Seketika isi kepalanya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang mengaduk-aduk emosi. Matanya melotot dan tubuhnya gemetaran menunggu Nancy menjawab.
"Kamu bisa melihat sendiri, aku sedang mengandung sekarang, Hazelt." Nancy menarik tangan Hazelt dan membawanya untuk menyentuh perutnya. "Kamu belum menikah, mana mungkin bisa hamil?" "Apa itu salah? Karena secepatnya ayah biologis anak ini akan segera menikahi ku. Tinggal menunggu dia menceraikan istrinya saja." Nancy tersenyum puas sembari mengedipkan sebelah matanya menggoda Hazelt. Nafas Hazelt memburu, seluruh tubuhnya seolah ikut bergetar. Penuh ketakutan Hazelt memberanikan diri bertanya, "siapa dia, Nancy?" "Wah, dia sudah datang." Segera Nancy bangkit untuk menyambut seseorang yang baru saja datang. Hazelt menggeser pandangannya mengikuti arah pandangan Nancy. Melihat siapa yang datang, seketika beberapa detik jantungnya berhenti berdetak. "Harper!" Hazelt berjengit karena kagetnya melihat Harper lah yang datang. Hazelt beranjak dari kursinya gegas menghampirinya. Ia tidak memberi ruang pada Nancy berhasil merebut perhatian Harper. "Tidak perlu menjemput ku kemari." Namun, Harper menepis kasar tangannya. Pria itu terus berjalan melintasinya, menghampiri Nancy yang tersenyum penuh kemenangan. Sikap Harper itu jelas tidak menghargai dirinya sebagai istri di depan Nancy. Tetapi, Hazelt tetap bersikap professional dan menganggap Harper sedang bertemu dengan rekan bisnisnya. "Harper, selamat, ya." Nancy berdiri menyambutnya dengan memberikan pelukan plus cium pipi kiri dan pipi kanan. "Terimakasih, Nancy. Semua ini berkat bantuanmu." Harper melepas pelukannya setelah melakukan hal yang sama dengan Nancy. Hazelt mendekati keduanya, hatinya terasa sangat sakit seperti diiris-iris, dengan pemandangan mesra di depan matanya. Bahkan ia tidak tahu kata selamat untuk apa yang diucapkan Nancy kepada Harper. Karena ia dan Harper tidak pernah bercerita tentang apapun, alih-alih meminta idenya dalam pekerjaan sang suami. "Iya, dong. Karena aku, kamu berhasil mendapatkan kerjasama senilai 500 milliar dengan keluarga Rich Trover." Dengan bangga Nancy sengaja menaikkan nada suaranya. Melirik Hazelt yang terdiam bisu. Rich Trover! Kening Hazelt mengernyit, nama yang baru saja disebut Nancy tidak asing lagi di telinganya. Ia segera sadar, tujuan Nancy mengajaknya bertemu malam ini di Vintage Town cafe, karena sudah merancang semua kebohongannya ini. "Tidak seperti istrimu itu yang tidak tahu apa-apa, selain menghabiskan uangmu." Nancy menjentikkan jarinya ke arah Hazelt. Raut wajahnya tampak masam, sesungguhnya dia berkata begitu karena rasa cemburunya kepada Hazelt. Wanita yang berhasil memiliki Harper, si Tuan Muda tampan dan kaya raya. "Tidak perlu membawa-bawanya dalam rencana kita. Sekarang katakan apa yang kamu inginkan, Nancy?" Kata itu yang diinginkan Nancy dari Harper. "Kamu harus menemaniku kunjungan kerja keluar kota, Harper." Nancy meletakkan kepalanya manja di bahu Harper, jari-jemarinya mempermainkan kancing kemeja Harper. Di depan matanya, Harper juga berani merangkul pinggang Nancy begitu mesra. Hazelt sangat cemburu dengan sikap keterlaluan Harper itu. Merasa dirinya tidak dihargai, ia berkata tegas, "Harper, segera selesaikan urusanmu dengan Nancy, lalu, kita pulang." Namun, Harper seolah-olah tidak mendengarnya. Pria itu sangat sibuk meladeni Nancy yang bermanja-manja di pelukannya. Bahkan di depan matanya, Harper semakin berani memberikan sentuhan kecil di wajah Nancy. Hati