“Hari ini kau libur, bisa bantu Ayah di pasar?” tanya Mohan. Sejak kemarin ia bersikap lunak pada anaknya yang malah terkesan mencurigakan.
“Kalau sudah mencuci baju, aku akan menyusul.” Ailyn menjawab sambil mencuci piring selepas sarapan.“Bagus! Oh, ya. Apa Tuan Alex menghubungimu? Entah kapan dia pulang, belum mengabari.” Mohan memakai jaket hitam di dekat Ailyn.“Tidak. Aku memblokir nomornya.” Ailyn mengelap tangannya yang basah.“Astaga! Kau memang anak tak berguna!” Mohan memukul kepala Ailyn dengan sendok.“Apa sih, Ayah?” Ailyn beranjak keluar dari dapur, diikuti Mohan.Tit tit!Keduanya menoleh ke arah luar, di mana terlihat seorang pria turun dari mobil.“Eh, sudah datang.” Mohan tersenyum lebar, menyambut tamunya.Sesaat Ailyn memerhatikan sembari mengelap meja dengan kemoceng. Tampak ayahnya memeluk pria itu sambil menepuk pundaknya. Ada yang tak beres, pikir Ailyn.Karan optimis ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan simpati Mohan. Siapa tahu dengan demikian, Mohan akan melunak dan mengizinkannya bersama Ailyn. Mungkin juga akan membatalkan rencana pernikahan sepihak itu. “Halo, Karan! Halo!” Ailyn mengecilkan suaranya. “Kalau kau ke sini hanya untuk menjadi beban, pergi sana! Membantuku saja tidak becus! Dengan siapa kau bicara?” Mohan meletakkan kardus apel di dekat kakinya. Melihat perubahan ekspresi wajah Ailyn sudah cukup memberi tahu bahwa ada masalah. “Kau membuka blokir nomor Tuan Alex?” tanyanya, menoleh. “Ti-tidak, Ayah. I-ini dari kantor. Besok aku harus datang lebih awal, katanya. Ha-harus mencari manager.” Ailyn meringis, memaksakan diri untuk tersenyum. “Oh, ya? Manager? Bagaimana kalau Ayah saja yang jadi managermu? Wah, ini ide bagus.” Mohan tampak antusias. Ailyn hanya memejamkan mata, bingung dengan situasi ini. Bukannya keluar dari
“Hmmm, menarik!” Farel tersenyum licik melihat kiriman foto dari seseorang, di mana foto itu menunjukkan bahwa Karan tengah berada di pasar bersama Ailyn. “Kalau foto ini tersebar, aku yakin Papa akan marah besar dan membuat Karan turun dari posisinya.” Farel menyeringai. “Aku ingin foto yang lebih mesra lagi. Kalau bisa, buat seolah-olah mereka sedang bercinta,” ujarnya, pada seseorang yang berdiri tak jauh dari tempatnya bersandar. “Tapi, Tuan, itu tidak mudah. Mendekati Ailyn saja rasanya perlu alasan khusus,” kata seseorang yang tidak lain adalah Rani. Ia mendapat celah untuk menjatuhkan Ailyn, sekaligus mendapatkan uang dari seseorang yang mau menjatuhkan Karan. Siapa sangka, Farel malah tertarik untuk menjadikannya mata-mata. Jadilah ia memutuskan mengikuti apa pun yang Farel inginkan. “Kau cukup awasi saja mereka, biar aku yang bertindak. Kembalilah ke tempatmu." Rani mengangguk, keluar dari ruangan i
“Karan!” Ailyn mendorong tubuh pria itu. Karan tak mau kalah. Keinginannya untuk memiliki semakin kuat. “Kenapa kau keras kepala? Bukankah ini hal baik? Kalau Ayahmu tahu siapa aku, dia pasti tidak akan melarang kita bersama.” Karan kembali mendekat, meninju dinding tepat di sebelah kepala Ailyn. Wanita itu terpejam, merasa takut sekaligus terkejut. “Kita tidak selevel, Karan. Kau orang terpandang, tapi aku?” Ailyn mulai meneteskan air mata. Sebelumnya dia sudah berusaha menyingkirkan pikiran buruk dan melupakan perbedaan usia mereka. Namun, kali ini bukan lagi hanya sebatas tentang perbedaan usia. “Stop! Bisa kau hentikan ocehan ini? Tidak seumuran, tidak selevel! Kalau kau memang tak menyukaiku, jangan membuat alasan tak masuk akal!” Karan mulai marah. “Karan, dengarkan aku baik-baik. Tolong mengertilah.” Ailyn hendak menyentuh tangan Karan, tapi pria itu menepis. Sesaat keduanya terdiam, membiarkan pikir
Karan memasuki ruangan. Hari ini dia harus fokus menyelesaikan berkas penting. Tidak seperti biasanya, pria berjas putih itu memilih menghabiskan waktu di ruangannya. “Tuan, Tuan Kusuma bertanya mengenai konsep ulang tahun. Apa Tuan ingin kami menyiapkan sesuatu?” Jovan yang sedari tadi mengikuti, memberanikan diri bertanya. Sejak kemarin atasannya itu sukar diajak bicara. “Tidak usah. Aku ingin dikirimi detail produk beserta siapa saja yang terlibat,” ujarnya tanpa menoleh. Tangannya lincah, bagai menari di atas mesin ketik. Sebelum acara ulang tahun, Karan ingin pekerjaannya selesai. “Baik, Tuan.” Jovan membungkukkan badan, berbalik menuju ke pintu. Ketika pintu dibuka, muncul Farel yang meminta izin masuk. Tak ada jawaban, selain gumaman tak jelas. “Tuan, Papa memintamu untuk memeriksa dokumen kontrak dengan para model. Papa juga ingin kau bicara dengan Ailyn mengenai launching produk terbaru kita,” papa
