Dear reader, ini adalah cerita spin off Ipar Posesifku yang saya masukkan di season dua buku yang sama. Saya gratiskan, sekalian sebagai ganti yang pernah unlock dobel koin di season satu kemarin, dikarenakan saya sempat dobel copas dalam satu bab. Bagi yang koinnya mau diganti dalam bentuk pulsa atau e-money silakan DM saya di inst*gram @cerita_rahmi
..."Mas Jagad?" Kinara menatap lelaki di hadapannya itu lekat.Ia baru saja dari toilet resto.Ketika hendak kembali ke mejanya, sesosok lelaki yang wajahnya begitu familiar mengusik pandangan. Membuat langkahnya terayun mendekat.Seorang wanita tengah bergelayut manja di lengan kekasihnya. Padahal ia paham betul, kekasihnya itu tak punya saudara kandung perempuan. Lalu, siapa wanita itu?Wajah Jagad pucat. Bergantian ia menatap waita di sampingnya lalu Kinara. "Kinara, ini-""Ini, calon istri Jagad." Belum selesai lelaki itu bicara, seorang wanita paruh baya yang berjalan dari arah belakang buru-buru menyambar ucapanya.Kinara menelan ludah."Wah, kita bertemu di sini Kinara," ucap wanita itu berbasa-basi. Wanita itu cukup mengenal Kinara. Sudah beberapa kali Kinara ke rumahnya untuk mengantarkan pesanan makanan. Hingga kedatangannya yang ketiga, membawanya bertemu Jagad, anak si pemilik rumah, kakak kelasnya semasa SMU."Sandra namanya, sedang menempuh S2 di Australia." Dengan bangga, Mama Jagad mengenalkan calon menantunya. "Sebentar lagi mereka menikah."Berusaha melawan bulir yang hampir tumpah dari pelupuk mata, Kinara menyambut uluran tangan Sandra. Bersamaan dengan itu, secara refleks otaknya sibuk membandingkan dirinya dengan wanita yang tampak sempurna di hadapannya. Sudah cantik, berpendidikan tinggi pula. S2 Australia versus lulusan SMU Surakarta. Kinara merasa kalah telak."Selamat ya," ucapnya setenang mungkin sambil menoleh pada Jagad. Raut lelaki yang telah menjadi kekasihnya selama enam bulan itu tampak bingung."Kinara, sebenarnya aku-""Nanti, pasti kamu diundang." Kembali wanita itu memotong ucapan putranya, tak memberi kesempatan untuk bicara."I-iya, tante." Kinara berusaha tersenyum. Ia tak tahu apakah Mama Jagad sudah mengetahui perihal hubungannya dengan anaknya. Atau justru sengaja ingin memisahkan mereka karena tak merestui."Saya permisi dulu." Tanpa menunggu jawaban, Kinara pergi. Ia bahkan tak pamit pada Marsha, yang bersamanya datang ke resto ini."Kinara, tunggu!" Jagad ingin mengejar Kinara, namun tangan sang Mama menahannya. Memberi kode agar lelaki dua puluh enam tahun itu kembali duduk.Kinara berjalan cepat. Sesekali ia menoleh, berharap Jagad mengejar. Ia sampai rela pulang berjalan kaki, supaya Jagad tak kehilangan jejaknya. Namun, yang ditunggu tak jua hadir."Ah, aku tak seberharga itu untuk pantas diperjuangkan, ternyata." Kinara membatin sedih.