Kenan mengamuk, membuang semua benda yang ada di atas meja. “Sialan!” Pria itu mendengus dingin lantaran mendapatkan masalah. Gara-gara putus kontrak dengan perusahaan Athena Holding, nama perusahaannya menjadi tercemar.
Gerald berhasil membuatnya kehilangan banyak thunder proyek, salah satunya adalah rencana pembangunan hotel di Semarang. Banyak pihak tak setuju karena takut bersaing dengan Gerald yang tentunya bukan tandingannya. “Dia hanya rugi 700 juta, sementara aku sudah rugi 1,2 miliar. Aku tidak akan tinggal diam. Akan kurebut kembali apa yang seharusnya menjadi milikku, termasuk Melinda.” Kenan meletakkan kedua tangannya di atas meja dengan memberi jarak. Tatapannya beringas, pertanda amarahnya memuncak. “Vicky!” panggil Kenan. Pintu terkuak lebar. Seorang pria memasuki ruangan dengan tergesa-gesa. “Iya, Tuan?” “Mulai sekarang, kau aku angkat menjadi asisten pribadiku. Tugas pertamamu“Apa terjadi sesuatu? Kenapa kau bersikap seperti ini?” Melinda semakin merasa tubuhnya panas-dingin. “Apa perlu alasan khusus bagi suami untuk bersikap baik kepada istrinya?” Gerald terus menggenggam tangan Melinda sampai di alun-alun kota. “Tapi kau tidak pernah seperti ini padaku.” Melinda duduk seraya memerhatikan bunga di tangannya. “Maka dari itu, aku akan melakukannya mulai sekarang. Nah, makanlah.” Pria itu menyerahkan sosis bakar pada Melinda yang mengangguk. Wanita itu berpikir mungkin Gerald sengaja bersikap baik karena sebentar lagi mereka akan berpisah. Mungkin sekadar untuk kenang-kenangan. Dua bulan dari sekarang, masa kontrak pernikahan akan berakhir. Gerald mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Deg-degan juga sejak menggenggam tangan Melinda. Dia ingin merutuki dirinya sendiri. Padahal bukan remaja yang baru mengenal cinta, tapi sikapnya melebihi itu. Melinda hanya diam. Meni
Haedar menggebrak meja setelah mendengar kabar dari Jiddan bahwa Gerald dan Melinda diserang seseorang menggunakan pisau. “Tak salah lagi. Ini pasti perbuatan Kenan,” katanya. “Saya juga yakin begitu, Tuan. Namun sayang, Tuan Gerald memilih untuk diam sementara waktu. Mereka mungkin dalam perjalanan pulang,” tutur Jiddan. Karena semalam mendapat tugas menyelidiki, ia jadi lebih siaga dan memutuskan untuk mencari tahu sendiri. Awalnya, Jiddan akan mengintai di dekat Adi Jaya Group seorang diri, tapi Haedar melarang. Pria itu memerintahkan Radit untuk ikut. Tak baik jika pergi sendirian sebab musuh mereka kini adalah seorang pengusaha yang tentunya memiliki koneksi yang kuat di berbagai kalangan. Jiddan mengangguk. Haedar tak seburuk yang ia kira. Tak seambisius Gerald yang malah ingin melengserkan kedudukan Haedar dan sekarang berhasil menggantikan posisinya. “Pergilah! Laporkan padaku apa pun yang kalian
“Kenapa kau tidak bilang dari tadi? Kenapa orang rumah tak ada yang memberi tahu?” Melinda menatap Gerald yang menaikkan pundak. “Aku tak suka dirayakan. Aku sudah tua.” Gerald menarik napas. Ia menyandarkan kedua tangannya pada pinggiran balkon. “Huhhh! Ya sudah, selamat ulang tahun. Selamat menua. Semoga apa yang kau inginkan, kau cita-citakan bisa tercapai. Semoga semakin sukses, lancar, sehat selalu.” Melinda tersenyum, memeluk Gerald yang balas memeluk. Keduanya seolah adalah pasangan suami-istri yang romantis. Dari sebelah, Naura mengawasi. Hatinya perih melihat kebersamaan mereka. Kalau saja bukan karena ingin punya keturunan, tak mungkin ia mengizinkan suaminya disentuh sang madu. “Kau tidak mau memberiku sesuatu?” tanya Gerald. “Kau mau apa?” Melinda balas bertanya. Gerald diam, bersikap seolah tengah berpikir. Ia membiarkan Melinda terus menunggu jawabannya. Piki
