Yang masih ngikutin cerita ini ngacuuung, jangan lupa bagi gemnya yaa š„°š„°
"Sudah selesai acaranya, Sayang?" Suasana meja di sudut kafe yang semula ramai dengan canda tawa mendadak hening. Galang dan Nadia menoleh bersamaan ke arah sumber suara. Jika ini sebuah pertunjukan drama, maka akan terdengar backsound menegangkan yang membuat bulu kuduk meremang. "A-Arman?" ucap wanita bernama Nadia nampak sedikit gugup. Namun sebaliknya, lelaki itu bahkan tak canggung sama sekali bersikap mesra dengan memeluk dan mengecup kepala sang istri. Wooy ini siapa sih yang matiin AC kafe? Galang mendadak gerah. Namun mau tak mau ia tersenyum juga menyambut mantan pesaingnya itu. "Mas, apa perlu saya ke apotik membeli obat?" tanya Fabian begitu Nadia dan keluarga kecilnya meninggalkan kafe, namun pandangan Galang masih tak luput dari mereka. "Maksud lo apa, bocah?" Galang menoleh dengan sengit, dia tau Fabian sedang mengolok-oloknya. "Beliin obat patah hati." Nah, benar, kan. Baru Galang hendak menghajar bocah yang dianggapnya kurangaj*r itu, ia teringat sesuatu. Kina
Galang rupanya tak main-main dengan tawarannya mendaftarkan Kinara kuliah. Sepulang dari Semarang, ia memerintah Kinara ikut Bang Joel untuk mengurus segala macam administrasi perkuliahan. "Serius Lang? Kupikir kamu hanya bercanda kemarin." Kinara menatap Galang tak percaya. "Aku selalu serius dengan ucapanku, Flo. Kau saja yang main-main menanggapinya." "Aak." Sedikit histeris, Kinara menutup mulutnya dengan kedua tangan. "Makasih, Lang." Akhirnya setelah lima tahun, ia akan menjadi mahasiswa seperti teman-temannya. "Hem." Galang hanya melirik lalu menjawab singkat. "Udah, gitu aja?"Hah? "Kupikir mau peluk." "Peluk nih!" Kinara menyorongkan sebuah bantal, hingga tubuh Galang terdesak mundur mendekati pintu mobil. Hari ini, setelah Galang diantar pulang selepas syuting, Kinara dan Bang Joel melanjutkan perjalanan menuju kampus. Masih ada waktu dua jam, sebelum mereka harus menjemput Galang kembali untuk agenda selanjutnya. Untung Bang Joel orangnya cekatan. Sehari sebelumnya,
"Lancang banget sih!"Kinara mendorong dada galang dengan sebelah tangannya."Ehem." Bang Joel yang menyaksikan itu berdehem. Meski bukan adegan mesra-mesraan, tapi menurutnya apa yang dilakukan Kinara di tempat umum seperti ini bisa menarik perhatian orang untuk menggosipkan mereka.Kinara melirik ke arah Bang Joel, lalu beringsut mundur."Tunggu sampai rumah, kita buat perhitungan," ancamnya pada Galang dengan suara lirih.************"Jelaskan sekarang, tuan Galang Arnaldo Rezky yang terhormat!" seru Kinara begitu mereka berdua duduk di ruang tamu rumah Galang.Melihat ekspresi marah Kinara, Galang malah semakin tertarik untuk menggodanya. "Cium dulu." Jari telunjuk kanannya menunjuk ke pipi.Sebuah bantalan kursi dengan cepat mendarat di muka Galang. "Nih, cium!"Lelaki itu tertawa, ia sudah bisa menebak reaksi Kinara pasti akan seperti ini."Kenapa sih Flo? Kamu sudah menang, harusnya senang. Berterimakasih la