š„š„š„Kinara meremas koran dengan gemas. Sudah tiga bulan putus dari Jagad dan ia belum juga mendapat pekerjaan yang mapan. Padahal malam itu juga ia sudah bertekad, akan mencari uang yang banyak lalu kuliah, agar tak ada lagi orang yang meremehkannya. Khusunya Jagad, akan dibuatnya menyesal karena telah memilih wanita lain."Kenapa Ra?" tanya Marsha yang sedari tadi duduk di sampingnya bermain ponsel."Lowongan di koran nggak ada yang menarik!" Kinara menghempaskan koran di tangannya."Koran?" Marsha tergelak. "Ra, hellow, hari gini kamu masih cari lowongan pekerjaan lewat koran? Nggak sekalian nyari di batang pohon sama tiang listrik?"Gadis manis berkulit kuning langsat itu hanya melirik sinis, sembari menarik napas panjang. Sementara sahabatnya, menggeser duduknya mendekat. "Hari gini tuh, cari lowongan di twitter, i*******m, atau linked in," ujarnya sambil memencet tombol ponsel."Kamu tau kan, Sha. Aku udah menonaktifkan semua akun socmedku."Semenjak pertemuannya terakhir dengan Jagad, Kinara memutuskan untuk menutup semua akun sosial medianya. Ia tak mau tergoda untuk mengintip aktivitas lelaki yang kini telah menjadi mantannya. Lagipula, apa gunanya socmed baginya? Agar tetap terhubung dengan kawan lama?Ya, itu memang alasan ia membuat media sosial beberapa tahun lalu, tapi kini ia justru memilih menjauh dari kawan-kawan lamanya itu. Untuk apa jika terhubung dengan mereka justru membuat ia merasa rendah diri."Kinara? Yang selalu juara kelas itu kan? Kerja di mana kamu sekarang Ra? Wah, pasti udah jadi manajer atau jangan-jangan CEO. Dari dulu kamu kan orangnya kompetitif banget."Gila, itu pujian atau sindiran. Kenyataannya saat ini ia hanya anak seorang penjual nasi uduk yang hari-harinya banyak dihabiskan di pasar untuk jualan. Sementara mereka yang dulu bahkan dapat ranking bontot di kelas, sudah melanglang buana ke mana-mana, entah itu urusan dinas atau sekedar jalan-jalan menggunakan uang pribadi. Gaji mereka besar, jabatan mereka tinggi. Kinara tak ada apa-apanya.Selepas lulus SMA dan ayahnya meninggal dunia, perekonomian keluarganya carut marut. Uang santunan kematian ayahnya dari kantor ludes, termakan iming-iming investasi bodong. Ia dan keluarganya terpaksa pindah dari Solo ke Bantul, kampung halaman sang ibu. Sebagai anak sulung, tentu saja ia merasa berkewajiban membantu ibunya mencari nafkah, sehingga urusan sekolah menjadi terlupakan."Eh-eh lihat nih!" Marsha menyodorkan ponselnya pada Kinara. "Ada lowongan sebagai asisten artis." Ia menekan lama layar ponsel, agar I* story seseakun yang menampilkan iklan itu dapat dibaca dengan seksama oleh sahabatnya."Asisten? Maksudnya pembantu?" Kinara mencibir, seolah pekerjaan itu hina sekali baginya. Kinara yang selalu langganan juara umum di sekolah bekerja menjadi pembantu? Apa kata teman-temannya nanti."Bukan pembantu, Ra. Ini lebih ke ...." Marsha berpikir sejenak, berusaha meyakinkan Kinara bahwa pekerjaan ini tak seburuk pandangannya. "Ya, semacam orang yang selalu mendampingi si artis, membantu menyiapkan segala keperluannya.""Sama saja, pembantu namanya!" tukas Kinara."Oke, anggaplah pembantu. Menjadi pembantu artis gajinya gede, Ra. Tuh, asistennya Rapi Amad, katanya gaji sebulan aja udah bisa buat beli motor!"Iming-iming Marsha berhasil membuat Kinara tergiur. Apalagi, ibundanyapun sudah memberi restu. Adik Kinara, si anak lelaki nomor dua sudah kelas dua SMA, sudah bisa menggantikannya untuk membantu ibu berjualan.Tak apalah jadi pembantu, toh teman-teman sekolahku tak ada yang tahu. Lagipula aku perlu sejenak menjauh