"Kamu begitu tampan, Kak. Zahra bahagia sekali lihat Kakak yang sudah banyak berubah." Zahra mengingat kembali wajah tampan Erlangga tadi. "Aku hanya bisa berharap Kakak tidak melupakanku, walau kita tak mungkin bisa bersatu." Zahra memejamkan matanya agar sedikit meredam rasa rindunya pada Erlangga.
"Jika aku boleh jujur, Kak. Aku masih sangat mencintaimu, Kak," lirih Zahra lagi dengan tetesan air matanya.Di kamar Malik ...Setelah Malik dan Erlangga bersalaman. Malik memutuskan untuk pulang dan tidak menunggu sampai acara selesai. Yudistira pun tak mungkin bisa mencegahnya karena Malik berkata penyakitnya kambuh lagi. Padahal tanpa Yudistira tahu, jika sebenarnya pertemuan dengan sang putralah yang membuat Malik memilih untuk pulang lebih dulu.Rasa bangga dan sinar bahagia saat Malik memperkenalkan calon menantunya hampir pada semua rekan kerjanya. Hilang padam saat Malik tahu siapa CEO yang sukses di usia muda itu. Tentu saja Malik sangat shok, karena ternyata pria muda itu adalah pria yang dulu di makinya karena penampilannya yang urakan."Astaghfirullah ... ya Allah, ampuni aku," lirih Malik menyesali perbuatannya. "Apa aku terlalu sombong?" Malik mengusap wajahnya menyesal atas kesalahannya dulu.Malik masih terus kepikiran pada ucapan Erlangga saat dirinya melewati pintu ke luar. Di mana ternyata Erlangga menunggu dirinya. Hanya saja Erlangga tak menampakkan dirinya di depan Zahra lagi."Saya masih sangat mencintai Zahra, Om. Apa sekarang saya sudah bisa mendapatkan restu untuk melamar Zahra kembali? Bukankan saat ini saya sudah memiliki masa depan yang baik?"Ucapan Erlangga yang santai penuh penekanan itu membuat jantung Malik semakin berdetak kencang. Malik merasa dirinya begitu buruk menjadi seorang Ayah. Buruk karena tak membiarkan putrinya hidup dengan pria yang dicintainya.Malik menyesal karena dulu tak memberi kesempatan pada Erlangga untuk membuktikan cinta tulusnya pada sang putri. Sehingga dirinya harus memisahkan putrinya dengan pria yang di cintainya. Namun, nasi sudah jadi bubur. Penyesalannya tak mungkin bisa mengembalikan cinta Erlangga pada putrinya. Apalagi kini putrinya pun sudah di jodohkan dan sebentar lagi akan menikah."Maafkan Ayah, Zahra," lirih Malik lagi terus menyesali perbuatannya.Aisyah, sang istri merasa iba pada suaminya yang begitu shok dan menyesal pun berusaha untuk menenangkan. "Ayah ... sudah, semuanya sudah terjadi. Mungkin ini memang sudah jalan dan takdir untuk putri kita. Jika memang mereka berjodoh, mereka pasti akan kembali bukan?""Ini semua karena aku terlalu sombong, Bu. Aku ...." Malik sudah tak bisa mengatakan apapun selain menyesal karena telah memisahkan putrinya dari pria yang dicintainya."Sudah Ayah, jangan terlalu di pikirkan. Mungkin Erlangga bukan jodoh untuk Zahra. Lagi pula Andi pun mencintai Zahra bukan? Mungkin Andi lah jodoh untuk putri kita," tutur Aisyah menenangkan Malik.Malik menoleh pada istrinya dengan sendu. Berkali-kali Malik berusaha untuk tetap pada keegoisannya tapi ternyata perasaan menyesal itu selalu kembali. Malik baru sadar jika dirinya sangat egois telah memisahkan dua orang yang saling mencintai. Akan tetapi, Malik pun tak bisa berbuat apa-apa lagi, karena Andi pun adalah putra dari sahabat baiknya."Ibu tolong panggil Zahra. Ayah ingin bicara dengannya, Bu.""Ibu panggilkan, Ayah."Tak lama dari kepergian Aisyah, pintu kamar kembali terbuka. Malik melihat wajah sang putri dengan penuh penyesalan. Apalagi mengingat putrinya yang penurut bahkan bisa di katakan jika apapun perkataannya tak bisa di tentang termasuk memisahkan Zahra dengan Erlangga.Malik menarik napasnya panjang mencari tenaga. "Ra, Ayah minta maaf."Zahra masih menunduk tak ingin menatap wajah ayahnya. "Untuk apa, Ayah?"Malik menatap Zahra dengan sadar jika putrinya