Share

Dijatah Lima Juta
Dijatah Lima Juta
Penulis: Lia Scorpio

Jatah lima juta

Penulis: Lia Scorpio
last update Terakhir Diperbarui: 2023-02-01 13:31:08

 "Ini uang bulanan untuk kamu! Kelola baik-baik, aku harap setelah ini tidak ada lagi yang namanya uang kurang!" 

 Wajahku memerah menahan marah saat mendengar Mas Umar mengatakan itu. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Bisa-bisanya ia hanya memberiku uang bulanan dengan nominal seperti itu.

 Namaku Dila, aku hanya seorang ibu rumah tangga yang bergantung dengan suamiku. Bukan aku tidak mau bekerja atau apa. Tapi, Mas Umar, selalu saja melarang jika aku ingin bekerja seperti istri orang lain.

 Jatah bulanan yang diberikan Mas Umar selama ini, benar-benar membuat aku kesal. Bagaimana tidak, aku hanya dijatah lima juta untuk satu bulan. Aku akui, nominal lima juta itu tidak lah sedikit untuk era seperti ini. Tapi, tetap saja itu masih kurang banyak untukku.

 "Kenapa harus lima juta terus sih, Mas? Apa tidak bisa kamu naikkan lagi uang bulanannya? Gaji kamu kan delapan juta satu bulan, kenapa tidak enam atau tujuh juta?" protesku.

 "Yang benar saja kamu Dil? Enam atau tujuh juta kamu bilang? Lima juta itu sudah nominal yang besar. Apa masih kurang? Gajiku memang delapan juta. Tapi aku harus memberi mama dua juta, dan satu jutanya lagi untuk aku simpan buat rokok dan uang bensin. Syukuri saja Dil!" 

 Tanpa mau mendengar protesku lagi, Mas Umar langsung menyerahkan uang bulanan lalu keluar dari kamar.

 Mataku nanar melihat tumpukan uang di atas tempat tidur. Dengan sangat terpaksa aku mulai mengambil dan menyimpannya di dalam dompet khusus uang bulanan. Kepalaku terasa berat dan pusing, apalagi ini awal bulan. Banyak sekali yang harus aku pikirkan dengan jatah bulanan yang sedikit ini.

 "Kalau begini terus aku bisa gila.  Mas Umar benar-benar kelewatan sekali. Dia memberiku jatah bulanan hanya lima juta, sedangkan mama dua juta. Sepertinya aku harus mencari kerja kali ini," 

Keputusanku sudah bulat. Aku tidak mau lagi terpaku dengan jatah bulanan yang selalu saja kurang. Aku mulai memikirkan melamar kerjaan dengan ijasah sarjana yang aku punya. 

 "Dila, sini sebentar!"  teriak mas Umar dari arah dapur.

 Awalnya aku tidak menghiraukan teriakan mas Umar. Namun, lagi-lagi Mas Umar mengulang teriakannya, dan terpaksa aku keluar dari kamar dengan kaki yang dihentakkan. 

 "Ada apa Mas?" tanyaku malas.

 "Ada apa, ada apa. Lihat nih! Apa kamu tidak bisa masak atau pelit sih? Uang jatah bulanan sudah aku berikan, tapi kamu masih saja memasak menu yang sama setiap harinya. Tidak ada menu spesial, kamu bisa masak atau tidak sih?" omel mas Umar, menunjuk lauk pauk serta sayur di atas meja makan.

 Emosiku benar-benar diuji kali ini. Aku hanya manusia biasa, mas Umar benar-benar membuatku meledak hari ini. Belum selesai masalah jatah bulanan, dia kembali mempermasalahkan makanan di atas meja.

 "Syukuri saja Mas!" sahutku, mengulangi kalimat yang tadi ia ucapkan di kamar.

 Dapat aku lihat wajah mas Umar memerah, telapak tangannya juga terkepal.

 "Berani kamu mengulang kata-kata aku Dil? Syukur sih syukur, tapi kalau makan ini setiap hari aku juga bosan. Aku kerja dari pagi sampai malam cari uang, masa iya kamu hanya memasak ini? Percuma aku banting tulang, kalau makanan seperti ini yang tersaji. Aku cari uang itu untuk dapat uang banyak dan makan enak, bukan seperti ini!"  bentak mas Umar, menatap nyalang ke arahku.