siapa yang tak memanas melihat suami malah memanjakan wanita lain? Ia belum lupa bagaimana panasnya persenggamaan mereka semalaman. Menyedihkan, Hazelt menggertak gerahamnya kasar, hatinya sangat sakit. "Hentikan semua ini, Harper!" berang Hazelt menarik tangan Harper menjauh dari Nancy. Tidak segan-segan ia menepis kasar tangan Nancy yang berusaha menahan Harper. "Katakan, Harper , apa salahku padamu sampai membuatku tidak berharga sebagai istrimu di depan Nancy?" "Seharusnya aku yang bertanya, kenapa kamu masih di sini, Hazelt?" Harper balas bertanya tanpa emosi. Harper menatapnya dalam-dalam. Hazelt bisa melihat kehangatan di dalam sana. Juga bisa merasakan keteduhan yang tersembunyi di manik mata berwarna coklat tua itu. Namun, nyatanya aura yang keluar dari diri pria itu tetap saja dingin dan cuek. "Aku tidak bisa pulang sendiri." "Stt, jangan bersikap kekanakan, Hazelt! Oiya, tunggu!" Kemudian Harper mengeluarkan sesuatu dari balik jasnya dan memberikannya kepada Hazelt. "S-surat cerai?" "Bukankah itu yang kamu inginkan?" Harper menaikkan kedua alisnya, tenang menatapnya yang langsung tidak berkutik. "A-apa maksud kamu berkata begitu, Harper?" Gugup dan kaku Hazelt bertanya. Tadi pagi pria itu bersikeras tidak mau bercerai darinya. "Yah, sekarang aku sudah berhasil menjadi CEO di perusahaan besar dan mendapatkan apa yang aku mau. Itu semua atas dukungan Nancy. Jadi, aku tidak membutuhkanmu lagi, Hazelt." Aura dingin dari pancaran sinar matanya membuat Hazelt segera sadar, Nancy sudah berhasil menguasai Harper. GLEKK Mendengar keputusan Harper, Hazelt merasa tidak ada lagi arti dirinya bagi Harper. Tetapi, Hazelt tidak mau menunjukkan kesedihan hatinya, sekalipun ia tidak terima diceraikan di depan Nancy. Hazelt berusaha berpura-pura tegar. Beberapa saat melihat Harper dan Nancy bergantian. Ia tersenyum manis, meraih kertas dan pulpen dari tangan Harper. Tenang ia berkata, "lupakan ucapanku tadi. Sebenarnya sudah lama aku menantikan ini. Bukankah tadi pagi aku juga memintanya padamu?" Harper menggertak gerahamnya, menatapnya dingin dengan dagu yang terangkat tinggi. Kedua tangannya mengepal dengan nafas memburu. "500 milliar untuk kebutuhan hidupmu. Kalau masih kurang kamu tinggal bilang saja!" Harper melemparkan cek berisi 500 milliar ke wajah Hazelt. "Aku tidak menginginkan uangmu, Harper." Hazelt mengembalikan surat cerai yang sudah selesai ia tanda tangani kepada Harper. "Jangan munafik, Hazelt. Kalau bukan karena aku sudah lama kamu mati karena miskin." Hazelt tertawa kecil. Kata-kata penghinaan itupun, tidak lantas melunturkan cintanya yang besar kepada Harper. Sejenak Hazelt menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Jauh dalam hatinya sangat terluka dengan kata-kata itu. "Harper, aku sudah tahu kamu pasti akan berhasil mendapatkan 500 milliar dari keluarga Rich Trover. Tetapi, kamu tidak tahu semua keberhasilan mu ini berkat diriku selama ini. Akulah yang mendukung dan mempromosikan mu kepada keluarga Rich Trover, tanpa sepengetahuan mu selama ini," papar Hazelt membongkar rahasia perjuangannya untuk Harper. "Hahk! Hahaa!" Harper tidak bisa menahan tawanya. "Lucu sekali, Hazelt!" Tiba-tiba Harper menghentikan tawanya, pancaran mata tajamnya seakan-akan ingin menelannya. Pria itu menyeretnya menjauh dari Nancy. Setengah berbisik dia memberi kecaman kepada Hazelt. "Berhenti mempermalukan dirimu di sini, Hazelt. Kamu hanya wanita miskin yang terpaksa aku nikahi, ingat!" "Aku tidak butuh dukungan darimu. Aku berhasil meraih