Dua minggu sudah aku bekerja di perusahaan Saswara. Semuanya berjalan lancar dan aman. Aku tidak pernah lagi bertemu mas Umar ataupun keluarganya. Perlahan aku mulai melupakan masa lalu. Bayang-bayang mas Umar juga sudah sirna serta memori yang mulai terkikis.
Di sinilah aku berada. Di sebuah rumah kecil di pinggiran kota, yang berada di lingkungan perkampungan. Jaraknya tidak terlalu jauh dari kantor, aku sengaja mencari rumah terdekat. Satu minggu setelah aku bekerja, mama memberiku uang untuk biaya hidup di sini. "Eh, mbak Dila, mau kerja Mbak?" tanya salah seorang tetanggaku. Aku tersenyum lalu mengangguk. "Iya Bu, ini lagi siap-siap," sahutku, bicara seramah mungkin. Bu Delia namanya, rumahnya tepat di samping rumahku, sekaligus pemilik rumah yang aku sewa. Bu Delia mendekatiku, kemudian mengamati sekitarnya. "Mbak, sini sebentar!" Panggil bu Delia setengah berbisik. "Ada apa ya, Bu?" tanyaku mendekat. "BegiAwalnya aku menganggap, apa yang dilakukan mama mas Umar itu hanyalah hal biasa karena beliau tidak menyukaiku. Aku mencoba menyikapinya dengan santai dan hanya meminta bu Delia untuk tidak peduli. Tapi, semakin ke sini semakin keterlaluan. Mama Mas Umar secara terang-terangan menabuh genderang perang dengan memfitnahku di lingkungan tempat tinggalku yang baru. 'Iya, itu yang ngontrak rumah punya bu Delia. Mbak Dila namanya. Katanya sih dia janda yang ditalak suaminya karena mengeluh diberi jatah bulanan lima juta satu bulan,' 'Masa sih? Tapi dari penampilan dan cara bicaranya, sepertinya baik kok,' 'Alah, itu cuma sampulnya aja Bu. Belum tentu sampulnya bagus, tapi dalamnya juga bagus. Bisa aja kan beda,' 'Bener tuh. Sampul tidak menjamin isi dalamnya,' 'Berarti mbak Dila itu istri yang tidak bersyukur. Lima juta itu besar loh, kalau saya sudah pasti bisa nabung dan beli emas setiap bulannya,' 'Iya, benar juga.
Di jalan pulang dari rumah mama mas Umar, aku memilih memutar arah mencari makanan untuk aku santap malam ini. Karena tadi terburu-buru, aku sampai melupakan makan malam dan tidak memasak di rumah. Sebuah kedai pinggir jalan jadi pilihanku. Aku sengaja memilih makanan pinggir jalan. Selain rasanya enak dan banyak pilihannya, tentu saja karena harganya yang juga pas dengan kantong. Sembari menunggu makananku dihidangkan, tiba-tiba saja aku tersenyum sendiri. Pikiran aneh mulai terbesit di otakku, untung dengan cepat aku enyahkan. Aku berpikir, kenapa tadi tidak aku bawa bom saja ke rumah itu. Toh semuanya lagi berkumpul dalam satu rumah. Kalau bom itu berhasil ku lempar dan meledak, tentu mereka mati semua. Tapi sayangnya aku tidak sejahat itu. Mana mungkin juga aku melakukannya, bom saja tidak bisa melihat bentuknya, di mana juga mencari benda itu. Tujuanku saat ini membuktikan pada mereka yang sudah meremehkan aku. Keluarga merana itu tujuan
