Melinda menyambut kedatangan sang suami tanpa kata. Ia hanya bersalaman, lalu membukakan jas. Gara-gara kemarin Gerald mengejarnya, ia jadi gagal mencari tahu tentang pemilik lingerie hijau.
“Kenapa wajahmu ditekuk?” Gerald memerhatikan istrinya yang duduk di sofa. “Wajahku tidak seelastis itu sampai bisa ditekuk,” jawabnya. Gerald melonggarkan dasi, duduk di depannya. Diperhatikan sang istri yang malah menopang dagu, seperti tengah memikirkan masalah berat. “Siapa yang kau pikir?” tanyanya. “Yang jelas bukan kau.” Melinda menoleh sekilas, lalu kembali pada pikirannya yang serabut. “Kau pasti memikirkan Haedar.” Gerald menduga bahwa Melinda memang memiliki hubungan dengan pria lain, dan pria itu tentunya adalah Haedar. “Tebakanmu benar. Apa kau sekarang menjadi dukun?” Iseng Melinda bertanya, membuat Gerald kesal. Ia masih marah dengan jas Haedar yang belum istrinya kembalikan.Gerald menemui Haedar untuk membicarakan mengenai bisnis. Walaupun masih kesal pada sepupunya itu, Gerald terpaksa bersikap baik, sama halnya seperti Haedar. “Kemarin aku mendapat laporan bahwa Kenan dan Baskoro menemui investor. Keduanya juga ingin membangun hotel mirip dengan konsep yang kita punya.” Haedar memberi tahu sambil menyerahkan bukti foto pada Gerald. Pria itu pun segera memeriksa foto, di mana tampak Kenan dan Baskoro tengah berbincang dengan investor yang kini mundur dari proyek kerja sama. “Kurang ajar! Pria kemarin sore ini mulai semakin berani. Pantas saja aku mendapat laporan dari Jiddan kalau dua investor asing menarik diri dan membatalkan rencana kerja sama.” Gerald menahan geram. Ia pikir akan mendapatkan rekan bisnis yang bisa saling menguntungkan. Seorang pria yang menawarkan diri untuk menjadi teman, nyatanya adalah serigala berbulu domba. Diletakkannya foto dengan kasar. Kalau s
Melinda memegangi dada. Debarannya kian terasa seiring dengan langkahnya menuju ke lemari. Begitu banyaknya lemari di kamar itu sampai ia bingung untuk memeriksa yang mana lebih dulu. Dimulailah Melinda mencari dari lemari milik Gerald. Tentu saja dia tidak menemukan apa-apa selain pakaian mewah dan arloji. Kemudian ia berpindah mencari ke lemari Naura. “Dia adalah artis. Pastilah punya banyak pakaian. Mungkin saja ada lingerie hijau. Kalau dipikir-pikir, apa itu masuk akal? Aku percaya pada surat misterius dengan mudah. Mungkin saja Kak Naura memang punya untuk menyenangkan suami.” Melinda terdiam beberapa saat. Merasa yakin pada apa yang tertulis, ia pun melanjutkan mencari. Lemari pertama berisi pakaian yang sangat bagus dan mewah. Di lemari kedua, ia hanya menemukan deretan tas dan high heel. Di lemari satunya perhiasan dan penghargaan. Ada kotak mini di bagian paling bawah, tapi berisi rangkaian kunci. Begitu juga
“Apa-apaan ini?” Gerald memasuki ruangan yang tak pernah ia masuki. Sejak lama sang istri melarangnya tanpa alasan yang jelas. “Mas, dia menuduhku membunuh tunangannya hanya karena dia menemukan lingerie hijau seperti yang tertulis di surat.” Naura mendekat, langsung mengadu. “Aku bertanya, tapi bicaramu berputar-putar. Aku hanya ingin kau jelaskan, bagaimana bisa surat ini benar adanya kalau pelakunya menyimpan lingerie hijau?” Melinda menunjukkan benda di tangan. Gerald pun mendekat, menarik paksa surat di tangan Melinda. Ia kaget, menoleh pada tangan Melinda, lalu pada wajah Naura yang terlihat panik. “Tunggu dulu. Bagaimana kau bisa masuk ke ruangan ini?” Gerald heran karena Melinda bisa masuk saat dia sendiri tak bisa. “Aku menemukan kunci di kamar kalian. Itu tidak penting. Aku hanya ingin kau jelaskan, kenapa kau menyimpan lingerie hijau di dalam kotak, tepatnya di bawah lantai?” M
