Kalo komen rame, ntar menjelang buka puasa update lagi yaaa!
Daripada nganggur ketika Galang syuting, waktu menunggu digunakan Kinara untuk berkeliling lokasi. Sesekali ia memotret dengan ponsel bututnya. Beneran butut karena sebagian layarnya sudah retak dan ada beberapa titik hitam yang mengganggu pandangan.Karena syuting belum selesai juga saat Kinara puas berkeliling dan memotret, ia lalu terpikir mencari info lebih banyak tentang bosnya yang sekaligus kawan eh musuh bebuyutannya jaman SD itu.Meski pernah satu sekolah selama dua tahun, ia tak terlalu mengenal lelaki itu. Dimana rumahnya, keluarganya, sifat-sifatnya, ia tidak banyak tahu.Kinara mulai mengetikkan nama "Galang Arnaldo Rezki" di kolom pencariaan, lalu muncullah semua berita tentang Galang. Mulai dari biodata sampai gosip-gosip yang pernah menerpanya.Kinara tertegun ketika menemukan berita berjudul "Pacar Hamil, Galang Siap Jadi Ayah?"Berkali-kali ia mengucap istighfar dalam hati, entah mengapa ada rasa kecewa yang menyelusup ke dalam da
Setelah meminta pelayan resto membungkus makanan yang baru terjamah sedikit, Galang menyusul Kinara ke mobil.Gadis itu membuang muka begitu ia membuka pintu."Flo...," panggil Galang setelah sekian lamanya mereka saling diam."Flo, kenapa...." Galang tak melanjutkan ucapannya, merasa tak enak karena ada Pak Said yang mendengar perbincangan mereka. Melanjutkan obrolan via chat mungkin lebih baik, pikirnya.Ponsel Kinara berbunyi, ada notifikasi pesan masuk."Flo, marah?" Pesan pertama dari Galang, namun tak dipedulikannya. Jangankan dibalas, dibaca saja tidak."Flo, maaf." Tak menyerah Galang mengirimkan pesan lagi.“Flo, haloooo!”“Flo, emang enak dicuekkin?”"Flo, i love uuuu" - massage delete for every one. Klik!Merasa brondongan notifikasi tak mampu menggoyahkan diamnya Kinara, akhirnya Galang bicara langsung kepadanya, "Flo, ponselmu bunyi, ada pesan masuk, kayaknya." Dari gue s
Sebelum berangkat ke lokasi syuting, Kinara sarapan bersama Galang di rumah mewahnya. "Enak nasi gorengnya, Flo?" tanya Galang di sela-sela kegiatan makan bersama mereka. "Enak." Kirana menjawab lalu menyuap sendok terakhir nasi gorengnya. "Siapa dulu dong, yang masak," sahut Galang dengan nada jumawa. Kinara menoleh, ada perasaan takjub yang berusaha disembunyikan. "Kamu, yang masak?" "Bukan. Mbok War." Galang nyengir dengan wajah tanpa dosa. Kinara yang merasa ditipu melempar serbet ke wajahnya. “Dasar!” "Makasih lho, udah diambilin serbet. Lain kali ngasihnya yang lembut dikit ya, Flo. Ini Mas, gitu." Mendengar ucapan Galang yang sok manis, sontak bikin Kinara melotot. Serbet di atas meja kembali dilemparkannya ke arah Galang, yang ditanggapi lelaki itu dengan tawa. Sarapannya kini tak lagi berteman sunyi, ada Kinara yang menemani. Ya, sebelum ini, kecuali jika Diandra dan keluarganya datang, Galang sarapan sendirian. Sesekali Pak Said, Mas Sardi tukang kebun, atau Mbok War
"Ini baru mau berangkat, Kak!" Galang melotot mendengar jawaban Kinara. Anak ini, nekat mau ketemu Arash? "Oke, sampai ketemu di parkiran." Nampak Arash melambaikan tangan dari layar ponsel. "Udah, tutup dulu teleponnya." "Kakak tutup duluan." "Kamu aja." "Nggak. Kakak kan yang nelpon." "Gapapa, kamu aja." "Kakak -" Tut-tut! Galang merebut ponsel Kinara dan mematikan sambungan telepon. "Kelamaan! Ganjen amat!" "Apaan sih, Lang. Masih pagi udah ngerusak kebahagiaan orang aja!" bentak Kinara. "Sama aku, kasar bener. Giliran sama orang lain aja, lemah lembut!" Galang protes. "Ya gimana mau lembut kalo kelakuan lo, kek lelembut gini!" Kinara memutuskan untuk menyudahi pertengkaran dan masuk ke mobil. "Jalan, Pak!" perintah Kinara pada Pak Said. Tapi Galang datang memberi perintah berbeda. "Jangan! Kamu ikut aku, Flo." "Nggak mau!" Kinara bersikeras dengan pendiriannya. "Ayo Pak, jalan. Bang Joel udah nungguin." Galang tersenyum sinis. "Yang nunggu bukan Bang Joel, kali!"
