Bab 2. Jodoh untuk Zahra.
Malik berpikir keras mencari pria untuk di jodohkan dengan putrinya. Malik tak ingin putrinya berhubungan dengan seorang preman yang urakan itu. Bagaimanapun caranya Malik akan memisahkan mereka jika mereka masih saja berhubungan. Lalu Malik pun teringat dengan teman karibnya yang memiliki anak pria soleh. Malik pun segera mengambil benda pipihnya untuk mencari kontak sahabatnya itu."Assalamualaikum," ucapnya dengan bibir tersenyum senang.Obrolan Malik terdengar begitu bahagia saat menjawab lawan bicaranya bicara di sebrang sana. Suara tawa renyah dan senyuman pun terus terukir di bibir Malik. Sampai akhirnya Malik mengakhiri obrolannya dan menutup sambungan telpon itu."Alhamdulillaah, aku lega kalau gini, he he."Malik beranjak mencari keberadaan sang putri. Malik mengetuk pintu kamar Zahra yang kini berada di kamar. Setelah kejadian penolakan hubungannya dengan Erlangga, Zahra jadi sering mengurung diri. Seperti kehilangan keceriaan dan semangat hidupnya.Tok! Tok! Tok!"Ra, buka pintunya! Ayah ingin bicara." Malik menunggu pintu itu di buka.Krieet ...Pintu itu pun terbuka. Nampak seorang gadis yang terlihat lemah tak ceria membuka pintu itu. Zahra berusaha untuk tetap tenang dan menyembunyikan kesedihannya. Namun, Malik tetap tahu jika putrinya masih memikirkan Erlangga."Ada apa, Ayah?""Ck, kamu terlihat sombong sekali pada Ayah, Zahra. Apa karena pria urakan itu?" Malik sedikit menyentak.Sifat Malik yang memang keras dan tak bisa di tentang. Terkadang Aisyah, ibu dari Zahra pun harus sering mengalah saat berdebat dengan suaminya. Begitupun dengan Zahra kali ini, tak mungkin bisa menentang keinginan dan larangan dari ayahnya."Bukan begitu, Ayah. Zahra minta maaf," ucapnya menundukkan wajahnya mengalah."Ayah tunggu kamu di ruang kerja. Sekarang kamu perbaiki dulu wajah kamu yang tak enak di lihat itu!"Zahra menghembuskan napasnya setelah kepergian Malik. Hatinya begitu berat seperti memiliki feeling tak enak atas ucapan ayahnya barusan. Namun, Zahra sadar jika dirinya tak mungkin bisa menentang. Dengan berat hati Zahra melangkahkan kakinya menuju di mana ayahnya menunggu dirinya.Terlihat Aisyah, sang ibu tengah duduk di samping ayahnya. Wajah lembut penuh perhatian itu kini tengah menatapnya sedikit iba. Tentu saja Aisyah pun tak bisa berbuat apa-apa atas apa yang sudah menjadi keputusan suaminya."Assalamualaikum," ucap Zahra pelan sambil masuk keruangan itu lalu duduk di samping ibunya."Ra, apa kamu baik-baik saja, Nak?" Sapa sang ibu dengan lembut dan mengusap punggung Zahra yang menunduk."Insya Allah, Zahra baik-baik saja, Bu." Zahra mengangkat wajahnya dan memberikan senyuman tipisnya pada Aisyah."Ra, kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Untuk masa depanmu." Aisyah terus mengusap punggung Zahra dengan lembut.Zahra pun kembali terisak. "Zahra tahu, Bu."Aisyah merasa iba pada nasib cinta sang putri yang harus berpisah dengan pria yang di cintainya karena terhalang restu dari ayahnya. Walau bagaimanapun Aisyah pernah muda dan tahu bagaimana rasanya putus cinta. Akan tetapi, tak ada bisa dilakukannya saat ini kecuali memberikan pengertian dan semangat pada putrinya."Ayah sudah menemukan pria yang cocok untukmu, Zahra. Besok