Zaskia menarik koper keluar rumah. Hari ini terpaksa kembali ke London karena urusan bisnis yang mendesak. Membiarkan sang anak sendirian mengurus masalah rumah tangannya yang kian rumit. Dibiarkannya Pak Agus mengangkat koper dan meletakkannya di bagasi mobil. “Ma, jangan pergi. Aku tak mau sendirian. Wanita itu sudah berhasil membuat Mas Gerald hampir mengetahui rahasiaku,” rengek Naura. Wanita itu menarik tangan Zaskia yang hendak memasuki mobil, di mana Pak Agus bersiap untuk mengantarnya ke bandara. Zaskia berbalik, menghela napas. “Ini terjadi karena kau lambat menangani. Kalau saja kau tak melarang saat Mama hendak meracunnya, sudah pasti sekarang kau bahagia,” katanya. “Tapi, Ma, bagaimana kalau nanti Mas Gerald tahu rahasiaku? Aku juga tak bisa mengendalikan Antonio.” Naura menyeka air mata. Kini dia seperti anak kecil yang merengek ingin ikut ibunya ke pasar. Lagi-lagi Zaskia me
Gerald dan Melinda memasuki rumah sakit dengan tergesa-gesa. Setelah mendapat kabar dari Antonio bahwa Naura pingsan di lokasi syuting, keduanya segera datang. Sampai di rumah sakit, Naura belum juga sadar. Tampak Antonio dan Vanesha berjaga di luar. Keduanya menceritakan apa yang terjadi di lokasi syuting saat Naura mengatakan ia mual dan tak enak badan, lalu pingsan. “Berarti dia memang mual bukan karena bau masakanmu,” kata Gerald pada Melinda yang kini cemas. Awalnya ia berpikir Naura pasti mengada-ada untuk menyulitkannya. Sekarang, ia malah sangat khawatir mengingat pertengkaran mereka beberapa hari lalu. Melinda yakin pasti Naura tertekan dan stress karena ia mengetahui dan membongkar rahasia yang belum sepenuhnya terungkap. Pintu UGD terbuka saat Melinda menyentuh lengan sang suami. Mereka kompak mendekat, ingin tahu apa yang terjadi pada Naura. “Dok, bagaimana keada
Tiga bulan telah berlalu sejak Naura keguguran. Semua orang bersimpati pada apa yang terjadi padanya. Sang aktris pun memutuskan mundur dari film yang dibintangi. Pada akhirnya, perannya digantikan Ambar, sang musuh. Naura yang masih belum bisa menerima kenyataan bahwa ia keguguran, tetap menyalahkan Melinda. Hubungan keduanya pun kian bertambah rumit. Gerald mendekati istrinya yang menatap layar televisi, tapi pikirannya melayang. “Tak baik berlarut-larut dalam kesedihan. Tidak masalah kalau kau tidak bisa memberiku keturunan. Kita masih bisa bersama saja, aku sudah cukup bahagia.” Gerald merangkul pundak Naura dengan perlahan. Selama tiga bulan terakhir, mereka selalu rutin ke dokter kandungan untuk mengecek kesehatan. Sayangnya, dokter menyatakan Naura tidak bisa memiliki keturunan. Berbagai cara telah dilakukan, tapi hasilnya nihil. Kalaupun bisa, kemungkinannya kecil. Usia Naura yang sudah hampir 40 tahun rentan te
Brakk! Melinda melonjat kaget saat sang suami muncul dan meletakkan sesuatu di depannya dengan keras. “Apa ini?” tanyanya, menurunkan kaki dari sofa dan meletakkan buku harian beserta bulpen. “Es krim!” jawab Gerald ketus. “Es krim? Sebanyak ini? Untuk apa?” Melinda memeriksa wadah es krim berukuran besar seperti wadah cat tembok. Tingginya sekitar setengah 30cm. “Untuk kau makan, apa lagi?” Gerald memalingkan muka, dengan tangan dilipat. “Sebanyak ini? Apa kau tidak waras?” Melinda berdiri. “Apa kau pikir kau waras saat menikmati es krim bersama orang lain di tempat umum? Nah, makan ini sampai habis agar kau tak makan es krim di luaran!” kata Gerald. Melinda membulatkan mata. Ia kaget karena ternyata sang suami mengetahui apa yang dilakukannya pagi tadi. Wanita berbaju putih itu menelan ludah. “I-ini terlalu banyak, Mas. Bisa mati kalau aku habiskan,” ucapnya.