Galang mengusap pipinya yang terasa perih. Sebuah tamparan baru saja mendarat, tidak terlalu keras sih, tapi cukup sakit."KDRT!" cetusnya."Makanya, Lang, punya mulut tuh dijaga, jangan sembarangan umbar gombalan!" sahut Kinara sengit.Ia ingat betul, Galang kecil suka sekali melontarkan gombalan semacam itu pada teman-teman perempuan di sekolah. Termasuk pada Gina teman sebangkunya. Suatu hari, saat pelajaran IPA, para murid diminta membawa bunga. Galang yang pada saat itu lupa membawa, dihukum harus menyebutkan nama-nama bunga yang dibawa teman-temannya. Pak Guru meminta beberapa siswi berdiri berjejer dengan membawa bunga masing-masing, lalu Galang mulai menyebut nama bunga yang mereka bawa."Yang ini mawar, ini melati, ini anggrek, ini kamboja, dan ini ... emm ...." giliran bunga yang dibawa Gina, Galang berpikir cukup lama."Ini ... bunga jiwaku!" jawabnya dengan menyenandungkan lagu Yovie Nuno yang berjudul Bunga Jiwaku.Sontak teman-teman berteriak "Ciee, cieee ...." Dan parah
"Mau apa lo, Rash?" Jantung Kinara serasa mau melompat mendengar gelegar suara Galang yang penuh kemarahan. "Oh, bro, sudah datang rupanya. Hanya mau membantu Kinara memakaikan hoodie, santai!" Arash menepuk bahu Galang seraya tertawa kecil. "Ayo, Flo!" Garang menarik tangan Kinara. Tak hanya itu ia juga melepaskan ritsliting jaket yang dikenakan Kinara, membukanya paksa lalu melemparkan pada Arash. Kinara yang biasanya responsif kali ini entah mengapa tak berkutik. "Jangan kasar pada perempuan, Lang!" Arash mengingatkan, namun Galang tak peduli. Ditariknya tangan Kinara menuju mobil. Sampai di mobil, barulah kesadaran Kinara kembali seutuhnya. "Kamu kenapa sih, Lang? Datang-datang marah! Lagi PMS?" "Jadi kalian janjian di sini?" Bukannya menjawab pertanyaan Kinara, ia malah balik bertanya. "Nggak Lang, kita nggak sengaja bertemu." Kinara berusaha meluruskan kesalah pahaman Galang. Sedikit merasa aneh sebenarnya, kenapa Kinara tidak nyolot seperti biasanya? Kalau memang janjia
"Tapi kurir yang mengantar harus bernama Kinara :)" Kinara diam sesaat, masih berpikir mau membalas apa. "Kalau nggak ngerepotin sih." Arash mengirim pesan lagi karena cukup lama Kinara belum membalas. "Maksudnya, aku yang harus kirim ke sana langsung, Kak?" "Ya, kalau kamu nggak lagi sibuk." "Oh, nggak-nggak. Galang hari ini kan nggak ada syuting. Tunggu ya, Kak."Secepat kilat Kinara meraih jaket yang ada di gantungan baju, namun baru selangkah melewati pintu ia kembali masuk. Ditatap bayangan dirinya di depan sebuah cemin besar yang menempel pada lemari pakaian. Ia hanya mengenakan kaos kedodoran yang ditutupi jaket dan celana selutut. Aku mau bertemu Kak Arash kenapa berpenampilan seperti ini? Gadis itu segera berganti pakaian. Celana jins pajang, t-shirt berwarna mocca dengan gambar beruang dan blazer hitam menjadi pilihannya. Tak lupa ia memoles bedak di wajah serta lipstik tipis di bibirnya lalu mengikat rambut dengan model kuncir kuda. Perfect! Kinara tersenyum puas
"Kenapa Flo? Ada masalah?" Galang yang mendengar Kinara menghembuskan napas kasar menoleh. "Oh, nggak-nggak!" Buru-buru gadis itu memasukkan kembali ponsel ke dalam tas slempang yang dikenakannya. "Yuk, kita ke Bang Joel." Tiga puluh menit pertama di apartemen bang Joel, Kinara masih bisa menikmati ngobrol panjang lebar dengan Kak Dewi sambil sesekali menggoda baby Tera. Namun ia mulai gelisah setelah Arash mengirim pesan chat. "Nggak jadi ke sini, Kinara? Sibuk banget yah? :(""Eh jadi Kak, tunggu bentar ya." Dari dalam kamar, ia beranjak dan mengintip Galang yang sedang berdiskusi dengan Bang Joel di depan televisi. Nampaknya diskusi kedua lelaki itu masih akan berlangsung lama, jadi ini adalah kesempatan untuk kabur dan menemui Arash. Setelah pamit pada Kak Dewi dan baby Tera, bergegas ia keluar kamar. "Lang, Bang Joel, aku pulang duluan, ada janjian dengan teman. Assalamualaikum." Tak menunggu jawaban, bahkan sepatunya pun belum sempurna dikenakan, tapi ia buru-buru keluar d