mungkin marah padanya. "Untuk ....""Sudahlah, Ayah. Jangan sampai Kak Andi tahu jika ternyata Zahra pernah mencintai pria lain. Bahkan mungkin sampai sekarang Zahra masih sangat mencintainya," ujar Zahra sedikit lantang. "Jangan menggali rasa sakit hati Zahra dengan permintaan maaf itu, Ayah," ujarnya lagi dengan deraian air mata, lalu Zahra pun beranjak pergi."Astaghfirullaah Ra, tidak baik seperti itu pada Ayah!"Zahra tak menghiraukan omelan dari ibunya. Malik memberi isyarat pada istrinya untuk membiarkan Zahra pergi saat ini. Malik tahu jika Zahra pasti butuh waktu untuk menenangkan diri karena luka di hatinya kembali tergores oleh pertemuannya dengan Erlangga.Hati Zahra sedikit egois karena cintanya pada Erlangga memang masih selalu di jaganya. Namun, Zahra pun tak mungkin menyakiti hati Andi. Karena menurutnya Andi tak salah dan memang Andi pun sangat mencintai Zahra.Malik kali ini tak bisa menyangkal atas ucapan putrinya.Malik hanya bisa bersadar diri karena sekarang semuanya sudah terlanjur terjadi. Malik tak mungkin membatalkan perjodohan Zahra dengan Andi. Selain Andi putra dari sahabat dekatnya, Andi pun terlihat sangat mencintai Zahra. Terlihat dari tutur kata dan cara bersikap Andi pada Zahra yang begitu mengerti dan perhatian.
*****
Zahra membuka kembali kotak berukuran kecil itu dengan tangis yang menyayat. Satu persatu di ambilnya isi dari kotak itu. Mulai dari sebuah kalung berinisial E&K. Lalu sebuah foto kecil yang terlihat di dalamnya dua insan tengah tersenyum bahagia menikmati jalanan sore.Foto itu di ambil saat Zahra dan Erlangga ingin melihat sunset dari jalanan layang di mana selalu menunjukkan sunset yang indah.
Air mata Zahra terus mengalir membasahi pipinya. Sesak itu kembali mendera hatinya, pikirannya pun terus menggali semua kenangan indah itu. Tak ada yang bisa dilakukannya selain pasrah dengan takdir yang sudah terjadi padanya. Mungkin Erlangga memang bukan jodohnya."Aku masih mencintaimu Kak, hik," ucap Zahra dengan sangat lirih karena sesak di hatinya.Di tempat lain, tepatnya di balkon kamar. Seorang pria muda nan tampan tengah menatap lurus ke depan dengan tatapan penuh arti. Tangannya sedikit mengepal lalu matanya memejam merasakan gejolak rindu dan cintanya."Aku rindu padamu, Ra. Maaf aku tak menyapamu, aku tak ingin membuatmu mengingatku kembali. Karena mungkin kamu pun sudah bahagia dengan pria pilihan ayahmu. Aku minta maaf karena aku telat datang padamu. Membuatmu harus menerima perjodohan itu."Kepalan tangan itu semakin erat lalu pindah pada dadanya yang sesak. Rasa rindu dan cinta yang selama ini berusaha di tahannya, kini kembali bergejolak. Sekalipun dirinya menepis rasa itu, tapi tetap saja hatinya tak bisa."Apa aku tak punya kesempatan lagi untuk bersamamu, Ra?" tanya Erlangga pada dirinya. "Jika aku masih di beri kesempatan untuk kembali, aku berjanji tidak akan menyakitimu, Ra. Aku sangat mencintaimu."Baik Erlangga maupun Zahra. Ternyata mereka masih menjaga dan menyimpan rasa cinta mereka dengan baik. Walau pun mungkin cinta mereka tak akan bisa bersatu. Setidaknya mereka masih bisa mengenang masa-masa indah saat bersama dulu. Erlangga mengira jika Zahra kini telah melupakannya karena kini Zahra sudah mempunyai calon suami. Begitu pun Zahra yang mengira jika Erlangga sudah melupakannya, karena bahkan tadi saat di acara pesta Erlangga tak ingin menyapanya.Hanya langit yang sang pemilik keindahan yang tahu bagaimana hati mereka saat ini. Mereka hanya bisa merasakan rasa rindu yang tak mampu disampaikan karena terhalang masa lalu kurang baik. Padahal cinta mereka masih sangat besar satu sama lain. Hanya saja karena mereka mengira jika waktu telah menghapus semua rasa satu sama lain. Untuk itu, mereka tak ingin mengulang kembali rasa itu karena takut terluka lagi.