mereka akan ke sini untuk bersilaturahmi terlebih dahulu." Malik menatap Zahra penuh penekanan. "Jadi, Ayah harap kamu jangan pernah menangisi pria urakan itu lagi!"Ucapan Malik bagai petir di siang bolong untuk Zahra. Zahra berpikir jika tidak akan secepat itu ayahnya mencari pengganti Erlangga untuknya. Tentu saja karena dirinya belum siap."Tapi Ayah, berikan Kak Erlangga waktu untuk mem ....""Apa kamu percaya jika preman itu akan berubah menjadi pria yang Ayah inginkan?" Malik menatap Zahra tajam. "Ayah semakin bertekad untuk menjauhkan kamu darinya. Lihat saja kamu sekarang, kamu membangkang terus pada Ayah," ujar Malik lagi dengan amarahnya."Istirahatlah, Ra. Besok keluarga Andi akan ke sini. Mereka ingin bersilaturahmi dan ingin mempertemukan putranya denganmu."Zahra pun beranjak dari duduknya dengan isakan tangis pilu. Pikirannya hanya pada Erlangga yang sudah dua hari tak bertemu dengannya. Bahkan mereka pun tak di perbolehkan bertemu, Zahra hanya bisa mengirim pesan pada Erlangga jika mungkin dirinya akan di jodohkan.Zahra langsung ambruk dan menangis di atas kasurnya. "Kak, kamu di mana sih? Aku tidak mau di jodohkan dengan pria lain, hik."Zahra melihat aplikasi hijau dan langsung melihat balasan dari Erlangga. Zahra semakin menangis karena Erlangga menyuruhnya untuk tak membangkang pada ayahnya. Erlangga memutuskan untuk berpisah, dan ikhlas jika Zahra mau di jodohkan karena dirinya belum mampu berubah seperti yang inginkan ayah Zahra. *****"Assalamualaikum," ucap seorang pria dewasa memakai peci putih dengan wajah berseri, bersama dengan pria muda berpeci hitam yang sama-sama tersenyum merekah."Waalaikum salam," jawab Malik dan Aisyah serentak, Malik pun langsung menghampiri ke arah suara itu dengan senyum mengembang."Masya Allah, Santosa. Mari masuk." Malik mempersilahkan sahabatnya untuk masuk, lalu menoleh pada pria muda yang menurutnya begitu sempurna."Apa ini putramu, San?"Santosa menoleh pada putranya. "Iya, semoga saja mereka bisa cocok ya.""Aku yakin mereka akan cocok, San. Masuk masuk! Kita ngobrol di dalam."Mereka pun masuk dengan berbagai tawa renyah. Zahra yang mendengar tawa itu dari kamarnya semakin ingin menangis. Karena sudah pasti sebentar lagi ayahnya akan memanggilnya."Kak, aku rindu kamu, hik." Zahra tak tahu apa yang terjadi saat ini pada Erlangga karena kini dirinya tak bisa bertanya tentang kabar Erlangga karena handphonenya di sita oleh Malik.Tok! Tok! Tok!Terdengar pintu kamarnya di ketuk. Zahra buru-buru menyeka air matanya dan segera merapikan wajahnya dari air mata. Lalu beranjak membuka pintu."Iya Ibu, ada apa?"Aisyah menatap wajah sang putri dengan lembut. Senyum manis serta mata teduh itu selalu tahu apa yang terjadi pada putrinya."Bersihkan wajahmu, Ra. Ayah menunggumu di ruang tamu. Ibu mohon untuk tidak mengecewakan Ayah, karena kamu tahu sendiri bukan bagaimana Ayah?"Zahra mengangguk lalu memeluk ibunya dengan erat. "Zahra cinta sama Kak Erlangga Bu, hik," lirihnya dengan isakan.Aisyah bingung harus berbuat apa karena suaminya tak akan mau di tentang. "Jika kalian memang jodoh, kalian akan bertemu lagi. Bukankah rezeki, jodoh dan maut itu adalah rahasia Allah? Yakinlah dengan Kehendaknya, jangan lupa