“Apa-apaan ini!” Kusuma melotot sembari berkacak pinggang melihat apa yang keduanya perbuat.
Karan menoleh, nyaris memukul lagi. Ia berhenti setelah Kusuma mendorongnya ke samping.“Cuh!” Farel meludah. Darah segar terciprat ke lantai.“Karan!” Ailyn membantunya berdiri. Pria itu menepis. Amarah masih memenuhi dirinya. Sesaat ia lupa di mana kini berada.“Apa yang terjadi sampai kalian lupa tempat? Berkelahi seperti anak kecil!” Kusuma menoleh ke arah pintu, di mana Jovan dan Geri muncul.“Tutup pintunya! Jangan biarkan siapa pun mendekat!” teriak Kusuma. Geri dan Jovan kompak mengangguk, bersamaan menutup pintu.“Tanya saja padanya! Apa yang dia lakukan pada Ailyn saat keadaan sepi.” Karan menunjuk ke arah wajah Farel yang lebam.Napas keduanya tersengal akibat perkelahian tadi. Kusuma yang mulai curiga, meminta Farel untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.“Hanya salah paham, Pa. Kakak yKaran tengah sibuk meeting. Sejak kejadian kemarin, dia jadi ingin lebih fokus pada pekerjaan agar bisa melupakan Ailyn. “Bagaimana menurut kalian? Apa kita perlu mencoba bisnis ini? Belakangan santer terdengar bahwa showroom cukup menjanjikan.” Karan duduk setelah menyampaikan banyak hal mengenai peluncuran parfum terbaru perusahaan. “Kami mendapat kabar kalau Tuan Farel yang akan menangani. Ke mana dia sekarang?” Louis membuka kacamata dan meletakkannya di atas meja. “Dia tengah cuti. Untuk sementara, tugas ini biar Jovan yang menangani.” Karan berupaya kejadian sebelumnya tak terdengar siapa pun. Bukan hanya demi nama baik perusahaan, melainkan dia harus melindungi Ailyn dari perspektif masyarakat. “Kalau begitu, bagaimana kalau kita bahas ini setelah acara ulang tahun Tuan? Masih ada waktu 4 hari lagi. Selama itu, kita bisa menyiapkan perencanaan yang matang,” usul Louis. Karan mengangguk. Kepalanya tak
Ailyn terdiam berpangku tangan sembari memerhatikan pantulan dirinya di cermin. Sudah beberapa kali mengirim pesan pada Karan, pria itu tak membalas. “Tumben centang satu dari kemarin. Aku jadi semakin takut.” Ailyn kembali mengecek ponsel. Tak ada apa-apa selain pesan dari Alex. Sebuah foto dikirim padanya. Foto yang memerlihatkan tumpukan undangan pernikahan yang akan disebar. Ailyn memejamkan mata. Menelepon Karan sudah tak bisa. Mungkinkah harus datang ke kantor dan bicara langsung? “Tidak, tidak bisa! Aku sudah berjanji tidak akan meminta bantuannya lagi.” Ailyn memerhatikan ranjang, di mana gaun indah berwarna putih terhampar di sana. “Jelas tak mungkin untuk kabur. Selain aku dijaga ketat, Karan pasti yang akan disalahkan meski tak terlibat.” Ailyn merebahkan kepala pada meja rias. Air matanya menganak sungai. Rindu mendadak menyapa. Dua hari tak ada kabar dari Karan, benar-benar membuatnya tak tenang.
