Telah resmi ketuk palu perceraian tidak membuat Rahma lepas dari bayang buruknya sikap mantan suami.
'Asal kamu tau, adikmu itu gak sebaik yang kalian kira. Coba mikir, mikiir, masa baru sebulan sama aku perutnya sudah mblendung buncit? Gobl*k memang kalian semua!'Di hari putusan sidang, malam-malam Harlan menelepon Rahma hanya untuk bilang itu. Manusia tidak punya hati! Sudah menghancurkan Safea dia juga merendahkannya seolah sampah tidak berguna.Rahma menyampaikan perkataan buruk dan sikap lelaki itu pada ibunya, tetapi justru tak mendapat respons. Tami malah membela Harlan yang berniat baik, mau bertanggungjawab atas kehamilan Safea.“Sebaiknya Ibu pikir lagi melanjutkan pernikahan Safea-”"Kenapa kamu yang repot Rahma?! Urus saja hidupmu sampai benar dulu!"“Bu, selain ini memalukan. Safea masih ada kesempatan perbaiki kesalahannya agar lebih baik. Menikahi Mas Harlan justru akan membuatnya makin nggak bener.”“Kamu yang sudah buat semua ini lebih tidak benar! Coba pikir, ini awal mulanya siapa memulai? Kamu kan? Kamu yang buat keributan! Safe terlanjur cinta sama Harlan karena kebodohanmu! Kalau kamu pintar jadi istri sudah pasti tidak ada kejadian begini."Nanar mata Rahma membalas tatapan tajam ibunya.Dalam kilat mata tua itu menyimpan amarah besar. Anak gadis kesayangan hancur dan suami yang tanpa riwayat jantung pun meninggal mendadak. Semua terjadi karena Rahma. Dia sangat membenci sulungnya ini sekarang!“Kalau Ibu sayang Safea, harusnya Ibu pikir laki-laki seperti apa-”“Berani mengaturku?! Sementara kamu tidak lihat dirimu sendiri? Ngaca gimana kehidupanmu, Rahmanida!” “Bu-”“Tutup mulutmu mulai detik ini! Dan ingat, jangan pernah samakan diri kamu dan nasib kamu dengan Safea ….”Telinga Rahma kemudian memanas! Wanita yang melahirkannya itu mulai membandingkan dirinya dengan sang adik.Penampilan Safea memang begitu imut, menyenangkan siapa pun memandang, belum lagi suara manjanya membuat perasaan gemas. Menurut ibunya, siapapun suami Safea kelak, jangankan membentak mungkin marah saja tidak akan tega. Berbeda dengan Rahma yang dianggap layak dibuang.Penilaian ibunya yang berlebihan itu membuat hati Rahma nyeri sekaligus hampir tertawa.“Kalau sama laki-laki lain mungkin iya bisa sesayang itu pada Safea, Bu. Tapi Rahma sangsi itu dilakukan Mas Harlan!” Tak peduli ucapannya membuat sang ibu membelalak dan mengusirnya pergi, Rahma langsung gegas ke halaman depan. “Azka, yuk kita pulang.” Anak lelaki itu tengah asyik berkumpul dengan cucu-cucu saudara ibunya.“Enggak … Aka macih mau main.”“Biarkan Azka di sini! Pedulikan dirimu saja! Wong nanti papanya juga datang. Kalau sebaiknya pergi sana, daripada bikin ribut!”Mobil merah masuk halaman.'Ini sudah malam, ngapain Mas Harlan ke sini?' “Azka, ayo pulang sama mama.” Rahma memegang tangan Azka. Setengah jam lagi waktu Azka untuk tidur, sementara sekarang suasana rumah Tami masih ramai orang. Kalau kurang istirahat Azka biasanya rewel esok harinya."Gak mau!" Azka menggeleng keras, menepis tangan Rahma lalu lari memegang baju neneknya."Jangan buat ibu mengusirnya kasar, Rahma!" Tami memelototi."Pergi saja kamu sendiri! Jangan bikin ribut di sini!" Harlan bersuara sambil berkacak pinggang. Dia berdiri di sebelah Tami. “Baiklah." Tarikan napas panjang Rahma menenangkan hati sendiri. “Bu, nanti kalau Azka nggak bisa tidur tolong telepon aku,” katanya kemudian sembari memberi tangan untuk disalim bocah Azka."Pintar sama nenek ya, Nak."