untuk memintanya pada Sang Pemilik hati."Ucapan lembut serta nasehat Aisyah selalu mampu meredakan kesedihan Zahra. Zahra akhirnya mengangguk dan segera membersihkan wajahnya. Berusaha untuk kuat dan tetap tenang. Zahra selama ini lupa dengan apa yang barusan ibunya katakan jika jodoh, rezeki dan maut adalah rahasia Allah."Bismillah ya Allah, aku pasrahkan pada-Mu semuanya." Zahra memejamkan matanya sebelum akhirnya melangkahkan kakinya ke tempat di mana dirinya tengah di tunggu."Nah, itu Zahra. Putri Om Nak Andi," ujar Malik saat Zahra baru datang dan duduk di samping ibunya."Bagaimana Nak Andi, apa Nak Andi setuju, he he."Ternyata pria muda itu bernama Andi. Putra dari Santosa, sahabat karib Malik. Andi menatap Zahra yang menunduk dan meremas jarinya. Senyuman dari bibir Andi pun melukiskan jika dirinya tertarik pada Zahra yang memang memiliki wajah cantik."Zahra, coba kenalan dulu dong pada calon mertuanya, he he."Zahra sudah sangat pasrah dengan apa yang akan terjadi nanti. Sedikit menarik napasnya dalam untuk melepaskan beban di harinya. Baru setelah itu mengangkat wajahnya."Apa kabar, Om? Saya Zahra.""Loh, ko cuma calon mertuanya saja sih yang di tanyain kabar, calon suaminya juga dong, he he.""Kau tak perlu seperti itu pada putrimu, Lik. Aku yakin jika putrimu ini memang gadis baik makanya begitu menjaga diri dan pandangannya iyakan, Di?" Santosa menoleh pada Andi yang mengangguk dan tersenyum."Alhamdulillah Om baik, Nak.""Jadi, bagaimana Nak Andi? Apa Nak Andi menyukai putri Om?"Andi kembali melirik dan menatap Zahra yang kembali menunduk. "Kalau saya insya Allah, Om. Cuma mungkin Zahranya bagaimana?""Nak Andi tak perlu khawatir untuk Zahra. Dia pasti setuju, bukan begitu, Ra?" Malik menatap tajam Zahra yang kini menatapnya takut."Iya, Kak.""Alhamdulillaah, kalau begitu kapan kita resmikan acara lamarannya? Aku sudah tidak sabar ingin punya cucu, he he.""Kau ini, San, San. Baru juga mereka bertemu udah ngomongin cucu aja, he he.""Aku sangat menyesal, Lik. Kenapa aku tak ingat pada putrimu dari dulu. Aku itu sudah berusaha mencari jodoh untuk anakku tapi belum dapet juga. Andi juga suruh nyari sendiri iya iya doang, he he.""Ayah, memang mungkin kemaren itu Andi belum saatnya menikah.""Lalu sekarang sudah saatnya begitu?"Malik dan Santosa tertawa riang dengan penuh kebahagiaan saat tahu jika Andi menyukai Zahra. Karena itu artinya Zahra tidak akan berhubungan lagi dengan Erlangga. Hati mereka sangat bahagia terlebih Malik. Berbeda dengan hati Zahra yang masih belum bisa menerima jika harus berpisah dengan Erlangga.Di sudut halaman rumah Zahra yang terdengar nyaring oleh tawa bahagia, seorang pria urakan tengah menyimak semua obrolan itu. Erlangga yang masih bingung harus bagaimana hanya bisa menahan emosinya karena sebentar lagi Zahra akan di lamar pria lain."Aakkkhh, sial*n! Aku harus apa, Ra? Aku tak ingin kamu menikah dengan pria lain. Tapi aku sadar masih belum layak ntukmu. Apa aku harus ikhlas, Ra?"Erlangga terus mengumpat dan memaki dirinya yang belum bisa membuktikan cintanya pada ayah Zahra. Kembali berpikir keras untuk bisa merubah dirinya agar bisa lebih baik. Erlangga yakin jika dirinya bisa berubah."Apa aku pulang ke rumah saja?" gumam