Malam yang dinantikan telah tiba. Karan menuruni tangga menuju ke lantai bawah, di mana semua orang sudah berkumpul untuk acara ulang tahunnya.
“Mama!” Karan melambaikan tangan, sedikit memelankan suara melihat Marina dan Kiran datang. Kiran langsung berlari mendekat sambil menyerahkan kotak hadiah.“Selamat ulang tahun, Kakak,” ujarnya.“Makasih, Sayang.” Karan mencubit pipi Kiran, lalu menyerahkan kotak hadiah itu pada Jovan yang bertugas mengumpulkan hadiah dari tamu.“Sini, Ma.” Karan menarik tangan Marina agar ikut mendekati kue ulang tahun berukuran besar di tengah ruangan.“Tidak, Nak. Mama di sini saja,” jawab Marina, memilih menjaga jarak. Melihat tatapan maut Yunita saja cukup membuatnya tahu diri dan batasan.“Huh! Kenapa wanita itu harus diundang?” Yunita mencibir sambil meremas gaunnya.“Dia berhak datang juga, Ma. Dia Mama Karan.” Kusuma menengahi.Farel yang baru muncul, langsung bergabuAilyn meneteskan air mata mendengar apa yang dokter katakan. Luka di kepala Alex memang tak terlalu parah, tapi efeknya bisa jangka panjang. “Kenapa Om Alex menolongku? Kenapa tidak membiarkan aku saja yang ditabrak?” Ailyn menyeka air mata melihat Alex belum sadarkan diri. Kepala dan lengan pria itu dibalut perban. Sorot mata Gandhi yang tajam padanya, membuat Ailyn semakin tersiksa. Baru saja merasa senang, sekarang sudah bersedih lagi. “Sekarang kau sadar? Tuan Alex sangat mencintaimu sampai rela mengorbankan diri,” kata Mohan, duduk di sebelah Ailyn. Ailyn mendongak. Apa hendak dikata, segalanya telah membuatnya merasa bersalah. Ailyn merasa berhutang nyawa pada pria yang kini mulai membuka mata perlahan. “Om Alex!” Ailyn menyeka air mata, berdiri di dekat Alex. Pria itu memegangi kepala, sedikit mengeluh. “Om baik-baik saja?” tanyanya, kembali meneteskan air mata. Kalau saja dia tidak bersikeras menola
Alex tengah disuapi Ailyn. Wanita itu tampak lemah. Kelopak matanya menghitam, terlihat jelas bekas tangisan dan kurang tidur. “Kalau kau terpaksa dengan rencana pernikahan ini, kita batalkan saja,” lirih Alex sembari mengunyah. “A—“ Ailyn sudah pun menganga hendak bicara, tapi Mohan mendahuluinya. “Kenapa harus merasa terpaksa? Ini sudah tanggung jawab Ailyn. Dia harus berterima kasih sebab Tuan mengorbankan diri deminya.” Mohan muncul membawa gaun baru untuk Ailyn. Pria itu menunjukkan gaun yang akan dipakai nanti malam saat acara pernikahan dilangsungkan. “Apa aku harus mengundang para tetangga juga? Mereka pasti senang mendengar pernikahan Ailyn.” Indah dan suaminya memasuki kamar. Keduanya tampak senang. Jelas sekali sebab Ailyn tahu keduanya sudah diberi banyak uang oleh Alex agar membantu persiapan pernikahan. “Itu lebih baik,” kata Alex. “Tidak usah. Kita beri tahu setelah acaranya selesai saja
“Karan,” lirih Ailyn, menangis haru. Ditatapnya mata Karan yang bening. Pria itu menggeleng, kemudian menyeka air matanya. “Semua sudah selesai. Sekarang kau istriku. Tidak akan ada yang bisa mengganggu kita lagi.” Karan memeluk Ailyn dengan erat. Ia pun tak mengira rencana yang dibuat dadakan itu akan berhasil. Dengan bantuan semua anggota keluarga, pernikahan mendadak itu pun terlaksana. “Selamat, Nak. Kalian sudah resmi menjadi suami-istri.” Marina mengelus rambut Ailyn dengan penuh kasih sayang. Ia teringat tadi sore saat Gandhi datang tepat saat dia dan Kiran tengah menyiapkan sesuatu di kamar. “Siapa?” Marina mendekatkan telinga ke pintu. Tangannya bersiap membuka kunci pintu. “Gandhi, Nyonya,” jawab orang di luar. Marina sedikit tersentak, mengira suaminya pulang. Wanita itu hanya sedikit membuka pintu dan berbicara dengan menahan pintu. “Mana Mas Alex?” Hanya kepalanya yang keluar, sement