Haedar menunggu di ruang rapat dengan penuh semangat. Hari ini adalah hari di mana ia dan Gerald akan mengungkap keburukan Kenan dan Baskoro. Keduanya sepakat akan segera mengakhiri kontrak kerja sama. Tampak dua orang yang sudah ditunggu memasuki ruangan. Mereka sengaja disambut dengan antusias para anggota dewan yang lebih dulu sudah diberi arahan untuk diam dan pura-pura tak tahu. “Karena semua sudah berkumpul, jadi rapat hari ini bisa kita mulai segera.” Gerald meletakkan kedua tangan di atas meja dengan sikap bersiap. Ia memberi isyarat pada Haedar untuk mempresentasikan hasil diskusi. Dengan sigap Haedar langsung maju dan mulai mempresentasikan. “Proyek yang kami tangani tengah menunggu persetujuan investor untuk dikembangkan. Senilai hampir 100 miliar akan digelontorkan untuk pembangunan hotel.” Haedar menjelaskan lebih rinci lewat layar proyektor yang menampilkan bagan. Seperti bi
Melinda dan Gerald berdiri menatap Lily Hotel di depannya yang sudah beroperasi beberapa bulan terakhir. Hotel baru yang langsung menjadi pusat perhatian dan populer di berbagai kalangan. Keduanya melangkah sambil memasuki tempat itu dengan senyuman. Para karyawan kompak menyambut kedatangan mereka yang sudah dikabari sejak beberapa hari lalu. Setelah pernikahan ulang dilaksanakan, Melinda dan sang suami semakin mesra. Ke mana-mana selalu bersama. Kali ini mereka datang untuk menikmati fasilitas hotel yang ada. Layaknya pasangan muda-mudi yang bulan madu. “Pokoknya aku mau lima ronde!” kata Gerald, memasuki salah satu kamar VVIP. “Ingat umur, Mas! Mana bisa tenagamu mengimbangiku?” ledek Melinda, menutup pintu dan menguncinya. “Jangan remehkan aku. Sebelum ke sini, Mama Zaskia sudah membuatkan aku jamu kuat. Dia bilang, aku akan sanggup sampai lima ronde sekali pun!” Geral
“Mama?” Baru saja kata itu terucap, seorang wanita mengeluarkan pistol dari dalam tas, lalu mengarahkannya kepada mereka. Melinda menganga, terkejut melihat kehadiran Zaskia tiba-tiba. “Kau pikir aku akan diam saja? Aku akan menuntut balas. Aku tak bisa datang saat kematian Naura, tapi aku datang saat kematian kalian.” Zaskia mengarahkan pistol kepada Gerald. Segera Melinda berdiri di depannya, menghalangi. “Sebelum kau membunuhnya, bunuh aku lebih dulu. Aku tak bisa hidup tanpa suamiku,” ujar Melinda. “Tidak! Bunuh aku saja. Mama pasti marah dan benci karena aku memilih Melinda, kan? Kalau begitu, bunuh saja aku, jangan dia.” Gerald mendorong Melinda ke samping. Berganti menjadi pelindung bagi sang istri. Melinda menggeleng. Digenggamnya tangan sang suami. Jika harus mati, maka dia lebih memilih mati bersama daripada harus kehilangan.