semua kesuksesan ini karena kehebatan diriku dan bantuan Nancy!" "Aku bicara fakta, Harper! Selama ini aku menutupi semuanya darimu. Karena aku takut kamu merasa sungkan setelah tahu siapa yang selalu mendukungmu sebenarnya." Tidak ada emosi yang terlihat di wajah Harper. Alisnya terangkat dengan sorotan mata yang tajam menatapnya. "Kamu sudah lama mendukungku? Bahkan kamu tidak mengenal siapa keluarga Rich Trover!" Harper memandang rendah Hazelt dari ujung rambut hingga ujung sepatunya. Kemudian beralih melihat Nancy yang berjalan perlahan ke arah mereka. ***Nancy berhenti di depan Hazelt, santai melipat kedua tangannya di dada turut menatapnya rendah. "Hazelt, mentang-mentang kamu istri Harper, kamu merasa seolah-olah sudah memberi dukungan untuk keberhasilan Harper ini, iya?" Nancy berjalan mengitari Hazelt, dagunya terangkat angkuh. Tatapan remeh Nancy menekan Hazelt yang sudah tidak siapa-siapa lagi. Ia merasa dirinya sangat kecil berhadapan dengan keduanya. "Siapa selama ini yang mendampingi Harper di publik? Siapa yang memberi selamat kepadanya? Bahkan kamu tidak tahu kapan suamimu diresmikan sebagai CEO di perusahaan!" Hazelt menggeleng lemah. Ia memang tidak tahu persis kapan peresmian Harper sebagai CEO. Karena Harper tidak mengundangnya ke acara peresmiannya. "Aku tidak memaksa kamu harus percaya kepadaku, Harper," ujar Hazelt tegas. Jelas Nancy sudah membohongi Harper. Tetapi, sekarang Hazelt kesulitan menunjukkan bukti kebenaran ucapannya. Karena ia tidak membawa surat perjanjiannya dengan asisten pribadi keluarga
Harper berjalan diekori Nancy menyalami keluarga Rich Trover, kemudian pria itu berhenti tepat di depan Hazelt. Tatapan mata tajam itu seakan-akan menelanjangi isi hatinya. Tidak tahan berlama-lama bersirobok pandangan, Hazelt tertunduk lemah. Namun, sadar sikapnya itu akan membuat dirinya semakin gugup dan kaku, mau tak mau Hazelt mengangkat kepalanya tegas melihat Harper, dan berpura-pura tersenyum manis. "Selamat atas peresmian anda sebagai CEO termuda, Tuan Muda Harper Stone," ucap Hazelt, tangannya terulur ke depan untuk berjabat tangan dengan Harper. Tetapi, agaknya Harper tidak menyukai ucapannya. Pria tersebut malah merapatkan tubuhnya dengan Hazelt. "Hazelt, kenapa kamu bisa ada di sini?" Setengah berbisik Harper bertanya dengan nada tidak senang. Harper menarik tangan Hazelt dengan sekali sentakan keras. Tubuh Hazelt tertarik ke depan hampir menempel di dada bidang Harper. Hazelt menahan tubuh Harper dengan kedua tangannya untuk tetap menjaga jarak diantara me
Tetapi, Harper seakan-akan tidak memperdulikannya lagi, dia sibuk memperhatikan Hazelt. Nancy semakin merasa kikuk dan gelisah, beberapa kali dia terlihat mengubah posisi duduknya dan menarik nafas berat. "Ohh, kamu sedang hamil, ya?" lanjut nyonya Karen menunjukkan ekspresi sangat senang, seraya mengelus lembut perut buncit Nancy. Nancy tersenyum malu-malu dan mengangguk pelan. Melirik angkuh kepada Hazelt untuk menunjukkan kemenangannya. "Kami juga berharap pertunangan Hazelt nanti lancar-lancar sampai ke pernikahan. Kami tidak sabar ingin menimang cucu," ujar nyonya Karen melirik Tuan Rich Trover. 'Pertunangan?' batin Hazelt kaget bercampur bingung. Bertunangan dengan siapa? Ia baru diceraikan Harper dan tidak memiliki kekasih. Hazelt melemparkan pandangannya ke Harper untuk melihat ekspresinya, tetapi mantan suaminya itu tidak menunjukkan kepeduliannya alih-alih cemburu. "Selamat ya, Tuan Muda Harper. Baru saja diresmikan menjadi CEO, sebentar lagi menjadi gelar
