"Apa kabar, Flo?" Meski sudah sejak kemarin bertemu, Galang baru sempat menayakan kabar Kinara sekarang, di sebuah kedai bubur ayam yang masih sepi pengunjung.
Kemarin, teman kecilnya itu sibuk di-briefing oleh sang Kakak mengenai tugas-tugasnya sebagai asisten Galang. Mulai dari harus tahu jadwal kegiatan Galang setiap harinya, apa yang harus dibawa, apa yang boleh dimakan dan tidak, sampai bagaimana cara menghadapi wartawan terutama wartawan infotainment.
Karena masih ada jadwal syuting, Galang hanya mendampingi sebentar, lalu pergi bersama manajernya.
Kinara yang baru saja menyeruput teh hangat, melirik tajam ke arah Galang. Sudah berulangkali ia bilang tak suka dipanggil Flo, tapi Galang seolah tak peduli.
"Dengar Flo, anjing tetanggaku itu, setelah melahirkan, ia tidak galak lagi. Sekarang ia menjadi anjing yang manis dan lucu." Galang yang bersikeras tak mau mengubah panggilannya pada gadis itu, berusaha meyakinkan.
Cemburu? Kinara meletakkan tas besar yang dibawanya ke atas meja dengan mengehentak. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu menarik tangan Galang, membawanya ke tempat yang cukup jauh dari lalu lalang manusia. "Lang, mulut lo tuh, ya!" Karena seringnya mendengar orang ber lo-gue, ia jadi ikut-ikutan sekarang. "Kak Diandra sudah berpesan hati-hati bersikap dan berbicara, karena semua gerak-gerik kamu dan orang-orang yang dekat denganmu, pasti akan selalu menjadi sorotan. Kamu malah ngomong gitu, kalo kedengaran orang-orang, gimana?" "Oke, oke." Galang malah tertawa. "Lain kali aku akan memilih tempat yang sepi, biar tidak terdengar orang-orang. Begitu, kan?" Galang mencondongkan badannya mendekat pada Kinara, yang membuat gadis itu spontan mendorongnya. Lagi, lelaki itu tertawa, misinya menggoda Kinara dan membuat gadis itu kesal, berhasil. "Nah, kalau begini, orang-orang mengira, kita sepasang kekasih yang sedang bertengkar." Kinara melotot mendengar ucapan Galang, yang setelah
Kinara mengusap bagian pipi Galang yang terdapat noda lipstik dengan lebih kuat. Ih, Najis! Gadis itu terkejut, ketika tiba-tiba Galang membuka mata. "Kamu dulu kerjanya mandiin kudanil?" "Hah?" “Nggak bisa lembut dikit apa?” Menyadari apa yang dimaksud Galang, bukannya melembutkan usapan, tangannya yang masih menempel di pipi Galang malah mendorongnya kuat. "Bersihkan sendiri! Udah bangun, kan!" bentaknya. Galang berdecak. "Asisten macam apa!" gumamnya pelan tapi yakin Kinara mendengar. Ia bukan sedang menegur Kinara sebagai karyawan, hanya menggodanya saja. Membersihkan wajah tak sulit, ia tak keberatan melakukannya sendiri juga. Kinara mau mempersiapkan segala kebutuhan dan mengingatkan segala printilan kegiatannya saja sudah sangat membantu. Mobil berhenti di lampu merah. Kinara mengedarkan pandangan keluar dari balik jendela. Menikmati setiap sudut ibukota yang sudah lama tak dikunjungnya. Terakhir kali ia ke kota Jakarta saat piknik di Sekolah Menengah Pertama. Sud
"Man-tan?" Sejenak Galang terusik dengan kata yang disebut Kinara barusan. "Galak-galak gini punya mantan juga ya, hahaha." "Kurang ajar!" Sebuah jitakan mendarat di kepala Galang. Galang meredakan tawa. "Duduk di sana, Flo." Ditunjuknya meja kosong dengan dua kursi saling berhadapan yang ada di depan minimarket. "Aku lelah mengejarmu tadi, kita duduk sebentar. Minum kopi, kan?" Kinara mengangguk. Tanpa bertanya lagi, Galang masuk minimarket membeli dua cup kopi, sementara Kinara duduk menunggunya di depan minimarket. Masih mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru, ia terus mencari, siapa tahu sosok yang dilihatnya tadi muncul kembali. "Kita cari lagi?" Galang meletakkan satu cup kopi di depan Kinara. "Nggak usah, nggak penting!" Kinara mengambil kopinya. "Kalau tidak penting, tak mungkin kau sampai berlari turun dari mobil." Kinara menyeruput kopinya yang masih panas. Sejenak hening, dua insan itu sibuk dengan pikirannya masing-masing. Galang yang akhirnya pertama ka
