“Ma--maaf, aku tidak sengaja,” ucapku tergagap bercampur panik.
“Aku akan ganti rugi. Kau tidak perlu khawatir, aku akan mengganti kerusakannya,” tawarku masih dalam keadaan panik.
Sorot mata pria itu begitu dingin menusuk, hingga aku kembali meneguk salivaku karena merasa takut ke padanya. karena memang kali ini, akulah yang bersalah. Garis wajahnya begitu tegas, tetapi dia terlihat tampan. Akan tetapi, ketampanannya itu sama sekali tidak menyingkirkan rasa takut sekaligus panik yang aku rasakan.
Aku yang masih merasa panik bercampur dengan perasaan takut, takut pada pria pemilik dari mobil jenis SUV berwarna hitam yang aku tabrak itu. Dan aku perhatikan, mobil miliknya bukanlah jenis mobil murah biasa.
“Tidak semua masalah bisa kau selesaikan dengan uang!” bantahnya masih dengan tatapan dingin menusuk di arahkannya kepadaku.
Terlihat jelas dari raut wajahnya, kalau dia merasa tidak suka dengan solusi yang aku tawarkan kepadanya.
“Lalu, apa yang harus aku lakukan, hah?!” tanyaku membentak.
Kesabaranku mulai menipis, karena dia terlihat meremehkan solusi yang aku tawarkan untuknya.
“Lain kali, berhati-hatilah saat mengendarai mobil! Jika hal ini terulang kembali, kau akan dapat balasan yang setimpal!” serunya penuh penekanan terhadapku.
Mendengar itu aku langsung terhenyak membeku. Pria itu benar-benar membuatku sesaat tidak bisa berkutik. Aku di buatnya terkesima, hingga aku beberapa kali di buat tidak bisa berkata-kata lagi.
Lalu dia berlalu pergi begitu saja tanpa sempat aku menimpalinya kembali. Dia memasuki mobilnya, dan kembali masuk ke dalam antrean pengisian bahan bakar.
Aku bergumul kesal, karena merasa di abaikan oleh pria itu. Lalu aku masuk ke dalam mobilku, dan kembali memasuki antrean untuk mengisi bahan bakar mobilku yang sudah menipis.
“Dia benar-benar menyebalkan!” decakku kesal saat aku sudah duduk di dalam mobilku.
Setelah selesai mengisi bahan bakar, aku tidak lagi melihat mobil yang aku tabrak tadi. Dan aku tidak tahu ke mana perginya. Lagi pula, aku tidak peduli ke mana perginya dia. Aku terlalu kesal, karena dia bahkan mengabaikan itikad baikku begitu saja, dengan raut wajah datar sekaligus dingin.
Aku akhirnya sampai di sebuah cafe, tempat di mana aku dan teman-temanku mengadakan temu janji di tempat.
“Viaa!” teriak salah satu temanku Aretha.
Aku mengangkat tanganku melambai untuk menyapa mereka dari jauh.
Terdapat tiga temanku yang sudah menungguku di tempat duduk mereka masing-masing. Ada Aretha, Gita, serta Rania. Mereka bertiga adalah teman yang paling dekat denganku.
“Katakan padaku, apa yang kau maksudkan di telepon semalam?” Aretha langsung menodongku dengan pertanyaan.
Aku menghela napasku dengan kasar, dan kembali teringat akan perdebatanku dengan ayahku semalam. Jelas itu membuatku kembali merasakan kesal.
Aku menekuk wajahku setelah duduk di atas barstool, dan bersiap untuk memulai keluh-kesahku kepada tiga temanku itu.
“Ya ... ayahku memaksaku untuk menikah dengan pria pilihannya. Aku tidak mau. Bagaimana bisa, dia memaksaku seperti itu,” ketusku mulai berkeluh sambil meremas tanganku sendiri dengan kesal.
“Aku bahkan berniat tidak akan pulang hari ini. Karena aku tidak mau menemui pria itu. Biarkan saja ayahku marah, karena sudah jelas dari semalam, kalau aku menolak pernikahan itu,” sambungku dengan perasaan kesal yang kian bergejolak.
Kami menghabiskan waktu bersama-sama dengan mengobrol di cafe, di lanjutkan dengan berbelanja dan ke salon. Aku lebih suka dengan hidupku yang seperti ini, menikmati masa mudaku dengan bersenang-senang.