Plak! Kenan menampar pipi Vicky dengan keras. Ia tak menyangka akan mendapat kabar buruk. Pasalnya, Baskoro mengabari bahwa anak buah Gerald mulai mendekati kediamannya. Vicky yang ditugaskan untuk mengawasi malah berbuat ulah dengan melukai Gerald yang berarti menambah masalah. “Bodoh! Aku hanya memintamu mengawasi dua orang saja tidak becus! Siapa yang menyuruhmu melukainya? Yang ada nanti aku semakin kehilangan banyak thunder!” Kenan meremas kerah baju Vicky yang tertunduk. “Maaf, Tuan. Saya tak bermaksud untuk melukainya. Hanya ... hanya sebatas menakut-nakuti saja, tapi ternyata saya mengenai lengannya.” Vicky semakin tertunduk. Enak-enak merebahkan tubuh, malah ditelepon Kenan dan diminta datang meskipun tengah malam. “Baru sekali diberi tugas saja sudah merepotkan! Kau kupecat! Keluar dari sini dan jangan pernah menampakkan wajahmu di hadapanku!”
Haedar menyeret Vicky menuju ke ruangan Gerald. Ia kaget mendapati pria asing berdiri di depan Athena Holding. Begitu melihatnya, Vicky langsung mendekat dan mengatakan tujuannya datang. Siapa sangka, orang asing yang mengaku tak kenal siapa pun itu malah ingin mencelakai Melinda dan Gerald. Brakkk! Gerald terkejut saat melihat siapa yang masuk. Tubuh Vicky yang didorong hingga tersungkur ke lantai membuatnya berdiri. “Apa-apaan ini? Siapa yang kau bawa?” tanyanya, meletakkan pulpen setelah menutup map. “Dia adalah pelakunya. Orang yang telah melempar pisau padamu!” tunjuk Haedar dengan wajah beringas. “Apa?” Gerald langsung mendekati Vicky yang bersimpuh dengan mengatupkan kedua tangan. “Maafkan saya, Tuan. Saya salah. Saya mengaku salah,” ucap Vicky, dengan nada bergetar. Gerald mendekati pria malang itu. Tangannya dengan cepat menarik kerah baju Vicky hingga
Melinda meremas jemari. Mondar-mandir di dekat ranjang. Pikirannya berkecamuk. Rasa takut mulai menjalar. Bingung harus bagaimana, wanita itu memutuskan untuk menelepon Rusdi sambil keluar kamar. “Paman!” Melinda menggigit ujung jarinya. “Kau belum tidur? Apa suamimu belum pulang?” Rupanya Irma yang mengangkat teleponnya. “Dia ... dia sedang mandi,” jawab Melinda, memerhatikan lantai dasar. “Kau harus melayaninya sebaik mungkin. Ingat, Lin! Kau masih istrinya yang berarti sudah kewajibanmu melayaninya.” Irma mengingatkan. Ia mengibaskan tangan saat sang suami hendak mengambil ponselnya. Rusdi tahu apa yang istrinya rencanakan. Kalau Melinda hamil, maka peluang bagi Irma untuk mendapat jatah uang bulanan akan tetap mengalir. Itu pun dia tak tahu kesepakatan apa yang dibahas dengan Zaskia dan Naura tentang rahasia besar yang selama ini ditutupi dengan baik dan penuh perhitungan. “Beri
Melinda membiarkan Gerald membantunya mengeringkan rambut dengan hairdryer. Pria itu tampak pandai melakukannya. “Kau apakan leherku?” Melinda baru menyadari bahwa lehernya memerah di beberapa sisi saat menatap cermin. Dirabanya leher itu dengan cemas. “Mana aku tahu? Lampunya dimatikan, kan? Mungkin aku tak sadar saat melakukannya.” Gerald beralasan. “Tak sadar, katamu?” Melinda menyenggol perut sang suami dengan sikunya. Gerald hanya tertawa lirih, menyelesaikan mengeringkan rambut. “Bagaimana kalau ada yang lihat? Aku kan malu.” Melinda menutupi bekas kemerahan di leher dengan bedak. Namun, tetap saja masih terlihat. “Kenapa kau peduli orang lain? Biar saja mereka mau berkomentar apa. Lagi pula, kita suami-istri. Siapa yang akan marah?” Gerald menyisir rambutnya. “Aku bahkan belum mengganti selimut,” kata Melinda, melirik dari cermin.