Hari ini aku terbangun tepat pukul sembilan pagi. Tidak biasanya aku bangun lamban seperti ini. Jika hari ini hari kerja, sudah pasti aku akan terkena masalah di kantor karena sudah terlambat. Beruntung ini adalah hari minggu. Hari libur untuk semua pegawai kantor. Tentu saja aku tidak menyia-nyiakan kesempatan yang hanya ada satu minggu sekali ini. Ini hari libur pertamaku di rumah ini. Karena hanya hidup sendiri di rumah ini, aku tidak menyetok banyak makanan. Alhasil, pagi ini aku terpaksa harus keluar membeli bahan-bahan makanan untuk satu minggu ke depan. "Sudah siap, saatnya berangkat!" gumamku, mematut diriku di depan kaca besar. Tujuanku hari ini adalah pasar tradisional demi menghemat pengeluaran ku selama belum mendapatkan gaji utama. Ya, walaupun mama mengirim uang dalam jumlah yang lumayan banyak melebihi uang gaji kerjaku. Tetap saja aku tidak boleh membuang-buangnya percuma. Saat ini aku bukan anak gadis lagi, yang biasanya hanya membeli
"Bagaimana Ma? Apa Mama masih menyangkalnya?" tanyaku, tersenyum sinis. Merasa ada bantuan yang datang, mama mas Umar yang tadinya gugup sekaligus takut. Seketika menatapku garang. Beliau bahkan beberapa kali mendesah kesal. "Ini ada apa sebenarnya Ma? kenapa Dila bisa ada di sini?" tanya mas Umar, terlalu penasaran dengan apa yang terjadi. "Mana Mama tau. Tanyakan saja sama janda ini! Datang ke rumah orang pagi-pagi buta, lalu marah-marah tidak jelas. Apa setelah dicerai Umar, otak kamu sedikit bergeser dari tempatnya?" cibir mama mas Umar. Memang hebat sekali mama mas Umar ini. Aku akui, dia memang hebat memainkan peran. Andai saja dia seorang artis, mungkin dia akan bisa menipu banyak orang dengan citranya. Atau malah jadi pemain sinteron yang terkenal, karena terlalu hebat memainkan peran. "Aku tidak seperti itu Ma! Bahkan aku bahagia sekali dan sangat bertambah waras setelah bercerai dengan putra Mama. Aku ke sini karena Mama
Emosi mas Umar sepertinya meledak mendengar kata-kataku. Tangannya dengan cepat terangkat meraih kerah piyama Lila. "Apa semua itu benar La? Kamu benar bermain gila di luar sana? kenapa La?" teriak mas Umar di depan wajah Lila. Mendapat teriakan seperti itu dari kakaknya. Tentu saja Lila merasa ketakutan. Tanpa menjawab atau menjelaskan. Ia malah menjatuhkan tubuhnya dan bersujud di kaki Umar sambil menangis meraung-raung. "Berdiri kamu La! Kamu ini kenapa? Jadi yang janda ini katakan benar? apa kamu sudah gila?" bentak mama mas Umar, menarik bagian belakang piyama Lila. "Aku minta ampun, aku tidak berniat melakukan itu!" Tangis Lila terdengar sangat menyedihkan. Ada rasa tidak tega melihat gadis muda itu meraung. Tapi mau bagaimana lagi? Aku sudah mencoba menahannya. Tapi dia malah semakin menjadi-jadi mengataiku. Terima saja balasannya! Aku bukan Dila yang dulu lagi. Aku tidak akan tinggal diam, jika ada orang lain berani mengin
Aku mendongak melihat ke arah samping. Siapa pria yang begitu familiar dan sudah menyebutku kumat? "Apa maksud and..." Kata-kataku terhenti, saat menyadari pria yang kini tengah tersenyum ke arahku. Mataku terbelalak. Bisa-bisanya aku bertemu dia di tempat seperti ini. "Firman," pekikku. "Hahaha... Iya, ini aku Dil. Kamu kenapa? Kamu pasti mau marah kan tadi?" tebak Firman, tertawa. Wajahku memerah. Aku memang akan memarahi orang yang sudah berani mengataiku tadi. Tapi semuanya sirna, saat mengetahui Firman lah orang itu. "Hem, sedang apa kamu di sini Fir?" tanyaku, terdengar ketus. "Jangan marah dong Dil! Aku kan cuma bercanda. Aku sedang menemani..." "Mas! Bantu aku dong!" Belum selesai Firman bicara, seorang wanita muda dengan tubuh langsing dan tinggi semampai lebih dulu memotongnya.Wajahnya terlihat cantik, dan juga putih bak porselen. Sangat serasi jika berdampingan dengan Firman.