 Aku tidak peduli dengan tatapan itu.Dengan santainya aku mendekati meja makan, lalu menutup kembali tutup saji yang tadi mas Umar buka.

 "Kalau tidak mau makan, yasudah tidak usah sekalian!" ujarku, kemudian bersiap pergi ke kamar.

 Baru saja aku berjalan melewati mas Umar, ia sudah menarik lenganku kasar.

 "Apa-apaan sih kamu Dil? Kamu kenapa? Apa begini cara kamu memperlakukan suami sendiri? Aku capek kerja Dil, harusnya kamu itu memanjakan aku kalau pulang. Menyiapkan makanan yang enak-enak, bukan  malah seperti ini!"  ujar mas Umar, kali ini nada bicaranya tidak sekeras tadi, tapi penuh penekanan.

  Perutku mual mendengar kata-kata mas Umar. 'Memanjakan?' cih, dia saja tidak pernah memanjakan aku sama sekali.

 "Dengar ya, Mas! Aku ini bukan koki, aku ini hanya ibu rumah tangga biasa. Dalam satu bulan ada tiga puluh hari, dalam satu tahun ada tiga ratus enam puluh lima hari. Bagaimana caraku memikirkan menu yang berbeda-beda setiap harinya selama itu? Koki saja tidak akan sanggup, dan bisa saja memasak menu yang sama, apalagi aku yang hanya biasa ini. Makan saja apa yang ada, masih syukur masih bisa makan nasi dengan lauk dan sayur. Lihat orang-orang di luar sana! Jangankan buat makan ada lauk dan sayur, hanya makan nasi saja mereka sudah bersyukur," sahutku kesal.

 Mas Umar mengusap wajahnya kasar. "Aku tidak mempermasalahkan makanan yang dimasak berulang kali dalam satu tahun. Yang aku masalahkan, kamu sudah diberi uang bulanan, masa iya lauknya hanya ini terus? Dan lagi, aku bukan mereka orang jalanan. Aku punya uang, aku bekerja, sudah sewajarnya aku mengharapkan menu yang lebih," jelas mas Umar, wajahnya masih terlihat merah saat mengatakan itu.

 "Tau ah Mas, nanti saja membahas masalah ini! Aku mau istirahat dulu, tubuhku lelah. Kalau mau makan, makan saja yang itu. Tapi kalau tidak mau, kamu bisa pulang ke rumah mama dan makan di sana, menunya pasti enak-enak!" 

 Setelah mengatakan itu, aku menghempaskan cengkraman mas Umar di lenganku. Aku melenggang pergi begitu saja masuk ke dalam kamar dan tak lupa menutup pintunya sedikit agak keras.

 Dengan perasaan kesal campur aduk dengan marah. Aku kembali menatap kesal uang yang barusan aku simpan.

 "Kalau saja kamu memberiku uang bulanan lebih, aku tidak mungkin memasak menu itu-itu saja Mas. Harusnya kamu mikir, semuanya sekarang ini serba mahal. Dengan uang segitu selama satu bulan, mana mungkin cukup. Biarpun saat ini kita belum punya anak, tetap saja tidak cukup.  Harusnya kamu memberikan uang bulanan yang lebih kalau mau makan enak setiap harinya. Bukan malah memberi jatah bulanan ke mama kamu sebanyak itu. Mama kan sudah ada uang dari gaji pensiunan papa kamu, itu bahkan lebih dari cukup untuk biaya hidup satu bulan, bahkan masih lebih. Sedangkan aku masih banyak kurangnya, aku harus memutar otak memikirkan agar uang itu cukup sampai gajian bulan depan nanti." batinku.

