Meski ia tidak melihat jelas wajah Harper, ia yakin wajah mantan suaminya itu memerah menahan malu. Kemudian, ia beralih kepada Charlie, "Charlie, terima kasih juga atas dukungan anda yang tak ternilai."Hazelt mengangguk menghormati Charlie yang kaget mendengar sambutan khusus darinya. Ia segera mengenali calon tunangannya dari ciri-ciri yang diberikan oleh nyonya Karen. Meskipun mereka belum berkenalan intens."Terimakasih, nona Hazelt Trevor," jawab Charlie sopan dan hangat.Hazelt menekan rasa gugup dan tetap menjaga wibawanya, saat berbicara di depan para pemegang saham. Sesaat setelah semua pandangan tertuju padanya, satu demi satu, poin-poin agenda yang diajarkan Tuan Rich Trevor dibahasnya, sampai akhirnya Hazelt berhasil menunjukkan kapasitasnya sebagai pemimpin. Menyelesaikan rapat umum yang panjang dan melelahkan, Hazelt menghela napas lega telah menyelesaikan tantangan pertamanya.Riuh rendah suara yang berpamitan
Takut namun Halzet berpura-pura tidak perduli, tenang ia menjawab, "apa yang akan kamu lakukan padanya? Aku yakin kamu juga mengenal siapa dia, Harper."Harper menarik tatapannya dari Charlie, kemudian beralih menatap lekat di wajah Hazelt yang penuh percaya diri menantangnya."Bukan dia, tapi kamu, Hazelt!" Harper menaikkan salah satu alisnya. Sesaat mempermainkannya dengan tatapan remehnya. GLUKKSpontan Hazelt meneguk liurnya. Beberapa detik memalingkan wajahnya dari tatapan Harper, guna menutupi rasa gugupnya. Ia juga yakin banyak yang bisa dilakukan Harper untuk menyudutkannya. Tetapi, Harper belum tahu, kalau ia juga bisa mempengaruhi nama baik jabatannya sebagai CEO."Apa yang akan kamu lakukan padaku?" Pelan Hazelt bertanya sembari terus mengawasi Charlie. Ia menjaga suaranya agar calon tunangannya tersebut tidak mendengar perdebatannya dengan Harper.Harper tertawa senang melihat ketakutan yang tercetak di wajah Ha
Hazelt berusaha tersenyum, tapi rasanya hambar. Ia tidak pernah berpikir malam ini juga Harper datang ke sana, alih-alih membawa Nancy. Sejenak Hazelt menghela nafas panjang, sebelum kembali fokus memperhatikan Charlie. Pria ini begitu peka dengan perasaannya dan membuatnya merasa nyaman. Tetapi sekitar seakan-akan menekan dan membuatnya sulit menenangkan diri."A-aku baik-baik saja. Hanya sedikit terkejut melihat Harper dan istrinya juga ada di sini," jawab Hazelt, berusaha keras mengatur suaranya.Hazelt mengalihkan pandangan ke meja Harper dan mengangkat gelasnya seolah-olah bersulang dengannya. Charlie menunjukkan ekspresi kaget yang sama, namun segera menguasainya. Tempat mereka sekarang ini adalah tempat umum, mungkin kebetulan saja mereka berkencan di tempat yang sama. Charlie segera mengangkat gelasnya turut seolah-olah bersulang dengan Harper. Mau tak mau, tepaksa Harper juga mengangkat gelasnya, namun wajahnya tampak din
Lampu-lampu di restoran Italia itu berpendar lembut, memantulkan senyum gugup Hazelt menunggu setiap kata yang hendak diucapkan oleh Charlie."Hazelt," suara Charlie menyadarkan kegugupannya. Sejenak pria di seberangnya menarik nafas panjang. "Aku... aku harus mengakui sesuatu padamu." Dia juga kelihatan sedikit gugup.Hazelt menelan ludah. "Ya, Charlie?" kata Hazelt, menyela pikiran berkecamuknya.Charlie menarik napas dalam-dalam, lalu menatapnya dengan lembut. "Sejak hari Tuan Rich Trevor menceritakan tentang dirimu, aku langsung menyukaimu, padahal kita belum pernah bertemu." Charlie tertawa kecil, terlalu basa-basi. "Ketika disaat rapat umum itu, aku benar-benar terpesona dengan kecantikan dan kecakapan kamu. Sejujurnya, aku begitu menyukaimu."Hazelt menelan ludah. Di bawah meja, tangannya meremas angin erat.“Charlie, itu sangat manis,” jawab Hazelt, suaranya terdengar sedikit bergetar. Berusaha menahan senyumnya agar tidak t