Yunita tak berkedip. Situasi di depannya kini harus dibilang menarik atau tragis, ia tak tahu. Yang jelas, masalah Ailyn ternyata tak sesederhana yang Kusuma bicarakan. “Karan?” Ailyn menarik jas bagian samping suaminya. “Mas, a-apa yang kau katakan? Dan lukamu? Bukannya Gandhi bilang kau sibuk untuk beberapa hari ke depan?” Marina mendekat meski Karan mencegah. Mamanya yang belum paham, malah bersimpati pada luka di kepala suaminya. “Aku begini karena menyelamatkan wanita yang kini menjadi menantumu. Ya, aku akui, aku tidak pergi bekerja, tapi untuk menikahinya.” Alex masih belum bisa menerima kenyataan bahwa kini Ailyn sudah menjadi istri Karan. Apa dan bagaimana semua ini terjadi, Alex ingin segera tahu kebenarannya. “Apa?” Marina membekap mulut, menatap wajah Alex dan Ailyn bergantian. Barulah ia sadar saat ini sang suami memakai tuxedo, jelas-jelas bukan jas biasa, tapi jas pengantin. “Maafkan, Ka
Dua hari sudah Marina terbaring di ranjang kamar rumah sakit. Sejak terkejut di malam pernikahan Karan dan Ailyn, Marina jatuh sakit. Dokter memvonis Marina terkena serangan jantung. “Mama.” Kiran tak henti-hentinya menangis. Alex yang tak tahu mengenai kabar istrinya pun tak lagi bisa dihubungi. “Sabar ya, Sayang. Sebentar lagi Mama bangun dan sembuh. Nanti kita main bersama, ya,” bujuk Karan. Kiran hanya mengangguk lesu, terus menggenggam tangan Marina yang mulai dingin. “Karan,” lirih Ailyn. Sejak dua hari pula ia berada di sisi Karan. Menjadi penyemangat sekaligus penguat sang suami. Masalah demi masalah tak henti-hentinya menerpa. Baik Karan maupun Ailyn, keduanya dipaksa untuk kuat. “Kau baik-baik saja? Maaf ya, aku malah membuatmu berada di sini setelah kita menikah,” kata Karan, mencoba tersenyum. Dibiarkannya Ailyn mengelus pundak sembari menggeleng. “Aku yang seharusnya meminta maaf. Ini semua kar
Tampak Mohan berlari ke arah Ailyn sambil memeriksa sekeliling bak tengah berada dalam bahaya. Tangannya mendekap tas ke dada. “Ayah? Ayah ke mana saja? Kenapa meninggalkan Ailyn dalam keadaan darurat?” Ailyn merasa takut melihat Mohan yang malah menariknya ke lorong yang gelap. Pria itu terus saja mengawasi sekitar, sampai Ailyn terpaksa memukul lengannya. Barulah Mohan sadar dan menatapnya tanpa kedip. “Ayah sudah membayar sisa hutang pada rentenir beserta bunganya. Ayah juga membayar hutang judi. Ini sisanya 375 juta. Ayo, kau ikut Ayah kabur.” “Apa?” Ailyn masih belum sepenuhnya paham apa yang Mohan bicarakan. “Dasar!” Mohan memukul kepala Ailyn. “Uang yang Karan berikan sudah Ayah gunakan, sisanya 375 juta bisa kita pakai buka usaha di tempat baru,” bisik Mohan. Ia merasa diikuti sejak keluar dari arena judi. Entah benar adanya atau hanya sekadar ketakutan belaka, yang jelas Mohan takut Alex akan membunuhnya sete