 Pintu depan tertutup keras, dapat aku dengar dari dalam kamar. Aku tidak memedulikan itu, aku tau itu adalah perbuatan mas Umar. Ia pasti sedang marah dan pergi ke rumah mamanya. Biarlah ia makan di rumah mamanya, paling tidak ia tau kenyataan jatah bulanan yang ia berikan itu kurang.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Puput Assyfa
muliakan istrimu dulu baru orang lain
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Dijatah Lima Juta   Alasan tidak cukup

      Hari sudah mulai petang, tapi Mas Umar masih belum terlihat batang hidungnya. Aku sengaja menunggunya di teras depan kali ini. Entah mengapa aku merasa kesal kalau harus terus-terusan begini. Baru juga menikah dua tahun, sudah banyak saja cobaannya.  Lelah menunggu, akhirnya yang ditunggu datang juga. Lampu mobil menyorot ke arah aku yang sedang duduk. Tanpa mau ambil pusing, aku tidak menghiraukan suara klakson mobil yang dibunyikan oleh mas Umar. "Dila, buka pagarnya!" teriak mas Umar, kepalanya terlihat keluar dari balik jendela mobil. "Mas buka sendiri saja, kakiku sakit!" sahutku. Malas sekali membuka pagar untuk suami yang tidak tau menahu sama istri sendiri. Merasa aku abaikan, Mas Umar turun dari dalam mobil dengan wajah kesalnya. Mobil sudah terparkir di depan bagas. Melihat mas Umar sudah ada di rumah, aku bersiap masuk. Namun, baru beberapa langkah kakiku berjalan. Mas Umar menahanku.

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-01
  • Dijatah Lima Juta   Bertemu mertua

     Cahaya mentari mulai menerobos masuk melalui celah-celah gorden. Aku terperanjat saat menyadari hari sudah berganti pagi. Gegas aku bangun dan duduk di posisiku. Pemandangan pertama yang aku lihat adalah televisi. Ya ampun, aku baru ingat, kalau tadi malam aku tidur di sini bukan di kamarku. Dari sekian pertengkaran yang terjadi selama ini dengan suamiku-- mas Umar. Baru kali ini aku bisa tidur terpisah. Bukan karena mas Umar mengusirku dari kamar, aku sendiri yang menginginkannya. Ngomong-ngomong soal mas Umar. Aku belum melihat batang hidungnya pagi ini. Ku lirik jam dinding yang terpajang di dinding, waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Bisa saja mas Umar sudah pergi bekerja tanpa membangunkan aku karena masih marah  Tanpa mau ambil pusing, aku memutuskan membereskan bantal, guling serta selimutku dan membawanya ke dalam kamar. Kosong? Kamarku sudah kosong, bahkan tempat tidur masih terlihat rapi. Tidak mungkin m

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-01
  • Dijatah Lima Juta   Pinjam uang

     Aku duduk bersandar di sofa depan televisi. Tubuhku rasanya lelah sekali hari ini. Bagaimana tidak lelah, setelah mama mertuaku pulang. Mas Umar datang dan membawa satu kantong besar pakaian kotor ke rumah. "Tolong cucikan ya, Dil!" Kata 'tolong' yang aku dengar dari mas Umar,  membuat keningku saling bertaut. Enak sekali dia membawa pakaian kotor sebanyak ini ke rumah. Belum lagi aku tau, siapa pemilik pakaian kotor itu. "Nggak mau Mas! Memangnya ini pakaian siapa? Banyak sekali," keluhku. "Itu pakaian mama sama Lila, masa kamu nggak mau sih? Di rumah mama, airnya tidak mengalir, jadi tidak bisa cuci pakaian," jelas mas Umar. Mulutku terbuka lebar. Pakaian mama dan Lila? Bisa-bisanya mas Umar membawa semua pakaian itu ke rumah. Kalaupun air tidak mengalir, kan masih bisa menggunakan air sumur. Di belakang rumah mama juga masih ada sumur yang banyak airnya. Kenapa tidak menggunakan itu saja? Kenapa malah mem

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-01
  • Dijatah Lima Juta   Nasihat Mama

