Asiik anak kembar. Kembar berapa niih. Cewek apa cowok yaa?
“Lihat, Pi, perutnya Mama benjol!” seru Rania begitu melihat ada bagian perutku yang bergerak membentuk tonjolan kecil. “Ini kayaknya kakinya adek,” jawab Arman sambil mengusap perutku. “Beneran Pi?” Rania ikut memegang perutku. “Ayo Dek, mana kakinya, kok diem aja.” Ia kecewa saat bayi di perutku tak lagi bergerak. “Adek bayinya capek Sayang, mungkin sekarang lagi bobo,” ucapku menghibur hatinya. “Mama juga bisa masuk angin nih, kalo lama-lama perutnya terbuka begini.” Arman tertawa seraya menurunkan baju yang kukenakan hingga menutup bagian perut. “Udah, ya, Ran. Nanti lagi lihat adeknya.” Aku pun kembali dengan aktifitas semula, melipat pakaian bayi. “Yuk kita lanjut beberesnya. Ran bantu lipat-lipat juga, ya.” Kuberikan beberapa lembar pakaian bayi pada anak sulungku itu. Melipatnya memang belum rapi-rapi amat, tapi kata orang-orang sih, kegiatan semacam ini bisa menumbuhkan rasa sayang kakak pada adiknya. Kehamilanku sudah tiga puluh tiga minggu. Tadi Mama kembali mengingatk
Dear Pembaca, akhirnya season satu cerita Ipar Posesifku tamat. Cerita ini akan saya lanjut di season dua menceritakan tentang Galang. Bosnya Nadia yang di season satu patah hati, akan bertemu dengan jodohnya di season dua. Siapa yaaa.Kenapa tidak di publish di buku yang berbeda? Pertama karena cerita ini masih berkaitan dengan season sebelumnya, juga karena arahan editor demikian.Ohya, di season satu bab berjudul "Malam Pertama Yang Tertunda" saya sempat mempublish tulisan dobel di bab yang sama, sehingga koin untuk membukanya lebih banyak (31 koin). Saya minta tolong untuk pembaca yang terlanjur membuka dengan 31 koin kontak saya, agar saya bisa menggantinya. Hubungi saya di inst*gram @cerita_rahmi ya. Terimakasih dan jangan lupa bagi gemnya ❤️❤️
Dear reader, ini adalah cerita spin off Ipar Posesifku yang saya masukkan di season dua buku yang sama. Saya gratiskan, sekalian sebagai ganti yang pernah unlock dobel koin di season satu kemarin, dikarenakan saya sempat dobel copas dalam satu bab. Bagi yang koinnya mau diganti dalam bentuk pulsa atau e-money silakan DM saya di inst*gram @cerita_rahmi . . . "Mas Jagad?" Kinara menatap lelaki di hadapannya itu lekat.Ia baru saja dari toilet resto.Ketika hendak kembali ke mejanya, sesosok lelaki yang wajahnya begitu familiar mengusik pandangan. Membuat langkahnya terayun mendekat.Seorang wanita tengah bergelayut manja di lengan kekasihnya. Padahal ia paham betul, kekasihnya itu tak punya saudara kandung perempuan. Lalu, siapa wanita itu?Wajah Jagad pucat. Bergantian ia menatap waita di sampingnya lalu Kinara. "Kinara, ini-""Ini, calon istri Jagad." Belum selesai lelaki itu bicara, seorang wanita paruh baya yang berjalan dari arah belakang buru-buru menyambar ucapanya.Kinara men
"Flo!" Galang tak menyangka akan bertemu gadis itu di sini. Sudah tiga belas tahun, tak ada perubahan yang berarti pada gadis itu. Hanya badannya lebih tinggi dan lebih berbentuk. Wajah galak tapi manisnya yang dulu selalu polosan kini berpoles make up tipis. Ia juga masih suka mengikat rambut panjangnya dengan model kuncir kuda. "Flo?" Diandra menatap Galang heran. "Namanya Kinara, bukan Flo." "Flo itu nama an-" "Aduh!" Kepalan tangan Kinara lebih dulu mendarat di lengan kanan Galang, sebelum lelaki itu menyelesaikan kalimatnya. Kinara masih ingat siapa flo yang dimaksud. Anjing betina bunting milik tetangga Galang yang katanya mirip Kinara saat lagi marah. Kurang ajar! Diandra menatap dua muda-mudi di hadapannya dengan takjub. “Kalian sudah saling kenal?” "Teman SD, Kak." Sebenarnya Kinara ingin mengatakan kalau mereka bukan teman melainkan musuh bebuyutan, tapi ia sungkan pada Diandra. Ya, bagi Kinara, Galang itu musuh. Ia yang dengan mulus selalu medapatkan peringkat sa
