Hayo Arman, nurut kata dokter, ya đ¤Łđ¤Ł
Setelah dari dokter kandungan tempo hari, Mama jadi ekstra perhatian padaku dan Arman. Hampir tiap pagi, Mama mengirimi kami makanan lewat ojek. "Mama kirimin sarapan buat kalian. Tumis taoge. Itu bisa tahan sampai siang kok, dihabisin ya." Awalnya aku merasa tak ada yang aneh. Masakan Mama enak. Tapi lama-kelamaan ... "Nad, Mama kirimin kamu makanan ya, oseng tauge kucai." "Toge lagi Ma, kayak kemarin?" "Beda dong, kemarin kan nggak ada kucainya." Besoknya ... "Mama kirimin makanan ke rumah kalian." "Nggak sama kaya kemarin, kan Ma?" "Beda lah, kemaren kan oseng tauge kucai, sekarang sup tauge." "Ma, bisa nggak kalau nggak usah pakai tauge?" "Eh, tauge itu bagus buat kesuburan, biar kamu cepat hamil. Besok mau menu apa? Cah tauge udang rebon, sayur tauge tahu santan, sup daging tauge, atau ...." Aaargh aku sampai trauma mendengar kata "tauge". Bukan hanya itu, Mama juga sering mengajak Rania nginap di rumahnya. "Mama kesepian di rumah, biar Rania tidur di rumah Mama, ya
âJangan-jangan ⌠kamu hamil, Mbak.â âSotoy, kamu Fab!â âAku tau lah Mbak, dulu pas mamaku hamil adik bungsu, kan aku sudah SMA. Masih inget, Mama ngidam yang aneh-aneh. Kamu jangan gitu, Mbak, kasihan Mas Arman.â âLho, kok malah kasihan dia? Nggak kasihan sama yang hamil? Sembilan bulan bawa perut besar ke mana-mana, belum mualnya, belum pegelnya.â Aku malah jadi sewot nanggepin Fabian, padahal ya belum tentu juga aku beneran hamil. ******** âSayang, kamu masih sakit?â Arman bergegas masuk kamar begitu sampai rumah Mama. âUdah makan belum?â tanyanya sambil menyentuh keningku dengan punggung tangannya.Aku menggeleng. âKenapa, Sayang?â Arman menengok ke arah pintu. âMama masakin tauge lagi?â tanyanya dengan suara lirih, mungkin tak enak kalau sampai didengar Mama. âNggak sih, lagi nggak selera makan aja.â âNggak boleh gitu, aku suapin ya, habis itu minum obat.â âEh, jangan minum obat dulu!â Aku dan Arman sontak menoleh begitu mendengar suara Mama. Sosoknya sudah berdiri di u
âNegatif, Ma,â kataku lesu, usai menggunakan alat tes kehamilan pemberian Mama. Mama yang sedang nonton TV bersama Rania menoleh, dan membisu sejenak. âOh, ya ga apa-apa,â ucapnya kemudian. âKalau masih gagal tinggal usaha lagi. Lagian, test pack itu bisa saja salah.â Mama lalu mengeluarkan sesuatu dari kantong bajunya. âNih, Mama tadi berbagai macam merek test pack.â Tiga bungkus test pack Mama berikan padaku yang masih melongo tak percaya. âNanti di rumah kamu coba lagi. Biasanya yang paling akurat itu kalau kita cek pagi hari pas bangun tidur.â Aku mengangguk sembari tersenyum. âI-iya, Ma.â âMoga hasilnya positif!â ucap Mama dengan senyum mengembang. âRania mau kan punya adik?â Dipeluknya Rania sembari berbisik di dekat telinganya. âPunya adik?â Gadis kecilku itu menoleh. âMau .. mauu Lan pengen punya adik, yang banyak, biar bisa diajak main masak-masakkan!â ********* âSayang, bangun!â Samar kudengar suara Arman, dan kurasakan tepukan pelan di pipiku. âUdah Subuh, Sayang. Y