Di bandara, Kinara banyak diam. Apalagi setelah mendengar informasi dari pengeras suara bahwa pesawat mereka akan berangkat, mukanya berubah pucat."Flo, kamu sakit?" tanya Galang sambil memasang sabuk pengamannya. Sebenarnya dari tadi ia sudah mengamati ada yang aneh dari Kinara. Mulai dari wajahnya yang pucat sampai bolak-balik ke kamar mandi untuk buang hajat. Tapi Kinara selalu mengatakan tidak apa-apa tiap kali ditanya."Sebenarnya aku... aku... takut naik pesawat." Akhirnya gadis itu menjawab jujur."Astagaa!" Galang menepuk jidat. "Selama ini nggak pernah naik pesawat, Flo?"Kinara menggeleng. "Emang aku mau ke mana Lang? Masa jualan nasi uduk ke pasar aja naik pesawat."Galang tertawa. "Kalau gitu mulai sekarang kamu harus membiasakan diri, Flo. Kamu akan sering naik pesawat kalau jadi istriku.""Apaa?" Kinara melotot."Eh jadi asistenku, maksudnya," ralat Galang di mulutnya tapi tidak di hatinya."Nih, pegang tanganku ka
Mulanya seorang, dua orang, tiga orang, lalu entah berapa orang teman SD yang ada di hadapan Kinara saat ini, ia tak sanggup menghitung. Mendadak matanya berkunang-kunang, perutnya mual, badannya mulai limbung. "Kinara, kamu nggak apa-apa?" Hanya sekilas saja Fitria mengkuatirkan Kinara, selanjutnya perhatiannya tertuju pada lelaki yang dengan sigap menahan punggung Kinara agar tak terjatuh. "Ya ampuun, Galang, kan!" Sudah sejak tadi Galang memperhatikan Kinara dari kejauhan. Saat turun dari mobil bersama Kinara lalu berjalan menuju gedung resepsi, seorang kawan SD menyapa dan menariknya begabung dengan kawan lainnya, meninggalkan Kinara yang tengah melihat Fitria di arah berlawanan. Teriakan Fitria membuat rekan-rekannya yang sedang berkumpul dan saling mengobrol satu sama lain menoleh. "Gilaa, temen artis kita datang juga!" "Eh, fotoin dong, tolong!" "Kinara, fotoin aku ma Galang ya." Salah seorang teman menyod
Galang dan Kinara check out pagi-pagi dari hotel. Pukul tujuh mereka sudah berangkat menuju Semarang untuk mengecek bisnis kafe milik Galang. Sepanjang perjalanan, Galang lebih banyak diam. Tak banyak meledek Kinara seperti biasa. Sesekali ia membetulkan kancing dan kerah bajunya padahal tak ada sedikitpun yang salah dengan itu semua. "Kenapa, Lang?" tanya Kinara ketika sekali lagi pria itu membetulkan kerah bajunya. "Sudah rapi, kok." Kinara ikut memperhatikan kerah baju Galang. "Oh, nggak apa-apa." Galang lalu mengecek ponselnya. Kancing-kerah baju-ponsel hanya itu fokus Galang selama di mobil. Meski mengaku sudah move on akan patah hatinya dengan Nadia, entah mengapa bakal pertemuannya kembali dengan perempuan itu membuatnya sedikit grogi. Lelaki itu turun dari mobil dengan mengenakan kacamata hitam. Sebuah kantongan kertas berisi boneka tak lupa dibawanya. Semalam, sepulang dari kondangan, Galang mengajak Kinara mengunjungi toko mainan, membeli pengganti boneka monyet yang s