"Aku akan menunggumu kembali padaku, Ra." Erlangga menghembuskan napasnya. "Ku mohon kembalilah, walau itu tak mungkin tapi itu doaku," lirinya lagi dengan dada yang begitu sesak."Er ...," panggil papa dari Erlangga, Yudistira. "Apa kamu baik-baik saja, Nak?"Erlangga menoleh pada Yudis. "Insya Allah, Er baik-baik saja, Pah."Yudis pun lega karena Erlangga baik-baik saja. Walau pun tadi sempat khawatir karena Erlangga seperti tertekan memikirkan sesuatu. Akan tetapi, Yudis pun menepis pikira itu karena Erlangga tersenyum kembali saat bercerita dengannya.Erlangga tak ingin papanya khawatir akan dirinya. Oleh sebab itu, Erlangga buru-buru menepis pikirannya tentang Zahra, agar sang papa tak curiga jika dirinya tengah gundah. Erlangga pikir belum saatnya papanya tahu akan hubungannya dengan Malik dulu.Zahra semakin mengurung diri karena hatinya kembali terluka. Untung saja Andi selalu sabar akan keadaan dan sikap Zahra yang terkadang masih kekanakan. Walau sebenarnya usia Zahra dan Andi tak jauh, tapi Andi memang lebih dewasa sangat sabar dan baik hati."Ra, enggak boleh begitu. Makan ya! Nanti kamu tambah sakit kalau tak makan," ujarnya sangat lembut.Malik berkata pada Andi jika Zahra sedikit tak enak badan. Maka dari itu Zahra mengurung diri di kamar. Andi yang begitu baik dan perhatian tentu saja khawatir jika terjadi sesuatu pada Zahra."Makan sedikit saja, Ra. Aku suapin, aaa'."Zahra menatap Andi dengan dalam. Hati Zahra masih egois menginginkan dirinya kembali pada Erlangga. Akan tetapi, saat menerima perhatian dari Andi, hati Zahra langsung sadar jika pasti akan ada hati yang tersakiti lagi.'Ya Allah, mungkin ini takdirku. Mungkin jodohku memang Kak Andi bukan Kak Erlangga. Sadarkan aku, ya Allah. Hapuslah nama Erlangga dalam hati ini,' lirihnya dalam hati lalu menerima suapan dari Andi dengan deraian air mata, membuat Andi sedikit heran tapi tak ingin bertanya lebih dulu dan membiarkan Zahra makan."Bagaimana, Ra. Apa kamu mau temenin aku bertemu klien?" Andi menatap Zahra penuh harap. "Kalau kamu keberatan, tidak apa-apa kok." Zahra tak ingin Andi kecewa karena Andi begitu baik padanya. "Aku mau kok, Kak. Kapan?" "Kamu serius, Ra?" "Ya serius dong Nak Andi, Zahra itukan sebentar lagi jadi istrinya Nak Andi. Sudah pasti nanti kalau Zahra akan sering Nak Andi bawa ke acara-acara bertemu klain kan?" sela Bu Aisyah datang membawa minum. "Kamu itu, Ra. Bukannya bawain minum buat Nak Andi, malah diem saja," omel Bu Aisyah. "He he, tadi Zahra udah nawarin minum kok, Bu. Cuma Andi tolak karena Andi mau bicara sama Zahra," kata Andi membela Zahra.Kebaikan, perhatian serta pengertian Andi pada Zahra membuat Zahra semakin merasa bersalah karena hatinya masih menyimpan cinta untuk pria lain. Padahal sebentar lagi mereka akan menikah. Zahra berusaha keras untuk menepis dan melupakan perasan cinta pada Erlangga. Namun, nyatanya tak mudah karena mungkin Erlangga adalah cinta pertamanya.