Mama tentu saja senang bukan kepalang saat Arman mengabari bahwa aku hamil. Bahkan langsung menyarankan kami ke dokter kandungan. âGimana Dok, beneran hamil, kan?â tanya Arman saat dokter mulai menempelkan alat USG di atas perutku. âIya, Pak, ini kantung kehamilannya. Kalau janinnya sih masih kecil sekali ya Pak, jadi belum terlalu kelihatan.â Arman manggut-mangut mendengar penjelasan dokter wanita paruh baya itu. âAda makanan yang harus dihindari mungkin, Dok?â tanyanya saat pemeriksaan USG sudah selesai dan aku kembali duduk di kursi pasien. âJangan makan yang mentah-mentah. Sayur, ikan, daging, sebaiknya dimasak dulu sampai matang, ya.â âBaik, Dok,â jawabku dan Arman hampir berbarengan. âSelebihnya bebas, asalkan halal dan higienis,â sambung Bu Dokter lagi sambil menulis sesuatu di kertas resep obat. âGimana dengan emm, emmm ..â Arman nampak ragu meneruskan kalimatnya. âItu Dok, maksud saya, emmm ...â âApa sih?â tanyaku berbisik di telinganya. Penasaran juga di mau tanya a
POV Arman âLho, Nak Arman, ke Kudus kok ndak bilang-bilang, tho?â Bulik yang baru keluar rumah saat aku mengetuk pintu menyapa ramah. âIya Bulik, dadakan. Nadia pingin makan lentog katanya, jadi saya langsung ke sini,â ucapku sambil mencium punggung tangan Bulik dan mengangsurkan buah tangan. âNgidam?â âIya, Bulik, Alhamdulillah, sudah tujuh minggu.â âAlhamdulillah.â âMakanya Nadia nggak bisa ikut, masih terasa mual-mual kalau dibawa jalan jauh.â âOh iya, ndak apa-apa. Tapi ya apa di Semarang ndak ada, kok nyarinya jauh-jauh sampai Kudus?â âAda, sih, Bulik, tapi Nadia maunya lentog langganan yang dekat menara katanya.â Habis salat Shubuh berjamaah tadi, istriku itu tiba-tiba bilang ingin makan lentog langganannya di Kudus. Menurutnya lentog yang di Semarang rasanya beda. Padahal bagiku rasanya mirip-mirip saja, malah sama, entahlah lidahku yang kurang peka atau bagaimana. Tapi demi memenuhi keinginan istri yang sedang hamil, aku memutuskan untuk berangkat saja ke Kudus. Apalag
(POV ARMAN) "Sayang, dihabiskan susunya." Nadia sedang serius dengan ponselnya ketika aku mengangsurkan segelas susu cokelat yang tinggal separuh. "Nggak mau, entar tambah gendut!" Ia menggeleng tanpa mengalihkan perhatiannya dari ponsel. "Namanya sedang hamil ya tambah gendut dong, Sayang." "Jadi bener ya aku tambah gendut?" Ia nampak panik lalu memperhatikan tubuhnya sendiri sekarang. "Emang kenapa kalau gendut?" Bukannya menjawab pertanyaanku ia malah balik bertanya,"Kamu lebih suka perempuan gendut apa langsing?" "Aku sukanya ... kamu, mau gendut atau langsing, yang penting kamu," ucapku seraya mencium perutnya yang sudah nampak membuncit di usia kehamilan 11 minggu. "Gombal! Di depanku Mas bilang begitu, di belakangku, siapa yang tahu!" tuduhnya membuatku mengernyit heran. "Kamu kenapa sih Sayang, nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba marah." "Nih!" Sekonyong-konyong ia menunjukkan ponselnya. "Astaghfurullahaladzim, apa sih itu?" tanyaku ketika melihat tulisan ane
âLihat, Pi, perutnya Mama benjol!â seru Rania begitu melihat ada bagian perutku yang bergerak membentuk tonjolan kecil. âIni kayaknya kakinya adek,â jawab Arman sambil mengusap perutku. âBeneran Pi?â Rania ikut memegang perutku. âAyo Dek, mana kakinya, kok diem aja.â Ia kecewa saat bayi di perutku tak lagi bergerak. âAdek bayinya capek Sayang, mungkin sekarang lagi bobo,â ucapku menghibur hatinya. âMama juga bisa masuk angin nih, kalo lama-lama perutnya terbuka begini.â Arman tertawa seraya menurunkan baju yang kukenakan hingga menutup bagian perut. âUdah, ya, Ran. Nanti lagi lihat adeknya.â Aku pun kembali dengan aktifitas semula, melipat pakaian bayi. âYuk kita lanjut beberesnya. Ran bantu lipat-lipat juga, ya.â Kuberikan beberapa lembar pakaian bayi pada anak sulungku itu. Melipatnya memang belum rapi-rapi amat, tapi kata orang-orang sih, kegiatan semacam ini bisa menumbuhkan rasa sayang kakak pada adiknya. Kehamilanku sudah tiga puluh tiga minggu. Tadi Mama kembali mengingatk
