Kenan tersenyum samar sembari terus mengemudi. Anak buah yang seharusnya menjadi sopir pun ia suruh pulang lebih dulu sebab ingin berduaan dengan Melinda.
“Kau yakin mau ke rumah Pamanmu? Wajahmu seperti memiliki arti lain saat mengatakannya tadi,” kata Kenan. Gerak-gerik Melinda yang tampak cemas dapat dibaca dengan jelas. “Tidak jadi." Melinda menjawab seadanya. Kenan berupaya bersikap baik dengan mengeluarkan kalimat-kalimat nan bijak. Memikat hati Melinda setelah sekian lama diincar tentu hal yang sukar. Ditambah wanita itu bukan lagi wanita lajang. Melinda memejamkan mata menikmati pendingin yang terasa menyegarkan. “Hmmm, begitu. Bagaimana kalau kita keliling saja? Sekalian berbagi cerita. Sudah lama kita tak bicara.” Kenan melirik spion. Berjaga-jaga takut Gerald mengikuti. Melinda tak menjawab. “Mel,” lirih Kenan, membuat Melinda menoleh.“Apa yang kalian bicarakan? Antonio saksi mata apa?” Gerald mendekat. Tatapan tajam sang mertua yang tampak ketakutan membuatnya curiga. “Sayang?” Gerald mengernyitkan dahi, menyentuh pundak istrinya yang menganga lebar. “Ah, itu ... a-anu—“ Naura memelototi Zaskia, bagai minta dibantu untuk menjawab. Sang mama mengusap tengkuk, bingung juga harus bicara apa. “Apa perlu aku minta Jiddan mencari tahu? Sesusah apa kalian menjawab sampai terdiam? Apa yang tak aku tahu tentang Antonio?” Gerald merasa gelagat sang istri mencurigakan. Kedekatannya dengan sang manager pun tak pernah ia pertanyaan. Namun sekarang? Sepertinya, ada hal yang terjadi tanpa sepengetahuannya. “Tidak, Mas. Biar aku jelaskan. Antonio melihat seseorang memakai namaku untuk membuat skandal. Menggunakan fotoku untuk menebar keburukan. Hanya dia saksi mata yang bisa aku mintai keterangan. Namun .... “
Melinda semakin diperlakukan dengan buruk oleh sang suami setelah pulang dari rumah sakit. Dikarenakan Naura lumpuh sementara, menjadikan Melinda sebagai pelayan yang harus siap siaga. “Mulai hari ini, aku serahkan semua hal yang berkaitan dengan Naura padamu,” kata Gerald pada Melinda. “Aku ingin kau mengurusnya dengan baik karena ini kesalahanmu. Sampai Naura mengeluhkan sesuatu atau merasa kesulitan, kau akan tahu akibatnya!” Gerald pergi setelah menunjuk wajah Melinda dengan beringas. Melinda hanya diam, memerhatikan suaminya yang pergi. “Aku mau belanja dulu. Kau urus Anakku dengan baik. Sayang, Mama pergi dulu.” Zaskia memeluk Naura yang berada di atas kursi roda dengan pandangan kosong. “Kalau kau macam-macam atau mencelakainya lagi, aku akan membuatmu menyesal telah hidup!” Zaskia mendengus, memalingkan wajahnya dengan cepat. Melinda hanya menarik napas panjang. Didekatinya Naura
Haedar dan Saroon mendatangi rumah Gerald. Mereka baru sempat menjenguk Naura sebab berada di Turki selama beberapa hari. “Kata dokter, berapa lama kau akan lumpuh? Maksud Tante, ini kan lumpuh sementara.” Saroon bertanya sembari mengamati situasi. “Sekitar satu sampai dua bulan,” Naura mengatupkan bibir seperti melumat. “Mana Kak Melinda?” tanya Haedar, menoleh ke arah tangga, lalu mengawasi pintu kamar Melinda. “Loh, kalian di sini? Sudah lama?” Melinda muncul membawa barang belanjaan diikuti Rani sebelum Naura sempat menjawab. Dibiarkannya Rani membawa semua barang belanjaan ke dapur. “Baru juga sampai.” Saroon berdiri. Dipeluknya Melinda seperti memeluk anaknya sendiri. Ia banyak mendengar tentang wanita itu dari sang anak yang merasa cemas. “Tante sehat?” tanya Melinda. “Sehat sekali. Bahkan tambah gemuk.” Haedar yang menjawab, membuat semua terkekeh. “Kau