"Kalau memang lo lelaki baik-baik, jelasin ke gue apa yang lo lakuin empat bulan lalu dengan Marini di sini!""Hah?" Arash semakin bingung. Empat bulan lalu terlalu lama untuk ia ingat-ingat kembali."Tadaa, Kak, makananannya sudah siap."Obrolan kedua pemuda terhenti saat Kinara datang."Lain kali kita perlu bicara serius, Rash," bisik Galang lalu menjauh dari Arash."Lho, kenapa cuma satu? Kinara nggak makan?" tanya Arash."Sudah, Kak. Tadi sebelum ke sini, di apartemen Bang Joel sudsh makan. Maaf ya, Kak." Gadis itu merasa tak enak hati."Yaah, Kak Arash makan sendiri dong," sahut Arash kecewa.Galang melirik sinis, biasanya juga lu-gue an, sekarang kenapa sok manis sebut-sebut nama segala sih?"Makan dikit ya, barengan aja, kita semangkuk berdua?" usul Arash yang lalu ditolak mentah-mentah oleh Galang. Yang ditawarin siapa, eh yang nolak siapa."Nggak! Nggak ada semangkuk berdua!" tegasnya. "Lo tuh
"Serius, Ra, kamu mau berhenti kuliah?" Mata Andini membulat. Apalagi setelah Kinara menjawabnya dengan sebuah anggukan. "Ra, kita baru beberapa bulan kuliah, sayang tauk uang masuknya. Galang yang suruh?" Kinara menggeleng. "Nggak, Ndin." Memang bukan karena permintaan Galang. Justru lelaki itu sama terkejutnya dengan Andini saat Kinara mengutarakan niatnya berhenti kuliah. "Kenapa, Flo?" Galang mengusap mulutnya dengan serbet, menjauhkan piring makan yang telah kosong di depannya. "Bukannya kuliah itu cita-cita kamu dari dulu?" "Hmm, bukannya kamu seneng kalau aku nggak kuliah, nggak ketemu Mas Jagad lagi di sana." "Iya, aku memang cemburu, tapi nggak usah sampai berhenti juga, Sayaang." Galang mencubit gemas pipi Kinara. Aww. "Setelah kupikir-pikir, Lang." Kinara mengusap-usap pipinya yang dicubit Galang tadi. "Aku hanya ingin fokus belajar fotografi, di kuliahan pelajarannya macam-macam." "Nah, kalau alasan ini masuk akal. Oke, aku akan carikan sekolah fotografi terbaik bua
Otak Kinara memerintahnya untuk berlari kencang namun otot kakinya menegang, sulit bergerak. Ia hanya mampu berjalan mundur, selangkah demi selangkah, lalu ... "Astaghfirullah." Tiba-tiba kakinya menginjak genangan air hingga ia jatuh terduduk. Kinara menoleh ke kanan dan ke kiri. Kenapa jalanan ini sepi sekali. Ditambah lagi hujan mulai turun rintik-rintik, membuat suasana semakin mencekam. "Oh, kamu rupanya. Sepertinya kita pernah berjumpa, ya." Hendri mengulurkan tangan, seolah mau membantu Kinara bangun dari jatuhnya. Namun Kinara menggeleng. Sedikit pun ia enggan menyentuh lelaki itu. "Mau terus-terusan di sini? Ayo ...." ujar lelaki itu, lembut tapi terdengar menyeramkan. "Kenapa, ha?" Ia mulai membentak, satu tangannya mencengkram kuat pipi Kinara. "Apa yang kau dengar?" Lagi-lagi Kinara hanya sanggup menggeleng tanpa suara. "Biarkan dia, kita bicara di tempat lain!" seru Malya yang nampak gusar. Ia tak mau berada di tempat ini berlama-lama namun merasa perlu menyelesaik