Erlangga segera kembali ke mobilnya dengan cepat dan segera pergi dari restoran itu. Erlangga tak ingin menumpahkan amarahnya di tempat yang salah. Tentu saja salah jika Erlangga harus marah-marah di hadapan Andi dan Jimmy..Mereka tak tahu apa pun tentang masalahnya dengan Zahra. Erlangga melesat secepat mungkin agar segera tiba di tempat biasanya menumpahkan amarah. Setelah sampai di tempat itu, Erlangga segera masuk ke satu ruangan yang terdapat berbagai macam alat lukis lalu dengan segera Erlangga melukis wajah Zahra lalu dirinya, kemudian di gambarnya Andi berada di tengah-tengah mereka bagai seorang pemisah. "Aaakkkhhh ...." Erlangga melempar semua alat lukisnya ke lukisan wajah Zahra. "Kenapa, Ra? Kenapa kamu secepat itu melupakanku?" Erlangga menggusar rambutnya sangat kasar. Tak ada yang tahu ke mana Erlangga kini pergi dan menuntaskan amarahnya. Baik Jimmy maupun Andi mereka mengira jika Erlangga memang memiliki urusan lain. Lain lagi dengan hati Zahra yang sedari tadi sud
"Ayah ... ada apa?" Aisyah menghampiri suaminya yang kini tengah cemas. Malik mengambil napasnya sedikit berat. "Bu, perusahaan Andi tadi menemui klien dari perusahaan 'ElangGrup'. Dan ternyata 'Elanggrup' itu adalah milik Erlangga, Bu." Malik menatap sang istri meminta pendapatnya. "Itu artinya Andi dan Erlangga akan sering bertemu bukan, Bu? Zahra saat ini tengah menangisi cintanya yang kandas karena Ayah, Bu." Aisyah membekap mulutnya terkejut. "Astaghfirullah, kenapa harus begini?" "Ayah juga berharap jika Zahra tidak bertemu lagi dengan Erlangga agar hati mereka tak kembali terluka. Karena Ayah tahu jika Zahra tidak mungkin menyakiti Andi. Tapi, jika mereka sering bertemu kemungkinan mereka untuk ...." Malik tak melanjutkan ucapannya karena yakin jika istrinya akan sangat faham maksudnya. Untuk itu, Malik hanya mengatakan sedikit kemungkinannya saja. Baik Aisyah maupun Malik tak menyangka jika Zahra akan bertemu kembali dengan Erlangga terlebih sekarang Andi bahkan bekerja sa
Hari berganti hari begitu terasa lama bagi Erlangga. Erlangga terus menghitung kapan dirinya akan bertemu kembali dengan Andi. Erlangga sangat berharap jika nanti Andi kembali membawa Zahra. Hingga waktu pertemuan kembali itu datang, Erlangga sangat kecewa ternyata Andi tidak datang bersama Zahra melainkan bersama asistennya. Raut kecewa dan tak semangat menyambut kedatangan dari perusahaan Andi begitu tertera di wajah Erlangga. Jimmy memang tahu akan hal itu, tapi Jimmy pun harus mengingatkan Erlangga jika Erlangga harus profesional dalam bekerja. Erlngga harus ingat jika dulu dirinya di tolak oleh ayah Zahra karena dirinya pria tak bermasa depan. "Masih banyak waktu untuk bertemu lagi dengannya, Pak Er," bisik Jimmy, "saya mohon untuk tetap profesional dalam bekerja jangan sampai Pak Er nanti di tolak kembali oleh orang tuanya karena masa depan Pak Er yang tidak jelas." Erlngga menatap Jimmy mengerti. Tentu saja penolakan Malik pada dirinya itu tak mungkin Erlangga lupakan. Karen