“Ya, Mama.”Rahma meninggalkan rumah, dimana beberapa saudara jauh telah berkumpul membantu siapkan pernikahan Safea dua hari lagi.Mekipun sederhana pernikahan ini akan dihadiri keluarga terdekat. Ada yang pro ada pula kontra, tapi demi Safea yang mengancam mati saja jika pernikahannya batal, maka tidak ada pilihan lain selain mendukung.Rahma memasang helm, menutup kacanya agar tak ada yang melihat pipinya telah basah. Rasa sakit yang Rahma rasa bukan karena cemburu. Bukan. Itu lebih pada rasa kasihan untuk keluarganya. Hatinya sangsi Harlan benar-benar mencintai dan bertanggung jawab pada Safea.Namun ia bisa apa, adiknya itu pun menutup mulut rapat setiap ia bertanya. Seolah tubuhnya tak terlihat dan suaranya tak terdengar sedikit pun. Perut Safea memang terlihat mulai membuncit, menurutnya itu usia kehamilan di atas tiga bulan.Sambil melaju Rahma istighfar untuk menenangkan diri. Yang penting ia sudah berusaha menjelaskan, jika tak sesuai harapan ia harap Safea dan ibunya tidak akan menyesali.Motor pinjaman dari majikan ini dipacu dalam kecepatan sedang.Sepulang kerja tadi ia ke sana bermaksud untuk menjemput Azka. Sebelumnya Azka memang bersamanya dan dibawa saat bekerja, tapi Tami protes dan minta cucunya itu tinggal di rumah. Waktu itu Tami diantar seorang saudara mengambil Azka saat bersamanya di rumah majikan.Rahma sebenarnya tak keberatan, sebab di rumah majikan Azka sering naik turun tangga sampai pernah jatuh karena tidak bisa diam. Sementara di rumah ibunya Azka senang punya banyak teman. Ibunya telaten memerhatikan cucu. Setidaknya itu aman. Tetangga di lingkungan rumah Tami juga semua baik. Hanya perasaan Rahma yang semakin berat jadi sering ke sana. Jika berhadapan muka dengan ibu sudah pasti ada saja pemancing kekecewaan sang ibu padanya, atau bertemu Harlan dan Safea adalah hal yang membuat luka hatinya meradang.Tit! Tittttt!Klakson melengking dari mobil yang menyenggol belakang motor Rahma, dia terpelanting ke kiri, motornya pun rebah di atas tubuhnya.“Oghh!” Tubuhnya tidak bisa mengangkat kuda besi di atas badan, hanya bisa meringis berusaha akan duduk.“Maaf, Mbak. Mbak nggak apa-apa?” Suara panik seorang pria gondrong yang keluar dari pintu balik kemudi. Diikuti lelaki bertubuh agak tambun.Motor yang menindih kaki kiri Rahma mereka angkat.Rahma memegang lengan kirinya yang berdenyut pedih.“Kita ke rumah sakit, Mbak, ayo!” Pria gondrong membantunya berdiri.“Ng-nggak usah Mas, nggak apa-apa kok.“ Penolakan Rahma sia-sia, tubuhnya sudah diangkat. Darah di kaki dan tangan menandakan keadaannya tidak baik-baik saja.Tubuh Rahma didudukkan samping supir.“Hati-hati kakinya.”Rahma tak bisa berkata apa-apa lagi, tubuhnya gemetar akibat syok dan rasa sakit yang kian kuat.“An, kamu tunggu motor mbaknya di sini, telepon Bejo suruh jemput pakai pikap." Sambil menutup pintu sebelah Rahma lelaki gondrong bicara pada rekannya."Ya, Bos. Hati-hati di jalan," sahut pria gembul."Besok pagi bawa ke bengkel Adul, An.""Ya, Bos!"“Syukurlah kakinya gak apa-apa ya Bos. Aku sempat kira patah semalam.” Lelaki gemuk bicara sambil melihat pria gondrong di sebelahnya yang tengah mengusap wajah.“Motornya enggak rusak parah, kan?” Pria bernama Dimas itu menepuk bahu pegawai sekaligus temannya.“Gak sih, langsung ke bengkel tadi. Sudah bisa hidup, tapi nanti cek lagi.”“Ya sudah, tinggalin aja aku, thanks udah bawa baju gantinya. Biar aku urus semua sampai beres dulu di sini.”“Siap, Bos.” Lelaki itu memberi hormat layaknya pada komandan, tapi sudut bibirnya terangkat. “Perhatian banget, awas pake hati loh.”Ucapannya segera mendapat hadiah toyoran di dahi. Bukannya marah lelaki berwajah jenaka itu malah terkikik geli.“Mbaknya manis banget kayak gula,” desisnya sebelum beranjak. Lalu tawa lebar tanpa suara sembari gesit menjauh begitu melihat reaksi pria berjaket kulit mengepalkan tangan ke arahnya.Sepeninggal temannya Dimas pun masuk rawat. Sedikit terkejut ia melihat wanita di bed sudah duduk sambil melihat baluta