Syuting kali ini tak memakan waktu terlalu lama. Hanya pengambilan video untuk iklan yang durasinya sebentar. Akan tetapi tugas Kinara belum selesai. Malam nanti, Galang mendapat undangan aqiqah dari rekan sesama artisnya, ia ingin Kinara ikut. "Kenapa aku harus ikut sih, Lang?" "Karena kamu asistenku." "Nggak sekalian aja aku ikutin kamu sampai ke toilet?" Kinara geram. "Menawarkan diri? Dengan senang hati kuterima." Galang terkekeh yang dibalas dengan pukulan bertubi-tubi oleh Kinara pada lengannya. "Oh, aku tahu, pasti kamu mau cerita pada temen-temanmu itu dengan jumawa 'ini, lho saingan gue waktu sekolah, akhirnya sekarang jadi jongos gue'. Iya kan, ngaku!" Kembali Kinara berprasangka. Galang tertawa. Ia selalu tertawa tiap kali Kinara mengungkit masa lalu mereka. "Aku nggak punya baju bagus Lang!" Kinara memelas, masih mencoba menghindar dari ajakan Galang."Kita ke butik dulu, beli pakaian bagus." Galang tetap tak mau dibantah. "Aku nggak mau jadi obat nyamuk, di
"Kenapa, Flo?" Kinara menoleh sesaat. "Aku tidak sengaja menyenggol Kak Arash, minumannya tumpah," jawabnya ditutup dengan sebuah cengiran. Tadinya, kejadian ini memang cukup membuatnya tegang, ia takut Arash marah, tetapi melihat tanggapan Arash yang ramah, ia menjadi lebih santai. "Rash, maaf." Galang mengambil sapu tangan dari kantong celananya dan mengusapkannya pada baju Arash yang basah. "Oh, nggak masalah." Didorongnya pelan tangan Galang. "Siapa, Lang?" Pandangan mata Arash menuju Kinara lalu ke Galang bergantian. "Teman." "Asisten. " Galang dan Kinara menjawab berbarengan. "Sudah dari toilet, Flo?" tanya Galang lirih. "Belum." "Ayo, kuantar." "Rash, kita ke sana dulu ya." Galang pamit. Pandangan matanya mengarah ke toilet. "Oh, oke. Semoga suatu hari kita bertemu lagi ya, Flo." Galang berdehem. "Namanya, Kinara." "Oh, Kinara, tadi gue dengar lo manggil dia Flo, jadi gue pikir-" "Hanya gue, yang manggil dia Flo." Galang menegaskan. "Hm, baiklah, Kinara. Ini ka
"Itu kan tuntutan peran, Sayang!" Galang mencubit kedua pipi Kinara dengan gemas, membuat gadis itu mundur. "Jangan sentuh! Jangan pikir aku seperti perempuan-perempuan yang biasa berpelukan dan berciuman denganmu, ya!" hardiknya. "Oke, oke. Maafkan aku." Galang mengangkat kedua tangannya. Merasa bersalah mengapa ia tak bisa menahan diri untuk tidak menyentuh Kinara. "Aku akan cek lagi skripnya nanti dan sebisa mungkin minta sutradara untuk mengurangi atau mengganti adegan semacam itu." "Nggak perlu! Emang, buat apa?" Kinara terlihat kesal tapi dalam hati senang juga, karena itu artinya Galang peduli dengan pendapatnya. "Aku tidak suka melihat Flo-ku cemberut." Haisss. "Gombal!" Gadis itu membuang muka demi menyembunyikan bibir yang tak tahan untuk tak tersenyum mendengar ucapan Galang. Nggak-nggak! Aku tak boleh termakan ucapan manisnya. Sori, ya! Emang aku cewek apaan! "Jadi ke toilet?" tanya Galang membuyarkan lamunannya. Kinara lupa tujuannya semula. Sudah sampai di depa
Pagi ini, Kinara menjalani tugasnya sebagai asisten Galang dalam diam. Pagi-pagi, dengan ojek ia sudah tiba di rumah Galang. Jarak rumah dengan kosnya tidak terlalu jauh memang, tapi kalau harus berjalan kaki gempor juga. Seperti hari kemarin, Kinara membawakan Galang air minum dalam tumbler, vitamin, baju ganti, pembersih wajah, dan segala macam printilan lainnya. Daftarnya sudah dibuat oleh Diandra, Kinara tinggal mengeksekusinya saja. "Flo, semalam HP mu tidak bisa dihubungi." Galang mulai merasa tidak nyaman dengan sikap bungkam Kinara. Lebih baik Kinara mengomel, marah-marah, atau bahkan menjadikannya sasak tinju seperti biasa daripada didiamkannya begini. "Flo, marah?" Pakai tanya. Bagaimana Kinara tidak marah, Galang meninggalkannya semalam. Sempat berpikiran baik, Galang hanya pergi sebentar, tapi ternyata malah Pak Said datang menjemput ke dalam, sementara Galang pergi dengan wanita lain. Kinara menyesal, bisa-bisanya ia terlena dengan sepenggal ucapan Galang semalam.