Sudah diceraikan saja pun, tetapi Harper masih saja mencari celah untuk merendahkannya.Hazelt tidak mau terpancing yang malah akan membuat dirinya semakin menyedihkan di depan Harper."Saya tidak ingin masa lalu kita mengganggu kerjasama ini, Harper. Tanggung jawab perusahaan ini terlalu penting bagi saya" ujar Hazelt, matanya menatap tajam ke arah Harper.Semua yang terjadi sudah menjadi keputusan Tuan Rich Trevor yang memberikan keuntungan besar baginya."Yang artinya, mulai saat ini saya yang mewakili perusahaan Rich Trevor, Tuan Muda Harper Stone!" tegas Hazelt menunjukkan kekuasaannya kepada Harper.Hazelt mengeluarkan laptop dari dalam tasnya. Setelah menghidupkan laptop, sejenak ia sibuk dengan tetikus dan fokus pada layar laptop.Setelah beberapa saat berbasa-basi, percakapan mereka mulai menyentuh topik yang lebih dalam. Pembicaraan terkait strategi bisnis dengan cepat bergeser menjadi diskusi yang lebih personal."Saya berharap anda bisa datang besok siang ke rapat umum d
"Memang benarlah jodoh tidak akan kemana. Iyakan, Hazelt?" Nyonya Karen menunjukkan senyum sumringah, mencolek kedua pipinya gemas.Hazelt memaksakan senyumnya. Bayangan pengalaman pernikahannya yang menyedihkan dengan Harper, meninggalkan rasa trauma baginya bisa menjalin hubungan dengan pria lain.Tapi apalah dayanya, ia tidak mampu menolak apapun yang menjadi keinginan keluarga Rich Trevor. Ia sangat berutang budi kepada mereka."Kami sudah punya calon terbaik untukmu, Hazelt." Sembari tertawa senang, nyonya Karen berpindah tempat duduk ke sebelahnya. Wajahnya yang ceria dengan penuh semangat menceritakan sosok pria yang menjadi calon tunangan Hazelt."Namanya, Charlie Adam, putra tunggal keluarga besar Bone. Dia sangat tampan dan baik. Saya rasa dia tidak akan mampu menolak putri kami yang cantik jelita ini," ujar nyonya Karen menyanjung dirinya layaknya putri kandung mereka.Hazelt tersenyum kecut, dalam hatinya menjerit ingin berteriak mengungkapkan isi hatinya.Tapi ...Ada p
Meski ia tidak melihat jelas wajah Harper, ia yakin wajah mantan suaminya itu memerah menahan malu. Kemudian, ia beralih kepada Charlie, "Charlie, terima kasih juga atas dukungan anda yang tak ternilai."Hazelt mengangguk menghormati Charlie yang kaget mendengar sambutan khusus darinya. Ia segera mengenali calon tunangannya dari ciri-ciri yang diberikan oleh nyonya Karen. Meskipun mereka belum berkenalan intens."Terimakasih, nona Hazelt Trevor," jawab Charlie sopan dan hangat.Hazelt menekan rasa gugup dan tetap menjaga wibawanya, saat berbicara di depan para pemegang saham. Sesaat setelah semua pandangan tertuju padanya, satu demi satu, poin-poin agenda yang diajarkan Tuan Rich Trevor dibahasnya, sampai akhirnya Hazelt berhasil menunjukkan kapasitasnya sebagai pemimpin. Menyelesaikan rapat umum yang panjang dan melelahkan, Hazelt menghela napas lega telah menyelesaikan tantangan pertamanya.Riuh rendah suara yang berpamitan
Takut namun Halzet berpura-pura tidak perduli, tenang ia menjawab, "apa yang akan kamu lakukan padanya? Aku yakin kamu juga mengenal siapa dia, Harper."Harper menarik tatapannya dari Charlie, kemudian beralih menatap lekat di wajah Hazelt yang penuh percaya diri menantangnya."Bukan dia, tapi kamu, Hazelt!" Harper menaikkan salah satu alisnya. Sesaat mempermainkannya dengan tatapan remehnya. GLUKKSpontan Hazelt meneguk liurnya. Beberapa detik memalingkan wajahnya dari tatapan Harper, guna menutupi rasa gugupnya. Ia juga yakin banyak yang bisa dilakukan Harper untuk menyudutkannya. Tetapi, Harper belum tahu, kalau ia juga bisa mempengaruhi nama baik jabatannya sebagai CEO."Apa yang akan kamu lakukan padaku?" Pelan Hazelt bertanya sembari terus mengawasi Charlie. Ia menjaga suaranya agar calon tunangannya tersebut tidak mendengar perdebatannya dengan Harper.Harper tertawa senang melihat ketakutan yang tercetak di wajah Ha