Haedar memasuki salon kecantikan milik mamanya yang ramai. Beberapa wanita di sana langsung mengedarkan pandangan pada pria berkemeja putih itu. “Kau ke sini?” Saroon mengikuti sang anak yang menaiki lantai dua menuju ke ruangan mamanya. “Hm.” Haedar hanya bergumam lirih, terus membuka pintu dan duduk di sofa. “Kau terlihat lesu akhir-akhir ini. Apa semua baik-baik saja?” Saroon ikut duduk. Tak ada jawaban. Haedar malah menatap ruangan luas itu seperti tak pernah melihat semua hal yang ada di dalamnya. “Kau tak menemui Melinda? Mama sudah lama tak bertemu dengannya.” Saroon masih mengajaknya bicara walaupun tahu sang anak tampak tak acuh. “Aku akan pulang.” Haedar bangkit tanpa ekspresi. Mendadak saja sikap anaknya berubah, membuat Saroon khawatir. Sejak seminggu terakhir, Haedar jarang bicara dan lebih terkesan menjauhkan diri dari padanya. “Tunggu! Kita bicara dulu.” Ditariknya tangan H
Melinda dan Gerald berdiri menatap Lily Hotel di depannya yang sudah beroperasi beberapa bulan terakhir. Hotel baru yang langsung menjadi pusat perhatian dan populer di berbagai kalangan. Keduanya melangkah sambil memasuki tempat itu dengan senyuman. Para karyawan kompak menyambut kedatangan mereka yang sudah dikabari sejak beberapa hari lalu. Setelah pernikahan ulang dilaksanakan, Melinda dan sang suami semakin mesra. Ke mana-mana selalu bersama. Kali ini mereka datang untuk menikmati fasilitas hotel yang ada. Layaknya pasangan muda-mudi yang bulan madu. “Pokoknya aku mau lima ronde!” kata Gerald, memasuki salah satu kamar VVIP. “Ingat umur, Mas! Mana bisa tenagamu mengimbangiku?” ledek Melinda, menutup pintu dan menguncinya. “Jangan remehkan aku. Sebelum ke sini, Mama Zaskia sudah membuatkan aku jamu kuat. Dia bilang, aku akan sanggup sampai lima ronde sekali pun!” Geral
“Mama?” Baru saja kata itu terucap, seorang wanita mengeluarkan pistol dari dalam tas, lalu mengarahkannya kepada mereka. Melinda menganga, terkejut melihat kehadiran Zaskia tiba-tiba. “Kau pikir aku akan diam saja? Aku akan menuntut balas. Aku tak bisa datang saat kematian Naura, tapi aku datang saat kematian kalian.” Zaskia mengarahkan pistol kepada Gerald. Segera Melinda berdiri di depannya, menghalangi. “Sebelum kau membunuhnya, bunuh aku lebih dulu. Aku tak bisa hidup tanpa suamiku,” ujar Melinda. “Tidak! Bunuh aku saja. Mama pasti marah dan benci karena aku memilih Melinda, kan? Kalau begitu, bunuh saja aku, jangan dia.” Gerald mendorong Melinda ke samping. Berganti menjadi pelindung bagi sang istri. Melinda menggeleng. Digenggamnya tangan sang suami. Jika harus mati, maka dia lebih memilih mati bersama daripada harus kehilangan.