Dear Pembaca, akhirnya season satu cerita Ipar Posesifku tamat. Cerita ini akan saya lanjut di season dua menceritakan tentang Galang. Bosnya Nadia yang di season satu patah hati, akan bertemu dengan jodohnya di season dua. Siapa yaaa.Kenapa tidak di publish di buku yang berbeda? Pertama karena cerita ini masih berkaitan dengan season sebelumnya, juga karena arahan editor demikian.Ohya, di season satu bab berjudul "Malam Pertama Yang Tertunda" saya sempat mempublish tulisan dobel di bab yang sama, sehingga koin untuk membukanya lebih banyak (31 koin). Saya minta tolong untuk pembaca yang terlanjur membuka dengan 31 koin kontak saya, agar saya bisa menggantinya. Hubungi saya di inst*gram @cerita_rahmi ya. Terimakasih dan jangan lupa bagi gemnya â¤ď¸â¤ď¸
"Serius, Ra, kamu mau berhenti kuliah?" Mata Andini membulat. Apalagi setelah Kinara menjawabnya dengan sebuah anggukan. "Ra, kita baru beberapa bulan kuliah, sayang tauk uang masuknya. Galang yang suruh?" Kinara menggeleng. "Nggak, Ndin." Memang bukan karena permintaan Galang. Justru lelaki itu sama terkejutnya dengan Andini saat Kinara mengutarakan niatnya berhenti kuliah. "Kenapa, Flo?" Galang mengusap mulutnya dengan serbet, menjauhkan piring makan yang telah kosong di depannya. "Bukannya kuliah itu cita-cita kamu dari dulu?" "Hmm, bukannya kamu seneng kalau aku nggak kuliah, nggak ketemu Mas Jagad lagi di sana." "Iya, aku memang cemburu, tapi nggak usah sampai berhenti juga, Sayaang." Galang mencubit gemas pipi Kinara. Aww. "Setelah kupikir-pikir, Lang." Kinara mengusap-usap pipinya yang dicubit Galang tadi. "Aku hanya ingin fokus belajar fotografi, di kuliahan pelajarannya macam-macam." "Nah, kalau alasan ini masuk akal. Oke, aku akan carikan sekolah fotografi terbaik bua
Otak Kinara memerintahnya untuk berlari kencang namun otot kakinya menegang, sulit bergerak. Ia hanya mampu berjalan mundur, selangkah demi selangkah, lalu ... "Astaghfirullah." Tiba-tiba kakinya menginjak genangan air hingga ia jatuh terduduk. Kinara menoleh ke kanan dan ke kiri. Kenapa jalanan ini sepi sekali. Ditambah lagi hujan mulai turun rintik-rintik, membuat suasana semakin mencekam. "Oh, kamu rupanya. Sepertinya kita pernah berjumpa, ya." Hendri mengulurkan tangan, seolah mau membantu Kinara bangun dari jatuhnya. Namun Kinara menggeleng. Sedikit pun ia enggan menyentuh lelaki itu. "Mau terus-terusan di sini? Ayo ...." ujar lelaki itu, lembut tapi terdengar menyeramkan. "Kenapa, ha?" Ia mulai membentak, satu tangannya mencengkram kuat pipi Kinara. "Apa yang kau dengar?" Lagi-lagi Kinara hanya sanggup menggeleng tanpa suara. "Biarkan dia, kita bicara di tempat lain!" seru Malya yang nampak gusar. Ia tak mau berada di tempat ini berlama-lama namun merasa perlu menyelesaik