Hingga akhirnya aku pulang, meskipun sudah larut malam dan dalam keadaan setengah mabuk. Ayah dengan Ibuku sudah berdiri di ruang keluarga kami, ruangan di mana yang harusnya aku lewati di setiap kali aku mau pergi ke kamarku di lantai atas.
Tergambar raut kemarahan di wajah Ayahku, meskipun pandanganku sedikit samar dan berputar-putar. Namun aku masih bisa melihat wajahnya merah padam, dengan tatapan tajam sempurna, seakan dia siap membunuhku detik itu juga.
“Kau dari mana Silvia? Bukannya Ayah sudah bilang, kalau hari ini kau harus menemui calon suami dan mertuamu!” pekik ayahku yang langsung memarahiku begitu aku pulang.
Aku yang memang dalam keadaan setengah mabuk, karena sebelumnya aku habis minum-minum bersama teman-temanku. Jelas aku merasakan pusing, dan pandanganku juga sedikit berputar-putar tidak jelas. Aku tidak memedulikan perkataan Ayahku yang memarahiku. Aku langsung saja melewatinya, dengan melangkah maju ke menuju arah tangga untuk pergi ke kamarku tanpa mengatakan apa pun.
“Silvia, apa kau mabuk?!” tanya ayahku berteriak, tetapi masih tidak aku pedulikan.
Ayahku semakin emosi, amarahnya meluap-luap karena sikapku yang mengabaikannya. Dia menarik lenganku dengan kasar, dan hendak menamparku. Namun dengan cepat, Ibuku mencegahnya.
“Tolong hentikan suamiku. Biarkan Silvia istirahat dulu, dia baru saja pulang,” ucap Ibuku sambil menahan lengan ayah untuk melepaskan cengkeraman tangannya di lenganku.
“Ayah ... aku sudah bilang, aku tidak mau menikah dengan pria itu. Kenapa kau terus memaksaku?” ucapku samar, karena kondisiku yang setengah mabuk.
Aku langsung menghempaskan cengkeraman tangannya di lenganku dengan begitu kasar. Lalu aku berlalu pergi menaiki tangga menuju ke kamar, tanpa memedulikan sama sekali kemarahan ayahku.
Aku masuk ke kamarku, dan langsung membanting tubuhku ke atas kasur dengan telentang. Lalu hanyut dalam pikiranku sendiri sambil menatap langit-langit kamarku yang semakin terlihat samar.
“Anak itu sudah keterlaluan. Dia harus di beri pelajaran!”
Aditama semakin habis kesabarannya untuk menghadapi putrinya Silvia. Gadis itu semakin sulit di atur, dan selalu berbuat sesuka hatinya sendiri. Pak Adi kembali berpikir, berusaha untuk tetap bisa menikahkan Silvia dengan pemuda pilihannya.
Hingga Aditama memiliki rencana lain, untuk membuat pernikahan putrinya dengan pemuda yang bernama Azka itu tetap terjadi. Dan Silvia tidak bisa lagi untuk menolak keputusannya.
“Apa Azka saat ini masih berada di Jakarta?” tanya Aditama pada Istrinya Shella.
“Hmm ... mereka mengatakan akan kembali besok. Dan malam ini, mereka akan menginap di rumah saudara mereka di daerah Kebayoran,” jawab Shella.
“Segera hubungi Azka. Aku ingin berbicara dengannya,” titah Aditama pada Istrinya.
“Tapi, ini sudah larut malam. Bukankah itu akan mengganggu Azka?” komentar Shella.
“Aku tidak bisa sabar lagi menghadapi Silvia. Pernikahan mereka harus di lakukan secepatnya, sebelum Silvia melakukan hal yang tidak-tidak,” tandas Aditama.
Shella terdiam, dia tidak bisa berkomentar banyak atak keputusan suaminya. Karena dia sendiri mendukung penuh rencana suaminya untuk menjodohkan Silvia dengan Azka.
Aditama memutuskan untuk menghubungi Azka, di lanjutkan dengan bertemu secara langsung dengan pemuda itu. Dia memiliki niatan untuk melakukan pernikahan secepatnya, tanpa harus melibatkan Silvia. Karena itu tetap bisa sah di dalam agama. Untuk surat-surat pernikahan akan menyusul.
“Apakah ini tidak terlalu terburu-buru Pak?” tanya Azka memastikan.
Aditama tiba-tiba saja meminta Azka untuk menikahi putrinya besok pagi.
