“Ailyn! Apa yang terjadi? Bagaimana kencannya?” Seorang pria mengikuti Ailyn yang duduk tanpa permisi.
“Gatot! Gagal total! Si om brengsek itu malah membawaku ke hotel.” Ailyn melepaskan jas milik Karan, lalu meletakkannya di sofa.“Sudah kuduga! Untung saja aku membuang obat tidur itu. Kalau tidak ... habis kau!” Pria itu duduk di depan Ailyn, menyodorkan botol air mineral.Ternyata dia adalah pelayan restoran yang waktu itu melayani Ailyn. “Lalu, apa rencanamu sekarang?” tanyanya. Pria itu bernama Hadid.“Aku boleh menginap di sini, tidak? Aku takut Ayah marah atau si Om Alex akan datang lagi.” Ailyn meminum air mineral sedikit, lalu meletakkannya di atas meja.Hadid mempersilakan Ailyn untuk menginap sekaligus tidur di kamarnya. lagi pula, dia dan wanita itu sudah bersahabat sejak lama. Tak akan terjadi apa-apa.“Terima kasih banyak. Untung aku punya sahabat yang masih jomblo sepertimu, jadi bisa menginap. Hehe.”Hadid hanya berdecak, membiarkan Ailyn beranjak menuju ke kamar yang memang hanya ada satu kamar, sisanya dapur dan kamar mandi.“Bagaimana kalau ... Om Alex itu mencariku? Dia pasti tidak akan tinggal diam.” Hadid mulai cemas.Seketika Ailyn urung membuka pintu kamar. Ditolehnya Hadid yang kini sama-sama cemas sepertinya.“Aku ... belum memikirkan itu.” Ailyn tersenyum masam, tak pernah berpikir apa yang Hadid katakan. Pria itu mengeluh, meminta Ailyn ikut memikirkannya. Ailyn hanya mengangguk, memasuki kamar.***Keesokan harinya, Ailyn pulang ke rumah. Ia ragu kala semakin mendekat. Yakin sekali Mohan akan marah, kalau sampai Alex mengadu.“Apa pun yang terjadi, aku akan marah lebih dulu. Enak saja Ayah sembarangan menjual putri tunggalnya.” Ailyn menyentuh gagang pintu, berniat membuka.Namun, pintu lebih dulu dibuka. Tentu saja Ailyn kaget. Ia mundur selangkah, meringis mendapati Mohan keluar.“A-Ayah,” lirihnya.Mohan bergeming. Ia menatap Ailyn dengan tatapan membunuh. Mendapati wajah ayahnya lebam, Ailyn sudah pun dapat menduga telah terjadi sesuatu.“Ayah, A-Ailyn—““Masuk!” Mohan langsung menarik tangannya memasuki rumah. Sebelum menutup pintu, ia memerhatikan sekeliling, takut ada yang melihat.“Beraninya kau membuat Tuan Alex marah!” Mohan mencengkeram erat pundak anaknya sambil melotot.“Dia kurang ajar. Kalau Ailyn tidak antisipasi, dia pasti sudah melecehkan Ailyn,” belanya.“Bukankah Ayah sudah memintamu untuk setuju menikah? Kenapa kau keras kepala? Lihat apa yang terjadi?”Mohan mendorongnya hingga tersungkur. Kalau saja Ailyn tak sukar diatur, tentu rencananya akan berhasil. Uang hasil menjual anaknya sudah habis untuk judi, dan dia butuh uang lagi.“Harusnya, Ailyn yang marah. Tega sekali Ayah menjual anak sendiri pada mafia seperti dia!” Ailyn mulai mendapat keberanian untuk bicara.“Hanya ini cara agar kita bertahan hidup, Bodoh! Kau pikir uang hasil jual buah cukup untuk memenuhi kebutuhan?”Ailyn berusaha berdiri. Meskipun tahu hasil jual buah tak seberapa, tapi setidaknya halal dan tak harus menempuh jalan seperti ini yang lebih resiko.“500 juta bukan uang sedikit, Ayah. Ke mana uang itu? Jangan bilang Ayah main judi lagi.” Ada rasa curiga tercipta.Perubahan wajah Mohan sudah pun menjawab apa yang tadi anaknya tanyakan. Kebiasaan lama itu ternyata belum berubah.“Sudah! Jangan berani menentang Ayah. Kau harus meminta maaf dan mengikuti keinginannya!”