"Ha... Ha... " Suara tawa segerombolan anak laki-laki berhasil mengema di sebuah gudang sekolah. Di ikuti oleh suara tangis seorang anak perempuan yang sedang berdiri dengan tangan terlentang. Terlihat ada kaleng kosong yang berdiri di atas kepala dan juga di kedua telapak tangannya. "Ayo lempar lagi. Aku sudah berhasil menjatuhkan satu, sekarang giliranmu." Rico memberikan sebuah bola yang terbuat dari gumpalan plastik kresek yang di ikat oleh karet gelang. Sehingga membuat plastik kresek itu sudah seperti sebuah bola kecil. "Hikss... Hiksss... Jangan. Aku takut," Lirih gadis itu tanpa berani bergerak. Matanya terlihat membiru, sudut bibir mungilnya juga terlihat ada noda darah, mungkin karena terkena bola yang di lemparkan para anak laki-laki itu untuk menjatuhkan kaleng yang ada di kepalanya. "Ha... Ha... Kenapa kau menangis? Bukankah tadi kau menantangku?" Tawa Rico semakin pecah. Di ikuti beberapa anak laki-laki yang ada di ruangan itu. Mereka seperti tidak punya hati nurani
"Kenapa kamu melihat daddy seperti itu? Daddy tidak takut," Ucap Leon langsung melepaskan cubitannya. Sekuat apapun dia kencubit, tidak akan membuat kora-kora itu kesakitan. "Kalau daddy tidak takut, jangan menutup mata," Raygan tersenyum kecil ketika melihat kora-kora itu mulai bergerak. Leon memegang pegangan kora-kora itu dengan kuat, sehingga memperlihatkan urat tangannya. Dia menggingit bibir bawahnya untuk menyembunyikan ketakutannya. "Ini permainan atau ajang bunuh diri?" Leon mulai merasa jika perutnya sudah tidak bisa di ajak kompromi. Huek.... Huekk... Tidak peduli dengan tatapan orang, Leon langsung memuntahkan isi perutnya setelah turun dari kora-kora. Tubuhnya terasa begitu dingin, ditambah lagi dengan keringat yang mengalir deras dari keningnya. Sehingga membuat keangkuhan yang sejak tadi dia tinggikan langsung turun dengan seketika. "Itu permainan gila! Daddy tidak akan mau menaikinya lagi. Bukannya senang, bisa-bisa daddy mati di tempat," Oceh Leon sambil duduk l
Rico berjalan dengan sempoyongan memasuki rumah. Kebiasaannya mabuk-mabukan tidak pernah bisa di ubah. Dia berjalan melewati ruang tengah tanpa memperdulikan sang papa yang telah menunggunya sejak tadi. "Rico!" Suara lantang Heri langsung menggema di ruangan itu, sehingga membuat kesadaran Rico langsung kembali 100%."Papa! Papa belum tidur?" Tanya Rico menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Kau kira papa bisa tidur karena ulahmu? Mana semua uang yang kau ambil dari perusahaan papa?" Tanya Heri menatap geram sang putra. "Uang apa? Rico tidak ada mengambil uang," "Kau tidak usah pura-pura bodoh. Kau sudah mengelapkan uang perusahaan. Sekarang kembalikan," "Sudah habis!" Ucal Rico santai, sehingga membuat dada Heri terasa begitu sesak mendengar ucapan simple sang anak. "Kurang ajar kau!"Tidak sanggup lagi menahan amarahnya, Heri langsung menampar Rico dengan keras. Tidak perduli jika putranya itu sudah dewasa. Kelakuan Rico semakin hari semakin menjadi. Sudah begitu banyak uang p
Rico membulatkan matanya terkejut melihat apartemen Alex. Sangat mewah, hanya itu yang ada di dalam pikirannya. Semua barang-barang yang ada di sana berkualitas tinggi. Dia menatap setiap sudut ruangan dengan penuh kekaguman. Siapa sebenarnya pria itu? Kenapa kehidupannya begitu sangat mewah? Padahal dia hanya menghabiskan waktu di club dan juga di meja judi. Namun, kenapa dia semua fasilitas yang sangat mewah? Apa dia adalah salah satu putra pejabat ternama? Tetapi siapa? Berbagai tanda tanya besar mulai bermunculan di pikiran Rico. "Bagaimana? Apa k suka?" Tanya Alex menghampaskan tubuhnya di sofa. "Apa ini apartemen kakak?" Tanya Rico penasaran. "Ya! Ini apartemen gue. Bagaimana menurut lo?" Tanya Axel sambil menuangkan anggur merah ke gelas. "Bagus. Kakak memang kereen." Rico duduk di samping Alex lalu meminum anggur merah yang di berikan Alex. "Apa lo mau apartemen ini jadi milik lo?" Tanya Alex tersenyum. "Maksud kakak?""Gue akan berikan apartemen ini untuk lo. Tapi deng