Pagi yang sepi. Ditemani semilir angin dan dedaunan yang berguguran. Hujan baru saja reda saat pemakaman Naura dilangsungkan. Melinda, Gerald, Jiddan, serta lainnya menyempatkan diri untuk datang. Menyaksikan bagaimana tubuh fana itu mulai ditutupi tanah yang lumayan berlumpur. Kabar kematiannya yang benar-benar mengenaskan baru terdengar menjelang pagi. Polisi mengatakan kematiannya karena bunuh diri. Overdosis obat penghilang cemas. Tubuhnya yang lemah, tak mampu menahan. “Seminggu lagi dia akan dieksekusi mati, tapi ternyata memilih mengakhiri hidup.” Begitulah yang Gerald dengar dari polisi yang datang untuk mengabari. “Kami menemukan surat di dalam kantong celananya. Mungkin Tuan berkenan menerimanya.” Polisi menyerahkan selembar kertas yang dilipat pada Gerald yang terkejut dengan kabar buruk itu. Tangannya bergetar saat menerima surat itu. "Di
“Di mana otakmu, hah? Kau ingin membakar anak kecil demi memuaskan egomu? Kau benar-benar sudah tidak waras!” Gerald merasa dadanya mulai bergetar, saking amarahnya tak bisa dibendung. “Aku tak peduli! Biar dia mati sekalian. Kalau dia mati, kau akan menderita bersama wanita itu. Aku akan tertawa sepuas hati,” jawab Naura, tersenyum lebar. Dilihatnya Melinda mengusap wajah Lily yang basah karena bensin. Rasanya Naura sudah gelap mata. Dia ingin hari ini juga, ada yang mati di antara mereka. Siapa pun itu, pokoknya hanya ada satu yang bisa tenang, dan itu adalah dirinya. “Kau sangat mencintai mereka, kan? Itulah kenapa kau menceraikan aku,” kata Naura, perlahan melangkah ke samping, di mana korek api yang terlempar tadi berada di rumput. “Itu semua karena kesalahanmu! Kau serakah! Kau egois! Kau penjahat yang hanya bisa menghancurkan hidup orang lain!” kecam Gerald, menunjuk wajah Naura. Tak jauh darinya,
Haedar berlari di Bandara. Semalam ia mendapat telepon dari temannya bahwa anak Gerald diculik mantan istrinya yang kabur dari penjara. Karena panik, Haedar izin kembali ke Indonesia. Pria itu berlari mendekati Radit yang menunggu dengan senyuman. Majikannya kembali. Walaupun mungkin hanya sebentar, setidaknya dia tampak baik-baik saja. “Selamat datang, Tuan,” sapa Radit, membungkuk hormat. “Lily sudah ditemukan?” tanya Haedar, memasuki mobil yang pintunya dibuka. “Tadi pagi saat saya ke sana, katanya mereka sudah menemukan keberadaan Lily. Ada Kenan dan Suzy yang membantu Nyonya Naura,” tutur Radit. Ia memasuki mobil, lantas segera membawa majikannya ke bandara. Sengaja tak memberi tahu keluarga Gerald bahwa dirinya pulang. Hanya seminggu di Turki, tapi dia terpaksa pulang. “Aku sudah curiga. Mustahil dia akan diam saja menerima kenyataan akan dipenjara selama beberapa tahun.” Haedar men
Saat semua orang masih panik, tiba-tiba ponsel Melinda berdering. Wanita itu mengangkat telepon dari nomor asing. Tangannya sedikit bergetar saat ponsel itu didekatkan ke telinga. “Ha-halo. Siapa?” tanyanya, menggigit jari. “Apa perlu aku beri tahu siapa aku?” Melinda membulatkan mata. Suara itu milik Naura. Dia yakin seratus persen bahwa yang kini menelepon adalah mantan istri Gerald. “Sayang!” Gerald mendekat. “Apa maumu? Katakan padaku, di mana Lily? Kau yang menculiknya, kan? Katakan, Naura!” Melinda membekap mulut, menahan isak tangisnya. Gerald meletakkan kedua tangannya ke pundak sang istri. Ikut mendengarkan apa yang akan Naura katakan. “Aku akan memberimu anak ini, asal kau datang ke alamat yang akan aku sebutkan. Sampai kau membawa orang lain, apalagi Mas Gerald ataupun polisi, aku tak jamin Anakmu akan bernapas.”
