"Ra, aku ingin ajak kamu jalan nanti siang. Sekaligus makan siang'lah gitu. Apa kamu sibuk siang ini?" Zahra terdiam sejenak menimbang pertanyaan dari Andi. "Tidak, Kak. Aku akan sibuk nanti menjelang ke lulusan untuk sekarang masih belum." "Alhamdulillah syukur deh, udah nggak sabar juga pengen melafadzkan ijab qobul," ujar Andi bergurau. Zahra tersenyum tipis. Entah senang atau tidak saat Andi mengatakan ingin segera menikah. Zahra masih berusaha untuk meyakinkan dirinya untuk melupakan Erlangga dan berusaha mencintai Andi. Zahra tak ingin kembali ke masa lalu yang terus saja menyakiti hatinya. "Sabar dong! Kan cuma tinggal beberapa bulan lagi," ujar Zahra menyenangkan Andi. "Insya Allah dan tentu saja aku selalu sabar menunggu, Ra. Aku juga tidak mau nanti kamu malah tertekan dan nggak fokus kuliah gara-gara mikirinn ucapan'ku barusan. Maafkan aku ya, Ra." Tutur kata lembut, sopan santu juga rasa penyayang yang Andi berikan pada Zarha memang belum mampu membuat Zahra melupaka
Suasana sedikit canggung sampai Zahra kembali dari toilet. Kali ini Zahra memang tidak terlalu lama di toilet karena takut jika Andi curiga jika dirinya pernah berhubungan dengan Erlangga dulu. Zahra tak ingin menyakiti Andi karena Zahra merasa jika Andi tak bersalah atas kandasnya hubungan dirinya dengan Erlangga. Untuk itu, Zahra tak ingin Andi tahu jika dirinya dan Erlangga pernah berhubungan. Erlangga kembali menatap Zahra sekilas. "Apa saya mengganggu, kalian?" ujar Erlangga, "jika mengganggu mungkin lebih baik saya cari meja lain." Erlngga hendak pergi. "Tidak, Pak Er. Tidak sama sekali. Kita bisa duduk di meja yang sama di sini, iya'kan, Ra?" Zahra menatap Andi dengan tatapan yang sulit di artikan. "Iya," jawabnya singkat. Erlangga akhirnya duduk kembali bersebrangan dengan Zahra. Erlangga dengan mudah mencuri-curi pandang ke wajah gadis yang selalu di rindukannya. Zahra sendiri tak banyak mengeluarkan kata-kata hanya menjawab dan tersenyum jika Andi bertanya. Padahal sikap
Zahra mengambil napasnya walau dengan dada yang sesak. "Ya, itu mungkin pernah terjadi, tapi kita sudah tidak saling mengenal lagi." Zahra menatap Erlangga sedikit kesal karena Erlangga sama sekali tak ada niatan memperjuangkan cinta mereka. Lagi-lagi rahang Erlangga mengeras. Ludahnya berasa tersekat pahit di tenggorokannya. Erlangga mengerti apa yang di ucapkan oleh Zahra. Erlangga menganggap jika itu karena kini Zahra sudah mencintai Andi. Suasana tegang berlangsung kembali cukup lama. Apalagi kini Andi pun merasakan hal yang sama dengan Zahra dan Erlangga, yaitu sesak. Dari beberapa hari lalu Andi memikirkan tentang hubungan Zahra dan Erlangga. Namun, Andi tak menyangka jika rasanya sesakit itu saat tahu yang sebenarnya. Tentang perasaan Erlangga jangan di tanya lagi. Keinginannya untuk kembali pada Zahra akan dia lanjutkan jika Zahra masih mau menerimanya. Akan tetapi, kini pertanyaan itu terjawab sudah dan nyatanya Zahra sudah tak ingin menerimanya. "Kak, apa kita bisa seger