Lampu-lampu di restoran Italia itu berpendar lembut, memantulkan senyum gugup Hazelt menunggu setiap kata yang hendak diucapkan oleh Charlie."Hazelt," suara Charlie menyadarkan kegugupannya. Sejenak pria di seberangnya menarik nafas panjang. "Aku... aku harus mengakui sesuatu padamu." Dia juga kelihatan sedikit gugup.Hazelt menelan ludah. "Ya, Charlie?" kata Hazelt, menyela pikiran berkecamuknya.Charlie menarik napas dalam-dalam, lalu menatapnya dengan lembut. "Sejak di hari Tuan Rich Trover menceritakan tentang dirimu, aku langsung menyukaimu, padahal kita belum pernah bertemu." Charlie tertawa kecil, terlalu basa-basi. "Ketika disaat rapat umum itu, aku benar-benar terpesona dengan kecantikan dan kecakapan kamu. Sejujurnya, aku begitu menyukaimu."Hazelt menelan ludah. Di bawah meja, tangannya meremas angin dengan erat.“Charlie, itu sangat manis,” jawab Hazelt, suaranya terdengar sedikit bergetar. Berusaha menahan senyumnya agar tidak terlihat dipaksakan. “Tapi, aku rasa kamu
"Harper, lepaskan" Hazelt meringis dengan memohon, suaranya pelan bergetar. Mencoba untuk tidak menarik perhatian orang-orang.Harper menarik tangannya dengan cara menyentak, berdiri tegak menatap Hazelt dengan dingin. "Apa kamu pikir sepenting itu kamu dan Charlie? Bagaimana denganku, Hazelt? Apa aku tidak penting?" Harper membungkuk ke depan, sehingga wajah keduanya nyaris bersentuhan. Hazelt tidak nyaman dengan situasinya, mundur beberapa langkah. Namun, Harper terus memepetnya sampai ia tersudut ke sudut dinding."Kamu yang memintanya dan aku sudah menandatanganinya, Harper," kata Hazelt. "Urusan kamu merobek atau nggak, itu bukan urusanku!" Harper semakin merapat hingga tak ada jarak diantara mereka. Berbisik namun penuh ancaman. "Bagaimana kalau aku mengungkap rahasia pernikahan kita kepada Charlie? Aku penasaran dengan reaksinya, Hazelt?" Harper mengusap cap ujung kukunya di dagu Hazelt.Hazelt merasakan keringat dingin memb
Hazelt menghela nafas panjang, saat mobilnya berhenti di depan gedung langit berkilauan, dengan logo 'Stone Harper Corp' tertera di puncaknya. Entah apa maksud Tuan Rich Trover, 'memaksanya' datang ke sini, bukan untuk urusan pribadi, tapi sebagai salah satu arahan pekerjaan. Alasan yang dibuat-buat sebenarnya, namun tetap saja, ia tidak bisa menolak.Saat memasuki lobi Harper Corp dengan jantung berdebar. Ia disambut aroma maskulin khas Harper yang masih sama menyambutnya, tanpa sadar ia menarik napas dalam-dalam."Hazelt." Suara berat Harper yang berdiri di depan lift menyadarkannya, bahwa dirinya ke sini untuk urusan profesional.Harper, dengan pengaturan jasnya yang selalu sempurna, membawanya ke ruang eksekutif. “Hazelt,” ucapnya lembut. "Aku tahu kamu pasti datang ke sini." "Seperti yang kamu tahu, aku ke sini atas perintah Tuan Rich Trover," kata Hazelt bersikap dingin dan profesional. Cepat-cepat Hazelt