    Setelah mendengar dan mencerna semua ceritaku. Mama menatap sayu ke arahku. Aku bisa merasakan perasaan mama saat mengetahui aku begitu tertekan selama ini. "Kamu yang sabar ya, Dil! Hidup berumah tangga memang seperti itu. Berumah tangga tidak semudah kelihatannya. Dibalik kebahagiaan yang terlihat, pasti ada duka yang terpendam. Pernikahan kalian baru dua tahun, masih ada tahun-tahun ke depannya. Semoga saja setelah itu Umar bisa berubah. Usia kalian yang masih labil, pasti akan sulit mengendalikan diri," ujar mama menasehati. Mataku menatap nanar ke arah mama. Aku tau saat ini mama marah, mama kecewa saat putrinya diperlakukan seperti ini. Tapi, mendengar nasihat mama, aku mulai meragukan perasaanku sendiri. "Mama tidak marah aku diperlakukan seperti ini?" tanyaku, menatap lekat netra coklat mama. Mama memalingkan wajahnya, lalu menghembuskan nafas panjang. "Mau semarah apa pun Mama, Mama bisa apa Dil? Mama memang orang

    Terakhir Diperbarui : 2023-02-01
  • Dijatah Lima Juta   Tidak Mas, makasih banyak!

     Hari berganti hari, sampai kini mendekati tanggal gajian mas Umar. Setelah pertengkaran malam itu. Hubunganku dengan mas Umar semakin renggang. Entah aku yang terlalu egois karena ingin dimengerti, atau mas Umar yang tidak pernah peka.   Aku menjalani hari seperti biasanya. Walaupun tidak ada lagi uang belanja dari jatah bulanan. Aku masih bisa memasak makanan untuk mas Umar. Tentunya itu uang dari hasil kiriman mamaku, dan mas Umar tau itu. "Dil, besok Mas pulangnya telat, kamu tidak usah masak!" ujar mas Umar, sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Aku mengangguk tanda mengiyakan. Hanya obrolan singkat yang mewarnai rumah tangga kami. Tidak ada kemesraan atau kehangatan seperti awal-awal pernikahan. Dan benar saja, sampai tengah malam bahkan hampir dini hari, mas Umar belum juga pulang. Ini bukan kali pertama, sudah sering akhir-akhir ini mas Umar seperti itu. Entah menghindari aku, atau ada urusan lain. "Dil

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-09
  • Dijatah Lima Juta   Calon Madu

     Hampir setengah jam aku di kamar mandi. Akhirnya aku memutuskan untuk keluar. Tapi, begitu aku keluar keadaan di kamar terlihat sepi. Mas Umar sudah tidak ada di tempatnya lagi. Aku tidak ambil pusing, segera aku memakai pakaian kebangsaan ibu rumah tangga, yaitu daster.  Sudah siap dan rapi, aku gegas keluar dari kamar. Terlalu lama mengurung diri di kamar mandi, perutku keroncongan juga. Cacing-cacing di dalam perut sudah berdemo ria meminta isi amunisi.  "Ke mana mas Umar? Di kamar tidak ada, di depan televisi dan dapur juga tidak ada," gumamku heran. Merasa penasaran ke mana perginya suamiku itu. Aku memutuskan mencarinya di ruang tamu atau teras rumah. Namun lagi-lagi mas Umar tidak ada. Mobilnya juga sudah tak terlihat lagi. "Paling juga ke rumah ibunya," batinku. Tak mau ambil pusing ke mana perginya mas Umar, aku memutuskan untuk makan. Akhir-akhir ini mas Umar sudah biasa pergi tanpa pamit atau bila

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-09
  • Dijatah Lima Juta   Talak

     Tanganku terkepal, dada ini rasanya sesak bagai dihantam godam besar. Dengan santainya mas Umar mengatakan itu tanpa memikirkan bagaimana perasaanku. Hanya gara-gara uang jatah bulanan itu, dia tega membuat aku hancur.  "Aku tidak setuju, aku tidak mau dimadu. Kalau kamu memang mau melakukan itu, aku lebih baik minta cerai saja," ujarku. Entah dari mana aku mendapatkan keberanian untuk mengucapkan itu. Perceraian memang tidak pernah aku inginkan. Tapi untuk dimadu, aku tidak mau. Sebelum dimadu saja mas Umar tidak pernah adil antara aku dan ibunya. Apalagi ada orang baru lagi. Bisa-bisa aku tersisih. Rahang mas Umar mengeras, wajahnya memerah menahan marah. "Gila kamu Dil! Aku tidak akan menceraikan kamu,"  Setelah mengatakan itu, mas Umar berlalu pergi tanpa mengatakan apapun lagi.  Badanku merosot begitu saja, terduduk di lantai keramik. Perasaanku sudah campur aduk saat ini.  Marah, sedih, kecewa berkecam