Hazelt berusaha tersenyum, tapi rasanya hambar. Ia tidak pernah berpikir malam ini juga Harper datang ke sana, alih-alih membawa Nancy. Sejenak Hazelt menghela nafas panjang, sebelum kembali fokus memperhatikan Charlie. Pria ini begitu peka dengan perasaannya dan membuatnya merasa nyaman. Tetapi sekitar seakan-akan menekan dan membuatnya sulit menenangkan diri."A-aku baik-baik saja. Hanya sedikit terkejut melihat Harper dan istrinya juga ada di sini," jawab Hazelt, berusaha keras mengatur suaranya.Hazelt mengalihkan pandangan ke meja Harper dan mengangkat gelasnya seolah-olah bersulang dengannya. Charlie menunjukkan ekspresi kaget yang sama, namun segera menguasainya. Tempat mereka sekarang ini adalah tempat umum, mungkin kebetulan saja mereka berkencan di tempat yang sama. Charlie segera mengangkat gelasnya turut seolah-olah bersulang dengan Harper. Mau tak mau, tepaksa Harper juga mengangkat gelasnya, namun wajahnya tampak din
Hazelt meninggalkan kafe ketika jam sudah menunjuk pukul dua dini hari. Udara malam yang dingin seakan-akan menembus kaca mobilnya, membuat tubuhnya menggigil.Ada baiknya juga menerima tawaran Harper menginap di hotel tadi. Tapi, ia tidak mau memberikan celah kepada Harper hubungan mereka kembali.Hazelt mengambil tasnya dan mengeluarkan ponselnya yang berdering."Charlie," desisnya memperlambat laju mobil. Ia bingung harus mengangkat teleponnya, tapi ia juga butuh bantuan pria itu saat ini. Di sisi lain, ia juga takut jika Charlie tahu ia baru saja bertemu Harper. "Arghh! Harus bagaimana lagi ini?" gumamnya kesal. Perjalanan menuju mansion Rich Trevor masih jauh, sementara kedua tangannya seolah membeku dan sulit mengendalikan kemudi mobil.Hazelt memasukkan kembali ponselnya ke tasnya. Sekilas melirik ke kaca spion, mobil mewah Harper terus mengikuti tepat di belakang mobilnya.Mau tak mau, Hazelt memaksa mela
“Hazel, dengarkan aku. Semua ini bukan kesalahanmu, tetapi kesalahanku." Beberapa detik Harper tertunduk, sebelum kembali mengangkat kepala melihat mantan istrinya dengan lembut. Pancaran sinar matanya menunjukkan penyesalannya telah menyia-nyiakan wanita sebaik Hazelt. Dia terlambat mengenali Hazelt sesungguhnya, dia dibutakan oleh rayuan dan hasutan Nancy."Tidak seharusnya aku membuatmu menjadi taruhan dengan Justin waktu itu." Harper membuang pandangannya ke samping. Hazelt meneguk liur. Ia pernah mendengar nama Justin, dan pernah melihat pria itu sekilas, ketika Harper membawanya malam itu ke sebuah bar. Meskipun sekilas namun wajah pria itu lekat di ingatannya. Di bar mereka bertemu dengan Justin, yang mengaku sepupunya Harper. Tetapi, ia tidak tahu kalau dirinya dibuat taruhan.Hazelt yang tidak tahu apa-apa, pun ke sana untuk menebus kesalahannya kepada Harper kala itu. Ia menyaksikan Harper bertengkar hebat dengan Justin, pada akhirn
