Haiii karena kemaren ada yg ngeluh koin tambah banyak jadi ku up ga terlalu banyak jumlah katanya yaa. Makasih udah nungguin cerita ini meski lama update wkwkwk. Menurut kalian, siapa sih honey-nya Arman. Yuuk jawab di kolom komen šš
"Mas ... Mas Arman, kok nggak ada suaranya sih. Halo, Mas!" Perempuan itu terus saja memanggil nama Mas Arman. Sementara lidahku terasa kelu sehingga tak sepatah katapun sanggup kuucapkan. Cepat-cepat kumatikan sambungan telepon dan meletakkan ponsel di tempat semula ketika kudengar suara flush, lalu tak lama Arman keluar dari kamar mandi. "Sudah siap, Sayang?" tanyanya sembari tersenyum. Cukup lama aku terpaku mencoba menemukan apakah ada yang ia sembunyikan di balik senyumnya? "Honey-mu sudah menunggu di rumah." Tiba-tiba terngiang lagi suara perempuan dari ujung telepon tadi. Rumah? Rumah siapa? Aku bertanya-tanya dalam hati. "Hmm, sayang, nanti aja deh kita check outnya, aku masih ingin di sini dulu sama kamu." Kucoba mengulur waktu, ingin tahu bagaimana responnya. "Kenapa, Sayang?" Arman berjalan mendekatiku. "Masih ingin berdua-duaan sama aku, ya?" Tangan kanannya mencubit pelan daguku. Sejenak ia melihat jam tangannya. "Sampai jam sebelas, ya. Habis Zuhur aku ada janji sam
"Ommu beberapa bulan lagi akan pindah ke Jakarta, Man, jadi dia ingin Hani cari kerja di Indonesia saja." Arman manggut-manggut mendengar penjelasan tantenya. "Adikmu kan kuliah desain interior, Tante rasa cocok bekerja di kantormu," ujar Tante Sovia lagi. "Iya, Tante, tapi ..." "Kalau misal nggak ada lowongan, magang juga nggak apa-apa," sambar Tante Sovia. "Biar Hani latihan dulu sebelum memasuki dunia kerja yang sesungguhnya. Iya kan, Sayang?" "Iya, Ma. Dari dulu kan Hani paling cepet paham kalau diajarin sama Mas Arman. Apalagi Mas Arman orangnya sabaaar banget." Hani memeluk lengan Arman dan tanpa canggung menyandarkan kepalanya. Tante Sovia tertawa. "Hani sama Arman itu udah seperti saudara kandung saja." Ia menepuk pelan pahaku. "Mereka memang akrab sejak kecil." Aku tersenyum miris seraya menganggukkan kepala. "Mamaaa." Aku menoleh ketika mendengar suara gadis kecilku dari ujung pintu. "Dari mana, Sayang?" Kurentangkan tangan menyambut Rania yang berlari kecil ke arahk
"Han, pakai ini!" Arman mengangsurkan jaketnya pada Hani, sesampainya kami di parkiran departement store. Kami memilih datang ke sini karena pilihan pakaiannya cukup banyak, namun bangunannya tidak seluas mall dan parkirnya juga dekat, sehingga bisa lebih mempercepat waktu belanja. "Di luar gerimis, payungnya ketinggalan di rumah," terang Arman. "Oh, makasih Mas Arman." Hani mengenakan jaket itu lalu turun dari mobil. Kulihat ia cepat-cepat berlari ke tepi bangunan departement store agar tak kehujanan. "Mas, kok jaketnya kamu kasih dia, sih!" protesku yang masih duduk berdua bersama Arman di dalam mobil. "Sayang, kamu lihat, kan pakaiannya Hani. Kasihan kalau sampai kehujanan." "Jadi, kalau aku yang kehujanan, kamu nggak kasihan?" "Bukan gitu, Sayang. Bajunya itu warnanya putih, ketat lagi, kalau basah karena air hujan nanti kan ...." Arman terdiam melirikku, tak melanjutkan kalimatnya. "Kamu mau aku melihatnya?" tanyanya lagi. "Iiih." Aku mencubit pinggang Arman kesal, sampai
