Suasana hangat di ruang keluarga yang begitu megah, di sertai dengan alunan musik klasik menambahkan hangatnya keluargaku yang sedang bersantai di sore itu.
Aku Silvia Kirana Prayoga, biasa dipanggil dengan sebutan Via. Aku putri satu-satunya dari Aditama Prayoga. Ayahku merupakan pengusaha sukses di bidang property dan konstruksi di Ibu Kota Jakarta. Cabang perusahaannya pun tersebar di beberapa kota besar di Indonesia.Aku terpaksa menikah dengan pria pilihan ayahku. Dia Azka Dharma Ardiansyah, anak mendiang sahabat ayahku yang merupakan seorang petani di desanya.* * *“Ayah mau kamu menikah dengan Azka. Anak sahabat ayah, yaitu pak Dharma,” ucap Ayahku, dan seketika membuatku terkejut.Dengan mataku terbelalak sempurna menatapnya. Ada rasa tidak percaya dengan apa yang aku dengar darinya.Karena tidak ada hujan ataupun petir, tiba-tiba saja ayahku menjodohkan aku dengan anak dari sahabatnya. Yang seingatku teman ayah yang bernama pak Dharma itu adalah orang kampung, petani. Dan aku pernah bertemu dengannya sebelumnya, dia sangat kampungan sekali, dekil, dan juga hitam.Jadi, saat ayahku menyuruhku untuk menikah dengan anak dari sahabatnya itu, jelas aku sangat terkejut mendengarnya. Bagaimana bisa aku harus menikahi anak pak Dharma? Yang hanya seorang petani kampung. Dan sudah jelas, buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Jika ayahnya saja hitam, dekil, dan kampungan, sudah pasti anaknya juga sama seperti ayahnya. Begitu pikirku.Dan lagi pula, aku masih belum siap untuk melepas masa lajangku. Karena aku masih ingin menikmati hidup bersama teman-temanku. Apalagi ini adalah tahun pertama aku lulus kuliah. Tentu aku tidak ingin terburu-buru untuk menikah tanpa menikmati masa kebebasanku dari rumitnya dunia pendidikan yang selama ini aku jalani.“Aku tidak bisa ayah. Aku tidak mau menikah dengannya!” tolakku tegas.Sudah sangat jelas kalau aku akan menolak perjodohan yang di tentukan oleh ayahku. Karena menjadi seorang istri di usiaku yang masih 21 tahun ini, jelas itu sangat bertentangan dengan motto dari kehidupanku selama ini.“Kau tidak bisa menolak Silvia. Kau harus tetap menikah dengan Azka!” tegas Ayahku bersikeras dengan kehendaknya.“Ayah, aku mohon. Ayah tidak bisa memaksaku seperti ini. Memaksaku menikahi pria yang bukan pilihanku,” tolakku kembali tak mau kalah sambil memohon ke padanya.“Kau jangan keras kepala Via! Karena Ayah sudah menentukan hari pernikahan kalian. Dan pernikahan itu akan di langsungkan minggu depan!” seru Ayah kembali menegaskan keputusannya.Suasana menjadi tegang seketika, saat ayah bersikeras dengan keputusannya. Dan aku bersikeras dengan penolakanku.Ibuku, Shella Ariani, dia ikut tegang dengan perdebatan aku dengan ayahku. Beberapa kali Ibuku berusaha untuk membuatku tenang, agar aku tidak terlalu membantah keputusan Ayahku. Tetapi aku tetap menolaknya, dan aku justru pergi dari ruangan keluarga tempat di mana kami biasa bercengkerama satu sama lain untuk sekadar menghangat momen-momen keluarga kami, yang memang jarang sekali ada waktu untuk berkumpul bersama-sama.Tak terasa air mataku luruh begitu saja di sela-sela langkah kakiku yang cepat menaiki anak tangga satu demi satu ke lantai dua rumah kami. Aku memasuki kamarku, lalu aku bantingkan pintu sekeras mungkin untuk menutupnya kembali, hingga menimbulkan suara dentuman keras yang memekik telinga.Aku langsung membantingkan tubuhku ke atas tempat tidur, lalu menenggelamkan wajahku pada bantal. Dan tangisan ku makin menjadi di dalamnya.