Pagi yang cukup hening, di mana gerimis melanda saat Karan mengawasi rumah Ailyn. Jam baru menunjukkan pukul 07.44 saat mobil itu diparkir di kejauhan. “Kenapa dia tidak menghubungi? Apa dia benar-benar ingin menjauh dariku?” Karan memeriksa ponsel. Tak pernah ada pesan masuk dari Ailyn sejak hari itu. Tak berani menghubungi lebih dulu apa lagi berkunjung ke rumahnya, Karan hanya bisa mengawasi dari jauh seperti kemarin saat pulang dari rumah Alex. “Kemarin dia tidak ke kantor, kan?” tanyanya pada Jovan yang juga menoleh ke arah rumah yang pintunya tertutup. “Tidak, Tuan.” Jovan menjawab dengan tegas. Karan menghela napas. Undangan kemarin serasa menampar pipinya dengan keras. Dadanya sakit. Semalaman ia tak bisa tidur memikirkan Ailyn. “Aku merindukannya. Sesaat saja melihat, tak apa,” lirih Karan. Pandangannya kembali tertuju pada pintu yang perlahan dibuka. Tampak Mohan menuju ke teras rumah, di mana mob
Alex kedatangan tamu yang sempat dicurigai sebagai pengkhianat. Nayden dan Zamaan menyempatkan diri mampir ke mansion. “Apa ada alasan khusus kenapa kalian datang ke sini?” Alex meraba pisau yang disembunyikan di dalam celah kaos kaki. “Jangan berprasangka buruk, Alex. Aku sengaja mengikutimu karena ada bisnis penting yang akan aku bahas,” ulas Zamaan. Polisi itu tersenyum sembari meminta Nayden membuka isi tas yang menunjukkan sejumlah besar uang, berharap uang itu akan membuat Alex senang. “Bisnis apa yang kalian inginkan?” Alex memerhatikan Lusi dan Gandhi yang siap siaga berada di pintu masuk ruangan itu. “Ini bukan tentang kokain atau senjata ilegal. Kali ini aku ingin berbisnis yang baru.” Zamaan memasang resleting tas. “Tak usah bertele-tele. Ke intinya saja.” Alex tak sabar ingin mendengar apa yang membawa keduanya jauh-jauh dari Bangladesh. “Aku dengar, prostitusi di Indonesia cukup menjanjikan. Bag
Ailyn kembali dibuat kesal sebab Alex berada di rumahnya saat dia pulang syuting. “Ambillah bunga ini. Aku lihat yang tadi kau buang.” Alex menyerahkan buket bunga berwarna putih, berbeda dengan tadi yang mawar merah. “Kenapa Om di sini?” Ailyn melempar tas nyaris mengenai paha Alex. Pria itu sedikit tersentak, tapi buru-buru tersenyum. “Pertanyaan macam apa ini, Ailyn? Tentu saja aku ke sini untuk menemuimu.” Alex berdiri, menghampiri Ailyn yang langsung bersingsut, duduk menjauh. “Kita kan sudah sepakat tidak akan menikah,” ujarnya mengingatkan. “Iya, iya. Aku kan hanya ingin berbincang saja. Masa tidak boleh.” Alex yang datang seorang diri ketika Mohan tidak ada, merasa lebih leluasa. “Sudahlah, pergi sana. Aku akan mencari pasangan secepatnya. Jadi, berhenti berharap.” Ailyn berdiri. Alex menarik napas. Berhadapan dengan Ailyn harus ekstra sabar. Diletakkannya buket bunga di atas meja. “Jangan bilan
“Kenapa hanya pura-pura pacaran? Kenapa tidak serius saja?” Karan datang dan langsung membahas tentang semalam. “Tidak bisa, Karan. Ayolah, mengerti keadaan kita.” Ailyn membelakangi. Hamparan rumput yang luas di padang itu membuatnya merasa nyaman. “Lalu, apa rencanamu?” Karan mendekat, ikut menatap kosong ke arah rerumputan yang letaknya lumayan jauh dari rumah Ailyn. “Aku tak tahu. Aku tak mengira Farel akan lancang datang dan membuat semua kian kacau.” Ailyn menarik napas dalam-dalam. Udara di bawah pohon rindang itu cukup nyaman. Selain meneduhkan, juga memberikan ketenangan. “Kalau hanya mengaku sebagai pacar, tak akan ada yang percaya. Bagaimana kalau kita kencan? Kita kunjungi beberapa tempat, berswafoto layaknya pasangan.” Karan memberi usul yang langsung membuat Ailyn mengernyit. “Haruskah?” tanyanya, tak yakin. “Apa kau punya cara lain?” Karan balik bertanya. Ailyn menggeleng. Seperti yang Hadid