Hazelt menyeka kedua matanya dengan punggung tangannya. "Aku akan segera mengirimkannya kembali setelah diperbaiki.""Hazelt, aku minta maaf. Sekarang Nancy sudah pergi, mari lanjutkan pembicaraan kita," kata Harper menunjuk ke arah meja."Tidak, aku harus pergi. Terimakasih."Hazelt berbalik dan berjalan keluar dari ruangan, meninggalkan Harper yang terpaku di tempatnya berdiri.Hatinya dipenuhi rasa sakit yang terus menerus, Hazelt sudah tidak sabar ingin segera mengakhiri urusannya dengan Harper***Hazelt melangkah tergesa-gesa masuk ke ruang direksi, heel sepatunya yang tinggi beradu cepat dengan lantai marmer, menciptakan gema yang khas di lorong jalan. Pertemuan bisnis tadi yang seharusnya profesional malah berubah menjadi menyedihkan. "Aku harus tegas!" Hazelt bergumam, menjatuhkan diri ke kursinya, menghela napas panjang dengan pikirannya berkecamuk. "Apa maunya sekarang?" Lama-lama gerah, ia tampak menyedihkan di pandangan Harper, terlebih Nancy. Namun, tidak ada yang bi
Hazelt meninggalkan kafe ketika jam sudah menunjuk pukul dua dini hari. Udara malam yang dingin seakan-akan menembus kaca mobilnya, membuat tubuhnya menggigil.Ada baiknya juga menerima tawaran Harper menginap di hotel tadi. Tapi, ia tidak mau memberikan celah kepada Harper hubungan mereka kembali.Hazelt mengambil tasnya dan mengeluarkan ponselnya yang berdering."Charlie," desisnya memperlambat laju mobil. Ia bingung harus mengangkat teleponnya, tapi ia juga butuh bantuan pria itu saat ini. Di sisi lain, ia juga takut jika Charlie tahu ia baru saja bertemu Harper. "Arghh! Harus bagaimana lagi ini?" gumamnya kesal. Perjalanan menuju mansion Rich Trevor masih jauh, sementara kedua tangannya seolah membeku dan sulit mengendalikan kemudi mobil.Hazelt memasukkan kembali ponselnya ke tasnya. Sekilas melirik ke kaca spion, mobil mewah Harper terus mengikuti tepat di belakang mobilnya.Mau tak mau, Hazelt memaksa mela
“Hazel, dengarkan aku. Semua ini bukan kesalahanmu, tetapi kesalahanku." Beberapa detik Harper tertunduk, sebelum kembali mengangkat kepala melihat mantan istrinya dengan lembut. Pancaran sinar matanya menunjukkan penyesalannya telah menyia-nyiakan wanita sebaik Hazelt. Dia terlambat mengenali Hazelt sesungguhnya, dia dibutakan oleh rayuan dan hasutan Nancy."Tidak seharusnya aku membuatmu menjadi taruhan dengan Justin waktu itu." Harper membuang pandangannya ke samping. Hazelt meneguk liur. Ia pernah mendengar nama Justin, dan pernah melihat pria itu sekilas, ketika Harper membawanya malam itu ke sebuah bar. Meskipun sekilas namun wajah pria itu lekat di ingatannya. Di bar mereka bertemu dengan Justin, yang mengaku sepupunya Harper. Tetapi, ia tidak tahu kalau dirinya dibuat taruhan.Hazelt yang tidak tahu apa-apa, pun ke sana untuk menebus kesalahannya kepada Harper kala itu. Ia menyaksikan Harper bertengkar hebat dengan Justin, pada akhirn
Hazelt serba salah sekarang. Ia tidak habis pikir Nancy menuduhnya begitu buruk. Sempat Hazelt berpikir, Nancy tidak berani lagi bersikap seperti ini kepadanya, setelah mengetahui siapa dirinya. Tetapi, yang ia lihat, wanita itu malah semakin keras menyudutkannya. Dan, ia tidak mampu untuk membalas.Untuk kesekian kalinya, Hazelt menghela nafas panjang. "Kita bukan anak-anak lagi, Nancy. Kamu menyakiti dirimu sendiri hanya karena cemburu. Sementara kamu juga tahu aku dan Harper sudah bercerai. Mungkin dia menginginkanmu atau tidak, bukan urusanku.""Jangan sok suci, Hazelt. Aku bisa melihat kamu yang selalu mendatangi Harper, bahkan di depan mataku kamu menggenggam tangannya tadi. Apa semua itu, Hazelt?" gusar Nancy, mulai menendang ban mobil dengan brutal. "Aku akan membuatmu membayar mahal semua sakit hatiku selama ini! Ingat itu, Hazelt! Aku akan membuatmu membayar!" Dia memberikan ancaman keras kepada Hazelt.Hazelt merasa ngeri. Segera tahu Nancy sedang tidak bisa diajak bicara