dari kota ini. Terlalu banyak kenangan bersama Mas Jagad yang membuatku sulit move on.Segera Kinara mengirim pesan untuk kontak yang tertera pada info lowker yang dibacanya."Maaf, saya mencari asisten laki-laki." Diandra-si pemasang iklan lowongan menjawab pesan Kinara."Wah, kenapa Kak? Kenapa harus lelaki? Saya tidak bisa mengubah jenis kelamin menjadi lelaki. Tapi saya bisa melakukan hal-hal yang biasa lelaki kerjakan. Saya bisa ngangkat galon sendiri, bisa berkelahi, dan biasa begadang. Apalagi? Kakak sebutkan saja kebutuhannya apa."Diandra mengirim emoticon tertawa. Lalu melampirkan draf hak dan kewajiban pada obrolan chatnya dengan Kinara. Memberi kesempatan pada gadis itu untuk mengikuti tahap seleksi."Kalau sudah oke, datanglah besok."Tanpa pikir panjang, Kinara buru-buru membeli tiket kereta Yogyakata-Jakarta. Kalaupun tidak mendapatkan pekerjaan itu, ia sudah berencana akan liburan sambil mencari pekerjaan lain di Jakarta. Ada seorang pamannya yang tinggal di Jakarta, jadi ia tak pelu bingung soal penginapan.š„š„š„Diandra melirik jam di tangannya untuk kesekian kali. "Sebentar ya, Kinara. Adikku sedang menuju ke sini. Aku sih sudah oke, tinggal menunggu keputusannya nanti." Entah mengapa pada pertemuan pertamanya dengan Kinara, Diandra sudah merasa klik. Dia merasa bisa mempercayakan segala urusan adiknya pada gadis itu.Kinara mengangguk seraya tersenyum memaklumi. Diam-diam, calon bos wanitanya yang terlihat santun, membuat ia berpikir, adiknya pasti tak jauh berbeda.Ia baru ingat, kalau belum terlalu mempelajari profil calon bosnya. Ia hanya tahu namanya Galang. Itupun dari Marsha. Katanya sih, calon bosnya merupakan pemeran utama sinetron Aroma Cinta yang lagi banyak digandrungi ibu-ibu saat ini.Ia tak menonton sinetron itu. Mungkin, ibunya yang menonton. Tapi nama Galang sepertinya familiar. Ah, dia kan artis, tentu saja namanya banyak menghiasi infotainment ataupun beranda sosial media. Dalam hati Kinara menertawakan kebodohannya."Nah, yang ditunggu sudah datang."Kinara menoleh, mengikuti arah pandang Diandra. Sesosok lelaki berjalan gagah dengan mengenakan setelan jas semi formal. Kinara menengadah demi melihat wajah calon bosnya dengan seksama, hingga mata mereka bertemu dan keduanya terpaku cukup lama. Waktu seakan berjalan mundur membuat memori tiga belas tahun silam terpampang nyata di depan mata."Jadi ... Galang ... kamu?" Kinara terbata."Flo?"*Bersambung*"Flo!" Galang tak menyangka akan bertemu gadis itu di sini. Sudah tiga belas tahun, tak ada perubahan yang berarti pada gadis itu. Hanya badannya lebih tinggi dan lebih berbentuk. Wajah galak tapi manisnya yang dulu selalu polosan kini berpoles make up tipis. Ia juga masih suka mengikat rambut panjangnya dengan model kuncir kuda. "Flo?" Diandra menatap Galang heran. "Namanya Kinara, bukan Flo." "Flo itu nama an-" "Aduh!" Kepalan tangan Kinara lebih dulu mendarat di lengan kanan Galang, sebelum lelaki itu menyelesaikan kalimatnya. Kinara masih ingat siapa flo yang dimaksud. Anjing betina bunting milik tetangga Galang yang katanya mirip Kinara saat lagi marah. Kurang ajar! Diandra menatap dua muda-mudi di hadapannya dengan takjub. āKalian sudah saling kenal?ā "Teman SD, Kak." Sebenarnya Kinara ingin mengatakan kalau mereka bukan teman melainkan musuh bebuyutan, tapi ia sungkan pada Diandra. Ya, bagi Kinara, Galang itu musuh. Ia yang dengan mulus selalu medapatkan peringkat sa