Saat menoleh, betapa kagetnya ia mendapati Arash di hadapannya. "Lho, Kak Arash?" Apa ini yang dinamakan jodoh?Hush Kinara, masih pagi udah mimpi aja! "Mau jemput Bang Joel ya?" tebak Arash. "Iya, kakak ngapain?" "Apartemen gue juga di sini, Ra." "Oh...." "Semalem gue tunggu-tunggu, lho." "Eh, tunggu apa, Kak?" "Gue pikir, semalem lo bakal langsung hubungin gue, setelah dikasih kartu nama." Maunya juga gitu, Kak. Tapi gara-gara si Galang sialan itu…. Kinara kembali geram mengingat saat Galang menyobek kartu nama Arash, meremas lalu membuangnya ke tong sampah. "Gue mau hubungin lo duluan juga ga punya nomernya. Boleh minta nggak?" "Eh?" "Minta nomer lo, boleh?" Arash mengulangi pertanyaannya. "Oh boleh-boleh, Kak." Kinara menyebutkan sederetan angka yang langsung disimpan Arash di phonebook ponselnya, lalu mengirimi pesan pada Kinara supaya gadis itu bisa menyimpan nomornya juga. "Nggak barengan Galang, ya? Elo, asistennya kan?" "Iya, Galang udah berangkat duluan, Kak.
"Serius, Ra, kamu mau berhenti kuliah?" Mata Andini membulat. Apalagi setelah Kinara menjawabnya dengan sebuah anggukan. "Ra, kita baru beberapa bulan kuliah, sayang tauk uang masuknya. Galang yang suruh?" Kinara menggeleng. "Nggak, Ndin." Memang bukan karena permintaan Galang. Justru lelaki itu sama terkejutnya dengan Andini saat Kinara mengutarakan niatnya berhenti kuliah. "Kenapa, Flo?" Galang mengusap mulutnya dengan serbet, menjauhkan piring makan yang telah kosong di depannya. "Bukannya kuliah itu cita-cita kamu dari dulu?" "Hmm, bukannya kamu seneng kalau aku nggak kuliah, nggak ketemu Mas Jagad lagi di sana." "Iya, aku memang cemburu, tapi nggak usah sampai berhenti juga, Sayaang." Galang mencubit gemas pipi Kinara. Aww. "Setelah kupikir-pikir, Lang." Kinara mengusap-usap pipinya yang dicubit Galang tadi. "Aku hanya ingin fokus belajar fotografi, di kuliahan pelajarannya macam-macam." "Nah, kalau alasan ini masuk akal. Oke, aku akan carikan sekolah fotografi terbaik bua
Otak Kinara memerintahnya untuk berlari kencang namun otot kakinya menegang, sulit bergerak. Ia hanya mampu berjalan mundur, selangkah demi selangkah, lalu ... "Astaghfirullah." Tiba-tiba kakinya menginjak genangan air hingga ia jatuh terduduk. Kinara menoleh ke kanan dan ke kiri. Kenapa jalanan ini sepi sekali. Ditambah lagi hujan mulai turun rintik-rintik, membuat suasana semakin mencekam. "Oh, kamu rupanya. Sepertinya kita pernah berjumpa, ya." Hendri mengulurkan tangan, seolah mau membantu Kinara bangun dari jatuhnya. Namun Kinara menggeleng. Sedikit pun ia enggan menyentuh lelaki itu. "Mau terus-terusan di sini? Ayo ...." ujar lelaki itu, lembut tapi terdengar menyeramkan. "Kenapa, ha?" Ia mulai membentak, satu tangannya mencengkram kuat pipi Kinara. "Apa yang kau dengar?" Lagi-lagi Kinara hanya sanggup menggeleng tanpa suara. "Biarkan dia, kita bicara di tempat lain!" seru Malya yang nampak gusar. Ia tak mau berada di tempat ini berlama-lama namun merasa perlu menyelesaik