"Ra, aku ingin ajak kamu jalan nanti siang. Sekaligus makan siang'lah gitu. Apa kamu sibuk siang ini?" Zahra terdiam sejenak menimbang pertanyaan dari Andi. "Tidak, Kak. Aku akan sibuk nanti menjelang ke lulusan untuk sekarang masih belum." "Alhamdulillah syukur deh, udah nggak sabar juga pengen melafadzkan ijab qobul," ujar Andi bergurau. Zahra tersenyum tipis. Entah senang atau tidak saat Andi mengatakan ingin segera menikah. Zahra masih berusaha untuk meyakinkan dirinya untuk melupakan Erlangga dan berusaha mencintai Andi. Zahra tak ingin kembali ke masa lalu yang terus saja menyakiti hatinya. "Sabar dong! Kan cuma tinggal beberapa bulan lagi," ujar Zahra menyenangkan Andi. "Insya Allah dan tentu saja aku selalu sabar menunggu, Ra. Aku juga tidak mau nanti kamu malah tertekan dan nggak fokus kuliah gara-gara mikirinn ucapan'ku barusan. Maafkan aku ya, Ra." Tutur kata lembut, sopan santu juga rasa penyayang yang Andi berikan pada Zarha memang belum mampu membuat Zahra melupaka
Suasana sedikit canggung sampai Zahra kembali dari toilet. Kali ini Zahra memang tidak terlalu lama di toilet karena takut jika Andi curiga jika dirinya pernah berhubungan dengan Erlangga dulu. Zahra tak ingin menyakiti Andi karena Zahra merasa jika Andi tak bersalah atas kandasnya hubungan dirinya dengan Erlangga. Untuk itu, Zahra tak ingin Andi tahu jika dirinya dan Erlangga pernah berhubungan. Erlangga kembali menatap Zahra sekilas. "Apa saya mengganggu, kalian?" ujar Erlangga, "jika mengganggu mungkin lebih baik saya cari meja lain." Erlngga hendak pergi. "Tidak, Pak Er. Tidak sama sekali. Kita bisa duduk di meja yang sama di sini, iya'kan, Ra?" Zahra menatap Andi dengan tatapan yang sulit di artikan. "Iya," jawabnya singkat. Erlangga akhirnya duduk kembali bersebrangan dengan Zahra. Erlangga dengan mudah mencuri-curi pandang ke wajah gadis yang selalu di rindukannya. Zahra sendiri tak banyak mengeluarkan kata-kata hanya menjawab dan tersenyum jika Andi bertanya. Padahal sikap
Zahra mengambil napasnya walau dengan dada yang sesak. "Ya, itu mungkin pernah terjadi, tapi kita sudah tidak saling mengenal lagi." Zahra menatap Erlangga sedikit kesal karena Erlangga sama sekali tak ada niatan memperjuangkan cinta mereka. Lagi-lagi rahang Erlangga mengeras. Ludahnya berasa tersekat pahit di tenggorokannya. Erlangga mengerti apa yang di ucapkan oleh Zahra. Erlangga menganggap jika itu karena kini Zahra sudah mencintai Andi. Suasana tegang berlangsung kembali cukup lama. Apalagi kini Andi pun merasakan hal yang sama dengan Zahra dan Erlangga, yaitu sesak. Dari beberapa hari lalu Andi memikirkan tentang hubungan Zahra dan Erlangga. Namun, Andi tak menyangka jika rasanya sesakit itu saat tahu yang sebenarnya. Tentang perasaan Erlangga jangan di tanya lagi. Keinginannya untuk kembali pada Zahra akan dia lanjutkan jika Zahra masih mau menerimanya. Akan tetapi, kini pertanyaan itu terjawab sudah dan nyatanya Zahra sudah tak ingin menerimanya. "Kak, apa kita bisa seger