Sesampainya di rumah Zahra pun kembali dalam perasaan cemas. Lalu kembali membuka kotak yang berisi kenangan indah bersama Erlangga. Zahra kembali meneteskan air matamu saat kenangan itu kembali melintas di depan benaknya. "Aku masih cinta padamu, Kak. Tapi aku bisa apa jika memang Kakak sudah tak menginginkan'ku lagi." Zahra terus mengusap foto kenangan bersama Erlangga. "Aku harus berusaha untuk melupakanmu walaupun sangat susah."Zahra pun segera merapikan kotak berisi kenangan itu lalu menyimpannya kembali dengan rapat. Kini tekadnya adalah melupakan kenangannya bersama Erlangga. Dan berusaha menerima dengan sepenuh hati pernikahannya nanti dengan Andi. ******Erlangga terus menatap foto yang sama dengan yang Zahra tadi tatap. Bedanya Erlangga masih begitu tak terima jika kini Zahra sudah tak bisa menerimanya lagi. Erlangga kali ini seperti kehilangan hidupnya kembali seperti awal hubungan mereka ditentang Malik. Jika dulu Erlangga mampu bangkit kembali karena ingin menunjukkan
"Alhamdulillah, apa itu benar Nak Zahra?" Zahra pun tersadar. "Iya, Ayah. Alhamdulillah hubungan kita baik-baik saja," ucap Zahra pada akhirnya. Santosa mengangguk-anggukkan kepalanya merasa lega. "Syukurlah kalau begitu. Ayah hanya tak ingin jika hubungan kalian putus di tengah jalan. Ayah merasa sangat cocok dengan Nak Zahra apalagi Ayah juga adalah sahabat baik ayahmu, Nak," ujar Santosa penuh harap pada Zahra. "Iya Ayah, tolong doakan kami terus agar kami bisa tetap menjaga hubungan ini sampai halal nanti dengan baik." "Ya ya ya, apa kalian sudah tidak sabar untuk segera halal, hem?" ujar Santosa menggoda sang putra juga calon menantunya itu. "Ayaaaah, jangan menggoda kami!" kata Andi, "jika kami tidak bisa menjaga nafsu kami bagaimana?" "Astagfirullah kamu ya, An. Jika itu sampai terjadi maka ayah tidak akan menganggapmu lagi sebagai putra ayah!" ujar Santosa bergurau. Zahra dan Andi pun akhirnya tertawa dan menikmati makan malam bersama sang Ayah. Malam ini Andi dan Zahra
"Bagaimana ini bisa terjadi, Pak Daus?" Andi sedikit terkejut karena perusahaannya kini tengah kekurangan dana. "Bukankah satu Minggu yang lalu Bapak bilang perusahaan kita mengalami kenaikan pendapatan?" tanyanya lagi pada manager keuangan perusahaannya. Daus hanya bisa mematung tak bisa menjawab pertanyaan Andi. Daus sendiri tidak tahu bagaimana caranya perusahaan yang di kelolanya itu bisa sampai kekurangan dana dalam waktu yang cepat setelah seminggu yang lalu mengalami kenaikan pendapatan. Daus bingung karena dirinya sendiri tak mengerti pada kinerjanya yang baru kali ini bisa di katakan gagal dalam mengelola keuangan PT Bima Sakti milik Andi Santosa. "Mohon maaf Pak Andi, saya sendiri sangat terkejut melihat keuangan perusahaan yang turun drastis dengan sangat cepat. Seminggu yang lalu saya sudah sangat teliti mencatat pendapatan PT Bima Sakti ini dan memang mengalami kenaikan pendapatan yang lumayan besar. Tapi saya pun bingung mengapa hanya dalam waktu satu minggu ini pendap
"Jadi Kakak ngizinin aku ikut?" Andi menggangguk. "Tentu saja aku ngizinin, Ra. Asal kamu hati-hati di sana ya karena sepertinya aku tidak bisa mengantarmu apalagi nemenin kamu, karena-" "Tidak apa-apa, Kak. Kakak fokus aja pada pekerjaan Kakak. Insya Allah aku di sana baik-baik saja lagi pula banyak orang kan?" "Ya kalau begitu syukur deh, pesanku hanya satu hati-hati dan jaga hati," ujar Andi menatap Zahra dengan senyuman tipis penuh arti. Zahra sendiri hanya tersenyum tipis karena saat ini setelah pertemuannya dengan Erlangga hari itu Zahra dan Erlangga sudah tak pernah bertemu lagi. Untuk itu, membuat hati Zahra tidak terlalu mengingat Erlangga dan lebih fokus pada hubungannya dengan Andi. Andi sendiri hanya berhubungan dengan Jimmy sekretaris dari Erlangga ketika perusahaannya harus menghubungi Elang Group. "Ya sudah kalau begitu aku pulang dulu ya, Kak." Zahra hendak beranjak dari duduknya. "Kamu ke sini jauh-jauh hanya ingin meminta izin itu, Ra?" ujar Andi menghentikan l
