanan Ileana. Mereka berjalan beriringan. Seluruh biaya rumah sakit sudah diselesaikan.Tapi suara panggilan dari arah belakang membuat mereka terpaksa menghentikan langkah. Keduanya menoleh bersamaan dan mendapati Braga sedang berjalan ke arah mereka sambil mendorong tiang infus dengan tangan kanannya. Sedan