Erlangga sambil masih menatap ke arah suara tawa senang itu."Ya, mungkin itu lebih baik, aku akan pulang ke rumah Papa. Aku akan buktikan jika aku bisa berubah," ujarnya lagi dengan mata terus menatap ke arah Zahra.Erlangga memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Walau sedikit ragu karena sudah terlalu lama dirinya meninggalkan sang papa. Saat Erlangga tengah melamun menatap pintu gerbang rumahnya. Tin! Tin! Erlangga terkejut saat klakson mobil terdengar nyaring di telinganya, Erlangga menoleh pada arah mobil. "Papa ...," ucapnya menatap pria paruh baya yang di tinggalkannya. 3 bulan kemudian ...Hari ini Zahra dan Andi di ajak oleh Malik untuk menghadiri acara penyambutan CEO baru di kantor sahabat Malik. Malik sedikit memaksa Zahra dan Andi untuk ikut. Alasannya agar Malik sekalian memperkenalkan anak dan calon menantunya pada semua rekan kerja dan sahabatnya. "Memang harus ikut kah, Ayah?" "Harus dong, Di. Biar Ayah kenalkan kamu pada rekan kerja juga sabahat Ayah." Andi menoleh pada Zahra yang menundukkan wajahnya. "Baiklah, Ayah. Ra, apa kamu keberatan?" Zahra mengangkat wajahnya. "Tidak, Kak," jawabnya pelan. "Baiklah kita berangkat sekarang, Ibu mana?" Zahra menoleh pada arah Bu Ais
"Kamu begitu tampan, Kak. Zahra bahagia sekali lihat Kakak yang sudah banyak berubah." Zahra mengingat kembali wajah tampan Erlangga tadi. "Aku hanya bisa berharap Kakak tidak melupakanku, walau kita tak mungkin bisa bersatu." Zahra memejamkan matanya agar sedikit meredam rasa rindunya pada Erlangga."Jika aku boleh jujur, Kak. Aku masih sangat mencintaimu, Kak," lirih Zahra lagi dengan tetesan air matanya.Di kamar Malik ...Setelah Malik dan Erlangga bersalaman. Malik memutuskan untuk pulang dan tidak menunggu sampai acara selesai. Yudistira pun tak mungkin bisa mencegahnya karena Malik berkata penyakitnya kambuh lagi. Padahal tanpa Yudistira tahu, jika sebenarnya pertemuan dengan sang putralah yang membuat Malik memilih untuk pulang lebih dulu.Rasa bangga dan sinar bahagia saat Malik memperkenalkan calon menantunya hampir pada semua rekan kerjanya. Hilang padam saat Malik tahu siapa CEO yang sukses di usia muda itu. Tentu saja Malik sangat shok, karena ternyata pria muda itu adala
"Bagaimana, Ra. Apa kamu mau temenin aku bertemu klien?" Andi menatap Zahra penuh harap. "Kalau kamu keberatan, tidak apa-apa kok." Zahra tak ingin Andi kecewa karena Andi begitu baik padanya. "Aku mau kok, Kak. Kapan?" "Kamu serius, Ra?" "Ya serius dong Nak Andi, Zahra itukan sebentar lagi jadi istrinya Nak Andi. Sudah pasti nanti kalau Zahra akan sering Nak Andi bawa ke acara-acara bertemu klain kan?" sela Bu Aisyah datang membawa minum. "Kamu itu, Ra. Bukannya bawain minum buat Nak Andi, malah diem saja," omel Bu Aisyah. "He he, tadi Zahra udah nawarin minum kok, Bu. Cuma Andi tolak karena Andi mau bicara sama Zahra," kata Andi membela Zahra.Kebaikan, perhatian serta pengertian Andi pada Zahra membuat Zahra semakin merasa bersalah karena hatinya masih menyimpan cinta untuk pria lain. Padahal sebentar lagi mereka akan menikah. Zahra berusaha keras untuk menepis dan melupakan perasan cinta pada Erlangga. Namun, nyatanya tak mudah karena mungkin Erlangga adalah cinta pertamanya.