"Maaf, Kak, sepertinya, lamaran kerjanya batal saja." Kinara menunduk, merasa tak enak hati pada Diandra. Tapi tentu saja lebih tak enak lagi jika ia harus menjadi asisten Galang. Selama ini ia bersaing untuk mendapatkan posisi yang lebih tinggi dari Galang dan sekarang ia harus menjadi bawahannya? Sungguh hina. "Lho, kenapa? Kalian sudah saling kenal, bukannya bagus? Aku jadi lebih mudah mempercayaimu sebagai asisten adikku." "Kakak salah, justru harusnya Kakak lebih waspada, ia bisa saja menaruh racun pada makanan atau minumanku." Meski hanya bergurau saat mengatakan ini, Galang tahu, Kinara dari dulu membencinya. Mungkin sampai sekarang juga. Diandra spontan menutup mulutnya yang menganga. "Hah?" "Lebay!" Kinara meninju dada bagian atas Galang, membuat lelaki itu sedikit terhuyung ke belakang karena tak siap. "Lihatlah, Kak, belum jadi asisten saja ia sudah menganiayaku begini." Diandra malah tertawa. Entah mengapa, menurutnya pertengkaran keduanya justru terlihat begit
“Bagaimana, kau sudah memutuskan, Kinara?” Diandra keluar kamar, kali ini dengan menggendong putri kecilnya yang baru berusia dua tahun. "Uncle!" Bocah berkulit putih kemerahan itu berbinar melihat om kesayangannya sudah datang dan langsung meminta gendong. "Saya, tetap mundur, Kak!" jawab Kinara. Diandra menunjukkan raut kecewa. Esok ia harus kembali ke Singapura, akan sangat merepotkan jika harus mencari orang lagi. Meninggalkan adiknya begitu saja tentu iapun tak tega. "Bagaimana, kalau gajimu kunaikkan lima ratus ribu dari kesepakatan kita kemarin?" tawarnya. "Maaf, Kak, tidak bisa." Kinara masih bersikeras. "Tujuh ratus?" Diandra belum menyerah, namun Kinara menggeleng lemah. Siapa yang tidak lemah sih, disodorkan uang dan harus menolak. Iya, kan? "Oke, satu juta?" "Deal!" Kinara menjabat tangan Diandra mantap, ditanggapi gelengan dan senyum kecil yang terbit bersamaan di wajah Galang. 🎥🎥🎥 "Kinara, jaga adikku ya," pesan Diandra sebelum masuk ke ruang tunggu bandara.
"Apa kabar, Flo?" Meski sudah sejak kemarin bertemu, Galang baru sempat menayakan kabar Kinara sekarang, di sebuah kedai bubur ayam yang masih sepi pengunjung.Kemarin, teman kecilnya itu sibuk di-briefing oleh sang Kakak mengenai tugas-tugasnya sebagai asisten Galang. Mulai dari harus tahu jadwal kegiatan Galang setiap harinya, apa yang harus dibawa, apa yang boleh dimakan dan tidak, sampai bagaimana cara menghadapi wartawan terutama wartawan infotainment.Karena masih ada jadwal syuting, Galang hanya mendampingi sebentar, lalu pergi bersama manajernya.Kinara yang baru saja menyeruput teh hangat, melirik tajam ke arah Galang. Sudah berulangkali ia bilang tak suka dipanggil Flo, tapi Galang seolah tak peduli."Dengar Flo, anjing tetanggaku itu, setelah melahirkan, ia tidak galak lagi. Sekarang ia menjadi anjing yang manis dan lucu." Galang yang bersikeras tak mau mengubah panggilannya pada gadis itu, berusaha meyakinkan.