"Maaf, Kak, sepertinya, lamaran kerjanya batal saja." Kinara menunduk, merasa tak enak hati pada Diandra. Tapi tentu saja lebih tak enak lagi jika ia harus menjadi asisten Galang. Selama ini ia bersaing untuk mendapatkan posisi yang lebih tinggi dari Galang dan sekarang ia harus menjadi bawahannya? Sungguh hina. "Lho, kenapa? Kalian sudah saling kenal, bukannya bagus? Aku jadi lebih mudah mempercayaimu sebagai asisten adikku." "Kakak salah, justru harusnya Kakak lebih waspada, ia bisa saja menaruh racun pada makanan atau minumanku." Meski hanya bergurau saat mengatakan ini, Galang tahu, Kinara dari dulu membencinya. Mungkin sampai sekarang juga. Diandra spontan menutup mulutnya yang menganga. "Hah?" "Lebay!" Kinara meninju dada bagian atas Galang, membuat lelaki itu sedikit terhuyung ke belakang karena tak siap. "Lihatlah, Kak, belum jadi asisten saja ia sudah menganiayaku begini." Diandra malah tertawa. Entah mengapa, menurutnya pertengkaran keduanya justru terlihat begit
āBagaimana, kau sudah memutuskan, Kinara?ā Diandra keluar kamar, kali ini dengan menggendong putri kecilnya yang baru berusia dua tahun. "Uncle!" Bocah berkulit putih kemerahan itu berbinar melihat om kesayangannya sudah datang dan langsung meminta gendong. "Saya, tetap mundur, Kak!" jawab Kinara. Diandra menunjukkan raut kecewa. Esok ia harus kembali ke Singapura, akan sangat merepotkan jika harus mencari orang lagi. Meninggalkan adiknya begitu saja tentu iapun tak tega. "Bagaimana, kalau gajimu kunaikkan lima ratus ribu dari kesepakatan kita kemarin?" tawarnya. "Maaf, Kak, tidak bisa." Kinara masih bersikeras. "Tujuh ratus?" Diandra belum menyerah, namun Kinara menggeleng lemah. Siapa yang tidak lemah sih, disodorkan uang dan harus menolak. Iya, kan? "Oke, satu juta?" "Deal!" Kinara menjabat tangan Diandra mantap, ditanggapi gelengan dan senyum kecil yang terbit bersamaan di wajah Galang. š„š„š„ "Kinara, jaga adikku ya," pesan Diandra sebelum masuk ke ruang tunggu bandara.
"Apa kabar, Flo?" Meski sudah sejak kemarin bertemu, Galang baru sempat menayakan kabar Kinara sekarang, di sebuah kedai bubur ayam yang masih sepi pengunjung.Kemarin, teman kecilnya itu sibuk di-briefing oleh sang Kakak mengenai tugas-tugasnya sebagai asisten Galang. Mulai dari harus tahu jadwal kegiatan Galang setiap harinya, apa yang harus dibawa, apa yang boleh dimakan dan tidak, sampai bagaimana cara menghadapi wartawan terutama wartawan infotainment.Karena masih ada jadwal syuting, Galang hanya mendampingi sebentar, lalu pergi bersama manajernya.Kinara yang baru saja menyeruput teh hangat, melirik tajam ke arah Galang. Sudah berulangkali ia bilang tak suka dipanggil Flo, tapi Galang seolah tak peduli."Dengar Flo, anjing tetanggaku itu, setelah melahirkan, ia tidak galak lagi. Sekarang ia menjadi anjing yang manis dan lucu." Galang yang bersikeras tak mau mengubah panggilannya pada gadis itu, berusaha meyakinkan.