“Ting....”Sebuah bunyi notifikasi di layar ponselku. Dengan cepat aku meraih ponselku dan membaca pesan masuk yang ku dapati. Sejenak aku menghela napasku dengan berat, sambil menyeka air mataku dengan kasar untuk menghentikan isak tangisku.[Via, besok kita kumpul di tempat biasa. Kau jangan lupa datang ya!][Tentu, aku pasti akan datang. Kalau perlu, aku tidak akan kembali lagi ke rumah!]Baru saja aku membalas pesan dari sahabatku Aretha. Tiba-tiba saja dia langsung balik meneleponku. Dan aku segera menjawab panggilan teleponnya“Apa yang kau maksud Via? Kau tidak mau kembali ke rumah?” cecarnya kepadaku.“Hmm ... aku akan dijodohkan ayahku dengan pria pilihannya.”“Dan kau tahu siapa pria itu? Dia adalah seorang petani kampung. Jelas aku tidak bisa menerimanya,” jelasku pada Aretha.“Apa kau pernah bertemu dengan pria itu?” tanya Aretha kembali.“Tidak! Aku tidak pernah bertemu dengannya. Bahkan aku tidak ingin bertemu dengannya,” tukasku.“Seharusnya, kau coba saja temui dia dahulu. Siapa tahu, dia justru pria yang sangat tampan seperti Farhan,” usulnya berusaha untuk membujukku.“Memangnya apa yang kau harapkan dari seorang petani kampung Aretha? Seingatku, ayahnya saja kampungan, dekil, hitam, dia sangat menjijikkan. Dan pasti anaknya tidak jauh berbeda dengan ayahnya!” seruku dengan perasaan kesal.“Baiklah ... terserah kau saja Via,” balasnya pasrah.* * *Keesokan hari.Aku terburu-buru menuruni anak tangga, sebelum terpergok oleh ayahku yang nantinya akan banyak bertanya ke mana aku akan pergi.“Silvia ... kau mau ke mana?”Langkah kaki yang baru saja tiba di anak tangga yang terakhir seketika terhenti. “Via mau pergi,” jawabku sambil menoleh pada Ibuku yang berdiri tak jauh dari tangga rumah kami.“Kau lupa? Kalau hari ini kau harus menemui calon suami mu Via!” seru ibuku mengingatkan aku kembali akan perjodohan yang di tetapkan oleh ayahku.“Via hanya pergi sebentar Bu, tidak akan lama. Via janji,” balasku berbohong.“Baiklah, tetapi usahakan nanti sore sudah pulang. Karena Azka dengan Ibunya akan datang ke sini. Dan kau mempersiapkan dirimu dengan baik terlebih dahulu, sebelum kau menemui mereka,” peringat Ibu.Aku mengangguk cepat untuk mengiyakan. Lalu bergegas pergi agar cepat terbebas dari rumah, supaya bisa menghindari pertemuanku dengan calon suami yang dijodohkan ayah untukku.Aku mempercepat langkah kakiku menuju tempat mobilku terparkir. Masuk ke dalamnya, lalu mulai menjalankan laju mobil yang aku kemudikan sendiri untuk keluar dari halaman rumah kami.“Cekit....”“Braak....”Aku menabrak mobil di depanku.Aku yang tidak terlalu fokus pada laju kendaraan yang aku kendarai. Hingga tanpa sengaja, aku justru menabrak mobil yang ada di depanku dia saat kami mengantre di pom bensin untuk mengisi bahan bakar.“Turun!” seru seorang pria tinggi yang turun dari mobil yang aku tabrak itu.Aku yang masih terkejut dengan kejadian itu, hanya diam terpaku menatap mobil yang aku tabrak dengan jantungku yang berdegup begitu kencang.