Cemburu? Kinara meletakkan tas besar yang dibawanya ke atas meja dengan mengehentak. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu menarik tangan Galang, membawanya ke tempat yang cukup jauh dari lalu lalang manusia. "Lang, mulut lo tuh, ya!" Karena seringnya mendengar orang ber lo-gue, ia jadi ikut-ikutan sekarang. "Kak Diandra sudah berpesan hati-hati bersikap dan berbicara, karena semua gerak-gerik kamu dan orang-orang yang dekat denganmu, pasti akan selalu menjadi sorotan. Kamu malah ngomong gitu, kalo kedengaran orang-orang, gimana?" "Oke, oke." Galang malah tertawa. "Lain kali aku akan memilih tempat yang sepi, biar tidak terdengar orang-orang. Begitu, kan?" Galang mencondongkan badannya mendekat pada Kinara, yang membuat gadis itu spontan mendorongnya. Lagi, lelaki itu tertawa, misinya menggoda Kinara dan membuat gadis itu kesal, berhasil. "Nah, kalau begini, orang-orang mengira, kita sepasang kekasih yang sedang bertengkar." Kinara melotot mendengar ucapan Galang, yang setelah
"Serius, Ra, kamu mau berhenti kuliah?" Mata Andini membulat. Apalagi setelah Kinara menjawabnya dengan sebuah anggukan. "Ra, kita baru beberapa bulan kuliah, sayang tauk uang masuknya. Galang yang suruh?" Kinara menggeleng. "Nggak, Ndin." Memang bukan karena permintaan Galang. Justru lelaki itu sama terkejutnya dengan Andini saat Kinara mengutarakan niatnya berhenti kuliah. "Kenapa, Flo?" Galang mengusap mulutnya dengan serbet, menjauhkan piring makan yang telah kosong di depannya. "Bukannya kuliah itu cita-cita kamu dari dulu?" "Hmm, bukannya kamu seneng kalau aku nggak kuliah, nggak ketemu Mas Jagad lagi di sana." "Iya, aku memang cemburu, tapi nggak usah sampai berhenti juga, Sayaang." Galang mencubit gemas pipi Kinara. Aww. "Setelah kupikir-pikir, Lang." Kinara mengusap-usap pipinya yang dicubit Galang tadi. "Aku hanya ingin fokus belajar fotografi, di kuliahan pelajarannya macam-macam." "Nah, kalau alasan ini masuk akal. Oke, aku akan carikan sekolah fotografi terbaik bua
Otak Kinara memerintahnya untuk berlari kencang namun otot kakinya menegang, sulit bergerak. Ia hanya mampu berjalan mundur, selangkah demi selangkah, lalu ... "Astaghfirullah." Tiba-tiba kakinya menginjak genangan air hingga ia jatuh terduduk. Kinara menoleh ke kanan dan ke kiri. Kenapa jalanan ini sepi sekali. Ditambah lagi hujan mulai turun rintik-rintik, membuat suasana semakin mencekam. "Oh, kamu rupanya. Sepertinya kita pernah berjumpa, ya." Hendri mengulurkan tangan, seolah mau membantu Kinara bangun dari jatuhnya. Namun Kinara menggeleng. Sedikit pun ia enggan menyentuh lelaki itu. "Mau terus-terusan di sini? Ayo ...." ujar lelaki itu, lembut tapi terdengar menyeramkan. "Kenapa, ha?" Ia mulai membentak, satu tangannya mencengkram kuat pipi Kinara. "Apa yang kau dengar?" Lagi-lagi Kinara hanya sanggup menggeleng tanpa suara. "Biarkan dia, kita bicara di tempat lain!" seru Malya yang nampak gusar. Ia tak mau berada di tempat ini berlama-lama namun merasa perlu menyelesaik