Aku mengernyit risih ketika melihat status WA Hani. Ia wefie dengan gayanya yang centil dan ada suamiku duduk di sebelahnya. Arman memang tidak menghadap ke kamera. Dari gesture-nya ia nampak sedang bicara dengan seseorang di hadapannya. Mencoba mengabaikan status itu, aku kembali fokus pada pekerjaanku. Mengupdate sosmed kafe juga membalas beberapa komentar yang masuk. Namun tak bisa lama. Sepuluh menit kemudian kembali aku membuka WA dan sengaja mencari status milik Hani. Kini perempuan muda itu mengunggah status yang hanya berupa tulisan. "Katanya segala sesuatu itu titipan. Mungkin saat ini Tuhan sedang ingin menitipkannya padamu, suatu hari bisa saja Tuhan mengambilnya darimu lalu menitipkannya padaku." Lalu status setelahnya kembali nampak foto suamiku yang kupikir ia ambil secara diam-diam. Tentu saja pikiranku lantas mengaitkan dengan status yang sebelumnya ia tulis. Apakah itu ditujukan untuk Arman? Argh. Aku meletakkan ponsel dengan kasar di atas meja, sehingga membuat Fa
"Mas Arman, kalau sepupuan itu boleh menikah nggak, sih?" Aku yang tengah berkutat di dapur terkejut mendengar pertanyaan Hani. Gadis itu duduk di samping Arman yang sedang membuka laptop mengecek file presentasi di meja makan. Setelah diskusi yang cukup panjang dan alot akhirnya aku mengijinkan Hani ikut kami ke rumah. Nanti kalau Mama sudah pulang, Hani akan diantarkan oleh ojek ke rumah Mama. "Aku tuh, habis baca novel gitu, Mas. Ceritanya si cewek jatuh cinta sama sepupunya sendiri. Makanya aku tanya," terang Hani yang sama sekali tak mengurangi kecurigaanku kenapa dia sampai terpikir bertanya seperti itu. "Boleh. Sepupu itu bukan mahram." Arman menjawab dengan tenang. Saat aku menoleh, kulihat suamiku itu sama sekali tak mengalihkan pandangan dari laptop di hadapannya. "Makanya, meskipun di depan sepupu sendiri tetap harus menutup aurat." "Juga tidak boleh menyentuh, tidak boleh berkhalwat. Hukumnya sama dengan antar perempuan dan laki-laki tanpa hubungan kekeluargaan." Aku t
"Sayang, siap-siap ya, sebentar lagi aku jemput," ucap suamiku dari sambungan telepon. "Mau ke mana, Mas?" Aku menengok jam di dinding. Baru pukul sembilan, kami juga tidak ada rencana mau ke mana-mana sebelumnya. "Antar Hani." Hani lagi! Geram rasanya. Hampir satu bulan dia di rumah Mama, selalu saja ada alasannya untuk merepotkan Arman. Seperti kemarin, baru saja ia merengek minta diajak ke Kota Tua yang sedang hits. Aku yang sebenarnya sedang lelah, malas ke mana-mana terpaksa ikut, daripada dia hanya pergi berdua dengan suamiku, tentu aku lebih tak rela lagi. "Tante Sovia baru saja menghubungi, papanya Hani tiba-tiba kena serangan jantung," terang Arman, tepat saat baru saja aku hendak meluapkan kekesalanku. "Aku sudah cari tiket pesawat ke Singapura, sayangnya tinggal tersedia satu, jadi aku tidak bisa ikut mengantarnya." Aku bernapas lega. Untunglah. Ops bukan untung papanya sakit, tapi aku tak mau kalau Arman sampai harus mengantar Hani pulang, apalagi hanya berdua saja.