"Kamu tahu dia siapa?" bisik Arash ketika Hendri sudah jalan menjauh. "Hah, siapa, Kak?" Kinara sedikit mencondongkan badan mendekat pada Arash. "Dia produser yang disebut Marini." "Ma-maksudnya yang menghamili Marini?" Arash mengangguk. "Hem, begitu menurut pengakuannya." "Tuntutannya belum diajukan, Kak?" Kinara ingat beberapa waktu lalu saat ke rumah sakit tempat Marini dirawat, perempuan itu sempat menunjukkan surat tuntutan. "Para korban pelecehan menolak menandatangi surat tuntutan. Marini pun akhirnya berubah pikiran. Aku tidak bisa memaksa." Kinara menelan ludah. Tak semudah itu memang mengakui kasus pelecehan seksual meski kita sebagai korban. "Tapi aku masih tetap berusaha. Ada seorang korban lagi yang sedkit demi sedkit mulai menguak kebusukannya." "Siapa, Kak?" "Ada, seorang aktris pendatang baru. Maaf, aku tidak bisa sebut nama. Tapi kemungkinan kamu pun tidak tahu. Debutnya baru sebatas pemeran figuran. Ia ditawari casting untuk sebuah film dan dilecehkan ketika
Meski sudah kembali ke ibu kota, bukan berarti kesibukan Kinara berkurang. Jadwal syuting yang berbenturan dengan jam kuliah membuatnya terpaksa membolos lagi dan lagi. Saat hanya menjadi asisten, asalkan sudah mempersiapkan segala keperluan Galang, ia santai saja ijin barang beberapa jam untuk mengikuti perkuliahan, lalu setelahnya akan menyusul kembali ke lokasi syuting. Ah, ia jadi paham kenapa Galang sampai sekarang belum juga lulus kuliah. "Kinara, ntar sore jam empat, jangan lupa, lu dan Galang ada talkshow di podcast." Nah, belum lagi undangan wawancara sana-sini. Bagi Kinara sebagai artis pendatang baru, undangan wawancara terdengar mengerikan, bagaimana kalau dia sampai salah bicara. "Datang tepat waktu, promosikan sinetron kita, dan kalau ditanya soal Malya, jawab aja nggak tahu." "Oke, Bang, siap!" Karena Kinara diam saja, akhirnya Galang yang menjawab arahan Bang Sut. "Sayang, santai aja," bisik Galang begitu melihat wajah Kinara yang berubah tegang. "Hah, santai?" Ki
"Cut!" teriak Sutradara. Namun Galang bergeming. Bahkan ia memeluk Kinara erat dan semakin erat. "Woy, cut! Selesai! Udah! End!" Bang Sut mengulangi instruksinya hingga membuat Galang sadar dan melepaskan pelukan. "Eh, udah? Gini aja?" Galang menoleh. "Ya, emang udah, lo nggak baca naskahnya?" "Maksud gue, kaya ... nanggung gitu, Bang. Kan bisa diimprove, ditambah adegan kissing mungkin!" "Edan!" Bang Joel yang baru datang menoyor kepala Galang. "Mau merusak moral anak bangsa, lo?" "Jangan didengerin, Bang!" Bang Joel menoleh pada Sutradara. "Otaknya lagi rada-rada korslet!" Lelaki itu menempelkan telunjuk dengan posisi miring di dahinya. Bang Sut tertawa sembari geleng-geleng kepala. Setelahnya ia memberi instruksi untuk break syuting. "Jam setengah tujuh tet kita ganti lokasi, siap-siap, ya!" Mendengar perintah sang sutradara, para kru segera membereskan peralatan, sementara talent kembali ke kamar masing-masing. Ini hari ketiga mereka di Bandung. Revisi naskah membuat merek
"Dia, asisten lo kan, Lang? Kita pakai dia!" "Pakai? Saya?" Kinara menunjuk dirinya sendiri dengan raut wajah bertanya-tanya, menoleh pada Galang dan Bang Sut si sutradara secara bergantian. "Maksudnya, Bang?" "Elo jadi artis." Ucapan Bang Sut lebih seperti perintah yang harus disetujui daripada sebuah tawaran. "Cup! Urus dia!" katanya pada sang asisten. "Siap, grak!" "Eh, eh, kita mau kemanaa?" teriak Kinara ketika Ucup si asisten sutradara menarik tangannya. "Heh, Cup! Lu main tarik is-ehm asisten gue sembarangan aja!" Galang pasang badan menghadang langkah sang astrada. "Emangnya dia bersedia?" "Gini, ehm. Ki ... Kinara." Bang Sut maju menengahi. "Bener nama lo Kinara, kan?"Kinara mengangguk. "Karena Malya ngilang dan ntah kapan bisa syuting lagi, sementara sinetron kita kejar tayang, kita terpaksa mengubah jalan ceritanya. Jadi Malya bakal dibuat mendadak mati karena kecelakaan. Terus Galang yang ada di mobil yang sama dengan Malya saat kecelakaan diselamatkan orang. Nah,