"Kamu tahu dia siapa?" bisik Arash ketika Hendri sudah jalan menjauh. "Hah, siapa, Kak?" Kinara sedikit mencondongkan badan mendekat pada Arash. "Dia produser yang disebut Marini." "Ma-maksudnya yang menghamili Marini?" Arash mengangguk. "Hem, begitu menurut pengakuannya." "Tuntutannya belum diajukan, Kak?" Kinara ingat beberapa waktu lalu saat ke rumah sakit tempat Marini dirawat, perempuan itu sempat menunjukkan surat tuntutan. "Para korban pelecehan menolak menandatangi surat tuntutan. Marini pun akhirnya berubah pikiran. Aku tidak bisa memaksa." Kinara menelan ludah. Tak semudah itu memang mengakui kasus pelecehan seksual meski kita sebagai korban. "Tapi aku masih tetap berusaha. Ada seorang korban lagi yang sedkit demi sedkit mulai menguak kebusukannya." "Siapa, Kak?" "Ada, seorang aktris pendatang baru. Maaf, aku tidak bisa sebut nama. Tapi kemungkinan kamu pun tidak tahu. Debutnya baru sebatas pemeran figuran. Ia ditawari casting untuk sebuah film dan dilecehkan ketika
Meski sudah kembali ke ibu kota, bukan berarti kesibukan Kinara berkurang. Jadwal syuting yang berbenturan dengan jam kuliah membuatnya terpaksa membolos lagi dan lagi. Saat hanya menjadi asisten, asalkan sudah mempersiapkan segala keperluan Galang, ia santai saja ijin barang beberapa jam untuk mengikuti perkuliahan, lalu setelahnya akan menyusul kembali ke lokasi syuting. Ah, ia jadi paham kenapa Galang sampai sekarang belum juga lulus kuliah. "Kinara, ntar sore jam empat, jangan lupa, lu dan Galang ada talkshow di podcast." Nah, belum lagi undangan wawancara sana-sini. Bagi Kinara sebagai artis pendatang baru, undangan wawancara terdengar mengerikan, bagaimana kalau dia sampai salah bicara. "Datang tepat waktu, promosikan sinetron kita, dan kalau ditanya soal Malya, jawab aja nggak tahu." "Oke, Bang, siap!" Karena Kinara diam saja, akhirnya Galang yang menjawab arahan Bang Sut. "Sayang, santai aja," bisik Galang begitu melihat wajah Kinara yang berubah tegang. "Hah, santai?" Ki
"Cut!" teriak Sutradara. Namun Galang bergeming. Bahkan ia memeluk Kinara erat dan semakin erat. "Woy, cut! Selesai! Udah! End!" Bang Sut mengulangi instruksinya hingga membuat Galang sadar dan melepaskan pelukan. "Eh, udah? Gini aja?" Galang menoleh. "Ya, emang udah, lo nggak baca naskahnya?" "Maksud gue, kaya ... nanggung gitu, Bang. Kan bisa diimprove, ditambah adegan kissing mungkin!" "Edan!" Bang Joel yang baru datang menoyor kepala Galang. "Mau merusak moral anak bangsa, lo?" "Jangan didengerin, Bang!" Bang Joel menoleh pada Sutradara. "Otaknya lagi rada-rada korslet!" Lelaki itu menempelkan telunjuk dengan posisi miring di dahinya. Bang Sut tertawa sembari geleng-geleng kepala. Setelahnya ia memberi instruksi untuk break syuting. "Jam setengah tujuh tet kita ganti lokasi, siap-siap, ya!" Mendengar perintah sang sutradara, para kru segera membereskan peralatan, sementara talent kembali ke kamar masing-masing. Ini hari ketiga mereka di Bandung. Revisi naskah membuat merek
"Dia, asisten lo kan, Lang? Kita pakai dia!" "Pakai? Saya?" Kinara menunjuk dirinya sendiri dengan raut wajah bertanya-tanya, menoleh pada Galang dan Bang Sut si sutradara secara bergantian. "Maksudnya, Bang?" "Elo jadi artis." Ucapan Bang Sut lebih seperti perintah yang harus disetujui daripada sebuah tawaran. "Cup! Urus dia!" katanya pada sang asisten. "Siap, grak!" "Eh, eh, kita mau kemanaa?" teriak Kinara ketika Ucup si asisten sutradara menarik tangannya. "Heh, Cup! Lu main tarik is-ehm asisten gue sembarangan aja!" Galang pasang badan menghadang langkah sang astrada. "Emangnya dia bersedia?" "Gini, ehm. Ki ... Kinara." Bang Sut maju menengahi. "Bener nama lo Kinara, kan?"Kinara mengangguk. "Karena Malya ngilang dan ntah kapan bisa syuting lagi, sementara sinetron kita kejar tayang, kita terpaksa mengubah jalan ceritanya. Jadi Malya bakal dibuat mendadak mati karena kecelakaan. Terus Galang yang ada di mobil yang sama dengan Malya saat kecelakaan diselamatkan orang. Nah,