"Halo Kinara, yang sabar jadi asisten Pak Galang, ya!" Galang tertawa. "Kalau nanti dia mengundurkan diri, kau yang harus bertanggung jawab menggantikannya." Keduanya lalu terlibat obrolan hangat dan seru yang Kinara tak paham tentang apa itu. Gadis itu mendadak ingin jual kacang goreng di hadapan mereka. Yak, kacang goreng, mijon, akua, pisang godognya, Pak, Bu. Emang enak dicuekkin. "Mas Galang!" Seorang staf cafe yang tak sengaja lewat tiba-tiba menyapa Galang. "Apa kabar, Mas. Kok nggak berkabar dulu. Kalau saya tau, saya kan bisa bikin penyambutan buat Mas." Fabian penyanyi kafe yang masih berstatus mahasiswa ini memang paling rajin, belum jam kerja saja dia sudah berada di kafe. Daripada nganggur di rumah, katanya. Toh jarak kafe ke kampus juga cukup dekat sehingga ia sering menunggu jadwal masuk kelas sambil nongkrong di kafe. "Haha, nggak perlu, saya cuma nengok sebentar, kebetulan kemarin ada acara dekat sini." "Ooh." Baru saja Fabian hendak pamit, Galang tiba-tiba me
"Serius, Ra, kamu mau berhenti kuliah?" Mata Andini membulat. Apalagi setelah Kinara menjawabnya dengan sebuah anggukan. "Ra, kita baru beberapa bulan kuliah, sayang tauk uang masuknya. Galang yang suruh?" Kinara menggeleng. "Nggak, Ndin." Memang bukan karena permintaan Galang. Justru lelaki itu sama terkejutnya dengan Andini saat Kinara mengutarakan niatnya berhenti kuliah. "Kenapa, Flo?" Galang mengusap mulutnya dengan serbet, menjauhkan piring makan yang telah kosong di depannya. "Bukannya kuliah itu cita-cita kamu dari dulu?" "Hmm, bukannya kamu seneng kalau aku nggak kuliah, nggak ketemu Mas Jagad lagi di sana." "Iya, aku memang cemburu, tapi nggak usah sampai berhenti juga, Sayaang." Galang mencubit gemas pipi Kinara. Aww. "Setelah kupikir-pikir, Lang." Kinara mengusap-usap pipinya yang dicubit Galang tadi. "Aku hanya ingin fokus belajar fotografi, di kuliahan pelajarannya macam-macam." "Nah, kalau alasan ini masuk akal. Oke, aku akan carikan sekolah fotografi terbaik bua
Otak Kinara memerintahnya untuk berlari kencang namun otot kakinya menegang, sulit bergerak. Ia hanya mampu berjalan mundur, selangkah demi selangkah, lalu ... "Astaghfirullah." Tiba-tiba kakinya menginjak genangan air hingga ia jatuh terduduk. Kinara menoleh ke kanan dan ke kiri. Kenapa jalanan ini sepi sekali. Ditambah lagi hujan mulai turun rintik-rintik, membuat suasana semakin mencekam. "Oh, kamu rupanya. Sepertinya kita pernah berjumpa, ya." Hendri mengulurkan tangan, seolah mau membantu Kinara bangun dari jatuhnya. Namun Kinara menggeleng. Sedikit pun ia enggan menyentuh lelaki itu. "Mau terus-terusan di sini? Ayo ...." ujar lelaki itu, lembut tapi terdengar menyeramkan. "Kenapa, ha?" Ia mulai membentak, satu tangannya mencengkram kuat pipi Kinara. "Apa yang kau dengar?" Lagi-lagi Kinara hanya sanggup menggeleng tanpa suara. "Biarkan dia, kita bicara di tempat lain!" seru Malya yang nampak gusar. Ia tak mau berada di tempat ini berlama-lama namun merasa perlu menyelesaik
"Kamu tahu dia siapa?" bisik Arash ketika Hendri sudah jalan menjauh. "Hah, siapa, Kak?" Kinara sedikit mencondongkan badan mendekat pada Arash. "Dia produser yang disebut Marini." "Ma-maksudnya yang menghamili Marini?" Arash mengangguk. "Hem, begitu menurut pengakuannya." "Tuntutannya belum diajukan, Kak?" Kinara ingat beberapa waktu lalu saat ke rumah sakit tempat Marini dirawat, perempuan itu sempat menunjukkan surat tuntutan. "Para korban pelecehan menolak menandatangi surat tuntutan. Marini pun akhirnya berubah pikiran. Aku tidak bisa memaksa." Kinara menelan ludah. Tak semudah itu memang mengakui kasus pelecehan seksual meski kita sebagai korban. "Tapi aku masih tetap berusaha. Ada seorang korban lagi yang sedkit demi sedkit mulai menguak kebusukannya." "Siapa, Kak?" "Ada, seorang aktris pendatang baru. Maaf, aku tidak bisa sebut nama. Tapi kemungkinan kamu pun tidak tahu. Debutnya baru sebatas pemeran figuran. Ia ditawari casting untuk sebuah film dan dilecehkan ketika