Cemburu? Kinara meletakkan tas besar yang dibawanya ke atas meja dengan mengehentak. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu menarik tangan Galang, membawanya ke tempat yang cukup jauh dari lalu lalang manusia. "Lang, mulut lo tuh, ya!" Karena seringnya mendengar orang ber lo-gue, ia jadi ikut-ikutan sekarang. "Kak Diandra sudah berpesan hati-hati bersikap dan berbicara, karena semua gerak-gerik kamu dan orang-orang yang dekat denganmu, pasti akan selalu menjadi sorotan. Kamu malah ngomong gitu, kalo kedengaran orang-orang, gimana?" "Oke, oke." Galang malah tertawa. "Lain kali aku akan memilih tempat yang sepi, biar tidak terdengar orang-orang. Begitu, kan?" Galang mencondongkan badannya mendekat pada Kinara, yang membuat gadis itu spontan mendorongnya. Lagi, lelaki itu tertawa, misinya menggoda Kinara dan membuat gadis itu kesal, berhasil. "Nah, kalau begini, orang-orang mengira, kita sepasang kekasih yang sedang bertengkar." Kinara melotot mendengar ucapan Galang, yang setelah
Kinara mengusap bagian pipi Galang yang terdapat noda lipstik dengan lebih kuat. Ih, Najis! Gadis itu terkejut, ketika tiba-tiba Galang membuka mata. "Kamu dulu kerjanya mandiin kudanil?" "Hah?" āNggak bisa lembut dikit apa?ā Menyadari apa yang dimaksud Galang, bukannya melembutkan usapan, tangannya yang masih menempel di pipi Galang malah mendorongnya kuat. "Bersihkan sendiri! Udah bangun, kan!" bentaknya. Galang berdecak. "Asisten macam apa!" gumamnya pelan tapi yakin Kinara mendengar. Ia bukan sedang menegur Kinara sebagai karyawan, hanya menggodanya saja. Membersihkan wajah tak sulit, ia tak keberatan melakukannya sendiri juga. Kinara mau mempersiapkan segala kebutuhan dan mengingatkan segala printilan kegiatannya saja sudah sangat membantu. Mobil berhenti di lampu merah. Kinara mengedarkan pandangan keluar dari balik jendela. Menikmati setiap sudut ibukota yang sudah lama tak dikunjungnya. Terakhir kali ia ke kota Jakarta saat piknik di Sekolah Menengah Pertama. Sud
"Man-tan?" Sejenak Galang terusik dengan kata yang disebut Kinara barusan. "Galak-galak gini punya mantan juga ya, hahaha." "Kurang ajar!" Sebuah jitakan mendarat di kepala Galang. Galang meredakan tawa. "Duduk di sana, Flo." Ditunjuknya meja kosong dengan dua kursi saling berhadapan yang ada di depan minimarket. "Aku lelah mengejarmu tadi, kita duduk sebentar. Minum kopi, kan?" Kinara mengangguk. Tanpa bertanya lagi, Galang masuk minimarket membeli dua cup kopi, sementara Kinara duduk menunggunya di depan minimarket. Masih mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru, ia terus mencari, siapa tahu sosok yang dilihatnya tadi muncul kembali. "Kita cari lagi?" Galang meletakkan satu cup kopi di depan Kinara. "Nggak usah, nggak penting!" Kinara mengambil kopinya. "Kalau tidak penting, tak mungkin kau sampai berlari turun dari mobil." Kinara menyeruput kopinya yang masih panas. Sejenak hening, dua insan itu sibuk dengan pikirannya masing-masing. Galang yang akhirnya pertama ka