Hazelt serba salah sekarang. Ia tidak habis pikir Nancy menuduhnya begitu buruk. Sempat Hazelt berpikir, Nancy tidak berani lagi bersikap seperti ini kepadanya, setelah mengetahui siapa dirinya. Tetapi, yang ia lihat, wanita itu malah semakin keras menyudutkannya. Dan, ia tidak mampu untuk membalas.Untuk kesekian kalinya, Hazelt menghela nafas panjang. "Kita bukan anak-anak lagi, Nancy. Kamu menyakiti dirimu sendiri hanya karena cemburu. Sementara kamu juga tahu aku dan Harper sudah bercerai. Mungkin dia menginginkanmu atau tidak, bukan urusanku.""Jangan sok suci, Hazelt. Aku bisa melihat kamu yang selalu mendatangi Harper, bahkan di depan mataku kamu menggenggam tangannya tadi. Apa semua itu, Hazelt?" gusar Nancy, mulai menendang ban mobil dengan brutal. "Aku akan membuatmu membayar mahal semua sakit hatiku selama ini! Ingat itu, Hazelt! Aku akan membuatmu membayar!" Dia memberikan ancaman keras kepada Hazelt.Hazelt merasa ngeri. Segera tahu Nancy sedang tidak bisa diajak bicara
"Tidak perlu mengusirnya, Harper. Kebetulan urusan kita sudah selesai, aku harus pergi sekarang," ujar Hazelt mengambil tasnya. Kemudian, Hazelt berbalik, meninggalkan Harper dan Nancy. Ia gerah bila terus-terus direndahkan Nancy."Hazelt, tunggu?" Harper berlari mengejarnya. Takut terjadi keributan di sana, Hazelt yang tengah bersiap masuk lift langsung berhenti. Berbalik badan melihat Harper."Hazelt, aku minta maaf atas perlakuan Nancy tadi. Aku harap kamu tidak kecewa padaku."Hazelt melirik jam tangannya, kemudian tersenyum manis. "Lupakan saja. Sekarang aku harus segera kembali ke kantor," ujarnya menutupi rasa sakit hatinya."Oiya, kamu ada kesibukan malam ini?" Hazelt menaikkan pandangan kepada Harper, sebenarnya ia juga butuh bicara intens dengannya. Namun, mengingat Nancy, ia urungkan niatnya."Iya, aku ada acara malam ini dengan teman lama Tuan Rich Trover."Hazelt segera masuk bersamaan
Perasaan Harper hancur, menyembunyikan wajahnya yang penuh penyesalan dari Hazelt. Seolah-olah tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Hazelt, aku mohon jangan tinggalkan aku." Hazelt membeku, baru tahu, selain tempramen Harper juga ternyata sangat cengeng."Hentikan tangisanmu itu, Harper. Aku tidak mau dikira menyakitimu." Hazelt menarik salah satu kursi di sana dan menghenyakkan bokongnya.Kemudian, menarik kursi di sebelahnya dan mendorongnya kepada Harper."Duduklah, masih ada yang ingin aku bicarakan sekarang, Harper," ujar Hazelt menekan rasa kasihannya melihat Harper."Hazelt, aku berjanji akan melakukan apapun yang kamu inginkan, asal kamu kembali padaku."Harper duduk merapat dengannya. Mantan suaminya itu terus saja memohon-mohon dengan merengek bak anak kecil.Merasa tidak nyaman karena didesak terus menerus, Hazelt gerah dengan sikap kekanakan Harper."Aku mohon jangan memaksaku, Harper! Kamu tidak bisa merasakan banyaknya luka yang kamu torehkan selama ini!" Hazelt
Rahasia masa lalu terus menghantui. Yang selalu ia lakukan cuma bisa terus berbohong kepada keluarga Rich Trover. Di mata mereka, Dirinya adalah gadis yatim piatu yang gigih dan pekerja keras, diangkat menjadi putri Tuan Rich Trover karena keberuntungannya."Omong kosong apa itu, Hazelt," ujar nyonya Karen tegas namun lembut. "Kamu kebahagian kami, kami yakin Charlie juga sangat beruntung memilikimu.""I-iya, Ma. Beri aku waktu beberapa bulan lagi untuk mempertimbangkan dengan matang, Pa, Ma. Aku belum terbiasa berkencan dengan tuan muda kaya raya." Hazelt mencoba menawarkan, suaranya bergetar. Tuan Rich Trover menghela napas. "Hazelt, kami hanya ingin memberi yang terbaik untukmu. Charlize adalah orang yang tepat." Tuan Rich Trover menepuk pelan bahunya. "Jangan pernah merasa minder, Hazelt. Kamu saja yang tidak menyadari kemampuanmu. Dalam waktu singkat saja, kamu sudah terbiasa memimpin perusahaan besar. Apa itu belum cukup, Hazelt?"