Meski sudah kembali ke ibu kota, bukan berarti kesibukan Kinara berkurang. Jadwal syuting yang berbenturan dengan jam kuliah membuatnya terpaksa membolos lagi dan lagi. Saat hanya menjadi asisten, asalkan sudah mempersiapkan segala keperluan Galang, ia santai saja ijin barang beberapa jam untuk mengikuti perkuliahan, lalu setelahnya akan menyusul kembali ke lokasi syuting. Ah, ia jadi paham kenapa Galang sampai sekarang belum juga lulus kuliah. "Kinara, ntar sore jam empat, jangan lupa, lu dan Galang ada talkshow di podcast." Nah, belum lagi undangan wawancara sana-sini. Bagi Kinara sebagai artis pendatang baru, undangan wawancara terdengar mengerikan, bagaimana kalau dia sampai salah bicara. "Datang tepat waktu, promosikan sinetron kita, dan kalau ditanya soal Malya, jawab aja nggak tahu." "Oke, Bang, siap!" Karena Kinara diam saja, akhirnya Galang yang menjawab arahan Bang Sut. "Sayang, santai aja," bisik Galang begitu melihat wajah Kinara yang berubah tegang. "Hah, santai?" Ki
"Cut!" teriak Sutradara. Namun Galang bergeming. Bahkan ia memeluk Kinara erat dan semakin erat. "Woy, cut! Selesai! Udah! End!" Bang Sut mengulangi instruksinya hingga membuat Galang sadar dan melepaskan pelukan. "Eh, udah? Gini aja?" Galang menoleh. "Ya, emang udah, lo nggak baca naskahnya?" "Maksud gue, kaya ... nanggung gitu, Bang. Kan bisa diimprove, ditambah adegan kissing mungkin!" "Edan!" Bang Joel yang baru datang menoyor kepala Galang. "Mau merusak moral anak bangsa, lo?" "Jangan didengerin, Bang!" Bang Joel menoleh pada Sutradara. "Otaknya lagi rada-rada korslet!" Lelaki itu menempelkan telunjuk dengan posisi miring di dahinya. Bang Sut tertawa sembari geleng-geleng kepala. Setelahnya ia memberi instruksi untuk break syuting. "Jam setengah tujuh tet kita ganti lokasi, siap-siap, ya!" Mendengar perintah sang sutradara, para kru segera membereskan peralatan, sementara talent kembali ke kamar masing-masing. Ini hari ketiga mereka di Bandung. Revisi naskah membuat merek
"Dia, asisten lo kan, Lang? Kita pakai dia!" "Pakai? Saya?" Kinara menunjuk dirinya sendiri dengan raut wajah bertanya-tanya, menoleh pada Galang dan Bang Sut si sutradara secara bergantian. "Maksudnya, Bang?" "Elo jadi artis." Ucapan Bang Sut lebih seperti perintah yang harus disetujui daripada sebuah tawaran. "Cup! Urus dia!" katanya pada sang asisten. "Siap, grak!" "Eh, eh, kita mau kemanaa?" teriak Kinara ketika Ucup si asisten sutradara menarik tangannya. "Heh, Cup! Lu main tarik is-ehm asisten gue sembarangan aja!" Galang pasang badan menghadang langkah sang astrada. "Emangnya dia bersedia?" "Gini, ehm. Ki ... Kinara." Bang Sut maju menengahi. "Bener nama lo Kinara, kan?"Kinara mengangguk. "Karena Malya ngilang dan ntah kapan bisa syuting lagi, sementara sinetron kita kejar tayang, kita terpaksa mengubah jalan ceritanya. Jadi Malya bakal dibuat mendadak mati karena kecelakaan. Terus Galang yang ada di mobil yang sama dengan Malya saat kecelakaan diselamatkan orang. Nah,