Sesampainya di rumah Zahra pun kembali dalam perasaan cemas. Lalu kembali membuka kotak yang berisi kenangan indah bersama Erlangga. Zahra kembali meneteskan air matamu saat kenangan itu kembali melintas di depan benaknya. "Aku masih cinta padamu, Kak. Tapi aku bisa apa jika memang Kakak sudah tak menginginkan'ku lagi." Zahra terus mengusap foto kenangan bersama Erlangga. "Aku harus berusaha untuk melupakanmu walaupun sangat susah."Zahra pun segera merapikan kotak berisi kenangan itu lalu menyimpannya kembali dengan rapat. Kini tekadnya adalah melupakan kenangannya bersama Erlangga. Dan berusaha menerima dengan sepenuh hati pernikahannya nanti dengan Andi. ******Erlangga terus menatap foto yang sama dengan yang Zahra tadi tatap. Bedanya Erlangga masih begitu tak terima jika kini Zahra sudah tak bisa menerimanya lagi. Erlangga kali ini seperti kehilangan hidupnya kembali seperti awal hubungan mereka ditentang Malik. Jika dulu Erlangga mampu bangkit kembali karena ingin menunjukkan
Tujuh bulan kemudian ... "Aaaakh! Sakit, Kak!" Zahra memegang erat tangan Erlangga saat kontraksi itu menyerangnya. "Dokter, lakukan sesuatu untuk istriku! Atau aku akan menghancurkan rumah sakit ini!" geram Erlangga karena tak tega melihat melihat istrinya kesakitan. "Er, tenang. Ini memang proses persalinan. Semua wanita merasakannya," Sarah berusaha menenangkan menantunya. "Buatlah Zahra nyaman dan tetap tenang." Zahra pun mengapit wajah Erlangga. "Kak, aku tidak apa-apa. Aku bisa tahan ini." Erlangga pun berusaha untuk tenang dan melakukan apapun sesuai nasehat ibu mertuanya untuk menenangkan Zahra. "Sayang, jangan bikin mommy sakit ya. Daddy sayang kamu." Erlangga terus mengusap perut itu berusaha untuk tenang, walau Erlangga sebenarnya tak bisa karena Zahra terus meremas erat lengannya. "Ya Allah ... lancarkan persalinan istriku. Selamat kan lah anak dan istriku." Zahra semakin kesakitan. Dokter pun mengatakan jika pembukaannya sudah lengkap. Zahra sudah mulai mengejan. Er
Tiga bulan kemudian ... "Undangan pernikahan." Zahra mengambil kertas undangan yang ada di atas meja. "Elsa dan Jimmy, apaaa?" Zahra membekap mulutnya tak percaya undangan pernikahan itu dari sahabatnya dengan pria yang katanya adalah pria paling rese yang Elsa bilang. Erlangga baru keluar dari kamar mandi. "Ada apa, sayang? Kenapa kamu teriak sih?" "Kak ini undangan pernikahan namanya benar?" Erlangga mengerutkan keningnya. "Maksudnya?" Zahra membuang napasnya. "Elsa bilang Kak Jimmy adalah pria paling rese yang pernah ditemuinya. Masa tiba-tiba ada undangan pernikahan?" Erlangga terdiam sejenak lalu tertawa renyah. "He he, namanya juga manusia." Zahra mengerucutkan bibirnya mendengar sahutan Erlangga. "Malah tertawa." Erlangga yang hendak menuju tempat ganti baju pun berhenti melaju. "Terus aku harus bagaimana, sayang?" "Terserah deh, aku mau telpon Elsa dulu. Memastikan undangan ini benar atau tidak." Erlangga menggaruk pipinya yang tak gatal. "Huuh, dasar wanita." ***"
"Apa-apaan, Pak Er? Saat ini kita tidak sedang kekurangan karyawan, Pak. Bagaimana mungkin saya harus menerima karyawan baru."Jimmy tidak mengerti mengapa sang bos menyuruhnya menerima karyawan baru. Padahal jelas-jelas kantornya tidak tengah kekurangan karyawan. Jimmy semakin tidak mengerti pada jalan pikiran Erlangga yang sudah terlihat begitu bucin. "Itu permintaan isteriku, Jim. Kamu atur aja pokoknya ya!" titah Erlangga dengan kembali mengirim pesan pada sang istri yang baru saja ditinggalkan olehnya beberapa menit lalu. "Pokoknya terserah kamu mau di tempat kan di mana." Jimmy mengusap leher belakangnya karena bingung. "Iya tapi dia kerja bagian apaaaa? Enggak ada lowongan, Pak Er. Masa jadi asisten pribadi saya?" Erlangga menoleh pada Nino, lalu menyipitkan matanya berpikir sejenak. "Boleh," ucap Erlangga, "mau jadi asisten pribadi kamu mau jadi istri kamu, terserah deh pokoknya. Yang penting dia bisa bekerja, oke! Saya pulang lagi karena masih masa bulan madu, he he." Jim