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-09
  • Dijatah Lima Juta   Keluar dari rumah

     Tatapan yang sangat menyebalkan dari mama mertuaku, membuatku kesal. Namun sebisa mungkin aku menahannya. Aku tidak boleh lagi terlihat lemah. Cukup tadi saja aku menangis di depan mereka saat mas Umar menjatuhkan kata talak. Kini tidak lagi. Aku harus terlihat kuat dan tegar, biar bagaimanapun ini juga kemauanku untuk tidak dimadu. "Aku mau pulang Ma, pulang ke tempat asal aku berada," jawabku, dengan mimik wajah sesantai mungkin. "Oh pulang ke habitat awal? Baguslah kalau kamu sadar sendiri. Toh ini juga bukan rumah kamu lagi," ujar mama mertuaku, tersenyum sinis. Aku mengulum senyum mendengar kata-kata mama. Ingin rasanya aku tertawa terbahak-bahak saat ini, tapi dengan cepat aku tahan. "Yang dikatakan mama itu benar. Kamu bukan nyonya di rumah ini lagi. Dalam waktu beberapa hari, aku yang akan jadi nyonya di rumah milik mas Umar," sambung Liana dengan bangganya. Kali ini aku tidak bisa lagi menahannya. A

    Terakhir Diperbarui : 2023-03-09

Bab terbaru

  • Dijatah Lima Juta   Melahirkan

     "Dil, kamu marah sama Mama?" tanya mama, masuk ke dalam kamarku. Setelah kejadian itu, aku memilih mengurung diri di kamar. Bukan karena aku marah, aku hanya masih merasa kesal saja. Terlebih Lila memfitnahku di depan keluarga Firman, ada kedua mertuaku saat itu. Aku menoleh menatap mama. Daru raut wajah mama, terlihat jelas sekali kalau saat ini mama mungkin merasa bersalah. "Tidak Ma, aku tidak marah," jawabku, mencoba tersenyum. Melihat mama mendekat, Firman memutuskan untuk keluar dari kamar, memberi ruang untuk aku dan mama saling bicara. "Boleh Mama duduk di sini?" tanya mama, menunjuk ke arah sampingku. "Boleh Ma, duduk aja!" sahutku, menggeser posisi. "Maafkan Mama, Dil! Semua kekacauan tadi siang terjadi karena Mama. Mama yang salah karena mengundang mereka ke sini. Mama tidak bermaksud seperti itu, Mama hanya ingin menyambung silaturahmi, sekaligus memberi mereka bukti

  • Dijatah Lima Juta   Wanita murahan?

     Emosiku kini mulai membuncah. Aku yang tadinya sudah merasa bisa menerima masukan dari Firman kembali meradang. Ternyata memang sesulit ini berlaku baik pada orang jahat pada kita. Mau seperti apapun baiknya kita, pasti akan selalu saja ada salah di mata yang tidak suka. "Jangan bicara sembarangan kamu La! Untuk apa aku berpura-pura hamil? Kalau kenyataannya begini, mau apa kamu? Memangnya salah, kalau aku benar hamil? Toh, aku punya suami, wajar saja aku bisa hamil seperti ini. Kalau kamu tidak percaya, ikut aku ke kamar dan kita buktikan semuanya!" Tantangku, entah seperti apa wajahku saat ini. "Santai dong Mbak! Aku kan cuma tanya dan memastikan. Kalau memang benar hamil, baguslah kalau begitu. Paling tidak, Mbak  tidak dikatakan mandul lagi," cibir Lila, semakin menjadi-jadi. "Asal kamu tau, aku tidak mandul! Apa kurang bukti waktu kita bertemu di klinik kemarin? Kamu juga memeriksakan kandungan kamu kan?" Balasku, kini tatapanku ter