“Apa-apaan ini!” Kusuma melotot sembari berkacak pinggang melihat apa yang keduanya perbuat. Karan menoleh, nyaris memukul lagi. Ia berhenti setelah Kusuma mendorongnya ke samping. “Cuh!” Farel meludah. Darah segar terciprat ke lantai. “Karan!” Ailyn membantunya berdiri. Pria itu menepis. Amarah masih memenuhi dirinya. Sesaat ia lupa di mana kini berada. “Apa yang terjadi sampai kalian lupa tempat? Berkelahi seperti anak kecil!” Kusuma menoleh ke arah pintu, di mana Jovan dan Geri muncul. “Tutup pintunya! Jangan biarkan siapa pun mendekat!” teriak Kusuma. Geri dan Jovan kompak mengangguk, bersamaan menutup pintu. “Tanya saja padanya! Apa yang dia lakukan pada Ailyn saat keadaan sepi.” Karan menunjuk ke arah wajah Farel yang lebam. Napas keduanya tersengal akibat perkelahian tadi. Kusuma yang mulai curiga, meminta Farel untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. “Hanya salah paham, Pa. Kakak y
Karan tengah sibuk meeting. Sejak kejadian kemarin, dia jadi ingin lebih fokus pada pekerjaan agar bisa melupakan Ailyn. “Bagaimana menurut kalian? Apa kita perlu mencoba bisnis ini? Belakangan santer terdengar bahwa showroom cukup menjanjikan.” Karan duduk setelah menyampaikan banyak hal mengenai peluncuran parfum terbaru perusahaan. “Kami mendapat kabar kalau Tuan Farel yang akan menangani. Ke mana dia sekarang?” Louis membuka kacamata dan meletakkannya di atas meja. “Dia tengah cuti. Untuk sementara, tugas ini biar Jovan yang menangani.” Karan berupaya kejadian sebelumnya tak terdengar siapa pun. Bukan hanya demi nama baik perusahaan, melainkan dia harus melindungi Ailyn dari perspektif masyarakat. “Kalau begitu, bagaimana kalau kita bahas ini setelah acara ulang tahun Tuan? Masih ada waktu 4 hari lagi. Selama itu, kita bisa menyiapkan perencanaan yang matang,” usul Louis. Karan mengangguk. Kepalanya tak
Ailyn terdiam berpangku tangan sembari memerhatikan pantulan dirinya di cermin. Sudah beberapa kali mengirim pesan pada Karan, pria itu tak membalas. “Tumben centang satu dari kemarin. Aku jadi semakin takut.” Ailyn kembali mengecek ponsel. Tak ada apa-apa selain pesan dari Alex. Sebuah foto dikirim padanya. Foto yang memerlihatkan tumpukan undangan pernikahan yang akan disebar. Ailyn memejamkan mata. Menelepon Karan sudah tak bisa. Mungkinkah harus datang ke kantor dan bicara langsung? “Tidak, tidak bisa! Aku sudah berjanji tidak akan meminta bantuannya lagi.” Ailyn memerhatikan ranjang, di mana gaun indah berwarna putih terhampar di sana. “Jelas tak mungkin untuk kabur. Selain aku dijaga ketat, Karan pasti yang akan disalahkan meski tak terlibat.” Ailyn merebahkan kepala pada meja rias. Air matanya menganak sungai. Rindu mendadak menyapa. Dua hari tak ada kabar dari Karan, benar-benar membuatnya tak tenang.
Pagi yang cukup hening, di mana gerimis melanda saat Karan mengawasi rumah Ailyn. Jam baru menunjukkan pukul 07.44 saat mobil itu diparkir di kejauhan. “Kenapa dia tidak menghubungi? Apa dia benar-benar ingin menjauh dariku?” Karan memeriksa ponsel. Tak pernah ada pesan masuk dari Ailyn sejak hari itu. Tak berani menghubungi lebih dulu apa lagi berkunjung ke rumahnya, Karan hanya bisa mengawasi dari jauh seperti kemarin saat pulang dari rumah Alex. “Kemarin dia tidak ke kantor, kan?” tanyanya pada Jovan yang juga menoleh ke arah rumah yang pintunya tertutup. “Tidak, Tuan.” Jovan menjawab dengan tegas. Karan menghela napas. Undangan kemarin serasa menampar pipinya dengan keras. Dadanya sakit. Semalaman ia tak bisa tidur memikirkan Ailyn. “Aku merindukannya. Sesaat saja melihat, tak apa,” lirih Karan. Pandangannya kembali tertuju pada pintu yang perlahan dibuka. Tampak Mohan menuju ke teras rumah, di mana mob