Terdengar suara melengos dari seberang telepon. Keadaan hening sejenak, sebelum akhirnya suara melengking dari mama mas Umar memekakkan telinga. Dengan cepat aku menjauhkan ponsel dari daun telinga. "Tidak mungkin Lila mengusik kamu! Lila itu gadis baik-baik. Dan, soal ancaman itu Bisa saja kamu mengada-ada ingin menjatuhkan Lila. Kamu memang tidak suka kan sama Lila? Kamu tidak menyukai keluarga kami. Dasar janda licik!" Aku terperangah mendengar tuduhan mama mas Umar. "Dulu aku suka dengan keluarga kalian. Tapi sekarang tidak lagi. Aku akui, aku memang kesal dan marah. Tapi aku tidak sejahat dan selicik itu! Aku tidak mungkin mengada-ada soal pesan ancaman itu. Kalau Mama tidak percaya, bagaimana kalau kita menceknya ke kantor polisi langsung? Mereka tentu saja bisa memecahkan masalah ini dengan mudah, apa pesan itu hasil rekayasa ku atau bukan?" tantangku tidak terima dituduh. "Dan satu lagi, Lila itu bukan gadis yang baik. Apa ada
Hari ini aku mulai kembali kerja. Waktu liburku habis sia-sia karena harus mengurusi masalah yang dibuat oleh mama mas Umar dan adiknya. Cukup lama aku menyalakan motor, tapi motorku tak kunjung menyala juga. "Kalau seperti ini terus, bisa-bisa aku terlambat nanti. Lebih baik aku tunggu angkot saja di depan," batinku, dengan cepat menutup dan mengunci pintu rumah. Sama seperti hari biasanya, sudah jadi kebiasaan para ibu-ibu untuk berkumpul di depan teras salah seorang tetangga. Aku berjalan tergesa-gesa melewati kumpulan ibu-ibu itu. Hanya anggukan dan senyuman yang aku lemparkan untuk mereka yang menyapaku. "Kenapa jalan kaki mbak Dila? Motornya ke mana?" tanya salah seorang ibu. "Biasa lah Bu Mini, paling mbak Dila dijemput calon gebetan baru. Kan statusnya janda, jadi diantar jemput deh," sindir ibu yang berbadan tambun. Aku tidak menanggapi kata-katanya. Tidak penting dan hanya membuang waktu saja. "Mogok Bu. Kalau b
"Dil, kamu marah sama Mama?" tanya mama, masuk ke dalam kamarku. Setelah kejadian itu, aku memilih mengurung diri di kamar. Bukan karena aku marah, aku hanya masih merasa kesal saja. Terlebih Lila memfitnahku di depan keluarga Firman, ada kedua mertuaku saat itu. Aku menoleh menatap mama. Daru raut wajah mama, terlihat jelas sekali kalau saat ini mama mungkin merasa bersalah. "Tidak Ma, aku tidak marah," jawabku, mencoba tersenyum. Melihat mama mendekat, Firman memutuskan untuk keluar dari kamar, memberi ruang untuk aku dan mama saling bicara. "Boleh Mama duduk di sini?" tanya mama, menunjuk ke arah sampingku. "Boleh Ma, duduk aja!" sahutku, menggeser posisi. "Maafkan Mama, Dil! Semua kekacauan tadi siang terjadi karena Mama. Mama yang salah karena mengundang mereka ke sini. Mama tidak bermaksud seperti itu, Mama hanya ingin menyambung silaturahmi, sekaligus memberi mereka bukti
Emosiku kini mulai membuncah. Aku yang tadinya sudah merasa bisa menerima masukan dari Firman kembali meradang. Ternyata memang sesulit ini berlaku baik pada orang jahat pada kita. Mau seperti apapun baiknya kita, pasti akan selalu saja ada salah di mata yang tidak suka. "Jangan bicara sembarangan kamu La! Untuk apa aku berpura-pura hamil? Kalau kenyataannya begini, mau apa kamu? Memangnya salah, kalau aku benar hamil? Toh, aku punya suami, wajar saja aku bisa hamil seperti ini. Kalau kamu tidak percaya, ikut aku ke kamar dan kita buktikan semuanya!" Tantangku, entah seperti apa wajahku saat ini. "Santai dong Mbak! Aku kan cuma tanya dan memastikan. Kalau memang benar hamil, baguslah kalau begitu. Paling tidak, Mbak tidak dikatakan mandul lagi," cibir Lila, semakin menjadi-jadi. "Asal kamu tau, aku tidak mandul! Apa kurang bukti waktu kita bertemu di klinik kemarin? Kamu juga memeriksakan kandungan kamu kan?" Balasku, kini tatapanku ter