Malam yang dinantikan telah tiba. Karan menuruni tangga menuju ke lantai bawah, di mana semua orang sudah berkumpul untuk acara ulang tahunnya. “Mama!” Karan melambaikan tangan, sedikit memelankan suara melihat Marina dan Kiran datang. Kiran langsung berlari mendekat sambil menyerahkan kotak hadiah. “Selamat ulang tahun, Kakak,” ujarnya. “Makasih, Sayang.” Karan mencubit pipi Kiran, lalu menyerahkan kotak hadiah itu pada Jovan yang bertugas mengumpulkan hadiah dari tamu. “Sini, Ma.” Karan menarik tangan Marina agar ikut mendekati kue ulang tahun berukuran besar di tengah ruangan. “Tidak, Nak. Mama di sini saja,” jawab Marina, memilih menjaga jarak. Melihat tatapan maut Yunita saja cukup membuatnya tahu diri dan batasan. “Huh! Kenapa wanita itu harus diundang?” Yunita mencibir sambil meremas gaunnya. “Dia berhak datang juga, Ma. Dia Mama Karan.” Kusuma menengahi. Farel yang baru muncul, langsung bergabu
Ailyn meneteskan air mata mendengar apa yang dokter katakan. Luka di kepala Alex memang tak terlalu parah, tapi efeknya bisa jangka panjang. “Kenapa Om Alex menolongku? Kenapa tidak membiarkan aku saja yang ditabrak?” Ailyn menyeka air mata melihat Alex belum sadarkan diri. Kepala dan lengan pria itu dibalut perban. Sorot mata Gandhi yang tajam padanya, membuat Ailyn semakin tersiksa. Baru saja merasa senang, sekarang sudah bersedih lagi. “Sekarang kau sadar? Tuan Alex sangat mencintaimu sampai rela mengorbankan diri,” kata Mohan, duduk di sebelah Ailyn. Ailyn mendongak. Apa hendak dikata, segalanya telah membuatnya merasa bersalah. Ailyn merasa berhutang nyawa pada pria yang kini mulai membuka mata perlahan. “Om Alex!” Ailyn menyeka air mata, berdiri di dekat Alex. Pria itu memegangi kepala, sedikit mengeluh. “Om baik-baik saja?” tanyanya, kembali meneteskan air mata. Kalau saja dia tidak bersikeras menola
“Om adalah teman Papamu. Ambil ini dan berikan pada Ailyn.” Pria itu menyerahkan kado kecil pada Kiran. “Ini apa, Om?” tanyanya dengan polos. “Berikan saja, ya. Kiran kan anak baik.” Pria itu mengelus pipi dan kepala Kiran. Setelah itu, ia menghilang dari pandangan. Heran dengan kado kecil itu, Kiran meletakkan mangkok dan berlari mendekati Ailyn. “Kak, ini untuk Kakak,” katanya. “Wah, ini apa, Sayang?” Ailyn tersenyum, menerima kado itu. Kiran menaikkan pundak. “Entah. Tadi ada pria, katanya teman Papa. Dia nyuruh Kiran memberikannya pada Kakak.” “Apa?” Ailyn terkejut. Dilihatnya sekeliling. Tidak ada wajah yang mencurigakan. Lalu, siapa pengirimnya? Dibukanya kado yang ternyata berisi surat. Jantung Ailyn berdebar hebat. Rasa takut yang sejak beberapa hari dirasakan, ternyata suatu pertanda. “Aku tahu, suatu saat aku akan mati. Entah karena penyakit yang selama ini menyerang atau terbunuh Karan. Aku sudah lama