  • Dijatah Lima Juta   Tuduhan Lila

     Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Aku duduk di sebuah kursi di tengah-tengah hiasan yang sudah mama siapkan. Hati ini terasa sangat bahagia, ternyata begini rasanya mengandung dan melaksanakan ritual mandi-mandi tujuh bulanan. Aku tidak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya, apalagi setelah penghinaan dan fitnah masa lalu yang aku dapatkan dari orang paling terdekat di hidupku. 'Dasar mandul! Pantas saja suaminya tidak betah.' 'Gara-gara tidak bisa memberi keturunan, suaminya meninggalkannya.' Kata-kata itu akan terus aku ingat. Bukan aku seorang pendendam, tapi aku akan selalu mengingat setiap kata yang membuatku terpuruk waktu itu. Aku tidak akan bisa lupa. Air mata ini menetes begitu saja, seiring guyuran air pertama membasahi pucuk kepala dan akhirnya jatuh membasahi seluruh  tubuh ini. Sensasi dingin namun terasa segar, begitu aku nikmati. "Memang lain ya, pancaran ibu hamil itu beda sekali

  • Dijatah Lima Juta   Balik kampung

    Semua keputusan akhirnya berakhir merujuk rumah ibuku di desa. Aku tentu saja dengan senang hati menerimanya. Selain aku merindukan ibu dan saudara laki-lakiku, aku juga merasa nyaman jika acara dilaksanakan di rumah ibu sendiri. Keesokan harinya, aku dan Firman sudah bersiap berangkat menuju desa. Rencana awal untuk membeli bahan makanan kami batalkan. Rasanya tak tega jika harus meminta ibu memasak semuanya. Apalagi ibuku semakin hari bertambah usia. "Gimana Yank?" tanya Firman, menyusulku ke kamar. "Aku sudah siap, ayo pergi!" Dengan cepat aku meraih lengan Firman dan berjalan bergandengan tangan. Banyak sekali yang kami ceritakan selama perjalanan. Bernostalgia masa lalu kami berdua. "Kamu benar-benar serius waktu itu, atau cuma karena kasihan denganku, Yank?" tanyaku, selalu saja bertanya yang tidak jelas. "Jangan mulai Yank! Kenapa sih hobi sekali bertanya seperti itu? pertanyaan kamu ini menjebak tau! Aku jawab ti

  • Dijatah Lima Juta   Tujuh Bulan

    Firman menanyakan itu dengan tegas. Mata teduhnya yang sering aku lihat, sekarang menampakkan kilat tajam. "Da-dari Silvi," jawabku sedikit takut. Silvi, adalah temanku dulu saat berkuliah. Sebenarnya bukan teman dekat. Hanya kenal begitu saja, karena aku dan dia juga tidak satu jurusan. Beberapa waktu lalu saat aku dan Firman pergi ke salah satu minimarket, tanpa sengaja aku bertemu dia. Dia menanyakan kabarku, lalu meminta nomor teleponku dengan alasan ingin menjalin tali silaturahmi. "Silvi? Sejak kapan kamu berteman dengan dia?" tanya Firman, ia tampak terkejut. "Berteman akrab sih tidak, cuma kenal begitu saja. Kebetulan dia punya nomor ponselku," jelasku. "Sayang, Silvi itu tidak tau, kalau aku sudah menikah dengan kamu. Lalu, untuk apa dia mengirim foto itu?" ujar Firman, kali ini aku yang terkejut. Memang benar, pernikahan kami diadakan tidak meriah. Yang diundang juga orang-orang dekat saja. Sedang para teman-tem

  • Dijatah Lima Juta   Acara reuni

    Setelah pertemuan di klinik, aku jadi malas berpergian ke mana-mana. Aku malas jika harus bertemu dengan mereka. Bukan takut karena akan dihina. Aku hanya tidak mau menambah masalah lagi saja. "Sayang, kamu di rumah aja atau ikut aku?" tanya Firman, ia sudah rapi dengan pakaiannya. Malam minggu seperti ini, Firman jarang sekali berpergian keluar jika tidak bersamaku. Tapi malam ini, ia terpaksa menghadiri reuni bersama teman-teman satu jurusannya dulu saat kuliah. "Aku malas Mas, kamu saja yang pergi!" tolakku. "Memangnya kamu tidak takut?" tanya Firman, ia sengaja menggodaku kali ini. Keningku mengernyit, apa maksudnya bertanya seperti itu? "Takut apa? Takut sendirian di rumah? Biarpun sendirian, tidak akan mungkin ada hantu yang muncul Mas!" sahutku, kemudian terkekeh. "Bukan hantu, Sayangku! Aku kan pergi reuni, kalau reuni kan biasanya bertemu dengan teman-teman lama. Siapa tau diantara teman lama itu ada