"Sayang, kamu siap-siap ya, nanti habis Magrib, Mama mau ngajak kita pergi," ujar Arman setelah meneguk teh hangatnya. Ia baru saja pulang dari kantor lima menit yang lalu. "Mau ke mana memang, Mas?" "Mau ke dokter kata Mama." "Lho, kenapa? Mama sakit?" Aku mulai khawatir asma Mama kambuh lagi. "Bukan Mama yang mau bertemu dokter, tapi kita." "Hah, kita Mas?" "Iya, Mama suruh kita ke dokter kandungan untuk program kehamilan." Dengan setengah terpaksa aku mengikuti permintaan Mama pergi ke dokter kandungan. Sebenarnya aku enggan. Toh aku dan Arman baru jelang empat bulan menikah, bisa dibilang masih pengantin baru. "Dulu aja, sebulan setelah kamu nikah langsung hamil Rania, masa yang sekarang udah empat bulan belum hamil juga," ujar Mama ketika aku menyatakan alasanku tak mau ke dokter kandungan. Masa sih aku harus ngaku ke Mama kalau malam pertama kami tertunda tiga bulan lamanya. Arman membujukku untuk menuruti saja keinginan Mama. "Selagi tak ada mudharatnya, tak ada salahny
Setelah dari dokter kandungan tempo hari, Mama jadi ekstra perhatian padaku dan Arman. Hampir tiap pagi, Mama mengirimi kami makanan lewat ojek. "Mama kirimin sarapan buat kalian. Tumis taoge. Itu bisa tahan sampai siang kok, dihabisin ya." Awalnya aku merasa tak ada yang aneh. Masakan Mama enak. Tapi lama-kelamaan ... "Nad, Mama kirimin kamu makanan ya, oseng tauge kucai." "Toge lagi Ma, kayak kemarin?" "Beda dong, kemarin kan nggak ada kucainya." Besoknya ... "Mama kirimin makanan ke rumah kalian." "Nggak sama kaya kemarin, kan Ma?" "Beda lah, kemaren kan oseng tauge kucai, sekarang sup tauge." "Ma, bisa nggak kalau nggak usah pakai tauge?" "Eh, tauge itu bagus buat kesuburan, biar kamu cepat hamil. Besok mau menu apa? Cah tauge udang rebon, sayur tauge tahu santan, sup daging tauge, atau ...." Aaargh aku sampai trauma mendengar kata "tauge". Bukan hanya itu, Mama juga sering mengajak Rania nginap di rumahnya. "Mama kesepian di rumah, biar Rania tidur di rumah Mama, ya
"Serius, Ra, kamu mau berhenti kuliah?" Mata Andini membulat. Apalagi setelah Kinara menjawabnya dengan sebuah anggukan. "Ra, kita baru beberapa bulan kuliah, sayang tauk uang masuknya. Galang yang suruh?" Kinara menggeleng. "Nggak, Ndin." Memang bukan karena permintaan Galang. Justru lelaki itu sama terkejutnya dengan Andini saat Kinara mengutarakan niatnya berhenti kuliah. "Kenapa, Flo?" Galang mengusap mulutnya dengan serbet, menjauhkan piring makan yang telah kosong di depannya. "Bukannya kuliah itu cita-cita kamu dari dulu?" "Hmm, bukannya kamu seneng kalau aku nggak kuliah, nggak ketemu Mas Jagad lagi di sana." "Iya, aku memang cemburu, tapi nggak usah sampai berhenti juga, Sayaang." Galang mencubit gemas pipi Kinara. Aww. "Setelah kupikir-pikir, Lang." Kinara mengusap-usap pipinya yang dicubit Galang tadi. "Aku hanya ingin fokus belajar fotografi, di kuliahan pelajarannya macam-macam." "Nah, kalau alasan ini masuk akal. Oke, aku akan carikan sekolah fotografi terbaik bua
Otak Kinara memerintahnya untuk berlari kencang namun otot kakinya menegang, sulit bergerak. Ia hanya mampu berjalan mundur, selangkah demi selangkah, lalu ... "Astaghfirullah." Tiba-tiba kakinya menginjak genangan air hingga ia jatuh terduduk. Kinara menoleh ke kanan dan ke kiri. Kenapa jalanan ini sepi sekali. Ditambah lagi hujan mulai turun rintik-rintik, membuat suasana semakin mencekam. "Oh, kamu rupanya. Sepertinya kita pernah berjumpa, ya." Hendri mengulurkan tangan, seolah mau membantu Kinara bangun dari jatuhnya. Namun Kinara menggeleng. Sedikit pun ia enggan menyentuh lelaki itu. "Mau terus-terusan di sini? Ayo ...." ujar lelaki itu, lembut tapi terdengar menyeramkan. "Kenapa, ha?" Ia mulai membentak, satu tangannya mencengkram kuat pipi Kinara. "Apa yang kau dengar?" Lagi-lagi Kinara hanya sanggup menggeleng tanpa suara. "Biarkan dia, kita bicara di tempat lain!" seru Malya yang nampak gusar. Ia tak mau berada di tempat ini berlama-lama namun merasa perlu menyelesaik