“Tapi, Ayah—““Kau mulai membangkang! Ini adalah keputusan Ayah yang tak bisa diganggu gugat!” Mohan menunjuk wajah Ailyn yang memucat.“Kau yang menciptakan masalah ini, bukan Ayah. Jadi, kau juga yang harus menanggung akibatnya!" Bergegas pria itu pergi meninggalkan Ailyn yang terkulai lemas memikirkan nasibnya.Keluar dari masalah semalam, dia malah dihadapkan dengan masalah baru. Alex pasti akan datang dan membawanya lagi, apa pun alasannya.Wanita itu menyeka bulir air mata yang kian deras. “Aku akan memikirkan cara untuk keluar dari masalah ini,” lirihnya.Dibukanya jas milik Karan. Teringat itu, Ailyn merogoh saku dan mengeluarkan kartu nama berwarna biru itu. Di sana tertera nomor ponsel Karan. Buru-buru Ailyn memasuki kamar dan menyimpan nomor itu.“Aku akan mengucapkan terima kasih,” ujarnya.Setelah menekan tombol memanggil, Ailyn menunggu beberapa saat. Tak ada respon. Dicobanya berkali-kali tetap tak bisa, ia memutuskan mengirim pesan saja.“Mungkin dia lelah. Kan dia bilang baru pulang dari luar negeri. Satu pesan saja sepertinya cukup.” Mulailah ia mengirimkan pesan.[Hai, ini aku Ailyn. Besok aku akan mengembalikan jasnya. Ke mana aku harus pergi menemuimu?]Pesan pun terkirim. Ailyn menggembungkan pipinya. Sesaat terdiam, akhirnya ia memutuskan untuk membersihkan badan. Diambilnya handuk dari dalam lemari, lantas memasuki kamar mandi.Sementara itu di hotel ....Karan keluar dari kamar mandi. Ia langsung memeriksa ponsel. “Siapa ini?” Diperhatikan nomor baru yang berkali-kali menelepon.“Oh, Ailyn. Wah, dia mengirim pesan.” Bibir Karan tersenyum sumringah. Tak menyangka ternyata Ailyn segera menghubunginya. Tanpa berpikir, ia mengirim balasan.[Aku masih sibuk untuk beberapa hari. Nanti aku kabari.]“Aku harus bersiap-siap untuk pergi ke rumah Mama. Tak sabar ingin bertemu si sialan itu,” ungkapnya, meletakkan ponsel.Setelah berdandan rapi dan sarapan, Karan langsung menuju ke rumah mamanya bersama para pengawal.“Tuan Muda, Tuan Kusuma bertanya kapan Tuan akan pulang. Tadi beliau menelepon.” Pengawal menyampaikan pesan.“Aku sengaja tak menjawab teleponnya. Bilang saja aku ke sana besok.” Karan merapikan dasi.“Baik, Tuan,” jawab pengawal, enggan mengatakan hal lain yang juga dikatakan Tuan Kusuma.Sepanjang perjalanan, Karan sibuk menatap ponsel membalas pesan dari Ailyn sampai tak sadar mobil berhenti.“Tuan, sudah sampai,” kata sopir.Karan terdiam, membiarkan pengawal membukakan pintu. Rumah yang sama, yang pernah ia kunjungi sebelum pergi ke Amerika ada di depan mata.“Karan!” Seorang wanita paruh baya melambaikan tangan, berlari menuju ke arahnya.“Mama!” Karan ikut berlari, langsung memeluk sang mama yang tampak bahagia menyambut kedatangannya.“Mama sehat? Rindu sekali rasanya.” Karan melepaskan pelukan, menyentuh pipi mamanya sembari menyeka air matanya.“Mama sehat. Rindu sekali, Karan. Kenapa kau tak pernah pulang? Kenapa tak menghubungi Mama sekali pun sampai kau kemarin pulang?”“Karan ingin memberikan kejutan.” Diikutinya sang mama yang mengajaknya memasuki rumah. Meski enggan, ia terpaksa mengikuti.“Kau sudah menemui Papamu?” tanya Marina-mama Karan.“Belum. Nanti saja,” jawabnya, duduk di sofa.Suasana rumah itu tak berubah. Masih dipenuhi ornamen senjata yang dipajang di dinding. Ciri khas seorang mafia.