Syuting kali ini tak memakan waktu terlalu lama. Hanya pengambilan video untuk iklan yang durasinya sebentar. Akan tetapi tugas Kinara belum selesai. Malam nanti, Galang mendapat undangan aqiqah dari rekan sesama artisnya, ia ingin Kinara ikut. "Kenapa aku harus ikut sih, Lang?" "Karena kamu asistenku." "Nggak sekalian aja aku ikutin kamu sampai ke toilet?" Kinara geram. "Menawarkan diri? Dengan senang hati kuterima." Galang terkekeh yang dibalas dengan pukulan bertubi-tubi oleh Kinara pada lengannya. "Oh, aku tahu, pasti kamu mau cerita pada temen-temanmu itu dengan jumawa 'ini, lho saingan gue waktu sekolah, akhirnya sekarang jadi jongos gue'. Iya kan, ngaku!" Kembali Kinara berprasangka. Galang tertawa. Ia selalu tertawa tiap kali Kinara mengungkit masa lalu mereka. "Aku nggak punya baju bagus Lang!" Kinara memelas, masih mencoba menghindar dari ajakan Galang."Kita ke butik dulu, beli pakaian bagus." Galang tetap tak mau dibantah. "Aku nggak mau jadi obat nyamuk, di
"Serius, Ra, kamu mau berhenti kuliah?" Mata Andini membulat. Apalagi setelah Kinara menjawabnya dengan sebuah anggukan. "Ra, kita baru beberapa bulan kuliah, sayang tauk uang masuknya. Galang yang suruh?" Kinara menggeleng. "Nggak, Ndin." Memang bukan karena permintaan Galang. Justru lelaki itu sama terkejutnya dengan Andini saat Kinara mengutarakan niatnya berhenti kuliah. "Kenapa, Flo?" Galang mengusap mulutnya dengan serbet, menjauhkan piring makan yang telah kosong di depannya. "Bukannya kuliah itu cita-cita kamu dari dulu?" "Hmm, bukannya kamu seneng kalau aku nggak kuliah, nggak ketemu Mas Jagad lagi di sana." "Iya, aku memang cemburu, tapi nggak usah sampai berhenti juga, Sayaang." Galang mencubit gemas pipi Kinara. Aww. "Setelah kupikir-pikir, Lang." Kinara mengusap-usap pipinya yang dicubit Galang tadi. "Aku hanya ingin fokus belajar fotografi, di kuliahan pelajarannya macam-macam." "Nah, kalau alasan ini masuk akal. Oke, aku akan carikan sekolah fotografi terbaik bua
Otak Kinara memerintahnya untuk berlari kencang namun otot kakinya menegang, sulit bergerak. Ia hanya mampu berjalan mundur, selangkah demi selangkah, lalu ... "Astaghfirullah." Tiba-tiba kakinya menginjak genangan air hingga ia jatuh terduduk. Kinara menoleh ke kanan dan ke kiri. Kenapa jalanan ini sepi sekali. Ditambah lagi hujan mulai turun rintik-rintik, membuat suasana semakin mencekam. "Oh, kamu rupanya. Sepertinya kita pernah berjumpa, ya." Hendri mengulurkan tangan, seolah mau membantu Kinara bangun dari jatuhnya. Namun Kinara menggeleng. Sedikit pun ia enggan menyentuh lelaki itu. "Mau terus-terusan di sini? Ayo ...." ujar lelaki itu, lembut tapi terdengar menyeramkan. "Kenapa, ha?" Ia mulai membentak, satu tangannya mencengkram kuat pipi Kinara. "Apa yang kau dengar?" Lagi-lagi Kinara hanya sanggup menggeleng tanpa suara. "Biarkan dia, kita bicara di tempat lain!" seru Malya yang nampak gusar. Ia tak mau berada di tempat ini berlama-lama namun merasa perlu menyelesaik
"Kamu tahu dia siapa?" bisik Arash ketika Hendri sudah jalan menjauh. "Hah, siapa, Kak?" Kinara sedikit mencondongkan badan mendekat pada Arash. "Dia produser yang disebut Marini." "Ma-maksudnya yang menghamili Marini?" Arash mengangguk. "Hem, begitu menurut pengakuannya." "Tuntutannya belum diajukan, Kak?" Kinara ingat beberapa waktu lalu saat ke rumah sakit tempat Marini dirawat, perempuan itu sempat menunjukkan surat tuntutan. "Para korban pelecehan menolak menandatangi surat tuntutan. Marini