“Mel, tolong belikan aku buah-buahan. Aku ingin sekali makan buah duku dan apel,” kata Naura, mendorong kursi roda mendekati Melinda yang baru keluar dari kamar. “Oh, ya? Apa Kakak ngidam?” tanya Melinda, tersenyum. Sejak semalam ia sempat mendengar Naura ingin sekali makan buah duku. Mungkin ini hal yang biasa, tapi entah mengapa Melinda berpikir demikian. “Ah, kau ini. Aku hanya ingin makan buah duku. Katanya lagi musim. Mahal tidak apa-apa. Ini uangnya.” Naura menyerahkan sejumlah uang pada Melinda. “Aku ingin menyuruh Suzy, tapi dia suka sekali meminta imbalan. Terakhir, ia malah meminta tas branded seharga puluhan juta,” sambungnya. “Biar aku saja. Lagi pula, aku bosan di rumah. Apa aku harus bersama sopir?” tanya Melinda. “Tentu. Pak Agus baru datang. Minta tolong saja padanya. Pak Lihin sudah terlalu tua. Biar dia fokus berjaga di depan saja.” Naura menampilkan senyum. Raut wajah penipu itu berhas
“Sayang, kau baik-baik saja? Bagaimana kau bisa jatuh?” Gerald membantu istrinya kembali duduk di kursi roda. Naura tak menjawab, melainkan menoleh pada Melinda yang mengernyitkan dahi dengan ekspresi terkejut. Seolah tatapan Naura ingin mengatakan bahwa Melinda yang telah membuatnya jatuh dari kursi roda. Gerald yang melihat sang istri menoleh pada Melinda, mengira arti tatapannya adalah sebuah petunjuk. “Hah! Beraninya kau melakukan ini pada Naura! Kau ini kenapa? Kenapa hatimu busuk sekali?” Gerald langsung menuduh. “Aku? Kau menyalahkan aku tanpa tahu kebenarannya?” Melinda menunjuk diri sendiri. Ia berdecak, berkacak pinggang. “Kalau bukan kau, siapa lagi? Aoa kau pikir kursi roda yang berulah sendiri mendorong Naura agar jatuh?” Gerald meninggikan suaranya. Wajahnya mulai dipenuhi dengan guratan, tanda ia sangat marah. “Kau salah. Dia tidak lumpuh
Gerald tengah sibuk meeting. Hotel yang ia bangun mulai dilirik para investor yang sempat mundur. Jigar, investor dari India pun kembali dengan sejumlah orang yang ingin ambil bagian dalam pembangunan hotel. “Aku pikir, kita bisa segera merampungkan sisi samping hotel. Kita juga sediakan taman bermain dengan konsep unik agar anak-anak yang menginap tidak bosan hanya berada di satu tempat saja.” Gerald yang sudah lama menginginkan anak, merasa akan menyenangkan kalau hotel yang ia bangun akan dipenuhi dengan anak-anak kecil berlarian. Hidup pun akan lebih berwarna melihat anak kecil yang ceria, menikmati masa kecil dengan bermain bersama. Sungguh sesuatu yang sangat diidamkan. “Seperti yang pernah Haedar usulkan, aku juga ingin kamar VVIP hotel bisa disewakan tiga atau empat bulan lebih awal dari rencana. Jadi, kita bisa memprioritaskan tamu VVIP dengan lebi