"Ayok, Lang, kita main!" Kinara menarik tangan Galang usai mengunci pintu penghubung dengan kamar Bang Joel. "Main?" Galang takjub dengan ajakan Kinara, frontal juga dia, ya. "Sekarang? Langsungan, nih?" "Iya lah, keburu Bang Joel berubah pikiran ntar, kita harus manfaatkan waktu berdua." "Okee, siapa takut." Sebenarnya sempat terlintas ancaman Bang Joel tentang uang dua milyar, tapi ah, bodo amat. Ada kesempatan kenapa disia-siakan. Soal yang lain pikir belakangan. Tanpa menunggu lama, Galang membuka baju atasannya, tapi ... "Laaang, ngapain buka bajuuu?" "Lah kata kamu tadi ... main, kan?" Galang mulai ragu-ragu. "Main ini!" Kinara melemparkan papan catur ke atas tempat tidur. "Kamu tahu nggak, pas SD, semua teman udah pernah kutantangin main catur dan tidak ada yang bisa mengalahkanku. Bahkan pak guru olahraga aja kalah tanding catur denganku," ucapnya bangga. "Cuma sama kamu aja aku belum pernah main, karena terlalu gengsi mau ngajakin." Astagaaa .... Galang berdecak. "F
"Dua puluh satu ribu lima ratus, Kak," ucap seorang kasir setelah menghitung menu yang dibawa Kinara di hadapannya. "Oh, iya." Kinara tengah membuka dompetnya ketika suara seorang lelaki terdengar dari arah belakang seraya menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan. "Ini, Mbak. Sekalian punya saya." Tentu saja hal itu spontan membuat Kinara menoleh. Mas Jagad? Udah sengaja Kinara makan di kantin fakultas sebelah, eh, masih bertemu mantan juga. Heran. "Nggak-nggak, ini aja," tolak Kinara. Cepat-cepat ia mengambil uang dari dalam dompetnya. "Uang pas," ucapnya seraya tersenyum. "Sudah, Mbak, cepetan dihitung. Uangnya sudah ada di tangan Mbak, kan." Jagad tak mau kalah. Lelaki itu merasa menang langkah karena uang lima puluh ribunya sudah di tangan si embak kasir. "Pak!" Kinara melotot. Tapi demi tidak membuat keributan di depan umum, perempuan itu memilih untuk mengalah. Ia berjalan meninggalkan meja kasir dan duduk di salah satu bangku kosong. "Gimana Ibu, Ra?" tanya Jagad y
"Mbok, biar saya yang masak." Hari ini Kinara datang lebih pagi dan langsung menuju dapur rumah Galang. Mbok War yang sedang asik mengupas bawang putih menoleh heran."Kenapa, Mbak? Masakan Mbok selama ini nggak enak, ya?" "Enak, Mbok. Saya cuma, cuma ...." Kinara mencoba mengarang-ngarang alasan. Sebenarnya dia hanya ingin seperti suami istri pada umumnya saja. Pagi-pagi menyiapkan sarapan untuk suami sebelum berangkat kerja. So sweet sepertinya. Tapi, tak mungkin ia mengutarakan itu pada Mbok War, bukan? "Kangen masak sendiri ajah," ucapnya akhirnya. "Oh ... Mbak Kinar pengen masakkin yang spesial buat Mas Galang, ya?" goda Mbok War. Sudah sejak lama perempuan tua itu merasa ada sesuatu antara majikannya dengan sang asisten. Memang sih, yang terlihat di depannya, kedua muda-mudi itu lebih sering beradu argumen. Tapi seperti ada yang beda saja, setidaknya feeling seorang ibu mengatakan demikian. Apalagi ia membersamai Galang bukan baru setahun dua tahun, melainkan semenjak majikann