Perusahaan Debora Grup di kejutkan dengan kedatangan seorang wanita cantik bersama beberapa pengawalnya. Wanita itu langsung menerobos masuk ke ruangan CEO, tanpa memperdulikan ucapan para karyawan yang ada di sana. "Maaf, Nyonya. Tuan Heri belum tiba, tolong menunggu di ruang tunggu," Ucap Sinta, sekertaris Heri. "Maaf! Saya tidak menunggu kedatangannya," Ucap Naura tersenyum sinis. "Saya hanya ingin mengambil apa yang seharusnya menjadi milik saya." Naura terus melangkahkan kakinya dan memasuki ruangan Heri, ruangan CEO, PT Debora Grup yang seharusnya menjadi ruangannya. Melihat para pengawal Naura yang begitu menyeramkan, di tambah lagi dengan jumlah mereka yang cukup banyak, semua karyawan yang ada di sana hanya bisa diam. Para penjaga juga tida berani berkutik, mereka hanya bisa menghubungi Heri agar cepat tiba di kantor. Naura menatap ruangan itu dengan tatapan datar. Dia menatap setiap inci ruangan itu tanpa ada tertinggal sedikitpun. Hingga akhirnya pandangannya teralih ke
"Rico!" Suara teriakan Heri langsung menggema ketika barang yang dia cari tidak dia temukan. "Papa! Kenapa teriak-teriak?" Tanya Rita memijit keningnya yang terasa pusing karena teriakan sang suami. Dia menatap ruangan yang sudah berserakan dengan tatapan bingung. Entah apa yang di cari sang suami, sehingga membuat ruangan itu sudah seperti kapal pecah. "Dimana anak brengsek itu? Dimana dia?" Tanya Heri penuh amarah. Wajahnya merah padam, ditambah lagi dengan mata melotot yang ingin keluar. Sehingga membuat pria itu terlihat sangat menyeramkan. Rita yang melihat kemarahan sang suami hanya bisa diam tidak berkutik. Jujur dia merasa takut, karena baru kali ini dia melihat suaminya semarah itu. "Di ... Dia semalam pulang ke sini, tapi setelah itu dia pergi lagi," Ucap Rita terbata-bata. Brughh.... "Sialan. Cari dia sampai dapat!" Perintah Heri pada pengawal yang diam di depan pintu. "Baik, Tuan!" Para pengawal itu medunduk hormat lalu pergi untuk mencari keberadaan Rico. "Arghhh!
Naura menatap foto pernikahan papa dan mamanya dengan mata berkaca-kaca. Dia melihat di samping sang papa, ada seorang pria yang sangat dia kenal. Leon, itu adalah Leon suaminya saat ini. Berbagai macam tanda tanya besar langsung muncul di pikiran Naura. Kenapa suaminya hadir di pernikahan kedua orang tuanya, bahkan mereka terlihat sangat dekat. Namun, dia melihat ada yang aneh dari tatapan Leon di dalam foto itu. "Dia terlihat bahagia, tapi matanya," Batin Naura menatap lekat foto itu. "Aku harus cari tahu siapa dia."Dia mencoba masuk ke ruang kerja Leon secara diam-diam. Melihat suasana rumah yang sudah sunyi, membuat Naura semakin mudah untuk menyusup ke ruang kerja Leon. Dia menatap setiap sudut ruangan itu, tidak ada CCTV yang terlihat. "Apa mungkin di sini tidak ada CCTV-nya?" Batin Naura memastikan. Tidak mau membuang-buang waktu, Naura memeriksa setiap sudut ruangan itu. Dia juga memeriksa satu persatu dokumen yang ada di atas meja, tetapi tidak ada satupun informasi yang
Tuan!" Ucap Arga melihat Leon sedang duduk seorang diri di sudut bar sambil meminum anggur merah seorang diri. Pria itu duduk termenung sambil menatap ke arah panggung, di mana di sana begitu banyak pasangan yang sedang berdansa. Namun, dia memilih untuk minum seorang diri untuk memenangkan pikirannya. "Apa kau sudah melihat CCTV di ruang kerjaku?" Tanya Leon tanpa menatap ke arah Arga. "Itu!""Sudahlah! Sudah waktunya dia tau. Kita tidak perlu merahasiakan apapun lagi darinya." Leon membuang napasnya kasar lalu bangkit dari duduknya. Dia mengambil jasnya yang tergeletak di kursi samping, lalu membawanya secara asal. Walaupun sudah menghabiskan beberapa botol, tetapi dia tidak merasakan pusing sedikitpun. Minum minuman keras sudah seperti air putih saja. Arga hanya mengangguk lalu mengikuti langkah Leon. Leon benar, sudah waktunya Naura mengetahui semuanya. Jadi dia bisa melakukan apapun untuk membalaskan semua dendamnya. Arga melajukan mobil menuju ke rumah utama. Dia hanya dia