Erlangga segera kembali ke mobilnya dengan cepat dan segera pergi dari restoran itu. Erlangga tak ingin menumpahkan amarahnya di tempat yang salah. Tentu saja salah jika Erlangga harus marah-marah di hadapan Andi dan Jimmy..Mereka tak tahu apa pun tentang masalahnya dengan Zahra. Erlangga melesat secepat mungkin agar segera tiba di tempat biasanya menumpahkan amarah. Setelah sampai di tempat itu, Erlangga segera masuk ke satu ruangan yang terdapat berbagai macam alat lukis lalu dengan segera Erlangga melukis wajah Zahra lalu dirinya, kemudian di gambarnya Andi berada di tengah-tengah mereka bagai seorang pemisah. "Aaakkkhhh ...." Erlangga melempar semua alat lukisnya ke lukisan wajah Zahra. "Kenapa, Ra? Kenapa kamu secepat itu melupakanku?" Erlangga menggusar rambutnya sangat kasar. Tak ada yang tahu ke mana Erlangga kini pergi dan menuntaskan amarahnya. Baik Jimmy maupun Andi mereka mengira jika Erlangga memang memiliki urusan lain. Lain lagi dengan hati Zahra yang sedari tadi sud
"Ayah ... ada apa?" Aisyah menghampiri suaminya yang kini tengah cemas. Malik mengambil napasnya sedikit berat. "Bu, perusahaan Andi tadi menemui klien dari perusahaan 'ElangGrup'. Dan ternyata 'Elanggrup' itu adalah milik Erlangga, Bu." Malik menatap sang istri meminta pendapatnya. "Itu artinya Andi dan Erlangga akan sering bertemu bukan, Bu? Zahra saat ini tengah menangisi cintanya yang kandas karena Ayah, Bu." Aisyah membekap mulutnya terkejut. "Astaghfirullah, kenapa harus begini?" "Ayah juga berharap jika Zahra tidak bertemu lagi dengan Erlangga agar hati mereka tak kembali terluka. Karena Ayah tahu jika Zahra tidak mungkin menyakiti Andi. Tapi, jika mereka sering bertemu kemungkinan mereka untuk ...." Malik tak melanjutkan ucapannya karena yakin jika istrinya akan sangat faham maksudnya. Untuk itu, Malik hanya mengatakan sedikit kemungkinannya saja. Baik Aisyah maupun Malik tak menyangka jika Zahra akan bertemu kembali dengan Erlangga terlebih sekarang Andi bahkan bekerja sa
Hari berganti hari begitu terasa lama bagi Erlangga. Erlangga terus menghitung kapan dirinya akan bertemu kembali dengan Andi. Erlangga sangat berharap jika nanti Andi kembali membawa Zahra. Hingga waktu pertemuan kembali itu datang, Erlangga sangat kecewa ternyata Andi tidak datang bersama Zahra melainkan bersama asistennya. Raut kecewa dan tak semangat menyambut kedatangan dari perusahaan Andi begitu tertera di wajah Erlangga. Jimmy memang tahu akan hal itu, tapi Jimmy pun harus mengingatkan Erlangga jika Erlangga harus profesional dalam bekerja. Erlngga harus ingat jika dulu dirinya di tolak oleh ayah Zahra karena dirinya pria tak bermasa depan. "Masih banyak waktu untuk bertemu lagi dengannya, Pak Er," bisik Jimmy, "saya mohon untuk tetap profesional dalam bekerja jangan sampai Pak Er nanti di tolak kembali oleh orang tuanya karena masa depan Pak Er yang tidak jelas." Erlngga menatap Jimmy mengerti. Tentu saja penolakan Malik pada dirinya itu tak mungkin Erlangga lupakan. Karen