Ailyn sedang becermin. Meja rias yang dipenuhi berbagai macam alat kecantikan itu terlihat seperti milik perias. Terinspirasi dari meja rias di rumah Lila waktu itu. "Aku merasa semakin gendut." Ailyn memeriksa tubuhnya. Malam ini adalah acara syukuran tujuh bulanan. Mereka mengundang beberapa rekan kerja, baik dari perusahaan ataupun rekan sesama artis. “Sayang, kau sudah siap?” Karan memasuki kamar. Ia berdecak kagum melihat istrinya menggunakan pakaian longgar dan panjang berwarna merah. “Wah, kau mau ke pesta apa bagaimana ini? Kok cantik sekali. Sudah seperti mau photo shoot saja.” Karan mengecup sekilas. Ailyn membiarkan Karan mengelus perutnya yang kian membesar. “Kau baru saja memberi ide. Bagaimana kalau kita photo shoot setelah ini? Aku kan model, Karan.” “Terserah kau saja. Ayo, Sayang. Tamu sudah datang.” Pria berkemeja biru itu menggandeng tangan istrinya yang mulai kesulitan berjalan. Dibiarkann
Ailyn dan Karan mendekat. Keduanya tak menyangka akan bertemu Bella setelah sekian lama. “Ka-kalian di sini?” Bella menutupi wajah anaknya dengan tas. “Itu ... Anakmu?” tanya Ailyn, sembari mengusap perut. Bella mengangguk, sedikit gugup. Ia malah menoleh ke kanan dan kiri seperti menunggu seseorang. “Apa yang kau lakukan panas-panas begini di parkiran?” Karan ikut memerhatikan sekitar. Tak ada siapa pun yang bisa diperhatikan. “A-aku menunggu sopir.” Bella menjawab dengan terbata-bata, sementara sang anak mengibas tangannya sampai tas itu terjatuh. Gelagapan Bella memungutnya sebelum diambil Karan yang juga membungkukkan badan hendak membantu. Sopir? Anak kecil? Ada banyak pertanyaan di benak Ailyn. Selama ini yang ia tahu Bella dikirim ke luar kota karena hamil anak Krishna yang belum keluar dari penjara."Papamu membantu keuanganku sampai sekarang. Dia juga yang menyediakan tempat tinggal dan sopir," tutur
Jovan melirik sekilas. Mendadak ia juga merasa khawatir. Apa yang sebenarnya terjadi pada majikannya? Kenapa rasa bahagia itu lenyap seketika? “Karan, a-aku tidak tahu harus bagaimana. Yang jelas, anak ini milik kita. Anakku dan anakmu.” Ailyn menangis, menyentuh perutnya. Melihat istrinya menangis, Karan tertawa keras sampai terpingkal-pingkal. Hal itu membuat Ailyn penasaran, apa yang terjadi. “Aku tahu, Sayang. Aku hanya bercanda. Masa iya, aku meragukan kehamilanmu. Ada-ada saja kau ini.” Karan memeluk Ailyn yang memukul dadanya karena kesal. Sesaat tadi pikirannya sudah negatif. Beberapa detik lalu rasanya amarah ingin meluap. “Jahat!” Ailyn memukul, tapi semakin mengencangkan pelukan. Mendapati semua hanya candaan semata, Jovan mengurut dada, lega. Keduanya pun sepakat untuk pergi ke dokter kandungan sebelum memberitahukan kabar baik itu pada keluarga. Sesampainya di rumah sakit .... “Selam
Hari yang hening, di mana bunga-bunga nan indah beserta daun pandan yang diiris tipis ditaburkan ke makam. Suara tangis bersahutan. “Papa!” rintihan dan kesedihan tergambar jelas di wajah mungil itu. Wajah yang kini semakin basah karena air mata. Makam dengan batu nisan berwarna putih bertuliskan nama seseorang mulai ditaburi bunga. Alex Brawijaya. Seorang pria yang tewas dalam perkelahian semalam. “Jangan bersedih. Ini sudah takdir, Sayang,” bisik Ailyn, merangkul pundak adik iparnya yang terus saja memeluk batu nisan. Karan ikut berjongkok. Peristiwa semalam bukan hanya kelabu, tapi gelap segelap-gelapnya. Seorang pria dengan obsesi tinggi telah pergi untuk selamanya. “Iya, Sayang. Biarkan Papa beristirahat dengan tenang.” Karan menimpali. Air matanya turut menetes. Ditolehnya beberapa orang yang mulai meninggalkan pemakaman. Sengaja makam Alex diletakkan bersebelahan dengan makam Marina, sesuai permintaan Kiran.