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Aku duduk di sebuah kursi di tengah-tengah hiasan yang sudah mama siapkan. Hati ini terasa sangat bahagia, ternyata begini rasanya mengandung dan melaksanakan ritual mandi-mandi tujuh bulanan. Aku tidak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya, apalagi setelah penghinaan dan fitnah masa lalu yang aku dapatkan dari orang paling terdekat di hidupku. 'Dasar mandul! Pantas saja suaminya tidak betah.' 'Gara-gara tidak bisa memberi keturunan, suaminya meninggalkannya.' Kata-kata itu akan terus aku ingat. Bukan aku seorang pendendam, tapi aku akan selalu mengingat setiap kata yang membuatku terpuruk waktu itu. Aku tidak akan bisa lupa. Air mata ini menetes begitu saja, seiring guyuran air pertama membasahi pucuk kepala dan akhirnya jatuh membasahi seluruh tubuh ini. Sensasi dingin namun terasa segar, begitu aku nikmati. "Memang lain ya, pancaran ibu hamil itu beda sekali
Semua keputusan akhirnya berakhir merujuk rumah ibuku di desa. Aku tentu saja dengan senang hati menerimanya. Selain aku merindukan ibu dan saudara laki-lakiku, aku juga merasa nyaman jika acara dilaksanakan di rumah ibu sendiri. Keesokan harinya, aku dan Firman sudah bersiap berangkat menuju desa. Rencana awal untuk membeli bahan makanan kami batalkan. Rasanya tak tega jika harus meminta ibu memasak semuanya. Apalagi ibuku semakin hari bertambah usia. "Gimana Yank?" tanya Firman, menyusulku ke kamar. "Aku sudah siap, ayo pergi!" Dengan cepat aku meraih lengan Firman dan berjalan bergandengan tangan. Banyak sekali yang kami ceritakan selama perjalanan. Bernostalgia masa lalu kami berdua. "Kamu benar-benar serius waktu itu, atau cuma karena kasihan denganku, Yank?" tanyaku, selalu saja bertanya yang tidak jelas. "Jangan mulai Yank! Kenapa sih hobi sekali bertanya seperti itu? pertanyaan kamu ini menjebak tau! Aku jawab ti
Firman menanyakan itu dengan tegas. Mata teduhnya yang sering aku lihat, sekarang menampakkan kilat tajam. "Da-dari Silvi," jawabku sedikit takut. Silvi, adalah temanku dulu saat berkuliah. Sebenarnya bukan teman dekat. Hanya kenal begitu saja, karena aku dan dia juga tidak satu jurusan. Beberapa waktu lalu saat aku dan Firman pergi ke salah satu minimarket, tanpa sengaja aku bertemu dia. Dia menanyakan kabarku, lalu meminta nomor teleponku dengan alasan ingin menjalin tali silaturahmi. "Silvi? Sejak kapan kamu berteman dengan dia?" tanya Firman, ia tampak terkejut. "Berteman akrab sih tidak, cuma kenal begitu saja. Kebetulan dia punya nomor ponselku," jelasku. "Sayang, Silvi itu tidak tau, kalau aku sudah menikah dengan kamu. Lalu, untuk apa dia mengirim foto itu?" ujar Firman, kali ini aku yang terkejut. Memang benar, pernikahan kami diadakan tidak meriah. Yang diundang juga orang-orang dekat saja. Sedang para teman-tem