"Apa yang harus ku lakukan sekarang? Perusahaan sudah sangat membutuhkan dana tambahan. Aku pun tidak mungkin mendapatkan pinjaman dalam waktu cepat." Andi mondar-mandir ke kanan dan kiri memikirkan jalan keluar dari masalahnya. "Apa aku minta bantuan ayah Malik? Mungkin saja Ayah bisa membantuku, setidaknya dia punya teman yang bisa membantuku keluar dari masalah ini." Andi pun segera mengambil handphonenya untuk menghubungi Malik. ****"Dia akan pergi tour ke Bandung?" "Iya, Pak Er. Saya pikir anda bisa memanfaatkan waktu itu untuk mendekatinya kembali," ujar Jimmy. "Tanpa harus melanjutkan rencana untuk perusahaan Pak Andi." Jimmy menatap Erlangga dengan penuh harap agar Erlangga tidak melanjutkan rencananya untuk menghancurkan perusahaan Andi. Erlangga menarik nafasnya karena mengerti maksud dari Jimmy. "Saya akan pergi ke Bandung. Tapi ... rencana itu tetap berjalan," ucapnya kekeh pada pendiriannya. Jimmy lagi-lagi hanya bisa menarik nafasnya karena masih belum bisa menyada
Tujuh bulan kemudian ... "Aaaakh! Sakit, Kak!" Zahra memegang erat tangan Erlangga saat kontraksi itu menyerangnya. "Dokter, lakukan sesuatu untuk istriku! Atau aku akan menghancurkan rumah sakit ini!" geram Erlangga karena tak tega melihat melihat istrinya kesakitan. "Er, tenang. Ini memang proses persalinan. Semua wanita merasakannya," Sarah berusaha menenangkan menantunya. "Buatlah Zahra nyaman dan tetap tenang." Zahra pun mengapit wajah Erlangga. "Kak, aku tidak apa-apa. Aku bisa tahan ini." Erlangga pun berusaha untuk tenang dan melakukan apapun sesuai nasehat ibu mertuanya untuk menenangkan Zahra. "Sayang, jangan bikin mommy sakit ya. Daddy sayang kamu." Erlangga terus mengusap perut itu berusaha untuk tenang, walau Erlangga sebenarnya tak bisa karena Zahra terus meremas erat lengannya. "Ya Allah ... lancarkan persalinan istriku. Selamat kan lah anak dan istriku." Zahra semakin kesakitan. Dokter pun mengatakan jika pembukaannya sudah lengkap. Zahra sudah mulai mengejan. Er
Tiga bulan kemudian ... "Undangan pernikahan." Zahra mengambil kertas undangan yang ada di atas meja. "Elsa dan Jimmy, apaaa?" Zahra membekap mulutnya tak percaya undangan pernikahan itu dari sahabatnya dengan pria yang katanya adalah pria paling rese yang Elsa bilang. Erlangga baru keluar dari kamar mandi. "Ada apa, sayang? Kenapa kamu teriak sih?" "Kak ini undangan pernikahan namanya benar?" Erlangga mengerutkan keningnya. "Maksudnya?" Zahra membuang napasnya. "Elsa bilang Kak Jimmy adalah pria paling rese yang pernah ditemuinya. Masa tiba-tiba ada undangan pernikahan?" Erlangga terdiam sejenak lalu tertawa renyah. "He he, namanya juga manusia." Zahra mengerucutkan bibirnya mendengar sahutan Erlangga. "Malah tertawa." Erlangga yang hendak menuju tempat ganti baju pun berhenti melaju. "Terus aku harus bagaimana, sayang?" "Terserah deh, aku mau telpon Elsa dulu. Memastikan undangan ini benar atau tidak." Erlangga menggaruk pipinya yang tak gatal. "Huuh, dasar wanita." ***"