"Kamu tahu dia siapa?" bisik Arash ketika Hendri sudah jalan menjauh. "Hah, siapa, Kak?" Kinara sedikit mencondongkan badan mendekat pada Arash. "Dia produser yang disebut Marini." "Ma-maksudnya yang menghamili Marini?" Arash mengangguk. "Hem, begitu menurut pengakuannya." "Tuntutannya belum diajukan, Kak?" Kinara ingat beberapa waktu lalu saat ke rumah sakit tempat Marini dirawat, perempuan itu sempat menunjukkan surat tuntutan. "Para korban pelecehan menolak menandatangi surat tuntutan. Marini pun akhirnya berubah pikiran. Aku tidak bisa memaksa." Kinara menelan ludah. Tak semudah itu memang mengakui kasus pelecehan seksual meski kita sebagai korban. "Tapi aku masih tetap berusaha. Ada seorang korban lagi yang sedkit demi sedkit mulai menguak kebusukannya." "Siapa, Kak?" "Ada, seorang aktris pendatang baru. Maaf, aku tidak bisa sebut nama. Tapi kemungkinan kamu pun tidak tahu. Debutnya baru sebatas pemeran figuran. Ia ditawari casting untuk sebuah film dan dilecehkan ketika
Meski sudah kembali ke ibu kota, bukan berarti kesibukan Kinara berkurang. Jadwal syuting yang berbenturan dengan jam kuliah membuatnya terpaksa membolos lagi dan lagi. Saat hanya menjadi asisten, asalkan sudah mempersiapkan segala keperluan Galang, ia santai saja ijin barang beberapa jam untuk mengikuti perkuliahan, lalu setelahnya akan menyusul kembali ke lokasi syuting. Ah, ia jadi paham kenapa Galang sampai sekarang belum juga lulus kuliah. "Kinara, ntar sore jam empat, jangan lupa, lu dan Galang ada talkshow di podcast." Nah, belum lagi undangan wawancara sana-sini. Bagi Kinara sebagai artis pendatang baru, undangan wawancara terdengar mengerikan, bagaimana kalau dia sampai salah bicara. "Datang tepat waktu, promosikan sinetron kita, dan kalau ditanya soal Malya, jawab aja nggak tahu." "Oke, Bang, siap!" Karena Kinara diam saja, akhirnya Galang yang menjawab arahan Bang Sut. "Sayang, santai aja," bisik Galang begitu melihat wajah Kinara yang berubah tegang. "Hah, santai?" Ki
"Cut!" teriak Sutradara. Namun Galang bergeming. Bahkan ia memeluk Kinara erat dan semakin erat. "Woy, cut! Selesai! Udah! End!" Bang Sut mengulangi instruksinya hingga membuat Galang sadar dan melepaskan pelukan. "Eh, udah? Gini aja?" Galang menoleh. "Ya, emang udah, lo nggak baca naskahnya?" "Maksud gue, kaya ... nanggung gitu, Bang. Kan bisa diimprove, ditambah adegan kissing mungkin!" "Edan!" Bang Joel yang baru datang menoyor kepala Galang. "Mau merusak moral anak bangsa, lo?" "Jangan didengerin, Bang!" Bang Joel menoleh pada Sutradara. "Otaknya lagi rada-rada korslet!" Lelaki itu menempelkan telunjuk dengan posisi miring di dahinya. Bang Sut tertawa sembari geleng-geleng kepala. Setelahnya ia memberi instruksi untuk break syuting. "Jam setengah tujuh tet kita ganti lokasi, siap-siap, ya!" Mendengar perintah sang sutradara, para kru segera membereskan peralatan, sementara talent kembali ke kamar masing-masing. Ini hari ketiga mereka di Bandung. Revisi naskah membuat merek
"Dia, asisten lo kan, Lang? Kita pakai dia!" "Pakai? Saya?" Kinara menunjuk dirinya sendiri dengan raut wajah bertanya-tanya, menoleh pada Galang dan Bang Sut si sutradara secara bergantian. "Maksudnya, Bang?" "Elo jadi artis." Ucapan Bang Sut lebih seperti perintah yang harus disetujui daripada sebuah tawaran. "Cup! Urus dia!" katanya pada sang asisten. "Siap, grak!" "Eh, eh, kita mau kemanaa?" teriak Kinara ketika Ucup si asisten sutradara menarik tangannya. "Heh, Cup! Lu main tarik is-ehm asisten gue sembarangan aja!" Galang pasang badan menghadang langkah sang astrada. "Emangnya dia bersedia?" "Gini, ehm. Ki ... Kinara." Bang Sut maju menengahi. "Bener nama lo Kinara, kan?"Kinara mengangguk. "Karena Malya ngilang dan ntah kapan bisa syuting lagi, sementara sinetron kita kejar tayang, kita terpaksa mengubah jalan ceritanya. Jadi Malya bakal dibuat mendadak mati karena kecelakaan. Terus Galang yang ada di mobil yang sama dengan Malya saat kecelakaan diselamatkan orang. Nah,