“Mama buatkan minum, ya. Suruh pengawalmu masuk.” Marina tampak sangat baik dan ramah.“Tidak usah repot-repot. Karan sebentar saja. Hanya ingin bertemu Mama.” Karan memerhatikan Marina yang mengambil jus dari lemari pendingin.“Jangan buru-buru. Kita berbincang banyak hal dulu. Mama juga ingin mendengar ceritamu selama di Amerika.”“Mama betah tinggal di ... sini sendiri?” tanyanya, takut menyinggung. Didekatinya Marina.“Siapa bilang sendiri?” Marina menoleh, tersenyum.“Mama! Aku pulang!” Suara anak kecil membuat Karan langsung menoleh. Ia kaget mendapati anak perempuan berlari menuju ke arahnya.Marina memeluk anak kecil itu dan mengusap rambutnya. Ia tersentak kala anak itu menunjukkan bunga padanya.“Dia ... siapa, Ma?” Karan tampak heran dengan kedekatan Marina dengan anak kecil itu.“Adikmu,” jawab Marina. Sontak saja hal itu membuat wajah Karan berubah. Terkejut ia mendengarnya.“Adik?” Dilihatnya si kecil yang tersenyum, memerlihatkan lesung pipi. Seketika jantungnya berdegup kencang. Benarkah yang ia dengar?****Karan masih mematung, sampai Marina menyentuh lengannya. Wanita itu menyerahkan segelas jus padanya, lantas meminta agar sang anak duduk. “Mama mengadopsi anak?" Karan tertawa sambil menggeleng. Ia yakin si kecil berbaju putih itu anak angkat mamanya. Dia berpikir Marina kesepian karena suaminya jarang pulang, lantas mengadopsi anak.“Tidak, Karan. Dia anak Mama. Adikmu.” Marina menuntun anak kecil yang diakuinya sebagai anak. Wanita itu mengelus rambutnya dengan penuh perhatian. “Anak bagaimana?” Karan duduk, masih dengan tangan memegang gelas. Tak ada niatan untuk meminumnya. Yang ada hanya rasa penasaran memenuhi pikirannya. Marina menarik napas dalam-dalam, berat untuk bercerita. Maklum, dia dan Karan sudah 10 tahun tak bertemu. Selain agak aneh, waktunya dirasa tidak pas. “Ma?” Karan meletakkan gelas di depannya. Tatapan mata Karan seolah menegaskan ia ingin tahu cerita sebenarnya. “Kau ingat hari saat Mama dipaksa menikah dengan Alex setelah Papa menuntut cerai?” ungkit Mar
Taksi yang ditumpangi Ailyn dan Mohan berhenti di depan gedung KUA. Dengan terpaksa, Ailyn membiarkan ayahnya menariknya paksa sembari mengomel. “Hentikan, Ayah! Biarkan aku mencari pekerjaan agar Ayah tidak perlu menjualku!” rengek Ailyn, menghentikan langkah. “Kau masih akan mencari, bukan sudah mendapatkan pekerjaan. Sudah, Ayah sudah bawa dokumen pentingnya. Kau tinggal masuk dan mendaftar.” Mohan yang telanjur emosi dengan sikap anaknya yang sukar diajak bicara baik-baik, mendorong tubuh itu agar memasuki gedung KUA. Belum juga kakinya melangkah lebih jauh, mendadak seseorang menghentikan. “Tunggu!” Suara itu membuat keduanya spontan menoleh dan mendapati Karan mendekat. “Karan? Kenapa kau di sini?” tanya Ailyn, heran melihat pria itu datang entah dari mana. “Kau siapa?” Mohan memerhatikan pria dengan setelan jas rapi berhenti di depannya, langsung berkacak pinggang. Karan tak menjawab, malah bertanya,