“Ayo, turun!” serunya lagi sambil menggedor kaca mobilku.Seketika aku terkesiap, dan langsung menoleh ke samping menatap pria itu dengan terkejut.“I--iya....”Aku yang merasa panik, bergegas untuk turun keluar dari dalam mobilku. Aku meneguk salivaku sendiri, karena perasaan takut pria yang mobilnya aku tabrak. Takut kalau pria itu akan memarahiku."Kenapa kau menabrak mobilku dalam keadaan diam? Apa kau butuh kacamata agar bisa membantu penglihatanmu yang terganggu itu?! Ah, jangan-jangan kau buta warna," protesnya.“Ma--maaf, aku tidak sengaja,” ucapku tergagap bercampur panik.“Aku akan ganti rugi. Kau tidak perlu khawatir, aku akan mengganti kerusakannya,” tawarku masih dalam keadaan panik.Sorot mata pria itu begitu dingin menusuk, hingga aku kembali meneguk salivaku karena merasa takut ke padanya. karena memang kali ini, akulah yang bersalah. Garis wajahnya begitu tegas, tetapi dia terlihat tampan. Akan tetapi, ketampanannya itu sama sekali tidak menyingkirkan rasa takut sekaligus panik yang aku rasakan. Aku yang masih merasa panik bercampur dengan perasaan takut, takut pada pria pemilik dari mobil jenis SUV berwarna hitam yang aku tabrak itu. Dan aku perhatikan, mobil miliknya bukanlah jenis mobil murah biasa.“Tidak semua masalah bisa kau selesaikan dengan uang!” bantahnya masih dengan tatapan dingin menusuk di arahkannya kepadaku.Terlihat jelas dari raut wajahnya, kalau dia merasa tidak suka dengan solusi yang aku tawarkan kepadanya.“Lalu, apa yang harus aku lakukan, hah?!” tanyaku mem
“mengapa rumah begitu sepi? Ke mana ayah dan ibu pergi?” batinku bertanya-tanya.karena pada saat aku keluar dari kamarku, mendapati keadaan rumah yang begitu sepi tidak seperti biasanya. lalu pandanganku mulai menelusur ke sekeliling untuk mencari keberadaan ayah dan ibuku. Aku hanya melihat pelayan di rumah kami sedang mengerjakan tugasnya. Lalu aku menghampirinya untuk bertanya. “Ayah dan ibu ke mana?” tanyaku pada pelayan itu. “Ah, Nona ... Nona ternyata sudah bangun. Mari Nona, Anda harus segera bersiap,” ajak pelayan itu kepadaku. Dia bukannya menjawab pertanyaanku, justru malah mengajakku untuk bersiap. Aku mengernyitkan dahiku, tak mengerti mengapa pelayan ini justru mengajakku untuk bersiap. Untuk apa? “Apa yang kau maksudmu? Untuk apa aku bersiap?” tanyaku bingung. “Iya Nona, Nona harus segera bersiap. Karena sebentar lagi Tuan dan Nyonya akan pulang bersama dengan suami Nona,” jawabnya sambil tersenyum simpul, disertai anggukan kepala perlahan penuh dengan rasa hormat
"Ah, bukankah dia pria yang kemarin?" batinku saat aku kembali teringat kejadian kemarin Aku langsung teringat kejadian yang kemari, di mana aku secara tidak sengaja menabarak mobilnya. Ayah dan ibuku mata mereka mengikuti ke mana arahu melihat. Baik ayah maupun ibu, mereka berdua langsung mengulas senyuman lebar saat pelihan pria yang berdiri di depan pintu kamar itu. “Kemari, masuklah Azka. Ini dia istrimu, Silvia,” ujar Ayahku kepada pria yang dia panggil Azka. Aku tersentak kaget mendengarnya. Mataku terbelalak, menatap dengan rasa tidak percaya atas apa yang baru saja di katakan oleh ayahku. “Di--dia ... su--suamiku?” tanyaku terbata-bata. “Ya Tuhan ... bagaimana ini bisa pria itu adalah suamiku? Bukankah dia anak dari teman ayahku yang seorang petani? Seingatku ayahnya saja sangat dekil dan kampungan, tapi ini?” batinku seketika berisik dengan berbagai pertanyaan yang bercamuk. Aku masih tidak menyangka, kalau ternyata pria yang di nikahkan ayah denganku itu adalah pria y