Melinda tengah berjalan bersama Sasa. Malam belum larut saat ia memilih menenangkan pikiran dengan menelusuri jalanan bersama sang sahabat. “Kau baik-baik saja?” tanya Sasa. “Hm.” Melinda memeluk tubuh. Merasakan hawa dingin yang mulai menjalari tulang. “Maaf aku sudah menyusahkanmu. Aku tak punya siapa pun untuk dijadikan teman berbagi selain kau,” kata Melinda. “Jangan begitu, Mel. Kita sudah lama bersahabat. Aku malah senang kau tinggal bersamaku. Aku jadi tak kesepian lagi.” Sasa menggamit lengan Melinda. Mensejajari langkah sang sahabat yang sangat pelan. “Sudah empat hari aku tak pulang. Sungguh, aku tak menyangka wanita yang aku pikir baik hati, ternyata adalah bunga mawar berduri. Menampakkan keindahan, tapi bersiap untuk menyakiti.” Melinda menghela napas. Menatap angkasa lepas, di mana bintang-bintang bertaburan ditemani bulan sabit. “Aku sudah curiga dari awal. Sudah
Naura sedang berdiri di balkon, menatap angkasa bersama Zaskia yang baru pulang. “Mama akan lama di sini?” tanyanya. “Rencananya sih, begitu. Kau kan tahu sendiri, Mama punya bisnis salon kecantikan di London. Kalau Mama tetap di sini, yang ada nanti para karyawan jadi seenaknya. Kalau mereka korupsi, bagaimana?” Zaskia mengibaskan rambutnya yang dipotong sebahu. Membiarkan angin malam menerpa. Kalau saja bisa, tentu ia akan lebih memilih menetap di Indonesia bersama sang anak agar bisa mengawasi gerak-gerik Melinda. “Aku takut, Ma. Bagaimana kalau Mas Gerald beralih hati? Aku belum juga memberinya anak. Aku takut Melinda berhasil menggodanya dan mereka memiliki anak.” Naura meremas jemari tangannya. Kuku-kukunya yang panjang tampak sangat bersih karena ia rajin merawat diri. “Tapi kenapa kau bodoh sekali? Kau malah meminta s
Melinda dan Gerald berdiri menatap Lily Hotel di depannya yang sudah beroperasi beberapa bulan terakhir. Hotel baru yang langsung menjadi pusat perhatian dan populer di berbagai kalangan. Keduanya melangkah sambil memasuki tempat itu dengan senyuman. Para karyawan kompak menyambut kedatangan mereka yang sudah dikabari sejak beberapa hari lalu. Setelah pernikahan ulang dilaksanakan, Melinda dan sang suami semakin mesra. Ke mana-mana selalu bersama. Kali ini mereka datang untuk menikmati fasilitas hotel yang ada. Layaknya pasangan muda-mudi yang bulan madu. “Pokoknya aku mau lima ronde!” kata Gerald, memasuki salah satu kamar VVIP. “Ingat umur, Mas! Mana bisa tenagamu mengimbangiku?” ledek Melinda, menutup pintu dan menguncinya. “Jangan remehkan aku. Sebelum ke sini, Mama Zaskia sudah membuatkan aku jamu kuat. Dia bilang, aku akan sanggup sampai lima ronde sekali pun!” Geral
“Mama?” Baru saja kata itu terucap, seorang wanita mengeluarkan pistol dari dalam tas, lalu mengarahkannya kepada mereka. Melinda menganga, terkejut melihat kehadiran Zaskia tiba-tiba. “Kau pikir aku akan diam saja? Aku akan menuntut balas. Aku tak bisa datang saat kematian Naura, tapi aku datang saat kematian kalian.” Zaskia mengarahkan pistol kepada Gerald. Segera Melinda berdiri di depannya, menghalangi. “Sebelum kau membunuhnya, bunuh aku lebih dulu. Aku tak bisa hidup tanpa suamiku,” ujar Melinda. “Tidak! Bunuh aku saja. Mama pasti marah dan benci karena aku memilih Melinda, kan? Kalau begitu, bunuh saja aku, jangan dia.” Gerald mendorong Melinda ke samping. Berganti menjadi pelindung bagi sang istri. Melinda menggeleng. Digenggamnya tangan sang suami. Jika harus mati, maka dia lebih memilih mati bersama daripada harus kehilangan.