"Ayok, Lang, kita main!" Kinara menarik tangan Galang usai mengunci pintu penghubung dengan kamar Bang Joel. "Main?" Galang takjub dengan ajakan Kinara, frontal juga dia, ya. "Sekarang? Langsungan, nih?" "Iya lah, keburu Bang Joel berubah pikiran ntar, kita harus manfaatkan waktu berdua." "Okee, siapa takut." Sebenarnya sempat terlintas ancaman Bang Joel tentang uang dua milyar, tapi ah, bodo amat. Ada kesempatan kenapa disia-siakan. Soal yang lain pikir belakangan. Tanpa menunggu lama, Galang membuka baju atasannya, tapi ... "Laaang, ngapain buka bajuuu?" "Lah kata kamu tadi ... main, kan?" Galang mulai ragu-ragu. "Main ini!" Kinara melemparkan papan catur ke atas tempat tidur. "Kamu tahu nggak, pas SD, semua teman udah pernah kutantangin main catur dan tidak ada yang bisa mengalahkanku. Bahkan pak guru olahraga aja kalah tanding catur denganku," ucapnya bangga. "Cuma sama kamu aja aku belum pernah main, karena terlalu gengsi mau ngajakin." Astagaaa .... Galang berdecak. "F
"Dua puluh satu ribu lima ratus, Kak," ucap seorang kasir setelah menghitung menu yang dibawa Kinara di hadapannya. "Oh, iya." Kinara tengah membuka dompetnya ketika suara seorang lelaki terdengar dari arah belakang seraya menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan. "Ini, Mbak. Sekalian punya saya." Tentu saja hal itu spontan membuat Kinara menoleh. Mas Jagad? Udah sengaja Kinara makan di kantin fakultas sebelah, eh, masih bertemu mantan juga. Heran. "Nggak-nggak, ini aja," tolak Kinara. Cepat-cepat ia mengambil uang dari dalam dompetnya. "Uang pas," ucapnya seraya tersenyum. "Sudah, Mbak, cepetan dihitung. Uangnya sudah ada di tangan Mbak, kan." Jagad tak mau kalah. Lelaki itu merasa menang langkah karena uang lima puluh ribunya sudah di tangan si embak kasir. "Pak!" Kinara melotot. Tapi demi tidak membuat keributan di depan umum, perempuan itu memilih untuk mengalah. Ia berjalan meninggalkan meja kasir dan duduk di salah satu bangku kosong. "Gimana Ibu, Ra?" tanya Jagad y
"Mbok, biar saya yang masak." Hari ini Kinara datang lebih pagi dan langsung menuju dapur rumah Galang. Mbok War yang sedang asik mengupas bawang putih menoleh heran."Kenapa, Mbak? Masakan Mbok selama ini nggak enak, ya?" "Enak, Mbok. Saya cuma, cuma ...." Kinara mencoba mengarang-ngarang alasan. Sebenarnya dia hanya ingin seperti suami istri pada umumnya saja. Pagi-pagi menyiapkan sarapan untuk suami sebelum berangkat kerja. So sweet sepertinya. Tapi, tak mungkin ia mengutarakan itu pada Mbok War, bukan? "Kangen masak sendiri ajah," ucapnya akhirnya. "Oh ... Mbak Kinar pengen masakkin yang spesial buat Mas Galang, ya?" goda Mbok War. Sudah sejak lama perempuan tua itu merasa ada sesuatu antara majikannya dengan sang asisten. Memang sih, yang terlihat di depannya, kedua muda-mudi itu lebih sering beradu argumen. Tapi seperti ada yang beda saja, setidaknya feeling seorang ibu mengatakan demikian. Apalagi ia membersamai Galang bukan baru setahun dua tahun, melainkan semenjak majikann