“Ayah, jelaskan kepadaku tentang pria itu, pria yang kau nikahkan denganku,” pintaku pada ayah. Aku yang langsung menemui ayah dan ibuku untuk bertanya mengenai suamiku. Karena tidak ada salahnya juga, kalau aku harus mengetahui tentangnya. "Kenapa? Apa kau mulai penasaran kepada suamimu sendiri?" tanya Ayahku balik menyindir, disertai lirikan tipis dari sudut matanya kepadaku. "Apa aku punya pilihan lain Ayah? Selain dari menerimanya?" tanyaku balik dengan sinis. Ayahku langsung terkekeh mendengarku, dia berbalik menatapku dalam-dalam. "Silvia, dia Azka Dharma Ardiasyah. Anak dari sahabat ayah yang sebulan lalu meninggal, kau ingat?" Ayahku memulai penjelasannya, "Sama seperti ayah, dia juga memegang kuat amanah mendiang ayahnya. Itu sebabnya dia mau menikahimu, tanpa berkomentar apa pun. Dia pria yang sangat baik seperti Dharma ayahnya. Ya ... memang, dia sama sekali tidak mirip Dharma. Dia lebih mirip dengan Nissa ibunya. Dan Ayah tahu, kenapa kamu menolak keras untuk menikah
“Ayah, jelaskan kepadaku tentang pria itu, pria yang kau nikahkan denganku,” pintaku pada ayah. Aku yang langsung menemui ayah dan ibuku untuk bertanya mengenai suamiku. Karena tidak ada salahnya juga, kalau aku harus mengetahui tentangnya. "Kenapa? Apa kau mulai penasaran kepada suamimu sendiri?" tanya Ayahku balik menyindir, disertai lirikan tipis dari sudut matanya kepadaku. "Apa aku punya pilihan lain Ayah? Selain dari menerimanya?" tanyaku balik dengan sinis. Ayahku langsung terkekeh mendengarku, dia berbalik menatapku dalam-dalam. "Silvia, dia Azka Dharma Ardiasyah. Anak dari sahabat ayah yang sebulan lalu meninggal, kau ingat?" Ayahku memulai penjelasannya, "Sama seperti ayah, dia juga memegang kuat amanah mendiang ayahnya. Itu sebabnya dia mau menikahimu, tanpa berkomentar apa pun. Dia pria yang sangat baik seperti Dharma ayahnya. Ya ... memang, dia sama sekali tidak mirip Dharma. Dia lebih mirip dengan Nissa ibunya. Dan Ayah tahu, kenapa kamu menolak keras untuk menikah
"Ah, bukankah dia pria yang kemarin?" batinku saat aku kembali teringat kejadian kemarin Aku langsung teringat kejadian yang kemari, di mana aku secara tidak sengaja menabarak mobilnya. Ayah dan ibuku mata mereka mengikuti ke mana arahu melihat. Baik ayah maupun ibu, mereka berdua langsung mengulas senyuman lebar saat pelihan pria yang berdiri di depan pintu kamar itu. “Kemari, masuklah Azka. Ini dia istrimu, Silvia,” ujar Ayahku kepada pria yang dia panggil Azka. Aku tersentak kaget mendengarnya. Mataku terbelalak, menatap dengan rasa tidak percaya atas apa yang baru saja di katakan oleh ayahku. “Di--dia ... su--suamiku?” tanyaku terbata-bata. “Ya Tuhan ... bagaimana ini bisa pria itu adalah suamiku? Bukankah dia anak dari teman ayahku yang seorang petani? Seingatku ayahnya saja sangat dekil dan kampungan, tapi ini?” batinku seketika berisik dengan berbagai pertanyaan yang bercamuk. Aku masih tidak menyangka, kalau ternyata pria yang di nikahkan ayah denganku itu adalah pria y