Pagi yang sepi. Ditemani semilir angin dan dedaunan yang berguguran. Hujan baru saja reda saat pemakaman Naura dilangsungkan. Melinda, Gerald, Jiddan, serta lainnya menyempatkan diri untuk datang. Menyaksikan bagaimana tubuh fana itu mulai ditutupi tanah yang lumayan berlumpur. Kabar kematiannya yang benar-benar mengenaskan baru terdengar menjelang pagi. Polisi mengatakan kematiannya karena bunuh diri. Overdosis obat penghilang cemas. Tubuhnya yang lemah, tak mampu menahan. “Seminggu lagi dia akan dieksekusi mati, tapi ternyata memilih mengakhiri hidup.” Begitulah yang Gerald dengar dari polisi yang datang untuk mengabari. “Kami menemukan surat di dalam kantong celananya. Mungkin Tuan berkenan menerimanya.” Polisi menyerahkan selembar kertas yang dilipat pada Gerald yang terkejut dengan kabar buruk itu. Tangannya bergetar saat menerima surat itu. "Di
“Di mana otakmu, hah? Kau ingin membakar anak kecil demi memuaskan egomu? Kau benar-benar sudah tidak waras!” Gerald merasa dadanya mulai bergetar, saking amarahnya tak bisa dibendung. “Aku tak peduli! Biar dia mati sekalian. Kalau dia mati, kau akan menderita bersama wanita itu. Aku akan tertawa sepuas hati,” jawab Naura, tersenyum lebar. Dilihatnya Melinda mengusap wajah Lily yang basah karena bensin. Rasanya Naura sudah gelap mata. Dia ingin hari ini juga, ada yang mati di antara mereka. Siapa pun itu, pokoknya hanya ada satu yang bisa tenang, dan itu adalah dirinya. “Kau sangat mencintai mereka, kan? Itulah kenapa kau menceraikan aku,” kata Naura, perlahan melangkah ke samping, di mana korek api yang terlempar tadi berada di rumput. “Itu semua karena kesalahanmu! Kau serakah! Kau egois! Kau penjahat yang hanya bisa menghancurkan hidup orang lain!” kecam Gerald, menunjuk wajah Naura. Tak jauh darinya,
Haedar berlari di Bandara. Semalam ia mendapat telepon dari temannya bahwa anak Gerald diculik mantan istrinya yang kabur dari penjara. Karena panik, Haedar izin kembali ke Indonesia. Pria itu berlari mendekati Radit yang menunggu dengan senyuman. Majikannya kembali. Walaupun mungkin hanya sebentar, setidaknya dia tampak baik-baik saja. “Selamat datang, Tuan,” sapa Radit, membungkuk hormat. “Lily sudah ditemukan?” tanya Haedar, memasuki mobil yang pintunya dibuka. “Tadi pagi saat saya ke sana, katanya mereka sudah menemukan keberadaan Lily. Ada Kenan dan Suzy yang membantu Nyonya Naura,” tutur Radit. Ia memasuki mobil, lantas segera membawa majikannya ke bandara. Sengaja tak memberi tahu keluarga Gerald bahwa dirinya pulang. Hanya seminggu di Turki, tapi dia terpaksa pulang. “Aku sudah curiga. Mustahil dia akan diam saja menerima kenyataan akan dipenjara selama beberapa tahun.” Haedar men
Saat semua orang masih panik, tiba-tiba ponsel Melinda berdering. Wanita itu mengangkat telepon dari nomor asing. Tangannya sedikit bergetar saat ponsel itu didekatkan ke telinga. “Ha-halo. Siapa?” tanyanya, menggigit jari. “Apa perlu aku beri tahu siapa aku?” Melinda membulatkan mata. Suara itu milik Naura. Dia yakin seratus persen bahwa yang kini menelepon adalah mantan istri Gerald. “Sayang!” Gerald mendekat. “Apa maumu? Katakan padaku, di mana Lily? Kau yang menculiknya, kan? Katakan, Naura!” Melinda membekap mulut, menahan isak tangisnya. Gerald meletakkan kedua tangannya ke pundak sang istri. Ikut mendengarkan apa yang akan Naura katakan. “Aku akan memberimu anak ini, asal kau datang ke alamat yang akan aku sebutkan. Sampai kau membawa orang lain, apalagi Mas Gerald ataupun polisi, aku tak jamin Anakmu akan bernapas.”