“Supaya aku bisa lebih tenang jika kalian sudah menikah. Amanah mendiang ayahmu terus saja membuatku tidak tenang, dan aku ingin segera melangsungkan pernikahan kalian secepatnya. Apa kau keberatan dengan pernikahan ini?” Aditama balik bertanya pada Azka.
“Aku sama sekali tidak keberatan. Tapi, bagaimana dengan putrimu sendiri?”
Masih ada sedikit keraguan pada Azka untuk melangsungkan pernikahan dengan terburu-buru sesuai keinginan Aditama, sahabat mendiang ayahnya.
“Untuk masalah Silvia, kau tidak perlu ambil pusing. Mau dia setuju atau tidak, dia tetap harus menikah denganmu,” pungkas Aditama menegaskan.
“Baiklah, semua terserah kau saja Pak,” balas Azka datar.
Bagi Azka, menikahi Silvia tidak masalah baginya. Karena amanah mendiang ayahnya memang sudah menjadi prioritas untuknya. Terlepas dari wanita yang akan di nikahinya itu keberatan ataupun tidak, itu tidak ada masalah untuknya. Selama dia bisa menikahi Silvia. Meskipun hanya sebatas pernikahan formalitas, itu tidak masalah untuknya.
* * * * *
“Saya nikahkan, dan saya kawinkan engkau, saudara Azka Dharma Ardiansyah, bin Almarhum Dharma Ardiansyah, dengan, Anak saya yang bernama Silvia Kirana Prayoga dengan emas kawinnya berupa, emas seberat 50 gram dan seperangkat alat salat, tunai.”
“Saya terima nikahnya, dan kawinnya, Silvia Kirana Prayoga, binti Aditama Prayoga dengan emas kawinnya yang tersebut, tunai.”
"bagaimana para saksi?"
"SAH...."
"SAH...."
“Bismillahirrahmanirrahim.. Baarakallahu likulii wahidimmingkumaa fii shaahibihi wa jama'a bainakumma fii khayrin" Pak Penghulu menutup ijab kobul, dengan memimpin doa yang di amin kan seluruh tamu yang menyaksikan prosesi ahad nikah itu.
“mengapa rumah begitu sepi? Ke mana ayah dan ibu pergi?” batinku bertanya-tanya.karena pada saat aku keluar dari kamarku, mendapati keadaan rumah yang begitu sepi tidak seperti biasanya. lalu pandanganku mulai menelusur ke sekeliling untuk mencari keberadaan ayah dan ibuku. Aku hanya melihat pelayan di rumah kami sedang mengerjakan tugasnya. Lalu aku menghampirinya untuk bertanya. “Ayah dan ibu ke mana?” tanyaku pada pelayan itu. “Ah, Nona ... Nona ternyata sudah bangun. Mari Nona, Anda harus segera bersiap,” ajak pelayan itu kepadaku. Dia bukannya menjawab pertanyaanku, justru malah mengajakku untuk bersiap. Aku mengernyitkan dahiku, tak mengerti mengapa pelayan ini justru mengajakku untuk bersiap. Untuk apa? “Apa yang kau maksudmu? Untuk apa aku bersiap?” tanyaku bingung. “Iya Nona, Nona harus segera bersiap. Karena sebentar lagi Tuan dan Nyonya akan pulang bersama dengan suami Nona,” jawabnya sambil tersenyum simpul, disertai anggukan kepala perlahan penuh dengan rasa hormat
"Ah, bukankah dia pria yang kemarin?" batinku saat aku kembali teringat kejadian kemarin Aku langsung teringat kejadian yang kemari, di mana aku secara tidak sengaja menabarak mobilnya. Ayah dan ibuku mata mereka mengikuti ke mana arahu melihat. Baik ayah maupun ibu, mereka berdua langsung mengulas senyuman lebar saat pelihan pria yang berdiri di depan pintu kamar itu. “Kemari, masuklah Azka. Ini dia istrimu, Silvia,” ujar Ayahku kepada pria yang dia panggil Azka. Aku tersentak kaget mendengarnya. Mataku terbelalak, menatap dengan rasa tidak percaya atas apa yang baru saja di katakan oleh ayahku. “Di--dia ... su--suamiku?” tanyaku terbata-bata. “Ya Tuhan ... bagaimana ini bisa pria itu adalah suamiku? Bukankah dia anak dari teman ayahku yang seorang petani? Seingatku ayahnya saja sangat dekil dan kampungan, tapi ini?” batinku seketika berisik dengan berbagai pertanyaan yang bercamuk. Aku masih tidak menyangka, kalau ternyata pria yang di nikahkan ayah denganku itu adalah pria y