pun akhirnya berubah pikiran. Aku tidak bisa memaksa." Kinara menelan ludah. Tak semudah itu memang mengakui kasus pelecehan seksual meski kita sebagai korban. "Tapi aku masih tetap berusaha. Ada seorang korban lagi yang sedkit demi sedkit mulai menguak kebusukannya." "Siapa, Kak?" "Ada, seorang aktris pendatang baru. Maaf, aku tidak bisa sebut nama. Tapi kemungkinan kamu pun tidak tahu. Debutnya baru sebatas pemeran figuran. Ia ditawari casting untuk sebuah film dan dilecehkan ketika
Meski sudah kembali ke ibu kota, bukan berarti kesibukan Kinara berkurang. Jadwal syuting yang berbenturan dengan jam kuliah membuatnya terpaksa membolos lagi dan lagi. Saat hanya menjadi asisten, asalkan sudah mempersiapkan segala keperluan Galang, ia santai saja ijin barang beberapa jam untuk mengikuti perkuliahan, lalu setelahnya akan menyusul kembali ke lokasi syuting. Ah, ia jadi paham kenapa Galang sampai sekarang belum juga lulus kuliah. "Kinara, ntar sore jam empat, jangan lupa, lu dan Galang ada talkshow di podcast." Nah, belum lagi undangan wawancara sana-sini. Bagi Kinara sebagai artis pendatang baru, undangan wawancara terdengar mengerikan, bagaimana kalau dia sampai salah bicara. "Datang tepat waktu, promosikan sinetron kita, dan kalau ditanya soal Malya, jawab aja nggak tahu." "Oke, Bang, siap!" Karena Kinara diam saja, akhirnya Galang yang menjawab arahan Bang Sut. "Sayang, santai aja," bisik Galang begitu melihat wajah Kinara yang berubah tegang. "Hah, santai?" Ki
"Cut!" teriak Sutradara. Namun Galang bergeming. Bahkan ia memeluk Kinara erat dan semakin erat. "Woy, cut! Selesai! Udah! End!" Bang Sut mengulangi instruksinya hingga membuat Galang sadar dan melepaskan pelukan. "Eh, udah? Gini aja?" Galang menoleh. "Ya, emang udah, lo nggak baca naskahnya?" "Maksud gue, kaya ... nanggung gitu, Bang. Kan bisa diimprove, ditambah adegan kissing mungkin!" "Edan!" Bang Joel yang baru datang menoyor kepala Galang. "Mau merusak moral anak bangsa, lo?" "Jangan didengerin, Bang!" Bang Joel menoleh pada Sutradara. "Otaknya lagi rada-rada korslet!" Lelaki itu menempelkan telunjuk dengan posisi miring di dahinya. Bang Sut tertawa sembari geleng-geleng kepala. Setelahnya ia memberi instruksi untuk break syuting. "Jam setengah tujuh tet kita ganti lokasi, siap-siap, ya!" Mendengar perintah sang sutradara, para kru segera membereskan peralatan, sementara talent kembali ke kamar masing-masing. Ini hari ketiga mereka di Bandung. Revisi naskah membuat merek
"Dia, asisten lo kan, Lang? Kita pakai dia!" "Pakai? Saya?" Kinara menunjuk dirinya sendiri dengan raut wajah bertanya-tanya, menoleh pada Galang dan Bang Sut si sutradara secara bergantian. "Maksudnya, Bang?" "Elo jadi artis." Ucapan Bang Sut lebih seperti perintah yang harus disetujui daripada sebuah tawaran. "Cup! Urus dia!" katanya pada sang asisten. "Siap, grak!" "Eh, eh, kita mau kemanaa?" teriak Kinara ketika Ucup si asisten sutradara menarik tangannya. "Heh, Cup! Lu main tarik is-ehm asisten gue sembarangan aja!" Galang pasang badan menghadang langkah sang astrada. "Emangnya dia bersedia?" "Gini, ehm. Ki ... Kinara." Bang Sut maju menengahi. "Bener nama lo Kinara, kan?"Kinara mengangguk. "Karena Malya ngilang dan ntah kapan bisa syuting lagi, sementara sinetron kita kejar tayang, kita terpaksa mengubah jalan ceritanya. Jadi Malya bakal dibuat mendadak mati karena kecelakaan. Terus Galang yang ada di mobil yang sama dengan Malya saat kecelakaan diselamatkan orang. Nah,