"Kamu tahu dia siapa?" bisik Arash ketika Hendri sudah jalan menjauh. "Hah, siapa, Kak?" Kinara sedikit mencondongkan badan mendekat pada Arash. "Dia produser yang disebut Marini." "Ma-maksudnya yang menghamili Marini?" Arash mengangguk. "Hem, begitu menurut pengakuannya." "Tuntutannya belum diajukan, Kak?" Kinara ingat beberapa waktu lalu saat ke rumah sakit tempat Marini dirawat, perempuan itu sempat menunjukkan surat tuntutan. "Para korban pelecehan menolak menandatangi surat tuntutan. Marini pun akhirnya berubah pikiran. Aku tidak bisa memaksa." Kinara menelan ludah. Tak semudah itu memang mengakui kasus pelecehan seksual meski kita sebagai korban. "Tapi aku masih tetap berusaha. Ada seorang korban lagi yang sedkit demi sedkit mulai menguak kebusukannya." "Siapa, Kak?" "Ada, seorang aktris pendatang baru. Maaf, aku tidak bisa sebut nama. Tapi kemungkinan kamu pun tidak tahu. Debutnya baru sebatas pemeran figuran. Ia ditawari casting untuk sebuah film dan dilecehkan ketika
Meski sudah kembali ke ibu kota, bukan berarti kesibukan Kinara berkurang. Jadwal syuting yang berbenturan dengan jam kuliah membuatnya terpaksa membolos lagi dan lagi. Saat hanya menjadi asisten, asalkan sudah mempersiapkan segala keperluan Galang, ia santai saja ijin barang beberapa jam untuk mengikuti perkuliahan, lalu setelahnya akan menyusul kembali ke lokasi syuting. Ah, ia jadi paham kenapa Galang sampai sekarang belum juga lulus kuliah. "Kinara, ntar sore jam empat, jangan lupa, lu dan Galang ada talkshow di podcast." Nah, belum lagi undangan wawancara sana-sini. Bagi Kinara sebagai artis pendatang baru, undangan wawancara terdengar mengerikan, bagaimana kalau dia sampai salah bicara. "Datang tepat waktu, promosikan sinetron kita, dan kalau ditanya soal Malya, jawab aja nggak tahu." "Oke, Bang, siap!" Karena Kinara diam saja, akhirnya Galang yang menjawab arahan Bang Sut. "Sayang, santai aja," bisik Galang begitu melihat wajah Kinara yang berubah tegang. "Hah, santai?" Ki
"Cut!" teriak Sutradara. Namun Galang bergeming. Bahkan ia memeluk Kinara erat dan semakin erat. "Woy, cut! Selesai! Udah! End!" Bang Sut mengulangi instruksinya hingga membuat Galang sadar dan melepaskan pelukan. "Eh, udah? Gini aja?" Galang menoleh. "Ya, emang udah, lo nggak baca naskahnya?" "Maksud gue, kaya ... nanggung gitu, Bang. Kan bisa diimprove, ditambah adegan kissing mungkin!" "Edan!" Bang Joel yang baru datang menoyor kepala Galang. "Mau merusak moral anak bangsa, lo?" "Jangan didengerin, Bang!" Bang Joel menoleh pada Sutradara. "Otaknya lagi rada-rada korslet!" Lelaki itu menempelkan telunjuk dengan posisi miring di dahinya. Bang Sut tertawa sembari geleng-geleng kepala. Setelahnya ia memberi instruksi untuk break syuting. "Jam setengah tujuh tet kita ganti lokasi, siap-siap, ya!" Mendengar perintah sang sutradara, para kru segera membereskan peralatan, sementara talent kembali ke kamar masing-masing. Ini hari ketiga mereka di Bandung. Revisi naskah membuat merek