“Ayah, jelaskan kepadaku tentang pria itu, pria yang kau nikahkan denganku,” pintaku pada ayah. Aku yang langsung menemui ayah dan ibuku untuk bertanya mengenai suamiku. Karena tidak ada salahnya juga, kalau aku harus mengetahui tentangnya. "Kenapa? Apa kau mulai penasaran kepada suamimu sendiri?" tanya Ayahku balik menyindir, disertai lirikan tipis dari sudut matanya kepadaku. "Apa aku punya pilihan lain Ayah? Selain dari menerimanya?" tanyaku balik dengan sinis. Ayahku langsung terkekeh mendengarku, dia berbalik menatapku dalam-dalam. "Silvia, dia Azka Dharma Ardiasyah. Anak dari sahabat ayah yang sebulan lalu meninggal, kau ingat?" Ayahku memulai penjelasannya, "Sama seperti ayah, dia juga memegang kuat amanah mendiang ayahnya. Itu sebabnya dia mau menikahimu, tanpa berkomentar apa pun. Dia pria yang sangat baik seperti Dharma ayahnya. Ya ... memang, dia sama sekali tidak mirip Dharma. Dia lebih mirip dengan Nissa ibunya. Dan Ayah tahu, kenapa kamu menolak keras untuk menikah
Suasana hangat di ruang keluarga yang begitu megah, di sertai dengan alunan musik klasik menambahkan hangatnya keluargaku yang sedang bersantai di sore itu. Aku Silvia Kirana Prayoga, biasa dipanggil dengan sebutan Via. Aku putri satu-satunya dari Aditama Prayoga. Ayahku merupakan pengusaha sukses di bidang property dan konstruksi di Ibu Kota Jakarta. Cabang perusahaannya pun tersebar di beberapa kota besar di Indonesia. Aku terpaksa menikah dengan pria pilihan ayahku. Dia Azka Dharma Ardiansyah, anak mendiang sahabat ayahku yang merupakan seorang petani di desanya. * * * “Ayah mau kamu menikah dengan Azka. Anak sahabat ayah, yaitu pak Dharma,” ucap Ayahku, dan seketika membuatku terkejut. Dengan mataku terbelalak sempurna menatapnya. Ada rasa tidak percaya dengan apa yang aku dengar darinya. Karena tidak ada hujan ataupun petir, tiba-tiba saja ayahku menjodohkan aku dengan anak dari sahabatnya. Yang seingatku teman ayah yang bernama pak Dharma itu adalah orang kampung, petani.
“Ayah, jelaskan kepadaku tentang pria itu, pria yang kau nikahkan denganku,” pintaku pada ayah. Aku yang langsung menemui ayah dan ibuku untuk bertanya mengenai suamiku. Karena tidak ada salahnya juga, kalau aku harus mengetahui tentangnya. "Kenapa? Apa kau mulai penasaran kepada suamimu sendiri?" tanya Ayahku balik menyindir, disertai lirikan tipis dari sudut matanya kepadaku. "Apa aku punya pilihan lain Ayah? Selain dari menerimanya?" tanyaku balik dengan sinis. Ayahku langsung terkekeh mendengarku, dia berbalik menatapku dalam-dalam. "Silvia, dia Azka Dharma Ardiasyah. Anak dari sahabat ayah yang sebulan lalu meninggal, kau ingat?" Ayahku memulai penjelasannya, "Sama seperti ayah, dia juga memegang kuat amanah mendiang ayahnya. Itu sebabnya dia mau menikahimu, tanpa berkomentar apa pun. Dia pria yang sangat baik seperti Dharma ayahnya. Ya ... memang, dia sama sekali tidak mirip Dharma. Dia lebih mirip dengan Nissa ibunya. Dan Ayah tahu, kenapa kamu menolak keras untuk menikah