Alex duduk dengan kasar di sofa berwarna merah. Mension tempatnya berkumpul bersama para mafia menjadi memanas. “Aku tidak mau mendengar kabar buruk lagi. Pokoknya, kalian harus menemukan pacar Ailyn secepatnya!” Alex menaikkan kaki ke atas meja. “Baik, Bos.” Anak buahnya yang hendak pergi, terpaksa kembali saat Alex mengatakan ada hal lain yang perlu dibicarakan. “Awasi juga anak Kusuma. Dia baru datang. Sialnya, aku lupa kalau Marina punya anak.” Alex mengambil cerutu dari saku jaket, hanya memerhatikannya. “Aku dengar dari informan, dia yang akan menjadi penerus K2 Company, Bos. Apa kita harus bertindak?” tanya Gandhi, selaku kaki tangan sekaligus orang kepercayaan Alex. “Sabar dulu. Aku masih ingin tahu, apa dia ingat kejadian 10 tahun lalu. Kalau dia ingat dan memberitahu Marina, habis aku,” katanya, meletakkan cerutu. Alex memang masih mencintai Marina, bahkan sejak dia pertama bertemu. Sayang, kehadiran Ailyn m
Karan baru saja tiba di kediaman keluarga Kusuma. Matanya langsung memerhatikan seluruh kawasan luas itu. “Banyak sekali perubahan,” lirihnya, membiarkan pengawal membawakan kopernya. Pria itu melangkah mendekati pintu utama. Belum sempat mengetuk pintu, ternyata pintu dibuka lebih dulu. Seorang wanita berbaju merah berdiri di depan pintu dengan tatapan tak suka. Siapa lagi kalau bukan ibu tirinya, Yunita. “Apa aku harus meminta izin untuk masuk?” Karan lebih dulu bicara saat Yunita hanya mematung sambil melipat kedua tangannya. “Apa perlu kupersilakan? Kau bukan anak ingusan itu lagi, kan?” Sudut bibir Yunita terangkat. ‘Dasar!’ rutuk Karan dalam hati. Wanita penggoda itu malah bicara seolah-olah rumah itu miliknya. Tangan Karan yang mengepal, sedikit terangkat. Namun, ia harus diam mengingat baru saja tiba. “Siapa, Sayang?” Suara seseorang membuat Yunita langsung berubah. Kalau sampai suaminya tahu apa yang tadi ia
[Hentikan, Om! Selama aku masih bernapas, aku tidak butuh uangmu!] Ailyn membalas dengan memberikan tambahan emoticon pisau. Alex sudah bertindak di luar batas. “Kalau dibiarkan, dia pasti akan semakin menjadi-jadi,” keluh Ailyn. Tanpa diduga, Alex membalas dengan mengirim foto pistol di atas meja. Tanpa dijelaskan pun Ailyn paham maksudnya. Alex akan membunuh siapa pun yang tak menurutinya. Selang beberapa waktu, Ailyn sampai di depan kantor K2 Company. Ia turun setelah membayar ongkos taksi. Pikirannya berkecamuk. Dirapikannya rambut dan baju, lalu melangkah menuju ke satpam yang berdiri di depan gerbang. “Semoga berhasil,” lirihnya. “Selamat pagi, Pak,” sapa Ailyn. “Pagi, Mbak. Ada yang bisa dibantu?” Satpam berkumis tipis itu memerhatikan seluruh tubuh Ailyn yang mengenakan kemeja putih dan rok cokelat selutut. “Ah, saya dapat tawaran casting iklan produk terbaru di sini. Apa masih ada lowongan? Soalnya baru
Ailyn hanya bisa diam saat menunggu di ruang Anggrek. Sesuai namanya, ruangan itu dipenuhi ornamen anggrek yang indah. “Eh, bukannya dia model itu?” Seorang wanita dengan rok mini berwarna putih berbisik, tapi masih bisa didengar Ailyn yang duduk tak jauh darinya. “Iya, ya. Dulu dia terlibat skandal sama produsernya, kalau aku tidak salah dengar. Dia masih berani menunjukkan wajah?” balas temannya. Ailyn mulai memanas. Ia mengibaskan map yang dibawa karena keringat mendadak mengucur deras di keningnya. Pembahasan tentang masa lalunya ternyata masih belum selesai. “Lama sekali,” keluh Ailyn. Ia merasa gerah, padahal ruangan itu ber-AC. “Kau ... model sampo itu, kan? Yang pernah viral itu?” tanya wanita yang tadi berbisik. “Kalau memang iya, kenapa? Toh, itu sudah berlalu sangat lama. Tak ada gunanya diungkit,” ketus Ailyn. Ia pura-pura memeriksa ponsel, padahal tidak ada pesan apa pun. Pandangannya fokus, se