Pagi yang sepi. Ditemani semilir angin dan dedaunan yang berguguran. Hujan baru saja reda saat pemakaman Naura dilangsungkan. Melinda, Gerald, Jiddan, serta lainnya menyempatkan diri untuk datang. Menyaksikan bagaimana tubuh fana itu mulai ditutupi tanah yang lumayan berlumpur. Kabar kematiannya yang benar-benar mengenaskan baru terdengar menjelang pagi. Polisi mengatakan kematiannya karena bunuh diri. Overdosis obat penghilang cemas. Tubuhnya yang lemah, tak mampu menahan. “Seminggu lagi dia akan dieksekusi mati, tapi ternyata memilih mengakhiri hidup.” Begitulah yang Gerald dengar dari polisi yang datang untuk mengabari. “Kami menemukan surat di dalam kantong celananya. Mungkin Tuan berkenan menerimanya.” Polisi menyerahkan selembar kertas yang dilipat pada Gerald yang terkejut dengan kabar buruk itu. Tangannya bergetar saat menerima surat itu. "Di
“Di mana otakmu, hah? Kau ingin membakar anak kecil demi memuaskan egomu? Kau benar-benar sudah tidak waras!” Gerald merasa dadanya mulai bergetar, saking amarahnya tak bisa dibendung. “Aku tak peduli! Biar dia mati sekalian. Kalau dia mati, kau akan menderita bersama wanita itu. Aku akan tertawa sepuas hati,” jawab Naura, tersenyum lebar. Dilihatnya Melinda mengusap wajah Lily yang basah karena bensin. Rasanya Naura sudah gelap mata. Dia ingin hari ini juga, ada yang mati di antara mereka. Siapa pun itu, pokoknya hanya ada satu yang bisa tenang, dan itu adalah dirinya. “Kau sangat mencintai mereka, kan? Itulah kenapa kau menceraikan aku,” kata Naura, perlahan melangkah ke samping, di mana korek api yang terlempar tadi berada di rumput. “Itu semua karena kesalahanmu! Kau serakah! Kau egois! Kau penjahat yang hanya bisa menghancurkan hidup orang lain!” kecam Gerald, menunjuk wajah Naura. Tak jauh darinya,
Haedar berlari di Bandara. Semalam ia mendapat telepon dari temannya bahwa anak Gerald diculik mantan istrinya yang kabur dari penjara. Karena panik, Haedar izin kembali ke Indonesia. Pria itu berlari mendekati Radit yang menunggu dengan senyuman. Majikannya kembali. Walaupun mungkin hanya sebentar, setidaknya dia tampak baik-baik saja. “Selamat datang, Tuan,” sapa Radit, membungkuk hormat. “Lily sudah ditemukan?” tanya Haedar, memasuki mobil yang pintunya dibuka. “Tadi pagi saat saya ke sana, katanya mereka sudah menemukan keberadaan Lily. Ada Kenan dan Suzy yang membantu Nyonya Naura,” tutur Radit. Ia memasuki mobil, lantas segera membawa majikannya ke bandara. Sengaja tak memberi tahu keluarga Gerald bahwa dirinya pulang. Hanya seminggu di Turki, tapi dia terpaksa pulang. “Aku sudah curiga. Mustahil dia akan diam saja menerima kenyataan akan dipenjara selama beberapa tahun.” Haedar men
Saat semua orang masih panik, tiba-tiba ponsel Melinda berdering. Wanita itu mengangkat telepon dari nomor asing. Tangannya sedikit bergetar saat ponsel itu didekatkan ke telinga. “Ha-halo. Siapa?” tanyanya, menggigit jari. “Apa perlu aku beri tahu siapa aku?” Melinda membulatkan mata. Suara itu milik Naura. Dia yakin seratus persen bahwa yang kini menelepon adalah mantan istri Gerald. “Sayang!” Gerald mendekat. “Apa maumu? Katakan padaku, di mana Lily? Kau yang menculiknya, kan? Katakan, Naura!” Melinda membekap mulut, menahan isak tangisnya. Gerald meletakkan kedua tangannya ke pundak sang istri. Ikut mendengarkan apa yang akan Naura katakan. “Aku akan memberimu anak ini, asal kau datang ke alamat yang akan aku sebutkan. Sampai kau membawa orang lain, apalagi Mas Gerald ataupun polisi, aku tak jamin Anakmu akan bernapas.”