"Ooh, iya, Sa. Nanti aku coba bicarakan pada suamiku ya. Semoga aja ada lowongan pekerjaan buat kamu." Zahra menutup telponnya dengan perasaan iba pada sahabatnya. Erlangga baru keluar dari kamar mandi dengan menggunakan handuk sepinggang. Zahra dengan refleks menutup matanya agar tidak melihat dada bidang yang selalu dikaguminya. Al pun melihatnya, Erlangga malah semakin mendekati Zahra dengan sengaja. "Iih, Kak. Sono, aaaakkkkhh!" Zahra mendorong tubuh Erlangga agar menjauh darinya. "Kamu kenapa sih, Ra? Sok-sokan enggak mau sama dada bidangku." Erlangga kembali mendekati Zahra dengan seringai jahil. "Jangan mesum, Kak!" Zahra mendorong lagi tubuh Erlangga namun, bukannya tubuh Erlangga yang menjauh, melainkan handuk Erlangga yang melorot akibat dorongan Zahra."Huwaaaaaa, Kak Er mesum!" Zahra menutup matanya dengan kedua telapak tangannya. Erlangga tertawa terbahak karena geli melihat tingkah istrinya yang polos. Erlangga pun segera menuju ruang ganti. Zahra sendiri masih menu
"Loh, kok sudah pulang?" Yudistira terkejut karena Erlangga dan Zahra kini sudah berada di teras rumahnya. "Baru juga satu Minggu, Er?" Erlangga menarik napasnya. "Tenang aja, Pah. Satu Minggu juga jadi kok itu cucu Papah," ucap Erlangga dengan tidak ada wibawanya sebagai CEO PREMAN. Zahra sendiri hanya meremas jari-jari tangannya sedikit takut jika sang papa mertua marah padanya. "Papah ... ini karena Zahra minta pulang," kata Zahra tak ingin membuat sang Papa mertua khawatir.Yudistira menoleh pada Zahra lalu menatapnya sejenak. "Apa Er tidak membahagiakanmu, Ra?" Erlangga terbelalak. "Apa maksudnya? Mana ada aku tidak membahagiakannya, Pah? Zahra minta pulang karena rindu pada orang tuanya." Zahra mengerucutkan keningnya. "Bukannya Kak Erlangga yang mengajakku pulang karena cemburu pada bule itu?" Yudistira menoleh dan menatap Erlangga dengan tatapan tak suka. "Sudah Papah duga. Kamu biang keroknya, Er." Yudistira menarik tangan Zahra ke dalam rumah. "Kalau begitu kamu ikut Pa
"Kamu? Ngapain ke sini?" sentak Jimmy saat melihat Dinda kini berada di ruangannya. "Iiih, jangan galak-galak napa? Aku ke sini kan dengan niat baik." Dinda duduk di sofa tamu ruangan Jimmy tanpa menunggu Jimmy menyuruhnya duduk. "Eh eh eh, siapa yang nyuruh kamu duduk?" Jimmy beranjak dari duduknya menghampiri Dinda yang kini sudah duduk di sofa tamunya. "Kagak ada yang nyuruh." "Nah, itu tahu. Terus kenapa kamu malah duduk?" Dinda menatap Jimmy dengan menyipitkan matanya. "Aku itu bingung harus nagnggap kamu itu baik atau tidak? Dibilang tidak baik, kamu sudah membantuku. Tapi, aku bilang baik juga bingung kamu marah-marah terus," ucapnya dengan mengeluarkan lembaran uang dari dompetnya. "Ini ... aku ke sini mau mengembalikan uang yang kamu pakai untuk membiayai pengobatanku hari itu. Lunas, ya! Jangan sampai di tengah jalan kamu nagih! Aku pamit, sekali lagi terima kasih." Dinda beranjak dan pamit kembali pada Jimmy setelah menyimpan lembaran uang di meja tamu Jimmy. Jimmy pu