Waktu berlalu dengan cepat. Tahu-tahu Ailyn sudah keluar dari perusahaan. Disekanya keringat di dahi. “Hufftt! Hari yang melelahkan!” “Taksi! Taksi!” Ailyn menghentikan taksi untuk pulang. Hari sudah sore saat ia menyelesaikan syuting pertamanya yang berjalan lancar. Bahkan bisa dibilang sangat lancar sebab beberapa karyawan memuji penampilannya yang tak perlu banyak pengarahan. Didekatinya taksi yang berhenti. “Maaf, Mbak. Lagi ada aksi mogok kerja. Kami akan kembali beroperasi besok,” ujar sopir taksi, lantas meninggalkan Ailyn. “Aih? Bukannya tadi pagi masih baik-baik saja?” Ailyn terpaksa berjalan kaki. Rasanya berat untuk melangkah, tapi tak ada pilihan. "Aku akan pulang dan memberi tahu Ayah, kalau aku sudah dapat pekerjaan,” katanya. Senyum lebarnya seketika sirna melihat beberapa orang berdiri tak jauh darinya. “Bukannya mereka ... anak buah Om Alex?” Langkah Ailyn berhenti. Ia bermaksud untuk berbal
Alex dengan kesal memasuki rumah. Ia pura-pura tersenyum saat Kiran mendekat dan memeluknya. “Papa dari mana?” tanyanya. “Papa ada urusan sekejap. Mama sudah tidur?” Alex menaiki tangga sembari menggendong Kiran. Anaknya hanya mengangguk. Sampai di depan pintu, diperhatikan olehnya Marina tertidur. “Kau mau makan malam bersama Papa?” Alex mencubit pipi tambun anaknya yang menggemaskan. Perlahan ia menuruni tangga lagi tanpa ada niatan menutup pintu. Kiran langsung mengangguk, membiarkan sang papa membawanya masuk ke dapur. Keduanya pun makan malam bersama. “Kau—“ Karan yang menyusul, terhenti melihat ayah dan adik tirinya tengah makan sambil bercanda. “Jangan bertengkar denganku di depan Kiran. Kau tentu mengerti. Tunggu dulu sebentar.” Tanpa menoleh dan terus menyuapi Kiran, Alex bicara. Karan mendengus kasar. Berbalik ia menuju ke kamar Marina untuk memeriksa keadaannya. Wajah pucat itu membuatnya merasa sedih.
“Om adalah teman Papamu. Ambil ini dan berikan pada Ailyn.” Pria itu menyerahkan kado kecil pada Kiran. “Ini apa, Om?” tanyanya dengan polos. “Berikan saja, ya. Kiran kan anak baik.” Pria itu mengelus pipi dan kepala Kiran. Setelah itu, ia menghilang dari pandangan. Heran dengan kado kecil itu, Kiran meletakkan mangkok dan berlari mendekati Ailyn. “Kak, ini untuk Kakak,” katanya. “Wah, ini apa, Sayang?” Ailyn tersenyum, menerima kado itu. Kiran menaikkan pundak. “Entah. Tadi ada pria, katanya teman Papa. Dia nyuruh Kiran memberikannya pada Kakak.” “Apa?” Ailyn terkejut. Dilihatnya sekeliling. Tidak ada wajah yang mencurigakan. Lalu, siapa pengirimnya? Dibukanya kado yang ternyata berisi surat. Jantung Ailyn berdebar hebat. Rasa takut yang sejak beberapa hari dirasakan, ternyata suatu pertanda. “Aku tahu, suatu saat aku akan mati. Entah karena penyakit yang selama ini menyerang atau terbunuh Karan. Aku sudah lama