"Ayok, Lang, kita main!" Kinara menarik tangan Galang usai mengunci pintu penghubung dengan kamar Bang Joel. "Main?" Galang takjub dengan ajakan Kinara, frontal juga dia, ya. "Sekarang? Langsungan, nih?" "Iya lah, keburu Bang Joel berubah pikiran ntar, kita harus manfaatkan waktu berdua." "Okee, siapa takut." Sebenarnya sempat terlintas ancaman Bang Joel tentang uang dua milyar, tapi ah, bodo amat. Ada kesempatan kenapa disia-siakan. Soal yang lain pikir belakangan. Tanpa menunggu lama, Galang membuka baju atasannya, tapi ... "Laaang, ngapain buka bajuuu?" "Lah kata kamu tadi ... main, kan?" Galang mulai ragu-ragu. "Main ini!" Kinara melemparkan papan catur ke atas tempat tidur. "Kamu tahu nggak, pas SD, semua teman udah pernah kutantangin main catur dan tidak ada yang bisa mengalahkanku. Bahkan pak guru olahraga aja kalah tanding catur denganku," ucapnya bangga. "Cuma sama kamu aja aku belum pernah main, karena terlalu gengsi mau ngajakin." Astagaaa .... Galang berdecak. "F
"Dua puluh satu ribu lima ratus, Kak," ucap seorang kasir setelah menghitung menu yang dibawa Kinara di hadapannya. "Oh, iya." Kinara tengah membuka dompetnya ketika suara seorang lelaki terdengar dari arah belakang seraya menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan. "Ini, Mbak. Sekalian punya saya." Tentu saja hal itu spontan membuat Kinara menoleh. Mas Jagad? Udah sengaja Kinara makan di kantin fakultas sebelah, eh, masih bertemu mantan juga. Heran. "Nggak-nggak, ini aja," tolak Kinara. Cepat-cepat ia mengambil uang dari dalam dompetnya. "Uang pas," ucapnya seraya tersenyum. "Sudah, Mbak, cepetan dihitung. Uangnya sudah ada di tangan Mbak, kan." Jagad tak mau kalah. Lelaki itu merasa menang langkah karena uang lima puluh ribunya sudah di tangan si embak kasir. "Pak!" Kinara melotot. Tapi demi tidak membuat keributan di depan umum, perempuan itu memilih untuk mengalah. Ia berjalan meninggalkan meja kasir dan duduk di salah satu bangku kosong. "Gimana Ibu, Ra?" tanya Jagad y
"Mbok, biar saya yang masak." Hari ini Kinara datang lebih pagi dan langsung menuju dapur rumah Galang. Mbok War yang sedang asik mengupas bawang putih menoleh heran."Kenapa, Mbak? Masakan Mbok selama ini nggak enak, ya?" "Enak, Mbok. Saya cuma, cuma ...." Kinara mencoba mengarang-ngarang alasan. Sebenarnya dia hanya ingin seperti suami istri pada umumnya saja. Pagi-pagi menyiapkan sarapan untuk suami sebelum berangkat kerja. So sweet sepertinya. Tapi, tak mungkin ia mengutarakan itu pada Mbok War, bukan? "Kangen masak sendiri ajah," ucapnya akhirnya. "Oh ... Mbak Kinar pengen masakkin yang spesial buat Mas Galang, ya?" goda Mbok War. Sudah sejak lama perempuan tua itu merasa ada sesuatu antara majikannya dengan sang asisten. Memang sih, yang terlihat di depannya, kedua muda-mudi itu lebih sering beradu argumen. Tapi seperti ada yang beda saja, setidaknya feeling seorang ibu mengatakan demikian. Apalagi ia membersamai Galang bukan baru setahun dua tahun, melainkan semenjak majikann