"Apa-apaan, Pak Er? Saat ini kita tidak sedang kekurangan karyawan, Pak. Bagaimana mungkin saya harus menerima karyawan baru."Jimmy tidak mengerti mengapa sang bos menyuruhnya menerima karyawan baru. Padahal jelas-jelas kantornya tidak tengah kekurangan karyawan. Jimmy semakin tidak mengerti pada jalan pikiran Erlangga yang sudah terlihat begitu bucin. "Itu permintaan isteriku, Jim. Kamu atur aja pokoknya ya!" titah Erlangga dengan kembali mengirim pesan pada sang istri yang baru saja ditinggalkan olehnya beberapa menit lalu. "Pokoknya terserah kamu mau di tempat kan di mana." Jimmy mengusap leher belakangnya karena bingung. "Iya tapi dia kerja bagian apaaaa? Enggak ada lowongan, Pak Er. Masa jadi asisten pribadi saya?" Erlangga menoleh pada Nino, lalu menyipitkan matanya berpikir sejenak. "Boleh," ucap Erlangga, "mau jadi asisten pribadi kamu mau jadi istri kamu, terserah deh pokoknya. Yang penting dia bisa bekerja, oke! Saya pulang lagi karena masih masa bulan madu, he he." Jim
"Ooh, iya, Sa. Nanti aku coba bicarakan pada suamiku ya. Semoga aja ada lowongan pekerjaan buat kamu." Zahra menutup telponnya dengan perasaan iba pada sahabatnya. Erlangga baru keluar dari kamar mandi dengan menggunakan handuk sepinggang. Zahra dengan refleks menutup matanya agar tidak melihat dada bidang yang selalu dikaguminya. Al pun melihatnya, Erlangga malah semakin mendekati Zahra dengan sengaja. "Iih, Kak. Sono, aaaakkkkhh!" Zahra mendorong tubuh Erlangga agar menjauh darinya. "Kamu kenapa sih, Ra? Sok-sokan enggak mau sama dada bidangku." Erlangga kembali mendekati Zahra dengan seringai jahil. "Jangan mesum, Kak!" Zahra mendorong lagi tubuh Erlangga namun, bukannya tubuh Erlangga yang menjauh, melainkan handuk Erlangga yang melorot akibat dorongan Zahra."Huwaaaaaa, Kak Er mesum!" Zahra menutup matanya dengan kedua telapak tangannya. Erlangga tertawa terbahak karena geli melihat tingkah istrinya yang polos. Erlangga pun segera menuju ruang ganti. Zahra sendiri masih menu
"Loh, kok sudah pulang?" Yudistira terkejut karena Erlangga dan Zahra kini sudah berada di teras rumahnya. "Baru juga satu Minggu, Er?" Erlangga menarik napasnya. "Tenang aja, Pah. Satu Minggu juga jadi kok itu cucu Papah," ucap Erlangga dengan tidak ada wibawanya sebagai CEO PREMAN. Zahra sendiri hanya meremas jari-jari tangannya sedikit takut jika sang papa mertua marah padanya. "Papah ... ini karena Zahra minta pulang," kata Zahra tak ingin membuat sang Papa mertua khawatir.Yudistira menoleh pada Zahra lalu menatapnya sejenak. "Apa Er tidak membahagiakanmu, Ra?" Erlangga terbelalak. "Apa maksudnya? Mana ada aku tidak membahagiakannya, Pah? Zahra minta pulang karena rindu pada orang tuanya." Zahra mengerucutkan keningnya. "Bukannya Kak Erlangga yang mengajakku pulang karena cemburu pada bule itu?" Yudistira menoleh dan menatap Erlangga dengan tatapan tak suka. "Sudah Papah duga. Kamu biang keroknya, Er." Yudistira menarik tangan Zahra ke dalam rumah. "Kalau begitu kamu ikut Pa
"Kamu? Ngapain ke sini?" sentak Jimmy saat melihat Dinda kini berada di ruangannya. "Iiih, jangan galak-galak napa? Aku ke sini kan dengan niat baik." Dinda duduk di sofa tamu ruangan Jimmy tanpa menunggu Jimmy menyuruhnya duduk. "Eh eh eh, siapa yang nyuruh kamu duduk?" Jimmy beranjak dari duduknya menghampiri Dinda yang kini sudah duduk di sofa tamunya. "Kagak ada yang nyuruh." "Nah, itu tahu. Terus kenapa kamu malah duduk?" Dinda menatap Jimmy dengan menyipitkan matanya. "Aku itu bingung harus nagnggap kamu itu baik atau tidak? Dibilang tidak baik, kamu sudah membantuku. Tapi, aku bilang baik juga bingung kamu marah-marah terus," ucapnya dengan mengeluarkan lembaran uang dari dompetnya. "Ini ... aku ke sini mau mengembalikan uang yang kamu pakai untuk membiayai pengobatanku hari itu. Lunas, ya! Jangan sampai di tengah jalan kamu nagih! Aku pamit, sekali lagi terima kasih." Dinda beranjak dan pamit kembali pada Jimmy setelah menyimpan lembaran uang di meja tamu Jimmy. Jimmy pu