Setelah pertemuan di klinik, aku jadi malas berpergian ke mana-mana. Aku malas jika harus bertemu dengan mereka. Bukan takut karena akan dihina. Aku hanya tidak mau menambah masalah lagi saja. "Sayang, kamu di rumah aja atau ikut aku?" tanya Firman, ia sudah rapi dengan pakaiannya. Malam minggu seperti ini, Firman jarang sekali berpergian keluar jika tidak bersamaku. Tapi malam ini, ia terpaksa menghadiri reuni bersama teman-teman satu jurusannya dulu saat kuliah. "Aku malas Mas, kamu saja yang pergi!" tolakku. "Memangnya kamu tidak takut?" tanya Firman, ia sengaja menggodaku kali ini. Keningku mengernyit, apa maksudnya bertanya seperti itu? "Takut apa? Takut sendirian di rumah? Biarpun sendirian, tidak akan mungkin ada hantu yang muncul Mas!" sahutku, kemudian terkekeh. "Bukan hantu, Sayangku! Aku kan pergi reuni, kalau reuni kan biasanya bertemu dengan teman-teman lama. Siapa tau diantara teman lama itu ada
"Puas kamu, hah? Puas sudah membuatku begini? Sekarang, dengan santainya kamu menanyakan di mana suamiku. Kamu punya otak tidak?" Aku terkejut bukan main mendengar bentakan Lila. Memangnya apa salahku? Apa hanya bertanya suaminya di mana, aku pantas mendapatkan bentakan di depan umum seperti ini? "Apa maksud kamu?" tanyaku bingung. "Sudah La, kamu kenapa sih? Jangan buat keributan, ini tempat umum!" tegur mama mas Umar, menarik lengan Lila menjauh. Bukannya menurut, Lila justru menghempaskan tangan mamanya dengan kasar. Ia kembali maju menarik lenganku kasar. "Kamu masih bisa tanya kenapa? Semua ini gara-gara kamu! Aku hamil, juga gara-gara kamu! Aku tidak punya suami, juga gara-gara kamu!" bentak Lila, wajahnya terlihat menyeramkan. "Lila, sudah!" hardik mamanya. "Kamu apa-apaan sih? Kenapa kamu menyalahkan Dila? ini di tempat umum La, malu didengar dan dilihat orang-orang," Lanjut mamanya lagi, memperhatikan
Firman menggenggam tanganku di atas meja. Mantan kekasihnya langsung mendengus kesal melihat kami. Dalam hati aku tertawa puas. Rasakan itu! "Bagiku janda ataupun perawan, sama saja. Toh sama-sama jadi istri juga, mengurus keluarga. Aku tidak pernah membedakan status. Yang jelas aku mencintai istriku, begitu juga sebaliknya. Terkadang di jaman seperti ini juga lebih bagus janda. Janda lebih berpengalaman. Yang terpenting, janda lebih banyak rasa perawan, sedangkan perawan rasanya seperti janda," jelas Firman. Ada rasa dongkol sekaligus bahagia mendengarnya. Bahagia karena Firman membelaku, sedang dongkol karena Firman menyebut soal rasa. Memangnya dia pernah merasakan itu sebelumnya? "Kamu menyindirku Fir?" tanya wanita itu, seraya berdiri bertolak pinggang. Aku dan Firman langsung menoleh bertatapan. Apa maksudnya menyindir? Perasaan dari tadi Firman bicaranya hanya menyebut tentang aku. Kenapa dia malah marah? "Keterlaluan kamu Fi
Sebisa mungkin aku menahan emosi. Kata-kata wanita itu, benar-benar membuat hatiku sakit. Apa hanya karena penampilanku seperti ini? Apa semua harus dinilai dari penampilan luarnya? "Bukan, ini istriku!" jawab Firman, wajahnya langsung berubah kesal. Wanita itu tampak terkejut. Ekspresi terkejutnya sukses membuat aku mengumpat dalam hati. Seolah dia buat sengaja. "Eh, maaf Fir. Istri ya? Aku kira tadi babu kamu. Maaf ya istri Firman!" ucapnya, tersenyum sinis. Suasana hatiku kembali berubah. Ingin rasanya aku cepat pulang. Kata-kata pembantu masih mending dibandingkan dengan babu. Apa dia sengaja mengatakan itu? Mana senyumnya sinis begitu. Ini sih, sama saja dia menabuh genderang perang. "Sis, tolong jaga cara bicara kamu! Aku rasa, kata babu itu terlalu kasar. Dia ini calon ibu untuk anak-anakku," ucap Firman tegas. Wajar saja Firman marah. Suami mana yang tidak marah, kalau istrinya dihina sedemikian rupa. Walaupun tida