“Sayang, Minggu depan ikut aku, ya,” ajak Gerald. Meletakkan tangannya pada sandaran sofa. Istrinya yang fokus menonton acara anak-anak, menoleh sekilas. “Ke mana?” tanyanya, kembali menatap layar televisi, di mana kartun lucu tengah tampil. Lily yang sangat menyukai tayangannya, tak sedikit pun menoleh. Duduk di lantai beralaskan karpet tebal di bawah keduanya, dengan sejumlah mainan yang mulai berantakan. “Kau ikut saja. Aku ada kejutan untukmu,” kata Gerald, memeluk istrinya dari samping. “Tergantung,” jawab Melinda. “Tergantung apa?” Gerald menarik telinga Lily pelan, lalu pura-pura tidak melihat saat sang anak menoleh. “Tergantung suasana hati. Kalau suasana hatiku sedang baik, mungkin aku akan ikut. Kalau tidak, ya maaf.” Melinda mengganti tayangan saat iklan. “Ih, kau ini!” Gerald berdecak. Ia mulai mengganggu Lily yang asyik menikmati camilan. “Kau kadang suka aneh. Men
Dea menambah kecepatan motornya. Merasa takut tak akan bertemu Haedar lagi. Air matanya menetes. Sungguh, dia benar-benar menyukai pria itu. Walaupun berusaha untuk melupakannya, perasaan itu kian bertambah. Semakin subur setiap saat. Dea menangis tanpa suara. Jalanan di depannya yang lumayan lengang membuat wanita dengan kaos hitam itu semakin berusaha untuk sampai lebih cepat. Di Bandara .... Haedar dan Saroon baru saja sampai. Pria itu memeluk Radit yang tampak tak mau berpisah. “Saya ikut ya, Tuan,” ujarnya. “Mana bisa? Nanti siapa yang akan membantu Kak Gerald dan Jiddan? Lagi pula, kau juga butuh tiket pesawat, Visa dan paspor. Tidak mungkin dalam satu jam kau bisa menyiapkan semua. Sudah, tenang saja.” Ditepuknya pundak Radit yang sudah seperti anggota keluarganya juga. Memeluknya erat tanda sebentar lagi akan berpisah. “Jaga rumah baik-baik, ya. Kalau ada apa-apa, hubungi kami.” Saroon
Naura langsung dibawa ke ruang UGD untuk mendapatkan penanganan medis. Dua penjaga yang mengantar pun menunggu di luar. Satu jam kemudian, dokter keluar dari ruangan dan memberi tahu keadaan Naura yang sudah membaik. “Kapan kiranya bisa pulang?” tanya penjaga bertubuh kurus. “Dua atau tiga hari sudah boleh pulang. Saya permisi dulu.” Dokter berlalu meninggalkan dua penjaga yang sepakat akan bergantian berjaga karena Naura adalah tahanan. Selang beberapa saat .... Naura membuka mata. Ia langsung bangun, memegangi perutnya yang terluka. Nyeri hebat dirasakan saat ia menyentak selang infus hingga darah dari tangannya menetes. “Aku harus segera pergi.” Naura turun dari ranjang. Perlahan ia mendekati jendela. Beruntung tadi sempat mengambil gunting yang dokter letakkan tak jauh darinya. Wanita itu pun mencungkil jendela menggunakan gunting dengan susah payah. Berusaha untuk kabur dari tempat itu ta