"Dia, asisten lo kan, Lang? Kita pakai dia!" "Pakai? Saya?" Kinara menunjuk dirinya sendiri dengan raut wajah bertanya-tanya, menoleh pada Galang dan Bang Sut si sutradara secara bergantian. "Maksudnya, Bang?" "Elo jadi artis." Ucapan Bang Sut lebih seperti perintah yang harus disetujui daripada sebuah tawaran. "Cup! Urus dia!" katanya pada sang asisten. "Siap, grak!" "Eh, eh, kita mau kemanaa?" teriak Kinara ketika Ucup si asisten sutradara menarik tangannya. "Heh, Cup! Lu main tarik is-ehm asisten gue sembarangan aja!" Galang pasang badan menghadang langkah sang astrada. "Emangnya dia bersedia?" "Gini, ehm. Ki ... Kinara." Bang Sut maju menengahi. "Bener nama lo Kinara, kan?"Kinara mengangguk. "Karena Malya ngilang dan ntah kapan bisa syuting lagi, sementara sinetron kita kejar tayang, kita terpaksa mengubah jalan ceritanya. Jadi Malya bakal dibuat mendadak mati karena kecelakaan. Terus Galang yang ada di mobil yang sama dengan Malya saat kecelakaan diselamatkan orang. Nah,
"Ayok, Lang, kita main!" Kinara menarik tangan Galang usai mengunci pintu penghubung dengan kamar Bang Joel. "Main?" Galang takjub dengan ajakan Kinara, frontal juga dia, ya. "Sekarang? Langsungan, nih?" "Iya lah, keburu Bang Joel berubah pikiran ntar, kita harus manfaatkan waktu berdua." "Okee, siapa takut." Sebenarnya sempat terlintas ancaman Bang Joel tentang uang dua milyar, tapi ah, bodo amat. Ada kesempatan kenapa disia-siakan. Soal yang lain pikir belakangan. Tanpa menunggu lama, Galang membuka baju atasannya, tapi ... "Laaang, ngapain buka bajuuu?" "Lah kata kamu tadi ... main, kan?" Galang mulai ragu-ragu. "Main ini!" Kinara melemparkan papan catur ke atas tempat tidur. "Kamu tahu nggak, pas SD, semua teman udah pernah kutantangin main catur dan tidak ada yang bisa mengalahkanku. Bahkan pak guru olahraga aja kalah tanding catur denganku," ucapnya bangga. "Cuma sama kamu aja aku belum pernah main, karena terlalu gengsi mau ngajakin." Astagaaa .... Galang berdecak. "F
"Dua puluh satu ribu lima ratus, Kak," ucap seorang kasir setelah menghitung menu yang dibawa Kinara di hadapannya. "Oh, iya." Kinara tengah membuka dompetnya ketika suara seorang lelaki terdengar dari arah belakang seraya menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan. "Ini, Mbak. Sekalian punya saya." Tentu saja hal itu spontan membuat Kinara menoleh. Mas Jagad? Udah sengaja Kinara makan di kantin fakultas sebelah, eh, masih bertemu mantan juga. Heran. "Nggak-nggak, ini aja," tolak Kinara. Cepat-cepat ia mengambil uang dari dalam dompetnya. "Uang pas," ucapnya seraya tersenyum. "Sudah, Mbak, cepetan dihitung. Uangnya sudah ada di tangan Mbak, kan." Jagad tak mau kalah. Lelaki itu merasa menang langkah karena uang lima puluh ribunya sudah di tangan si embak kasir. "Pak!" Kinara melotot. Tapi demi tidak membuat keributan di depan umum, perempuan itu memilih untuk mengalah. Ia berjalan meninggalkan meja kasir dan duduk di salah satu bangku kosong. "Gimana Ibu, Ra?" tanya Jagad y
"Mbok, biar saya yang masak." Hari ini Kinara datang lebih pagi dan langsung menuju dapur rumah Galang. Mbok War yang sedang asik mengupas bawang putih menoleh heran."Kenapa, Mbak? Masakan Mbok selama ini nggak enak, ya?" "Enak, Mbok. Saya cuma, cuma ...." Kinara mencoba mengarang-ngarang alasan. Sebenarnya dia hanya ingin seperti suami istri pada umumnya saja. Pagi-pagi menyiapkan sarapan untuk suami sebelum berangkat kerja. So sweet sepertinya. Tapi, tak mungkin ia mengutarakan itu pada Mbok War, bukan? "Kangen masak sendiri ajah," ucapnya akhirnya. "Oh ... Mbak Kinar pengen masakkin yang spesial buat Mas Galang, ya?" goda Mbok War. Sudah sejak lama perempuan tua itu merasa ada sesuatu antara majikannya dengan sang asisten. Memang sih, yang terlihat di depannya, kedua muda-mudi itu lebih sering beradu argumen. Tapi seperti ada yang beda saja, setidaknya feeling seorang ibu mengatakan demikian. Apalagi ia membersamai Galang bukan baru setahun dua tahun, melainkan semenjak majikann