  • Dijatah Lima Juta   Membuka aib sendiri

    "Puas kamu, hah? Puas sudah membuatku begini? Sekarang, dengan santainya kamu menanyakan di mana suamiku. Kamu punya otak tidak?" Aku terkejut bukan main mendengar bentakan Lila. Memangnya apa salahku? Apa hanya bertanya suaminya di mana, aku pantas mendapatkan bentakan di depan umum seperti ini? "Apa maksud kamu?" tanyaku bingung. "Sudah La, kamu kenapa sih? Jangan buat keributan, ini tempat umum!" tegur mama mas Umar, menarik lengan Lila menjauh. Bukannya menurut, Lila justru menghempaskan tangan mamanya dengan kasar. Ia kembali maju menarik lenganku kasar. "Kamu masih bisa tanya kenapa? Semua ini gara-gara kamu! Aku hamil, juga gara-gara kamu! Aku tidak punya suami, juga gara-gara kamu!" bentak Lila, wajahnya terlihat menyeramkan. "Lila, sudah!" hardik mamanya. "Kamu apa-apaan sih? Kenapa kamu menyalahkan Dila? ini di tempat umum La, malu didengar dan dilihat orang-orang," Lanjut mamanya lagi, memperhatikan

  • Dijatah Lima Juta   Bertemu di klinik

    Firman menggenggam tanganku di atas meja. Mantan kekasihnya langsung mendengus kesal melihat kami. Dalam hati aku tertawa puas. Rasakan itu! "Bagiku janda ataupun perawan, sama saja. Toh sama-sama jadi istri juga, mengurus keluarga. Aku tidak pernah membedakan status. Yang jelas aku mencintai istriku, begitu juga sebaliknya. Terkadang di jaman seperti ini juga lebih bagus janda. Janda lebih berpengalaman. Yang terpenting, janda lebih banyak rasa perawan, sedangkan perawan rasanya seperti janda," jelas Firman. Ada rasa dongkol sekaligus bahagia mendengarnya. Bahagia karena Firman membelaku, sedang dongkol karena Firman menyebut soal rasa. Memangnya dia pernah merasakan itu sebelumnya? "Kamu menyindirku Fir?" tanya wanita itu, seraya berdiri bertolak pinggang. Aku dan Firman langsung menoleh bertatapan. Apa maksudnya menyindir? Perasaan dari tadi Firman bicaranya hanya menyebut tentang aku. Kenapa dia malah marah? "Keterlaluan kamu Fi

  • Dijatah Lima Juta   Diejek

    Sebisa mungkin aku menahan emosi. Kata-kata wanita itu, benar-benar membuat hatiku sakit. Apa hanya karena penampilanku seperti ini? Apa semua harus dinilai dari penampilan luarnya? "Bukan, ini istriku!" jawab Firman, wajahnya langsung berubah kesal. Wanita itu tampak terkejut. Ekspresi terkejutnya sukses membuat aku mengumpat dalam hati. Seolah dia buat sengaja. "Eh, maaf Fir. Istri ya? Aku kira tadi babu kamu. Maaf ya istri Firman!" ucapnya, tersenyum sinis. Suasana hatiku kembali berubah. Ingin rasanya aku cepat pulang. Kata-kata pembantu masih mending dibandingkan dengan babu. Apa dia sengaja mengatakan itu? Mana senyumnya sinis begitu. Ini sih, sama saja dia menabuh genderang perang. "Sis, tolong jaga cara bicara kamu! Aku rasa, kata babu itu terlalu kasar. Dia ini calon ibu untuk anak-anakku," ucap Firman tegas. Wajar saja Firman marah. Suami mana yang tidak marah, kalau istrinya dihina sedemikian rupa. Walaupun tida

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status