"Ah, bukankah dia pria yang kemarin?" batinku saat aku kembali teringat kejadian kemarin Aku langsung teringat kejadian yang kemari, di mana aku secara tidak sengaja menabarak mobilnya. Ayah dan ibuku mata mereka mengikuti ke mana arahu melihat. Baik ayah maupun ibu, mereka berdua langsung mengulas senyuman lebar saat pelihan pria yang berdiri di depan pintu kamar itu. “Kemari, masuklah Azka. Ini dia istrimu, Silvia,” ujar Ayahku kepada pria yang dia panggil Azka. Aku tersentak kaget mendengarnya. Mataku terbelalak, menatap dengan rasa tidak percaya atas apa yang baru saja di katakan oleh ayahku. “Di--dia ... su--suamiku?” tanyaku terbata-bata. “Ya Tuhan ... bagaimana ini bisa pria itu adalah suamiku? Bukankah dia anak dari teman ayahku yang seorang petani? Seingatku ayahnya saja sangat dekil dan kampungan, tapi ini?” batinku seketika berisik dengan berbagai pertanyaan yang bercamuk. Aku masih tidak menyangka, kalau ternyata pria yang di nikahkan ayah denganku itu adalah pria y
“mengapa rumah begitu sepi? Ke mana ayah dan ibu pergi?” batinku bertanya-tanya.karena pada saat aku keluar dari kamarku, mendapati keadaan rumah yang begitu sepi tidak seperti biasanya. lalu pandanganku mulai menelusur ke sekeliling untuk mencari keberadaan ayah dan ibuku. Aku hanya melihat pelayan di rumah kami sedang mengerjakan tugasnya. Lalu aku menghampirinya untuk bertanya. “Ayah dan ibu ke mana?” tanyaku pada pelayan itu. “Ah, Nona ... Nona ternyata sudah bangun. Mari Nona, Anda harus segera bersiap,” ajak pelayan itu kepadaku. Dia bukannya menjawab pertanyaanku, justru malah mengajakku untuk bersiap. Aku mengernyitkan dahiku, tak mengerti mengapa pelayan ini justru mengajakku untuk bersiap. Untuk apa? “Apa yang kau maksudmu? Untuk apa aku bersiap?” tanyaku bingung. “Iya Nona, Nona harus segera bersiap. Karena sebentar lagi Tuan dan Nyonya akan pulang bersama dengan suami Nona,” jawabnya sambil tersenyum simpul, disertai anggukan kepala perlahan penuh dengan rasa hormat
“Ma--maaf, aku tidak sengaja,” ucapku tergagap bercampur panik.“Aku akan ganti rugi. Kau tidak perlu khawatir, aku akan mengganti kerusakannya,” tawarku masih dalam keadaan panik.Sorot mata pria itu begitu dingin menusuk, hingga aku kembali meneguk salivaku karena merasa takut ke padanya. karena memang kali ini, akulah yang bersalah. Garis wajahnya begitu tegas, tetapi dia terlihat tampan. Akan tetapi, ketampanannya itu sama sekali tidak menyingkirkan rasa takut sekaligus panik yang aku rasakan. Aku yang masih merasa panik bercampur dengan perasaan takut, takut pada pria pemilik dari mobil jenis SUV berwarna hitam yang aku tabrak itu. Dan aku perhatikan, mobil miliknya bukanlah jenis mobil murah biasa.“Tidak semua masalah bisa kau selesaikan dengan uang!” bantahnya masih dengan tatapan dingin menusuk di arahkannya kepadaku.Terlihat jelas dari raut wajahnya, kalau dia merasa tidak suka dengan solusi yang aku tawarkan kepadanya.“Lalu, apa yang harus aku lakukan, hah?!” tanyaku mem
Suasana hangat di ruang keluarga yang begitu megah, di sertai dengan alunan musik klasik menambahkan hangatnya keluargaku yang sedang bersantai di sore itu. Aku Silvia Kirana Prayoga, biasa dipanggil dengan sebutan Via. Aku putri satu-satunya dari Aditama Prayoga. Ayahku merupakan pengusaha sukses di bidang property dan konstruksi di Ibu Kota Jakarta. Cabang perusahaannya pun tersebar di beberapa kota besar di Indonesia. Aku terpaksa menikah dengan pria pilihan ayahku. Dia Azka Dharma Ardiansyah, anak mendiang sahabat ayahku yang merupakan seorang petani di desanya. * * * “Ayah mau kamu menikah dengan Azka. Anak sahabat ayah, yaitu pak Dharma,” ucap Ayahku, dan seketika membuatku terkejut. Dengan mataku terbelalak sempurna menatapnya. Ada rasa tidak percaya dengan apa yang aku dengar darinya. Karena tidak ada hujan ataupun petir, tiba-tiba saja ayahku menjodohkan aku dengan anak dari sahabatnya. Yang seingatku teman ayah yang bernama pak Dharma itu adalah orang kampung, petani.