"Ini kita mau ke mana, Kak?" Erlangga tak menjawab pertanyaan Zahra dan terus menuntunnya karena mata Zahra diminta untuk ditutup. Walau merasa sedikit cemas, Zahra terus berusaha mengikuti tarikan tangan dari Erlangga. Hingga sampai di tempat tujuan, Erlangga mendudukkan Zahra di kursi. "Tunggu! Kok tempatnya sejuk gini sih, Kak? Kakak enggak aneh-aneh kan? Jangan bilang kalau Kakak mau menceburkan aku ke kolam?" Erlangga tak tahan untuk menahan tawanya akibat sangkaan Zahra. "Hhhmmff, kamu ini suudzon terus sih?" Erangga membuka tali penutup mata Zahra dengan perlahan. "Taraaaa." Mata Zahra mengerjakan menatap indahnya pemandangan dari atas bukit. "Wah ... Masya Allah, Kak. Ini indah banget," ucapnya begitu takjub. "Pemandangannya ya, yang indah. Bukan wajah Kakak," ralatnya lagi-lagi membuat Erlangga tertawa. "Ya ampun, istriku gemesin banget sih." Erlangga mencuil dagu Zahra. "Enggak ada bilang terimakasih, gitu?" Zahra memutar bola matanya. "Astaghfirullah, ini tuh ngasih s
"Waaah ... Kak, ini indah banget," ucap Zahra saat Erlangga memberikan satu tangkai bunga bawar. "Tentu aja wajahku memang indah," celetuk Erlangga asal. Zahra menarik senyuman dari bibirnya. "Apaan sih, Kak? Orang aku bilang bunganya juga yang indah," tepis Zahra dengan bibir mengerut. "Sejak kapan sih Kak Er itu jadi penggombal ulung?" "Jangan digituin mulutnya nanti ku cium," ujar Eerlangga mencuil bibir Zahra. "Jadi wajahku enggak indah, Ra?" Zahra mendelikkan matanya. "Ck, Kak ... wajah Kakak tentu saja indah. Tapi, ini bukan saatnya aku memuji wajah Kakak. Nanti aja puji wajah Kakak mah. Sekarang aku muji dulu ini bunga, ok." Erlangga tersenyum sedikit menyeringai. "Nanti itu saat kapan sih, Ra?" godanya, "apa ada waktu tertentu untuk memuji wajahku?" Zahra memutar bola matanya dan sedikit menghembuskan napas. "Kak, tolong ya jangan mesum terus. Aku ingin menikmati taman ini sekarang, nanti aja mau mesum-mesuman mah!" Alih-alih marah, Erlangga malah semakin tertawa mendeng
"Aw." Zahra memegang bagian kewanitaannya.Erlangga segera menghampiri Zahra yang memang sudah bangun duluan. "Kenapa, Za?" Zahra hanya menatap Erlangga, merasa malu jika mengatakan bagian kewanitaannya sakit. "Eh, enggak apa-apa, Kak." Zahra mencoba berjalan dengan sedikit tertatih. Erlangga mengerutkan keningnya, lalu langsung menggendong Zahra setelah menyadari apa yang membuat sang istri jalan tertatih. "Kenapa enggak bilang kalau masih sakit, Hem?" Zahra terkejut. "Huwaa, Kak Er, turunin!" Erlangga tak menghiraukan ocehan Zahra dan terus menggendong Zahra. "Diam, Ra. Nanti kamu jatuh.""Turunin," rengek Zahra, "aku masih bisa berjalan. "Tapi tertatih," sahut Erlangga dengan sedikit tertawa, membuat Zahra menunduk malu. "Maaf, sayang. Itu karena ulahku, kan? He he." Erlangga terus menggendong Zahra sampai tiba di kamar mandi. Erlangga menurunkan Zahra dengan begitu hati-hati. Kali ini Zahra hanya pasrah dan tidak berontak lagi. Erlangga sampai menyiapkan air hangat untuk san