"Kamu tahu dia siapa?" bisik Arash ketika Hendri sudah jalan menjauh. "Hah, siapa, Kak?" Kinara sedikit mencondongkan badan mendekat pada Arash. "Dia produser yang disebut Marini." "Ma-maksudnya yang menghamili Marini?" Arash mengangguk. "Hem, begitu menurut pengakuannya." "Tuntutannya belum diajukan, Kak?" Kinara ingat beberapa waktu lalu saat ke rumah sakit tempat Marini dirawat, perempuan itu sempat menunjukkan surat tuntutan. "Para korban pelecehan menolak menandatangi surat tuntutan. Marini pun akhirnya berubah pikiran. Aku tidak bisa memaksa." Kinara menelan ludah. Tak semudah itu memang mengakui kasus pelecehan seksual meski kita sebagai korban. "Tapi aku masih tetap berusaha. Ada seorang korban lagi yang sedkit demi sedkit mulai menguak kebusukannya." "Siapa, Kak?" "Ada, seorang aktris pendatang baru. Maaf, aku tidak bisa sebut nama. Tapi kemungkinan kamu pun tidak tahu. Debutnya baru sebatas pemeran figuran. Ia ditawari casting untuk sebuah film dan dilecehkan ketika
Meski sudah kembali ke ibu kota, bukan berarti kesibukan Kinara berkurang. Jadwal syuting yang berbenturan dengan jam kuliah membuatnya terpaksa membolos lagi dan lagi. Saat hanya menjadi asisten, asalkan sudah mempersiapkan segala keperluan Galang, ia santai saja ijin barang beberapa jam untuk mengikuti perkuliahan, lalu setelahnya akan menyusul kembali ke lokasi syuting. Ah, ia jadi paham kenapa Galang sampai sekarang belum juga lulus kuliah. "Kinara, ntar sore jam empat, jangan lupa, lu dan Galang ada talkshow di podcast." Nah, belum lagi undangan wawancara sana-sini. Bagi Kinara sebagai artis pendatang baru, undangan wawancara terdengar mengerikan, bagaimana kalau dia sampai salah bicara. "Datang tepat waktu, promosikan sinetron kita, dan kalau ditanya soal Malya, jawab aja nggak tahu." "Oke, Bang, siap!" Karena Kinara diam saja, akhirnya Galang yang menjawab arahan Bang Sut. "Sayang, santai aja," bisik Galang begitu melihat wajah Kinara yang berubah tegang. "Hah, santai?" Ki
"Cut!" teriak Sutradara. Namun Galang bergeming. Bahkan ia memeluk Kinara erat dan semakin erat. "Woy, cut! Selesai! Udah! End!" Bang Sut mengulangi instruksinya hingga membuat Galang sadar dan melepaskan pelukan. "Eh, udah? Gini aja?" Galang menoleh. "Ya, emang udah, lo nggak baca naskahnya?" "Maksud gue, kaya ... nanggung gitu, Bang. Kan bisa diimprove, ditambah adegan kissing mungkin!" "Edan!" Bang Joel yang baru datang menoyor kepala Galang. "Mau merusak moral anak bangsa, lo?" "Jangan didengerin, Bang!" Bang Joel menoleh pada Sutradara. "Otaknya lagi rada-rada korslet!" Lelaki itu menempelkan telunjuk dengan posisi miring di dahinya. Bang Sut tertawa sembari geleng-geleng kepala. Setelahnya ia memberi instruksi untuk break syuting. "Jam setengah tujuh tet kita ganti lokasi, siap-siap, ya!" Mendengar perintah sang sutradara, para kru segera membereskan peralatan, sementara talent kembali ke kamar masing-masing. Ini hari ketiga mereka di Bandung. Revisi naskah membuat merek
"Dia, asisten lo kan, Lang? Kita pakai dia!" "Pakai? Saya?" Kinara menunjuk dirinya sendiri dengan raut wajah bertanya-tanya, menoleh pada Galang dan Bang Sut si sutradara secara bergantian. "Maksudnya, Bang?" "Elo jadi artis." Ucapan Bang Sut lebih seperti perintah yang harus disetujui daripada sebuah tawaran. "Cup! Urus dia!" katanya pada sang asisten. "Siap, grak!" "Eh, eh, kita mau kemanaa?" teriak Kinara ketika Ucup si asisten sutradara menarik tangannya. "Heh, Cup! Lu main tarik is-ehm asisten gue sembarangan aja!" Galang pasang badan menghadang langkah sang astrada. "Emangnya dia bersedia?" "Gini, ehm. Ki ... Kinara." Bang Sut maju menengahi. "Bener nama lo Kinara, kan?"Kinara mengangguk. "Karena Malya ngilang dan ntah kapan bisa syuting lagi, sementara sinetron kita kejar tayang, kita terpaksa mengubah jalan ceritanya. Jadi Malya bakal dibuat mendadak mati karena kecelakaan. Terus Galang yang ada di mobil yang sama dengan Malya saat kecelakaan diselamatkan orang. Nah,