“Sayang, Minggu depan ikut aku, ya,” ajak Gerald. Meletakkan tangannya pada sandaran sofa. Istrinya yang fokus menonton acara anak-anak, menoleh sekilas. “Ke mana?” tanyanya, kembali menatap layar televisi, di mana kartun lucu tengah tampil. Lily yang sangat menyukai tayangannya, tak sedikit pun menoleh. Duduk di lantai beralaskan karpet tebal di bawah keduanya, dengan sejumlah mainan yang mulai berantakan. “Kau ikut saja. Aku ada kejutan untukmu,” kata Gerald, memeluk istrinya dari samping. “Tergantung,” jawab Melinda. “Tergantung apa?” Gerald menarik telinga Lily pelan, lalu pura-pura tidak melihat saat sang anak menoleh. “Tergantung suasana hati. Kalau suasana hatiku sedang baik, mungkin aku akan ikut. Kalau tidak, ya maaf.” Melinda mengganti tayangan saat iklan. “Ih, kau ini!” Gerald berdecak. Ia mulai mengganggu Lily yang asyik menikmati camilan. “Kau kadang suka aneh. Men
Dea menambah kecepatan motornya. Merasa takut tak akan bertemu Haedar lagi. Air matanya menetes. Sungguh, dia benar-benar menyukai pria itu. Walaupun berusaha untuk melupakannya, perasaan itu kian bertambah. Semakin subur setiap saat. Dea menangis tanpa suara. Jalanan di depannya yang lumayan lengang membuat wanita dengan kaos hitam itu semakin berusaha untuk sampai lebih cepat. Di Bandara .... Haedar dan Saroon baru saja sampai. Pria itu memeluk Radit yang tampak tak mau berpisah. “Saya ikut ya, Tuan,” ujarnya. “Mana bisa? Nanti siapa yang akan membantu Kak Gerald dan Jiddan? Lagi pula, kau juga butuh tiket pesawat, Visa dan paspor. Tidak mungkin dalam satu jam kau bisa menyiapkan semua. Sudah, tenang saja.” Ditepuknya pundak Radit yang sudah seperti anggota keluarganya juga. Memeluknya erat tanda sebentar lagi akan berpisah. “Jaga rumah baik-baik, ya. Kalau ada apa-apa, hubungi kami.” Saroon
Naura langsung dibawa ke ruang UGD untuk mendapatkan penanganan medis. Dua penjaga yang mengantar pun menunggu di luar. Satu jam kemudian, dokter keluar dari ruangan dan memberi tahu keadaan Naura yang sudah membaik. “Kapan kiranya bisa pulang?” tanya penjaga bertubuh kurus. “Dua atau tiga hari sudah boleh pulang. Saya permisi dulu.” Dokter berlalu meninggalkan dua penjaga yang sepakat akan bergantian berjaga karena Naura adalah tahanan. Selang beberapa saat .... Naura membuka mata. Ia langsung bangun, memegangi perutnya yang terluka. Nyeri hebat dirasakan saat ia menyentak selang infus hingga darah dari tangannya menetes. “Aku harus segera pergi.” Naura turun dari ranjang. Perlahan ia mendekati jendela. Beruntung tadi sempat mengambil gunting yang dokter letakkan tak jauh darinya. Wanita itu pun mencungkil jendela menggunakan gunting dengan susah payah. Berusaha untuk kabur dari tempat itu ta