"Ayok, Lang, kita main!" Kinara menarik tangan Galang usai mengunci pintu penghubung dengan kamar Bang Joel. "Main?" Galang takjub dengan ajakan Kinara, frontal juga dia, ya. "Sekarang? Langsungan, nih?" "Iya lah, keburu Bang Joel berubah pikiran ntar, kita harus manfaatkan waktu berdua." "Okee, siapa takut." Sebenarnya sempat terlintas ancaman Bang Joel tentang uang dua milyar, tapi ah, bodo amat. Ada kesempatan kenapa disia-siakan. Soal yang lain pikir belakangan. Tanpa menunggu lama, Galang membuka baju atasannya, tapi ... "Laaang, ngapain buka bajuuu?" "Lah kata kamu tadi ... main, kan?" Galang mulai ragu-ragu. "Main ini!" Kinara melemparkan papan catur ke atas tempat tidur. "Kamu tahu nggak, pas SD, semua teman udah pernah kutantangin main catur dan tidak ada yang bisa mengalahkanku. Bahkan pak guru olahraga aja kalah tanding catur denganku," ucapnya bangga. "Cuma sama kamu aja aku belum pernah main, karena terlalu gengsi mau ngajakin." Astagaaa .... Galang berdecak. "F
"Dua puluh satu ribu lima ratus, Kak," ucap seorang kasir setelah menghitung menu yang dibawa Kinara di hadapannya. "Oh, iya." Kinara tengah membuka dompetnya ketika suara seorang lelaki terdengar dari arah belakang seraya menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan. "Ini, Mbak. Sekalian punya saya." Tentu saja hal itu spontan membuat Kinara menoleh. Mas Jagad? Udah sengaja Kinara makan di kantin fakultas sebelah, eh, masih bertemu mantan juga. Heran. "Nggak-nggak, ini aja," tolak Kinara. Cepat-cepat ia mengambil uang dari dalam dompetnya. "Uang pas," ucapnya seraya tersenyum. "Sudah, Mbak, cepetan dihitung. Uangnya sudah ada di tangan Mbak, kan." Jagad tak mau kalah. Lelaki itu merasa menang langkah karena uang lima puluh ribunya sudah di tangan si embak kasir. "Pak!" Kinara melotot. Tapi demi tidak membuat keributan di depan umum, perempuan itu memilih untuk mengalah. Ia berjalan meninggalkan meja kasir dan duduk di salah satu bangku kosong. "Gimana Ibu, Ra?" tanya Jagad y
"Mbok, biar saya yang masak." Hari ini Kinara datang lebih pagi dan langsung menuju dapur rumah Galang. Mbok War yang sedang asik mengupas bawang putih menoleh heran."Kenapa, Mbak? Masakan Mbok selama ini nggak enak, ya?" "Enak, Mbok. Saya cuma, cuma ...." Kinara mencoba mengarang-ngarang alasan. Sebenarnya dia hanya ingin seperti suami istri pada umumnya saja. Pagi-pagi menyiapkan sarapan untuk suami sebelum berangkat kerja. So sweet sepertinya. Tapi, tak mungkin ia mengutarakan itu pada Mbok War, bukan? "Kangen masak sendiri ajah," ucapnya akhirnya. "Oh ... Mbak Kinar pengen masakkin yang spesial buat Mas Galang, ya?" goda Mbok War. Sudah sejak lama perempuan tua itu merasa ada sesuatu antara majikannya dengan sang asisten. Memang sih, yang terlihat di depannya, kedua muda-mudi itu lebih sering beradu argumen. Tapi seperti ada yang beda saja, setidaknya feeling seorang ibu mengatakan demikian. Apalagi ia membersamai Galang bukan baru setahun dua tahun, melainkan semenjak majikann