"Apa! Kenapa suaramu seperti habis kehilangan seseorang?” Alex menggoyangkan gelas yang terisi setengah bir. Di sela-sela jarinya terdapat puntung rokok. “Aku memang kehilangan seseorang. Mama ... Mama sudah tidak ada,” ujar Karan. “Apa?” Alex bangkit dari duduknya, membuat semua anak buahnya ikut berdiri. Gelas di tangan kini berpindah tempat ke meja. “Papa, pulang, Pa. Mama sudah pergi. Papa.” Kiran menangis. Suara tangisannya bagai anak panah yang menghunjam dada Alex yang kaget bukan main. “Bagaimana bisa?” Alex tak percaya pada apa yang didengarnya. Setahunya, Marina memang kecewa dan pasti marah, tapi tak menyangka akan ada kabar buruk sepagi ini. “Mama terkena serangan jantung dua hari lalu, tepat setelah tahu kebenarannya. Semalam kejang-kejang dan ... meninggal.” Karan tak kuasa menahan air. Meskipun pelukan Ailyn terasa hangat, tapi matanya jauh lebih hangat sampai bulir-bulir deras mengalir. “Ken
Suasana di rumah Kusuma mulai berubah. Sebulan sudah sejak kepergian Marina, Kiran ikut tinggal di rumah itu bersama Karan dan Ailyn. Kiran mulai bisa menerima kepergian mamanya walaupun ia masih tak bisa menerima kehadiran Alex yang selalu memintanya tinggal bersama. “Karan, ini sudah sebulan lebih, Nak. Tidak seharusnya kau murung. Sejak menikah, kalian tidak sempat merasakan bahagia. Kenapa tidak bulan madu saja?” usul Kusuma. Karan menoleh pada Ailyn yang menghidangkan makanan. Wanita itu berusaha menjadi istri dan menantu yang baik agar keberadaannya diterima. Tanda tanya mengenai apa yang Alex katakan tentang taruhan itu masih belum terjawab sampai detik ini. “Karan sibuk, Pa. Banyak berkas yang harus diurus. Lagi pula, Kiran masih butuh pendamping.” Karan membiarkan Ailyn duduk di sebelahnya. Keduanya hanya sibuk bekerja dan membuat Kiran lupa kesedihan sampai tak memikirkan kebahagiaan sendiri. “Kalia
“Om adalah teman Papamu. Ambil ini dan berikan pada Ailyn.” Pria itu menyerahkan kado kecil pada Kiran. “Ini apa, Om?” tanyanya dengan polos. “Berikan saja, ya. Kiran kan anak baik.” Pria itu mengelus pipi dan kepala Kiran. Setelah itu, ia menghilang dari pandangan. Heran dengan kado kecil itu, Kiran meletakkan mangkok dan berlari mendekati Ailyn. “Kak, ini untuk Kakak,” katanya. “Wah, ini apa, Sayang?” Ailyn tersenyum, menerima kado itu. Kiran menaikkan pundak. “Entah. Tadi ada pria, katanya teman Papa. Dia nyuruh Kiran memberikannya pada Kakak.” “Apa?” Ailyn terkejut. Dilihatnya sekeliling. Tidak ada wajah yang mencurigakan. Lalu, siapa pengirimnya? Dibukanya kado yang ternyata berisi surat. Jantung Ailyn berdebar hebat. Rasa takut yang sejak beberapa hari dirasakan, ternyata suatu pertanda. “Aku tahu, suatu saat aku akan mati. Entah karena penyakit yang selama ini menyerang atau terbunuh Karan. Aku sudah lama
Ailyn sedang becermin. Meja rias yang dipenuhi berbagai macam alat kecantikan itu terlihat seperti milik perias. Terinspirasi dari meja rias di rumah Lila waktu itu. "Aku merasa semakin gendut." Ailyn memeriksa tubuhnya. Malam ini adalah acara syukuran tujuh bulanan. Mereka mengundang beberapa rekan kerja, baik dari perusahaan ataupun rekan sesama artis. “Sayang, kau sudah siap?” Karan memasuki kamar. Ia berdecak kagum melihat istrinya menggunakan pakaian longgar dan panjang berwarna merah. “Wah, kau mau ke pesta apa bagaimana ini? Kok cantik sekali. Sudah seperti mau photo shoot saja.” Karan mengecup sekilas. Ailyn membiarkan Karan mengelus perutnya yang kian membesar. “Kau baru saja memberi ide. Bagaimana kalau kita photo shoot setelah ini? Aku kan model, Karan.” “Terserah kau saja. Ayo, Sayang. Tamu sudah datang.” Pria berkemeja biru itu menggandeng tangan istrinya yang mulai kesulitan berjalan. Dibiarkann