Ailyn sedang becermin. Meja rias yang dipenuhi berbagai macam alat kecantikan itu terlihat seperti milik perias. Terinspirasi dari meja rias di rumah Lila waktu itu. "Aku merasa semakin gendut." Ailyn memeriksa tubuhnya. Malam ini adalah acara syukuran tujuh bulanan. Mereka mengundang beberapa rekan kerja, baik dari perusahaan ataupun rekan sesama artis. “Sayang, kau sudah siap?” Karan memasuki kamar. Ia berdecak kagum melihat istrinya menggunakan pakaian longgar dan panjang berwarna merah. “Wah, kau mau ke pesta apa bagaimana ini? Kok cantik sekali. Sudah seperti mau photo shoot saja.” Karan mengecup sekilas. Ailyn membiarkan Karan mengelus perutnya yang kian membesar. “Kau baru saja memberi ide. Bagaimana kalau kita photo shoot setelah ini? Aku kan model, Karan.” “Terserah kau saja. Ayo, Sayang. Tamu sudah datang.” Pria berkemeja biru itu menggandeng tangan istrinya yang mulai kesulitan berjalan. Dibiarkann
Ailyn dan Karan mendekat. Keduanya tak menyangka akan bertemu Bella setelah sekian lama. “Ka-kalian di sini?” Bella menutupi wajah anaknya dengan tas. “Itu ... Anakmu?” tanya Ailyn, sembari mengusap perut. Bella mengangguk, sedikit gugup. Ia malah menoleh ke kanan dan kiri seperti menunggu seseorang. “Apa yang kau lakukan panas-panas begini di parkiran?” Karan ikut memerhatikan sekitar. Tak ada siapa pun yang bisa diperhatikan. “A-aku menunggu sopir.” Bella menjawab dengan terbata-bata, sementara sang anak mengibas tangannya sampai tas itu terjatuh. Gelagapan Bella memungutnya sebelum diambil Karan yang juga membungkukkan badan hendak membantu. Sopir? Anak kecil? Ada banyak pertanyaan di benak Ailyn. Selama ini yang ia tahu Bella dikirim ke luar kota karena hamil anak Krishna yang belum keluar dari penjara."Papamu membantu keuanganku sampai sekarang. Dia juga yang menyediakan tempat tinggal dan sopir," tutur
Jovan melirik sekilas. Mendadak ia juga merasa khawatir. Apa yang sebenarnya terjadi pada majikannya? Kenapa rasa bahagia itu lenyap seketika? “Karan, a-aku tidak tahu harus bagaimana. Yang jelas, anak ini milik kita. Anakku dan anakmu.” Ailyn menangis, menyentuh perutnya. Melihat istrinya menangis, Karan tertawa keras sampai terpingkal-pingkal. Hal itu membuat Ailyn penasaran, apa yang terjadi. “Aku tahu, Sayang. Aku hanya bercanda. Masa iya, aku meragukan kehamilanmu. Ada-ada saja kau ini.” Karan memeluk Ailyn yang memukul dadanya karena kesal. Sesaat tadi pikirannya sudah negatif. Beberapa detik lalu rasanya amarah ingin meluap. “Jahat!” Ailyn memukul, tapi semakin mengencangkan pelukan. Mendapati semua hanya candaan semata, Jovan mengurut dada, lega. Keduanya pun sepakat untuk pergi ke dokter kandungan sebelum memberitahukan kabar baik itu pada keluarga. Sesampainya di rumah sakit .... “Selam
Hari yang hening, di mana bunga-bunga nan indah beserta daun pandan yang diiris tipis ditaburkan ke makam. Suara tangis bersahutan. “Papa!” rintihan dan kesedihan tergambar jelas di wajah mungil itu. Wajah yang kini semakin basah karena air mata. Makam dengan batu nisan berwarna putih bertuliskan nama seseorang mulai ditaburi bunga. Alex Brawijaya. Seorang pria yang tewas dalam perkelahian semalam. “Jangan bersedih. Ini sudah takdir, Sayang,” bisik Ailyn, merangkul pundak adik iparnya yang terus saja memeluk batu nisan. Karan ikut berjongkok. Peristiwa semalam bukan hanya kelabu, tapi gelap segelap-gelapnya. Seorang pria dengan obsesi tinggi telah pergi untuk selamanya. “Iya, Sayang. Biarkan Papa beristirahat dengan tenang.” Karan menimpali. Air matanya turut menetes. Ditolehnya beberapa orang yang mulai meninggalkan pemakaman. Sengaja makam Alex diletakkan bersebelahan dengan makam Marina, sesuai permintaan Kiran.