Hazelt menyeka kedua matanya dengan punggung tangannya. "Aku akan segera mengirimkannya kembali setelah diperbaiki.""Hazelt, aku minta maaf. Sekarang Nancy sudah pergi, mari lanjutkan pembicaraan kita," kata Harper menunjuk ke arah meja."Tidak, aku harus pergi. Terimakasih."Hazelt berbalik dan berjalan keluar dari ruangan, meninggalkan Harper yang terpaku di tempatnya berdiri.Hatinya dipenuhi rasa sakit yang terus menerus, Hazelt sudah tidak sabar ingin segera mengakhiri urusannya dengan Harper***Hazelt melangkah tergesa-gesa masuk ke ruang direksi, heel sepatunya yang tinggi beradu cepat dengan lantai marmer, menciptakan gema yang khas di lorong jalan. Pertemuan bisnis tadi yang seharusnya profesional malah berubah menjadi menyedihkan. "Aku harus tegas!" Hazelt bergumam, menjatuhkan diri ke kursinya, menghela napas panjang dengan pikirannya berkecamuk. "Apa maunya sekarang?" Lama-lama gerah, ia tampak menyedihkan di pandangan Harper, terlebih Nancy. Namun, tidak ada yang bi
Hazelt menghela nafas panjang, saat mobilnya berhenti di depan gedung langit berkilauan, dengan logo 'Stone Harper Corp' tertera di puncaknya. Entah apa maksud Tuan Rich Trover, 'memaksanya' datang ke sini, bukan untuk urusan pribadi, tapi sebagai salah satu arahan pekerjaan. Alasan yang dibuat-buat sebenarnya, namun tetap saja, ia tidak bisa menolak.Saat memasuki lobi Harper Corp dengan jantung berdebar. Ia disambut aroma maskulin khas Harper yang masih sama menyambutnya, tanpa sadar ia menarik napas dalam-dalam."Hazelt." Suara berat Harper yang berdiri di depan lift menyadarkannya, bahwa dirinya ke sini untuk urusan profesional.Harper, dengan pengaturan jasnya yang selalu sempurna, membawanya ke ruang eksekutif. “Hazelt,” ucapnya lembut. "Aku tahu kamu pasti datang ke sini." "Seperti yang kamu tahu, aku ke sini atas perintah Tuan Rich Trover," kata Hazelt bersikap dingin dan profesional. Cepat-cepat Hazelt
"Harper, lepaskan" Hazelt meringis dengan memohon, suaranya pelan bergetar. Mencoba untuk tidak menarik perhatian orang-orang.Harper menarik tangannya dengan cara menyentak, berdiri tegak menatap Hazelt dengan dingin. "Apa kamu pikir sepenting itu kamu dan Charlie? Bagaimana denganku, Hazelt? Apa aku tidak penting?" Harper membungkuk ke depan, sehingga wajah keduanya nyaris bersentuhan. Hazelt tidak nyaman dengan situasinya, mundur beberapa langkah. Namun, Harper terus memepetnya sampai ia tersudut ke sudut dinding."Kamu yang memintanya dan aku sudah menandatanganinya, Harper," kata Hazelt. "Urusan kamu merobek atau nggak, itu bukan urusanku!" Harper semakin merapat hingga tak ada jarak diantara mereka. Berbisik namun penuh ancaman. "Bagaimana kalau aku mengungkap rahasia pernikahan kita kepada Charlie? Aku penasaran dengan reaksinya, Hazelt?" Harper mengusap cap ujung kukunya di dagu Hazelt.Hazelt merasakan keringat dingin memb