"Ra, aku ingin ajak kamu jalan nanti siang. Sekaligus makan siang'lah gitu. Apa kamu sibuk siang ini?" Zahra terdiam sejenak menimbang pertanyaan dari Andi. "Tidak, Kak. Aku akan sibuk nanti menjelang ke lulusan untuk sekarang masih belum." "Alhamdulillah syukur deh, udah nggak sabar juga pengen melafadzkan ijab qobul," ujar Andi bergurau. Zahra tersenyum tipis. Entah senang atau tidak saat Andi mengatakan ingin segera menikah. Zahra masih berusaha untuk meyakinkan dirinya untuk melupakan Erlangga dan berusaha mencintai Andi. Zahra tak ingin kembali ke masa lalu yang terus saja menyakiti hatinya. "Sabar dong! Kan cuma tinggal beberapa bulan lagi," ujar Zahra menyenangkan Andi. "Insya Allah dan tentu saja aku selalu sabar menunggu, Ra. Aku juga tidak mau nanti kamu malah tertekan dan nggak fokus kuliah gara-gara mikirinn ucapan'ku barusan. Maafkan aku ya, Ra." Tutur kata lembut, sopan santu juga rasa penyayang yang Andi berikan pada Zarha memang belum mampu membuat Zahra melupaka
Suasana sedikit canggung sampai Zahra kembali dari toilet. Kali ini Zahra memang tidak terlalu lama di toilet karena takut jika Andi curiga jika dirinya pernah berhubungan dengan Erlangga dulu. Zahra tak ingin menyakiti Andi karena Zahra merasa jika Andi tak bersalah atas kandasnya hubungan dirinya dengan Erlangga. Untuk itu, Zahra tak ingin Andi tahu jika dirinya dan Erlangga pernah berhubungan. Erlangga kembali menatap Zahra sekilas. "Apa saya mengganggu, kalian?" ujar Erlangga, "jika mengganggu mungkin lebih baik saya cari meja lain." Erlngga hendak pergi. "Tidak, Pak Er. Tidak sama sekali. Kita bisa duduk di meja yang sama di sini, iya'kan, Ra?" Zahra menatap Andi dengan tatapan yang sulit di artikan. "Iya," jawabnya singkat. Erlangga akhirnya duduk kembali bersebrangan dengan Zahra. Erlangga dengan mudah mencuri-curi pandang ke wajah gadis yang selalu di rindukannya. Zahra sendiri tak banyak mengeluarkan kata-kata hanya menjawab dan tersenyum jika Andi bertanya. Padahal sikap
Tujuh bulan kemudian ... "Aaaakh! Sakit, Kak!" Zahra memegang erat tangan Erlangga saat kontraksi itu menyerangnya. "Dokter, lakukan sesuatu untuk istriku! Atau aku akan menghancurkan rumah sakit ini!" geram Erlangga karena tak tega melihat melihat istrinya kesakitan. "Er, tenang. Ini memang proses persalinan. Semua wanita merasakannya," Sarah berusaha menenangkan menantunya. "Buatlah Zahra nyaman dan tetap tenang." Zahra pun mengapit wajah Erlangga. "Kak, aku tidak apa-apa. Aku bisa tahan ini." Erlangga pun berusaha untuk tenang dan melakukan apapun sesuai nasehat ibu mertuanya untuk menenangkan Zahra. "Sayang, jangan bikin mommy sakit ya. Daddy sayang kamu." Erlangga terus mengusap perut itu berusaha untuk tenang, walau Erlangga sebenarnya tak bisa karena Zahra terus meremas erat lengannya. "Ya Allah ... lancarkan persalinan istriku. Selamat kan lah anak dan istriku." Zahra semakin kesakitan. Dokter pun mengatakan jika pembukaannya sudah lengkap. Zahra sudah mulai mengejan. Er
Tiga bulan kemudian ... "Undangan pernikahan." Zahra mengambil kertas undangan yang ada di atas meja. "Elsa dan Jimmy, apaaa?" Zahra membekap mulutnya tak percaya undangan pernikahan itu dari sahabatnya dengan pria yang katanya adalah pria paling rese yang Elsa bilang. Erlangga baru keluar dari kamar mandi. "Ada apa, sayang? Kenapa kamu teriak sih?" "Kak ini undangan pernikahan namanya benar?" Erlangga mengerutkan keningnya. "Maksudnya?" Zahra membuang napasnya. "Elsa bilang Kak Jimmy adalah pria paling rese yang pernah ditemuinya. Masa tiba-tiba ada undangan pernikahan?" Erlangga terdiam sejenak lalu tertawa renyah. "He he, namanya juga manusia." Zahra mengerucutkan bibirnya mendengar sahutan Erlangga. "Malah tertawa." Erlangga yang hendak menuju tempat ganti baju pun berhenti melaju. "Terus aku harus bagaimana, sayang?" "Terserah deh, aku mau telpon Elsa dulu. Memastikan undangan ini benar atau tidak." Erlangga menggaruk pipinya yang tak gatal. "Huuh, dasar wanita." ***"