"Ayok, Lang, kita main!" Kinara menarik tangan Galang usai mengunci pintu penghubung dengan kamar Bang Joel. "Main?" Galang takjub dengan ajakan Kinara, frontal juga dia, ya. "Sekarang? Langsungan, nih?" "Iya lah, keburu Bang Joel berubah pikiran ntar, kita harus manfaatkan waktu berdua." "Okee, siapa takut." Sebenarnya sempat terlintas ancaman Bang Joel tentang uang dua milyar, tapi ah, bodo amat. Ada kesempatan kenapa disia-siakan. Soal yang lain pikir belakangan. Tanpa menunggu lama, Galang membuka baju atasannya, tapi ... "Laaang, ngapain buka bajuuu?" "Lah kata kamu tadi ... main, kan?" Galang mulai ragu-ragu. "Main ini!" Kinara melemparkan papan catur ke atas tempat tidur. "Kamu tahu nggak, pas SD, semua teman udah pernah kutantangin main catur dan tidak ada yang bisa mengalahkanku. Bahkan pak guru olahraga aja kalah tanding catur denganku," ucapnya bangga. "Cuma sama kamu aja aku belum pernah main, karena terlalu gengsi mau ngajakin." Astagaaa .... Galang berdecak. "F
"Dua puluh satu ribu lima ratus, Kak," ucap seorang kasir setelah menghitung menu yang dibawa Kinara di hadapannya. "Oh, iya." Kinara tengah membuka dompetnya ketika suara seorang lelaki terdengar dari arah belakang seraya menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan. "Ini, Mbak. Sekalian punya saya." Tentu saja hal itu spontan membuat Kinara menoleh. Mas Jagad? Udah sengaja Kinara makan di kantin fakultas sebelah, eh, masih bertemu mantan juga. Heran. "Nggak-nggak, ini aja," tolak Kinara. Cepat-cepat ia mengambil uang dari dalam dompetnya. "Uang pas," ucapnya seraya tersenyum. "Sudah, Mbak, cepetan dihitung. Uangnya sudah ada di tangan Mbak, kan." Jagad tak mau kalah. Lelaki itu merasa menang langkah karena uang lima puluh ribunya sudah di tangan si embak kasir. "Pak!" Kinara melotot. Tapi demi tidak membuat keributan di depan umum, perempuan itu memilih untuk mengalah. Ia berjalan meninggalkan meja kasir dan duduk di salah satu bangku kosong. "Gimana Ibu, Ra?" tanya Jagad y
"Mbok, biar saya yang masak." Hari ini Kinara datang lebih pagi dan langsung menuju dapur rumah Galang. Mbok War yang sedang asik mengupas bawang putih menoleh heran."Kenapa, Mbak? Masakan Mbok selama ini nggak enak, ya?" "Enak, Mbok. Saya cuma, cuma ...." Kinara mencoba mengarang-ngarang alasan. Sebenarnya dia hanya ingin seperti suami istri pada umumnya saja. Pagi-pagi menyiapkan sarapan untuk suami sebelum berangkat kerja. So sweet sepertinya. Tapi, tak mungkin ia mengutarakan itu pada Mbok War, bukan? "Kangen masak sendiri ajah," ucapnya akhirnya. "Oh ... Mbak Kinar pengen masakkin yang spesial buat Mas Galang, ya?" goda Mbok War. Sudah sejak lama perempuan tua itu merasa ada sesuatu antara majikannya dengan sang asisten. Memang sih, yang terlihat di depannya, kedua muda-mudi itu lebih sering beradu argumen. Tapi seperti ada yang beda saja, setidaknya feeling seorang ibu mengatakan demikian. Apalagi ia membersamai Galang bukan baru setahun dua tahun, melainkan semenjak majikann