"Ayok, Lang, kita main!" Kinara menarik tangan Galang usai mengunci pintu penghubung dengan kamar Bang Joel. "Main?" Galang takjub dengan ajakan Kinara, frontal juga dia, ya. "Sekarang? Langsungan, nih?" "Iya lah, keburu Bang Joel berubah pikiran ntar, kita harus manfaatkan waktu berdua." "Okee, siapa takut." Sebenarnya sempat terlintas ancaman Bang Joel tentang uang dua milyar, tapi ah, bodo amat. Ada kesempatan kenapa disia-siakan. Soal yang lain pikir belakangan. Tanpa menunggu lama, Galang membuka baju atasannya, tapi ... "Laaang, ngapain buka bajuuu?" "Lah kata kamu tadi ... main, kan?" Galang mulai ragu-ragu. "Main ini!" Kinara melemparkan papan catur ke atas tempat tidur. "Kamu tahu nggak, pas SD, semua teman udah pernah kutantangin main catur dan tidak ada yang bisa mengalahkanku. Bahkan pak guru olahraga aja kalah tanding catur denganku," ucapnya bangga. "Cuma sama kamu aja aku belum pernah main, karena terlalu gengsi mau ngajakin." Astagaaa .... Galang berdecak. "F
"Dua puluh satu ribu lima ratus, Kak," ucap seorang kasir setelah menghitung menu yang dibawa Kinara di hadapannya. "Oh, iya." Kinara tengah membuka dompetnya ketika suara seorang lelaki terdengar dari arah belakang seraya menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan. "Ini, Mbak. Sekalian punya saya." Tentu saja hal itu spontan membuat Kinara menoleh. Mas Jagad? Udah sengaja Kinara makan di kantin fakultas sebelah, eh, masih bertemu mantan juga. Heran. "Nggak-nggak, ini aja," tolak Kinara. Cepat-cepat ia mengambil uang dari dalam dompetnya. "Uang pas," ucapnya seraya tersenyum. "Sudah, Mbak, cepetan dihitung. Uangnya sudah ada di tangan Mbak, kan." Jagad tak mau kalah. Lelaki itu merasa menang langkah karena uang lima puluh ribunya sudah di tangan si embak kasir. "Pak!" Kinara melotot. Tapi demi tidak membuat keributan di depan umum, perempuan itu memilih untuk mengalah. Ia berjalan meninggalkan meja kasir dan duduk di salah satu bangku kosong. "Gimana Ibu, Ra?" tanya Jagad y
"Mbok, biar saya yang masak." Hari ini Kinara datang lebih pagi dan langsung menuju dapur rumah Galang. Mbok War yang sedang asik mengupas bawang putih menoleh heran."Kenapa, Mbak? Masakan Mbok selama ini nggak enak, ya?" "Enak, Mbok. Saya cuma, cuma ...." Kinara mencoba mengarang-ngarang alasan. Sebenarnya dia hanya ingin seperti suami istri pada umumnya saja. Pagi-pagi menyiapkan sarapan untuk suami sebelum berangkat kerja. So sweet sepertinya. Tapi, tak mungkin ia mengutarakan itu pada Mbok War, bukan? "Kangen masak sendiri ajah," ucapnya akhirnya. "Oh ... Mbak Kinar pengen masakkin yang spesial buat Mas Galang, ya?" goda Mbok War. Sudah sejak lama perempuan tua itu merasa ada sesuatu antara majikannya dengan sang asisten. Memang sih, yang terlihat di depannya, kedua muda-mudi itu lebih sering beradu argumen. Tapi seperti ada yang beda saja, setidaknya feeling seorang ibu mengatakan demikian. Apalagi ia membersamai Galang bukan baru setahun dua tahun, melainkan semenjak majikann