"Apa-apaan, Pak Er? Saat ini kita tidak sedang kekurangan karyawan, Pak. Bagaimana mungkin saya harus menerima karyawan baru."Jimmy tidak mengerti mengapa sang bos menyuruhnya menerima karyawan baru. Padahal jelas-jelas kantornya tidak tengah kekurangan karyawan. Jimmy semakin tidak mengerti pada jalan pikiran Erlangga yang sudah terlihat begitu bucin. "Itu permintaan isteriku, Jim. Kamu atur aja pokoknya ya!" titah Erlangga dengan kembali mengirim pesan pada sang istri yang baru saja ditinggalkan olehnya beberapa menit lalu. "Pokoknya terserah kamu mau di tempat kan di mana." Jimmy mengusap leher belakangnya karena bingung. "Iya tapi dia kerja bagian apaaaa? Enggak ada lowongan, Pak Er. Masa jadi asisten pribadi saya?" Erlangga menoleh pada Nino, lalu menyipitkan matanya berpikir sejenak. "Boleh," ucap Erlangga, "mau jadi asisten pribadi kamu mau jadi istri kamu, terserah deh pokoknya. Yang penting dia bisa bekerja, oke! Saya pulang lagi karena masih masa bulan madu, he he." Jim
"Ooh, iya, Sa. Nanti aku coba bicarakan pada suamiku ya. Semoga aja ada lowongan pekerjaan buat kamu." Zahra menutup telponnya dengan perasaan iba pada sahabatnya. Erlangga baru keluar dari kamar mandi dengan menggunakan handuk sepinggang. Zahra dengan refleks menutup matanya agar tidak melihat dada bidang yang selalu dikaguminya. Al pun melihatnya, Erlangga malah semakin mendekati Zahra dengan sengaja. "Iih, Kak. Sono, aaaakkkkhh!" Zahra mendorong tubuh Erlangga agar menjauh darinya. "Kamu kenapa sih, Ra? Sok-sokan enggak mau sama dada bidangku." Erlangga kembali mendekati Zahra dengan seringai jahil. "Jangan mesum, Kak!" Zahra mendorong lagi tubuh Erlangga namun, bukannya tubuh Erlangga yang menjauh, melainkan handuk Erlangga yang melorot akibat dorongan Zahra."Huwaaaaaa, Kak Er mesum!" Zahra menutup matanya dengan kedua telapak tangannya. Erlangga tertawa terbahak karena geli melihat tingkah istrinya yang polos. Erlangga pun segera menuju ruang ganti. Zahra sendiri masih menu
"Loh, kok sudah pulang?" Yudistira terkejut karena Erlangga dan Zahra kini sudah berada di teras rumahnya. "Baru juga satu Minggu, Er?" Erlangga menarik napasnya. "Tenang aja, Pah. Satu Minggu juga jadi kok itu cucu Papah," ucap Erlangga dengan tidak ada wibawanya sebagai CEO PREMAN. Zahra sendiri hanya meremas jari-jari tangannya sedikit takut jika sang papa mertua marah padanya. "Papah ... ini karena Zahra minta pulang," kata Zahra tak ingin membuat sang Papa mertua khawatir.Yudistira menoleh pada Zahra lalu menatapnya sejenak. "Apa Er tidak membahagiakanmu, Ra?" Erlangga terbelalak. "Apa maksudnya? Mana ada aku tidak membahagiakannya, Pah? Zahra minta pulang karena rindu pada orang tuanya." Zahra mengerucutkan keningnya. "Bukannya Kak Erlangga yang mengajakku pulang karena cemburu pada bule itu?" Yudistira menoleh dan menatap Erlangga dengan tatapan tak suka. "Sudah Papah duga. Kamu biang keroknya, Er." Yudistira menarik tangan Zahra ke dalam rumah. "Kalau begitu kamu ikut Pa