Ailyn dan Karan mendekat. Keduanya tak menyangka akan bertemu Bella setelah sekian lama. “Ka-kalian di sini?” Bella menutupi wajah anaknya dengan tas. “Itu ... Anakmu?” tanya Ailyn, sembari mengusap perut. Bella mengangguk, sedikit gugup. Ia malah menoleh ke kanan dan kiri seperti menunggu seseorang. “Apa yang kau lakukan panas-panas begini di parkiran?” Karan ikut memerhatikan sekitar. Tak ada siapa pun yang bisa diperhatikan. “A-aku menunggu sopir.” Bella menjawab dengan terbata-bata, sementara sang anak mengibas tangannya sampai tas itu terjatuh. Gelagapan Bella memungutnya sebelum diambil Karan yang juga membungkukkan badan hendak membantu. Sopir? Anak kecil? Ada banyak pertanyaan di benak Ailyn. Selama ini yang ia tahu Bella dikirim ke luar kota karena hamil anak Krishna yang belum keluar dari penjara."Papamu membantu keuanganku sampai sekarang. Dia juga yang menyediakan tempat tinggal dan sopir," tutur
Jovan melirik sekilas. Mendadak ia juga merasa khawatir. Apa yang sebenarnya terjadi pada majikannya? Kenapa rasa bahagia itu lenyap seketika? “Karan, a-aku tidak tahu harus bagaimana. Yang jelas, anak ini milik kita. Anakku dan anakmu.” Ailyn menangis, menyentuh perutnya. Melihat istrinya menangis, Karan tertawa keras sampai terpingkal-pingkal. Hal itu membuat Ailyn penasaran, apa yang terjadi. “Aku tahu, Sayang. Aku hanya bercanda. Masa iya, aku meragukan kehamilanmu. Ada-ada saja kau ini.” Karan memeluk Ailyn yang memukul dadanya karena kesal. Sesaat tadi pikirannya sudah negatif. Beberapa detik lalu rasanya amarah ingin meluap. “Jahat!” Ailyn memukul, tapi semakin mengencangkan pelukan. Mendapati semua hanya candaan semata, Jovan mengurut dada, lega. Keduanya pun sepakat untuk pergi ke dokter kandungan sebelum memberitahukan kabar baik itu pada keluarga. Sesampainya di rumah sakit .... “Selam
Hari yang hening, di mana bunga-bunga nan indah beserta daun pandan yang diiris tipis ditaburkan ke makam. Suara tangis bersahutan. “Papa!” rintihan dan kesedihan tergambar jelas di wajah mungil itu. Wajah yang kini semakin basah karena air mata. Makam dengan batu nisan berwarna putih bertuliskan nama seseorang mulai ditaburi bunga. Alex Brawijaya. Seorang pria yang tewas dalam perkelahian semalam. “Jangan bersedih. Ini sudah takdir, Sayang,” bisik Ailyn, merangkul pundak adik iparnya yang terus saja memeluk batu nisan. Karan ikut berjongkok. Peristiwa semalam bukan hanya kelabu, tapi gelap segelap-gelapnya. Seorang pria dengan obsesi tinggi telah pergi untuk selamanya. “Iya, Sayang. Biarkan Papa beristirahat dengan tenang.” Karan menimpali. Air matanya turut menetes. Ditolehnya beberapa orang yang mulai meninggalkan pemakaman. Sengaja makam Alex diletakkan bersebelahan dengan makam Marina, sesuai permintaan Kiran.