"Ini kita mau ke mana, Kak?" Erlangga tak menjawab pertanyaan Zahra dan terus menuntunnya karena mata Zahra diminta untuk ditutup. Walau merasa sedikit cemas, Zahra terus berusaha mengikuti tarikan tangan dari Erlangga. Hingga sampai di tempat tujuan, Erlangga mendudukkan Zahra di kursi. "Tunggu! Kok tempatnya sejuk gini sih, Kak? Kakak enggak aneh-aneh kan? Jangan bilang kalau Kakak mau menceburkan aku ke kolam?" Erlangga tak tahan untuk menahan tawanya akibat sangkaan Zahra. "Hhhmmff, kamu ini suudzon terus sih?" Erangga membuka tali penutup mata Zahra dengan perlahan. "Taraaaa." Mata Zahra mengerjakan menatap indahnya pemandangan dari atas bukit. "Wah ... Masya Allah, Kak. Ini indah banget," ucapnya begitu takjub. "Pemandangannya ya, yang indah. Bukan wajah Kakak," ralatnya lagi-lagi membuat Erlangga tertawa. "Ya ampun, istriku gemesin banget sih." Erlangga mencuil dagu Zahra. "Enggak ada bilang terimakasih, gitu?" Zahra memutar bola matanya. "Astaghfirullah, ini tuh ngasih s
"Waaah ... Kak, ini indah banget," ucap Zahra saat Erlangga memberikan satu tangkai bunga bawar. "Tentu aja wajahku memang indah," celetuk Erlangga asal. Zahra menarik senyuman dari bibirnya. "Apaan sih, Kak? Orang aku bilang bunganya juga yang indah," tepis Zahra dengan bibir mengerut. "Sejak kapan sih Kak Er itu jadi penggombal ulung?" "Jangan digituin mulutnya nanti ku cium," ujar Eerlangga mencuil bibir Zahra. "Jadi wajahku enggak indah, Ra?" Zahra mendelikkan matanya. "Ck, Kak ... wajah Kakak tentu saja indah. Tapi, ini bukan saatnya aku memuji wajah Kakak. Nanti aja puji wajah Kakak mah. Sekarang aku muji dulu ini bunga, ok." Erlangga tersenyum sedikit menyeringai. "Nanti itu saat kapan sih, Ra?" godanya, "apa ada waktu tertentu untuk memuji wajahku?" Zahra memutar bola matanya dan sedikit menghembuskan napas. "Kak, tolong ya jangan mesum terus. Aku ingin menikmati taman ini sekarang, nanti aja mau mesum-mesuman mah!" Alih-alih marah, Erlangga malah semakin tertawa mendeng
"Aw." Zahra memegang bagian kewanitaannya.Erlangga segera menghampiri Zahra yang memang sudah bangun duluan. "Kenapa, Za?" Zahra hanya menatap Erlangga, merasa malu jika mengatakan bagian kewanitaannya sakit. "Eh, enggak apa-apa, Kak." Zahra mencoba berjalan dengan sedikit tertatih. Erlangga mengerutkan keningnya, lalu langsung menggendong Zahra setelah menyadari apa yang membuat sang istri jalan tertatih. "Kenapa enggak bilang kalau masih sakit, Hem?" Zahra terkejut. "Huwaa, Kak Er, turunin!" Erlangga tak menghiraukan ocehan Zahra dan terus menggendong Zahra. "Diam, Ra. Nanti kamu jatuh.""Turunin," rengek Zahra, "aku masih bisa berjalan. "Tapi tertatih," sahut Erlangga dengan sedikit tertawa, membuat Zahra menunduk malu. "Maaf, sayang. Itu karena ulahku, kan? He he." Erlangga terus menggendong Zahra sampai tiba di kamar mandi. Erlangga menurunkan Zahra dengan begitu hati-hati. Kali ini Zahra hanya pasrah dan tidak berontak lagi. Erlangga sampai menyiapkan air hangat untuk san