"Kamu? Ngapain ke sini?" sentak Jimmy saat melihat Dinda kini berada di ruangannya. "Iiih, jangan galak-galak napa? Aku ke sini kan dengan niat baik." Dinda duduk di sofa tamu ruangan Jimmy tanpa menunggu Jimmy menyuruhnya duduk. "Eh eh eh, siapa yang nyuruh kamu duduk?" Jimmy beranjak dari duduknya menghampiri Dinda yang kini sudah duduk di sofa tamunya. "Kagak ada yang nyuruh." "Nah, itu tahu. Terus kenapa kamu malah duduk?" Dinda menatap Jimmy dengan menyipitkan matanya. "Aku itu bingung harus nagnggap kamu itu baik atau tidak? Dibilang tidak baik, kamu sudah membantuku. Tapi, aku bilang baik juga bingung kamu marah-marah terus," ucapnya dengan mengeluarkan lembaran uang dari dompetnya. "Ini ... aku ke sini mau mengembalikan uang yang kamu pakai untuk membiayai pengobatanku hari itu. Lunas, ya! Jangan sampai di tengah jalan kamu nagih! Aku pamit, sekali lagi terima kasih." Dinda beranjak dan pamit kembali pada Jimmy setelah menyimpan lembaran uang di meja tamu Jimmy. Jimmy pu
"Ini kita mau ke mana, Kak?" Erlangga tak menjawab pertanyaan Zahra dan terus menuntunnya karena mata Zahra diminta untuk ditutup. Walau merasa sedikit cemas, Zahra terus berusaha mengikuti tarikan tangan dari Erlangga. Hingga sampai di tempat tujuan, Erlangga mendudukkan Zahra di kursi. "Tunggu! Kok tempatnya sejuk gini sih, Kak? Kakak enggak aneh-aneh kan? Jangan bilang kalau Kakak mau menceburkan aku ke kolam?" Erlangga tak tahan untuk menahan tawanya akibat sangkaan Zahra. "Hhhmmff, kamu ini suudzon terus sih?" Erangga membuka tali penutup mata Zahra dengan perlahan. "Taraaaa." Mata Zahra mengerjakan menatap indahnya pemandangan dari atas bukit. "Wah ... Masya Allah, Kak. Ini indah banget," ucapnya begitu takjub. "Pemandangannya ya, yang indah. Bukan wajah Kakak," ralatnya lagi-lagi membuat Erlangga tertawa. "Ya ampun, istriku gemesin banget sih." Erlangga mencuil dagu Zahra. "Enggak ada bilang terimakasih, gitu?" Zahra memutar bola matanya. "Astaghfirullah, ini tuh ngasih s
"Waaah ... Kak, ini indah banget," ucap Zahra saat Erlangga memberikan satu tangkai bunga bawar. "Tentu aja wajahku memang indah," celetuk Erlangga asal. Zahra menarik senyuman dari bibirnya. "Apaan sih, Kak? Orang aku bilang bunganya juga yang indah," tepis Zahra dengan bibir mengerut. "Sejak kapan sih Kak Er itu jadi penggombal ulung?" "Jangan digituin mulutnya nanti ku cium," ujar Eerlangga mencuil bibir Zahra. "Jadi wajahku enggak indah, Ra?" Zahra mendelikkan matanya. "Ck, Kak ... wajah Kakak tentu saja indah. Tapi, ini bukan saatnya aku memuji wajah Kakak. Nanti aja puji wajah Kakak mah. Sekarang aku muji dulu ini bunga, ok." Erlangga tersenyum sedikit menyeringai. "Nanti itu saat kapan sih, Ra?" godanya, "apa ada waktu tertentu untuk memuji wajahku?" Zahra memutar bola matanya dan sedikit menghembuskan napas. "Kak, tolong ya jangan mesum terus. Aku ingin menikmati taman ini sekarang, nanti aja mau mesum-mesuman mah!" Alih-alih marah, Erlangga malah semakin tertawa mendeng
"Aw." Zahra memegang bagian kewanitaannya.Erlangga segera menghampiri Zahra yang memang sudah bangun duluan. "Kenapa, Za?" Zahra hanya menatap Erlangga, merasa malu jika mengatakan bagian kewanitaannya sakit. "Eh, enggak apa-apa, Kak." Zahra mencoba berjalan dengan sedikit tertatih. Erlangga mengerutkan keningnya, lalu langsung menggendong Zahra setelah menyadari apa yang membuat sang istri jalan tertatih. "Kenapa enggak bilang kalau masih sakit, Hem?" Zahra terkejut. "Huwaa, Kak Er, turunin!" Erlangga tak menghiraukan ocehan Zahra dan terus menggendong Zahra. "Diam, Ra. Nanti kamu jatuh.""Turunin," rengek Zahra, "aku masih bisa berjalan. "Tapi tertatih," sahut Erlangga dengan sedikit tertawa, membuat Zahra menunduk malu. "Maaf, sayang. Itu karena ulahku, kan? He he." Erlangga terus menggendong Zahra sampai tiba di kamar mandi. Erlangga menurunkan Zahra dengan begitu hati-hati. Kali ini Zahra hanya pasrah dan tidak berontak lagi. Erlangga sampai menyiapkan air hangat untuk san