Kusuma berlari keluar dari mobil menuju ke rumah sakit. Ia dikabari sang istri sakit perut sampai dilarikan ke rumah sakit. Namun, belum juga menginjakkan kaki di tempat itu, pengawal pribadi Ailyn mencegah. “Tuan, tak perlu masuk,” katanya. “Memang kenapa? Apa wanita itu ... maksudku, Yunita baik-baik saja?” Kusuma enggan menyebut kata istri. “Dia hanya pura-pura sakit agar bisa mengecoh kita. Nyaris saja saya kecolongan kalau tidak segera membaca situasi,” paparnya, membuat Kusuma mengernyitkan dahi. “Mengecoh? Kecolongan? Apa yang kau bicarakan? Tunggu! Kau siapa?” Kusuma baru menyadari pria asing yang kini bicara dengannya tak pernah ia kenal. “Saya pengawal pribadi Nona Ailyn mulai hari ini. Tadi saya dan beberapa teman diminta mengantar Nyonya ke sini, tapi saya mendapat telepon anak buah diserang.” Pria itu menceritakan bahwa saat ini anak buahnya dikunci di kamar bersama pengawal yang lain, termasuk pelayan da
“Emmm .... “ Ailyn berusaha melepaskan ikatan yang membelenggu kaki dan tangannya. Karena mulutnya disumpal dengan sapu tangan, ia tak bisa berteriak. Semua terjadi begitu cepat tanpa bisa dicegah. “Sstttt! Jangan berisik, Sayang. Aku datang untuk memberi akhir yang indah pada cerita kita,” lirih Alex, mengusap pipi Ailyn dengan jarinya. Berhasil mengikat kedua tangan dan kaki Ailyn di atas ranjang, Alex melempar masker dan topi sembarangan ke lantai. “Emmmm!” Ailyn berusaha keras melepaskan ikatan yang terasa menyakiti pergelangan tangan dan kaki. “Ah, aku merasa terlalu jahat. Kau pasti ingin bicara denganku, kan?” Alex menaiki ranjang, membuka sumpal di mulut Ailyn. “Sialan!” Ailyn bernapas tersengal, membiarkan rambutnya menghalangi wajah. Keringat dingin mulai deras mengucur di kening dan lehernya. “Jangan terlalu kasar. Aku datang untuk menjemputmu. Lihat, aku bawakan surat ceraimu.” Alex mengeluarkan kertas yang
Meskipun Yunita melarangnya masuk ke kamar, tetap saja Ailyn bersimpati dengan sering-sering memeriksa keadaan mertuanya. “Keluar kau! Aku tak sudi melihatmu!” Ailyn menghela napas, menoleh pada Yunita yang menarik selimut hingga menutupi sebagian wajahnya. “Ya sudah. Aku akan keluar. Mama cepat sembuh biar kita bisa ribut lagi.” Ailyn bangkit, menuju ke pintu. “Kenapa kau selalu membuatku emosi, Wanita Sialan!” Yunita menyingkap selimut, lalu menggulungnya dengan cepat. Seolah tahu apa yang akan mertuanya lakukan, Ailyn bergegas keluar dan menutup pintu. Tepat saat pintu ditutup, selimut melayang dan mengenai lantai. Yunita bernapas kasar. “Kau bisa keluar. Buat Ailyn tetap berada di kamarnya agar rencana kita berjalan lancar,” kata Yunita. Pintu kamar mandi terbuka. Tampak Farel keluar dengan wajah dipenuhi senyuman. “Farel pergi dulu.” Pria itu mengendap-endap keluar dari kamar Yunita. Sementara itu
Ailyn menyenggol lengan suaminya saat melihat Yunita muncul dengan wajah suram, seolah kurang tidur. Kantung matanya menghitam. “Sepertinya, ada yang kurang tidur,” bisik Karan. Suasana masih sepi di ruang makan itu, sampai Kusuma menoleh pada istrinya yang duduk sembari memegangi perut. “Kau mirip sekali dengan kuntilanak kesurupan.” Kusuma bicara tanpa memandang. Tangannya bergerak cepat menyendok makanan. “Pa, panggilkan dokter. Mama sakit perut, mencret,” bisik Yunita, tapi tetap terdengar jelas di telinga Karan yang duduk di depannya. “Kau kan bisa panggil sendiri. Tak usah manja. Kau bukan anak kecil lagi,” kata Kusuma, meminum air. Ailyn dan Karan menunduk, menahan tawa. Sepertinya, harapan Karan terkabul agar Yunita sakit perut dan mencret. “Ih, Papa! Sakit sekali loh ini. Masa Papa tega membiarkan Mama kesakitan.” Yunita menyentuh bagian belakang tubuhnya yang sedikit terangkat. “Memang apa yang ka