Kusuma berlari keluar dari mobil menuju ke rumah sakit. Ia dikabari sang istri sakit perut sampai dilarikan ke rumah sakit. Namun, belum juga menginjakkan kaki di tempat itu, pengawal pribadi Ailyn mencegah. “Tuan, tak perlu masuk,” katanya. “Memang kenapa? Apa wanita itu ... maksudku, Yunita baik-baik saja?” Kusuma enggan menyebut kata istri. “Dia hanya pura-pura sakit agar bisa mengecoh kita. Nyaris saja saya kecolongan kalau tidak segera membaca situasi,” paparnya, membuat Kusuma mengernyitkan dahi. “Mengecoh? Kecolongan? Apa yang kau bicarakan? Tunggu! Kau siapa?” Kusuma baru menyadari pria asing yang kini bicara dengannya tak pernah ia kenal. “Saya pengawal pribadi Nona Ailyn mulai hari ini. Tadi saya dan beberapa teman diminta mengantar Nyonya ke sini, tapi saya mendapat telepon anak buah diserang.” Pria itu menceritakan bahwa saat ini anak buahnya dikunci di kamar bersama pengawal yang lain, termasuk pelayan da
“Emmm .... “ Ailyn berusaha melepaskan ikatan yang membelenggu kaki dan tangannya. Karena mulutnya disumpal dengan sapu tangan, ia tak bisa berteriak. Semua terjadi begitu cepat tanpa bisa dicegah. “Sstttt! Jangan berisik, Sayang. Aku datang untuk memberi akhir yang indah pada cerita kita,” lirih Alex, mengusap pipi Ailyn dengan jarinya. Berhasil mengikat kedua tangan dan kaki Ailyn di atas ranjang, Alex melempar masker dan topi sembarangan ke lantai. “Emmmm!” Ailyn berusaha keras melepaskan ikatan yang terasa menyakiti pergelangan tangan dan kaki. “Ah, aku merasa terlalu jahat. Kau pasti ingin bicara denganku, kan?” Alex menaiki ranjang, membuka sumpal di mulut Ailyn. “Sialan!” Ailyn bernapas tersengal, membiarkan rambutnya menghalangi wajah. Keringat dingin mulai deras mengucur di kening dan lehernya. “Jangan terlalu kasar. Aku datang untuk menjemputmu. Lihat, aku bawakan surat ceraimu.” Alex mengeluarkan kertas yang
Meskipun Yunita melarangnya masuk ke kamar, tetap saja Ailyn bersimpati dengan sering-sering memeriksa keadaan mertuanya. “Keluar kau! Aku tak sudi melihatmu!” Ailyn menghela napas, menoleh pada Yunita yang menarik selimut hingga menutupi sebagian wajahnya. “Ya sudah. Aku akan keluar. Mama cepat sembuh biar kita bisa ribut lagi.” Ailyn bangkit, menuju ke pintu. “Kenapa kau selalu membuatku emosi, Wanita Sialan!” Yunita menyingkap selimut, lalu menggulungnya dengan cepat. Seolah tahu apa yang akan mertuanya lakukan, Ailyn bergegas keluar dan menutup pintu. Tepat saat pintu ditutup, selimut melayang dan mengenai lantai. Yunita bernapas kasar. “Kau bisa keluar. Buat Ailyn tetap berada di kamarnya agar rencana kita berjalan lancar,” kata Yunita. Pintu kamar mandi terbuka. Tampak Farel keluar dengan wajah dipenuhi senyuman. “Farel pergi dulu.” Pria itu mengendap-endap keluar dari kamar Yunita. Sementara itu
Ailyn menyenggol lengan suaminya saat melihat Yunita muncul dengan wajah suram, seolah kurang tidur. Kantung matanya menghitam. “Sepertinya, ada yang kurang tidur,” bisik Karan. Suasana masih sepi di ruang makan itu, sampai Kusuma menoleh pada istrinya yang duduk sembari memegangi perut. “Kau mirip sekali dengan kuntilanak kesurupan.” Kusuma bicara tanpa memandang. Tangannya bergerak cepat menyendok makanan. “Pa, panggilkan dokter. Mama sakit perut, mencret,” bisik Yunita, tapi tetap terdengar jelas di telinga Karan yang duduk di depannya. “Kau kan bisa panggil sendiri. Tak usah manja. Kau bukan anak kecil lagi,” kata Kusuma, meminum air. Ailyn dan Karan menunduk, menahan tawa. Sepertinya, harapan Karan terkabul agar Yunita sakit perut dan mencret. “Ih, Papa! Sakit sekali loh ini. Masa Papa tega membiarkan Mama kesakitan.” Yunita menyentuh bagian belakang tubuhnya yang sedikit terangkat. “Memang apa yang ka