Kusuma berlari keluar dari mobil menuju ke rumah sakit. Ia dikabari sang istri sakit perut sampai dilarikan ke rumah sakit. Namun, belum juga menginjakkan kaki di tempat itu, pengawal pribadi Ailyn mencegah. “Tuan, tak perlu masuk,” katanya. “Memang kenapa? Apa wanita itu ... maksudku, Yunita baik-baik saja?” Kusuma enggan menyebut kata istri. “Dia hanya pura-pura sakit agar bisa mengecoh kita. Nyaris saja saya kecolongan kalau tidak segera membaca situasi,” paparnya, membuat Kusuma mengernyitkan dahi. “Mengecoh? Kecolongan? Apa yang kau bicarakan? Tunggu! Kau siapa?” Kusuma baru menyadari pria asing yang kini bicara dengannya tak pernah ia kenal. “Saya pengawal pribadi Nona Ailyn mulai hari ini. Tadi saya dan beberapa teman diminta mengantar Nyonya ke sini, tapi saya mendapat telepon anak buah diserang.” Pria itu menceritakan bahwa saat ini anak buahnya dikunci di kamar bersama pengawal yang lain, termasuk pelayan da
“Emmm .... “ Ailyn berusaha melepaskan ikatan yang membelenggu kaki dan tangannya. Karena mulutnya disumpal dengan sapu tangan, ia tak bisa berteriak. Semua terjadi begitu cepat tanpa bisa dicegah. “Sstttt! Jangan berisik, Sayang. Aku datang untuk memberi akhir yang indah pada cerita kita,” lirih Alex, mengusap pipi Ailyn dengan jarinya. Berhasil mengikat kedua tangan dan kaki Ailyn di atas ranjang, Alex melempar masker dan topi sembarangan ke lantai. “Emmmm!” Ailyn berusaha keras melepaskan ikatan yang terasa menyakiti pergelangan tangan dan kaki. “Ah, aku merasa terlalu jahat. Kau pasti ingin bicara denganku, kan?” Alex menaiki ranjang, membuka sumpal di mulut Ailyn. “Sialan!” Ailyn bernapas tersengal, membiarkan rambutnya menghalangi wajah. Keringat dingin mulai deras mengucur di kening dan lehernya. “Jangan terlalu kasar. Aku datang untuk menjemputmu. Lihat, aku bawakan surat ceraimu.” Alex mengeluarkan kertas yang
Meskipun Yunita melarangnya masuk ke kamar, tetap saja Ailyn bersimpati dengan sering-sering memeriksa keadaan mertuanya. “Keluar kau! Aku tak sudi melihatmu!” Ailyn menghela napas, menoleh pada Yunita yang menarik selimut hingga menutupi sebagian wajahnya. “Ya sudah. Aku akan keluar. Mama cepat sembuh biar kita bisa ribut lagi.” Ailyn bangkit, menuju ke pintu. “Kenapa kau selalu membuatku emosi, Wanita Sialan!” Yunita menyingkap selimut, lalu menggulungnya dengan cepat. Seolah tahu apa yang akan mertuanya lakukan, Ailyn bergegas keluar dan menutup pintu. Tepat saat pintu ditutup, selimut melayang dan mengenai lantai. Yunita bernapas kasar. “Kau bisa keluar. Buat Ailyn tetap berada di kamarnya agar rencana kita berjalan lancar,” kata Yunita. Pintu kamar mandi terbuka. Tampak Farel keluar dengan wajah dipenuhi senyuman. “Farel pergi dulu.” Pria itu mengendap-endap keluar dari kamar Yunita. Sementara itu
Ailyn menyenggol lengan suaminya saat melihat Yunita muncul dengan wajah suram, seolah kurang tidur. Kantung matanya menghitam. “Sepertinya, ada yang kurang tidur,” bisik Karan. Suasana masih sepi di ruang makan itu, sampai Kusuma menoleh pada istrinya yang duduk sembari memegangi perut. “Kau mirip sekali dengan kuntilanak kesurupan.” Kusuma bicara tanpa memandang. Tangannya bergerak cepat menyendok makanan. “Pa, panggilkan dokter. Mama sakit perut, mencret,” bisik Yunita, tapi tetap terdengar jelas di telinga Karan yang duduk di depannya. “Kau kan bisa panggil sendiri. Tak usah manja. Kau bukan anak kecil lagi,” kata Kusuma, meminum air. Ailyn dan Karan menunduk, menahan tawa. Sepertinya, harapan Karan terkabul agar Yunita sakit perut dan mencret. “Ih, Papa! Sakit sekali loh ini. Masa Papa tega membiarkan Mama kesakitan.” Yunita menyentuh bagian belakang tubuhnya yang sedikit terangkat. “Memang apa yang ka