“Sayang, Minggu depan ikut aku, ya,” ajak Gerald. Meletakkan tangannya pada sandaran sofa. Istrinya yang fokus menonton acara anak-anak, menoleh sekilas. “Ke mana?” tanyanya, kembali menatap layar televisi, di mana kartun lucu tengah tampil. Lily yang sangat menyukai tayangannya, tak sedikit pun menoleh. Duduk di lantai beralaskan karpet tebal di bawah keduanya, dengan sejumlah mainan yang mulai berantakan. “Kau ikut saja. Aku ada kejutan untukmu,” kata Gerald, memeluk istrinya dari samping. “Tergantung,” jawab Melinda. “Tergantung apa?” Gerald menarik telinga Lily pelan, lalu pura-pura tidak melihat saat sang anak menoleh. “Tergantung suasana hati. Kalau suasana hatiku sedang baik, mungkin aku akan ikut. Kalau tidak, ya maaf.” Melinda mengganti tayangan saat iklan. “Ih, kau ini!” Gerald berdecak. Ia mulai mengganggu Lily yang asyik menikmati camilan. “Kau kadang suka aneh. Men
Dea menambah kecepatan motornya. Merasa takut tak akan bertemu Haedar lagi. Air matanya menetes. Sungguh, dia benar-benar menyukai pria itu. Walaupun berusaha untuk melupakannya, perasaan itu kian bertambah. Semakin subur setiap saat. Dea menangis tanpa suara. Jalanan di depannya yang lumayan lengang membuat wanita dengan kaos hitam itu semakin berusaha untuk sampai lebih cepat. Di Bandara .... Haedar dan Saroon baru saja sampai. Pria itu memeluk Radit yang tampak tak mau berpisah. “Saya ikut ya, Tuan,” ujarnya. “Mana bisa? Nanti siapa yang akan membantu Kak Gerald dan Jiddan? Lagi pula, kau juga butuh tiket pesawat, Visa dan paspor. Tidak mungkin dalam satu jam kau bisa menyiapkan semua. Sudah, tenang saja.” Ditepuknya pundak Radit yang sudah seperti anggota keluarganya juga. Memeluknya erat tanda sebentar lagi akan berpisah. “Jaga rumah baik-baik, ya. Kalau ada apa-apa, hubungi kami.” Saroon
Naura langsung dibawa ke ruang UGD untuk mendapatkan penanganan medis. Dua penjaga yang mengantar pun menunggu di luar. Satu jam kemudian, dokter keluar dari ruangan dan memberi tahu keadaan Naura yang sudah membaik. “Kapan kiranya bisa pulang?” tanya penjaga bertubuh kurus. “Dua atau tiga hari sudah boleh pulang. Saya permisi dulu.” Dokter berlalu meninggalkan dua penjaga yang sepakat akan bergantian berjaga karena Naura adalah tahanan. Selang beberapa saat .... Naura membuka mata. Ia langsung bangun, memegangi perutnya yang terluka. Nyeri hebat dirasakan saat ia menyentak selang infus hingga darah dari tangannya menetes. “Aku harus segera pergi.” Naura turun dari ranjang. Perlahan ia mendekati jendela. Beruntung tadi sempat mengambil gunting yang dokter letakkan tak jauh darinya. Wanita itu pun mencungkil jendela menggunakan gunting dengan susah payah. Berusaha untuk kabur dari tempat itu ta