“mengapa rumah begitu sepi? Ke mana ayah dan ibu pergi?” batinku bertanya-tanya.karena pada saat aku keluar dari kamarku, mendapati keadaan rumah yang begitu sepi tidak seperti biasanya. lalu pandanganku mulai menelusur ke sekeliling untuk mencari keberadaan ayah dan ibuku. Aku hanya melihat pelayan di rumah kami sedang mengerjakan tugasnya. Lalu aku menghampirinya untuk bertanya. “Ayah dan ibu ke mana?” tanyaku pada pelayan itu. “Ah, Nona ... Nona ternyata sudah bangun. Mari Nona, Anda harus segera bersiap,” ajak pelayan itu kepadaku. Dia bukannya menjawab pertanyaanku, justru malah mengajakku untuk bersiap. Aku mengernyitkan dahiku, tak mengerti mengapa pelayan ini justru mengajakku untuk bersiap. Untuk apa? “Apa yang kau maksudmu? Untuk apa aku bersiap?” tanyaku bingung. “Iya Nona, Nona harus segera bersiap. Karena sebentar lagi Tuan dan Nyonya akan pulang bersama dengan suami Nona,” jawabnya sambil tersenyum simpul, disertai anggukan kepala perlahan penuh dengan rasa hormat
“Ma--maaf, aku tidak sengaja,” ucapku tergagap bercampur panik.“Aku akan ganti rugi. Kau tidak perlu khawatir, aku akan mengganti kerusakannya,” tawarku masih dalam keadaan panik.Sorot mata pria itu begitu dingin menusuk, hingga aku kembali meneguk salivaku karena merasa takut ke padanya. karena memang kali ini, akulah yang bersalah. Garis wajahnya begitu tegas, tetapi dia terlihat tampan. Akan tetapi, ketampanannya itu sama sekali tidak menyingkirkan rasa takut sekaligus panik yang aku rasakan. Aku yang masih merasa panik bercampur dengan perasaan takut, takut pada pria pemilik dari mobil jenis SUV berwarna hitam yang aku tabrak itu. Dan aku perhatikan, mobil miliknya bukanlah jenis mobil murah biasa.“Tidak semua masalah bisa kau selesaikan dengan uang!” bantahnya masih dengan tatapan dingin menusuk di arahkannya kepadaku.Terlihat jelas dari raut wajahnya, kalau dia merasa tidak suka dengan solusi yang aku tawarkan kepadanya.“Lalu, apa yang harus aku lakukan, hah?!” tanyaku mem
Suasana hangat di ruang keluarga yang begitu megah, di sertai dengan alunan musik klasik menambahkan hangatnya keluargaku yang sedang bersantai di sore itu. Aku Silvia Kirana Prayoga, biasa dipanggil dengan sebutan Via. Aku putri satu-satunya dari Aditama Prayoga. Ayahku merupakan pengusaha sukses di bidang property dan konstruksi di Ibu Kota Jakarta. Cabang perusahaannya pun tersebar di beberapa kota besar di Indonesia. Aku terpaksa menikah dengan pria pilihan ayahku. Dia Azka Dharma Ardiansyah, anak mendiang sahabat ayahku yang merupakan seorang petani di desanya. * * * “Ayah mau kamu menikah dengan Azka. Anak sahabat ayah, yaitu pak Dharma,” ucap Ayahku, dan seketika membuatku terkejut. Dengan mataku terbelalak sempurna menatapnya. Ada rasa tidak percaya dengan apa yang aku dengar darinya. Karena tidak ada hujan ataupun petir, tiba-tiba saja ayahku menjodohkan aku dengan anak dari sahabatnya. Yang seingatku teman ayah yang bernama pak Dharma itu adalah orang kampung, petani.