"Tidak perlu mengusirnya, Harper. Kebetulan urusan kita sudah selesai, aku harus pergi sekarang," ujar Hazelt mengambil tasnya. Kemudian, Hazelt berbalik, meninggalkan Harper dan Nancy. Ia gerah bila terus-terus direndahkan Nancy."Hazelt, tunggu?" Harper berlari mengejarnya. Takut terjadi keributan di sana, Hazelt yang tengah bersiap masuk lift langsung berhenti. Berbalik badan melihat Harper."Hazelt, aku minta maaf atas perlakuan Nancy tadi. Aku harap kamu tidak kecewa padaku."Hazelt melirik jam tangannya, kemudian tersenyum manis. "Lupakan saja. Sekarang aku harus segera kembali ke kantor," ujarnya menutupi rasa sakit hatinya."Oiya, kamu ada kesibukan malam ini?" Hazelt menaikkan pandangan kepada Harper, sebenarnya ia juga butuh bicara intens dengannya. Namun, mengingat Nancy, ia urungkan niatnya."Iya, aku ada acara malam ini dengan teman lama Tuan Rich Trover."Hazelt segera masuk bersamaan
Perasaan Harper hancur, menyembunyikan wajahnya yang penuh penyesalan dari Hazelt. Seolah-olah tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Hazelt, aku mohon jangan tinggalkan aku." Hazelt membeku, baru tahu, selain tempramen Harper juga ternyata sangat cengeng."Hentikan tangisanmu itu, Harper. Aku tidak mau dikira menyakitimu." Hazelt menarik salah satu kursi di sana dan menghenyakkan bokongnya.Kemudian, menarik kursi di sebelahnya dan mendorongnya kepada Harper."Duduklah, masih ada yang ingin aku bicarakan sekarang, Harper," ujar Hazelt menekan rasa kasihannya melihat Harper."Hazelt, aku berjanji akan melakukan apapun yang kamu inginkan, asal kamu kembali padaku."Harper duduk merapat dengannya. Mantan suaminya itu terus saja memohon-mohon dengan merengek bak anak kecil.Merasa tidak nyaman karena didesak terus menerus, Hazelt gerah dengan sikap kekanakan Harper."Aku mohon jangan memaksaku, Harper! Kamu tidak bisa merasakan banyaknya luka yang kamu torehkan selama ini!" Hazelt
Rahasia masa lalu terus menghantui. Yang selalu ia lakukan cuma bisa terus berbohong kepada keluarga Rich Trover. Di mata mereka, Dirinya adalah gadis yatim piatu yang gigih dan pekerja keras, diangkat menjadi putri Tuan Rich Trover karena keberuntungannya."Omong kosong apa itu, Hazelt," ujar nyonya Karen tegas namun lembut. "Kamu kebahagian kami, kami yakin Charlie juga sangat beruntung memilikimu.""I-iya, Ma. Beri aku waktu beberapa bulan lagi untuk mempertimbangkan dengan matang, Pa, Ma. Aku belum terbiasa berkencan dengan tuan muda kaya raya." Hazelt mencoba menawarkan, suaranya bergetar. Tuan Rich Trover menghela napas. "Hazelt, kami hanya ingin memberi yang terbaik untukmu. Charlize adalah orang yang tepat." Tuan Rich Trover menepuk pelan bahunya. "Jangan pernah merasa minder, Hazelt. Kamu saja yang tidak menyadari kemampuanmu. Dalam waktu singkat saja, kamu sudah terbiasa memimpin perusahaan besar. Apa itu belum cukup, Hazelt?"
Hazelt menyeka kedua matanya dengan punggung tangannya. "Aku akan segera mengirimkannya kembali setelah diperbaiki.""Hazelt, aku minta maaf. Sekarang Nancy sudah pergi, mari lanjutkan pembicaraan kita," kata Harper menunjuk ke arah meja."Tidak, aku harus pergi. Terimakasih."Hazelt berbalik dan berjalan keluar dari ruangan, meninggalkan Harper yang terpaku di tempatnya berdiri.Hatinya dipenuhi rasa sakit yang terus menerus, Hazelt sudah tidak sabar ingin segera mengakhiri urusannya dengan Harper***Hazelt melangkah tergesa-gesa masuk ke ruang direksi, heel sepatunya yang tinggi beradu cepat dengan lantai marmer, menciptakan gema yang khas di lorong jalan. Pertemuan bisnis tadi yang seharusnya profesional malah berubah menjadi menyedihkan. "Aku harus tegas!" Hazelt bergumam, menjatuhkan diri ke kursinya, menghela napas panjang dengan pikirannya berkecamuk. "Apa maunya sekarang?" Lama-lama gerah, ia tampak menyedihkan di pandangan Harper, terlebih Nancy. Namun, tidak ada yang bi
Hazelt menghela nafas panjang, saat mobilnya berhenti di depan gedung langit berkilauan, dengan logo 'Stone Harper Corp' tertera di puncaknya. Entah apa maksud Tuan Rich Trover, 'memaksanya' datang ke sini, bukan untuk urusan pribadi, tapi sebagai salah satu arahan pekerjaan. Alasan yang dibuat-buat sebenarnya, namun tetap saja, ia tidak bisa menolak.Saat memasuki lobi Harper Corp dengan jantung berdebar. Ia disambut aroma maskulin khas Harper yang masih sama menyambutnya, tanpa sadar ia menarik napas dalam-dalam."Hazelt." Suara berat Harper yang berdiri di depan lift menyadarkannya, bahwa dirinya ke sini untuk urusan profesional.Harper, dengan pengaturan jasnya yang selalu sempurna, membawanya ke ruang eksekutif. “Hazelt,” ucapnya lembut. "Aku tahu kamu pasti datang ke sini." "Seperti yang kamu tahu, aku ke sini atas perintah Tuan Rich Trover," kata Hazelt bersikap dingin dan profesional. Cepat-cepat Hazelt
"Harper, lepaskan" Hazelt meringis dengan memohon, suaranya pelan bergetar. Mencoba untuk tidak menarik perhatian orang-orang.Harper menarik tangannya dengan cara menyentak, berdiri tegak menatap Hazelt dengan dingin. "Apa kamu pikir sepenting itu kamu dan Charlie? Bagaimana denganku, Hazelt? Apa aku tidak penting?" Harper membungkuk ke depan, sehingga wajah keduanya nyaris bersentuhan. Hazelt tidak nyaman dengan situasinya, mundur beberapa langkah. Namun, Harper terus memepetnya sampai ia tersudut ke sudut dinding."Kamu yang memintanya dan aku sudah menandatanganinya, Harper," kata Hazelt. "Urusan kamu merobek atau nggak, itu bukan urusanku!" Harper semakin merapat hingga tak ada jarak diantara mereka. Berbisik namun penuh ancaman. "Bagaimana kalau aku mengungkap rahasia pernikahan kita kepada Charlie? Aku penasaran dengan reaksinya, Hazelt?" Harper mengusap cap ujung kukunya di dagu Hazelt.Hazelt merasakan keringat dingin memb