Setengah sepuluh dokter masuk ke ruangan, perbolehkan Rahma pulang dengan terlebih dahulu menebus resep untuk diminum selama masa penyembuhan.Dimas membayar semua, sekalian biaya rawat.Rahma pasrah, uang gaji kemarin sudah ia masukkan ke rekening, di dompet hanya tiga lembar merah.“Berapa semua?”Lelaki itu terpaksa perlihatkan jumlah tertera, karena Rahma memaksa. "Ini saya simpan ya, Pak. Terima kasih banyak atas bantuannya.""Tolong jangan formal sama aku, Rahma. Kamu ngejek karena aku kelihatan tua, kan?""Bukan begitu, Pak-""Aku belum menikah dan merasa insecure kalau dipanggil begitu. Tolong sebut Dimas saja. Ok?"Mengernyit kening Rahma pun akhirnya mengiyakan. Mereka meninggalkan rumah sakit menggunakan mobil Dimas. Rahma menyebut jalan arah rumah yang akan dituju. Dia akan mampir sebentar mengabarkan musibah ini pada majikan, sekaligus menyelesaikan urusannya dengan Dimas.“Tunggu sebentar ya, Dimas,” kata Rahma saat mobil berhenti di depan rumah luas berpagar besi warna
Dari sedan merah itu turun seorang lelaki berkacamata hitam, lalu gadis berambut sebahu bersamaan dari pintu sebelahnya. Dua orang tersebut langsung melihat Dimas dari atas sampai bawah. Penampilan sekilas urakan membuat dua pasang mata itu menyipit. Sinarnya meremehkan orang yang sedang dipandang.Dimas melangkah mendekat dengan sikap santun. “Maaf, apa Mas sama Mbak keluarganya Rahma?” Pertanyaan itu dibalas tatapan sinis dua orang yang langsung melihat arah Rahma, terhenti pada kaki dan tangan wanita itu yang terbalut perban.Tak mau membiarkan sesuatu terjadi, Rahma segera mendekat, mengabaikan nyeri kakinya yang dipaksa melangkah cepat.“Ngapain ke sini?” tanyanya pada lelaki bopeng yang tak lain adalah Harlan.“Ngapain, kamu bilang? Cih! Ini rumahku!” sergah Harlan kasar.Dimas terdiam, memerhatikan konflik itu. Ia merasa tidak nyaman berada di tengah mereka yang sepertinya punya masalah pribadi.“Kamu itu sudah bukan istri kakakku lagi, nggak malu apa tinggal di rumah orang?”
Harlan ribut menuding Rahma berselingkuh dengan Dimas.“Maaf bapak-bapak, omongan orang ini kacau. Jangan percaya. Saya ini bertanggung jawab setelah mobil saya menabrak Mbak Rahma, kami baru kenal,” jelas Dimas.Bagaimana tidak, alasan Harlan mendua karena membalas sakit hati Rahma yang lebih dulu mengkhanatinya dengan Dimas, lelaki yang dijulukinya si Gembel atau si Preman. Mungkin melihat penampilan lelaki gondrong itu yang membuatnya menilai demikian.“Tenang aja, Mas. Kita tau kok gimana suaminya Rahma itu.” Seorang bapak menenangkan Dimas, lalu sedikit bertanya mengenai kejadian kecelakaan yang dimaksud.“Syukurlah mas bertanggungjawab, Mbak Rahma ini sedang banyak masalah. Kasihan. Dalam waktu berdekatan dia itu kena musibah berturut-turut, Mas,” timpal ibu lain sembari ceritakan masalah Rahma beberapa waktu ke belakang.Dimas tercekat mendengarnya. Hati nuraninya bergetar.'Inilah jawaban dari tatapan kosongnya …?'Di balik itu, ia merasa kagum. Tergambar jelas betapa sosok R
Sejak tadi Dimas mau bertanya ke mana arah mereka tuju sekarang, tapi Rahma yang sebelumnya tegar, begitu mobil menjauh dari rumahnya langsung terisak sampai sesenggukan. Bahunya berguncang terlihat begitu menyakitkan apa yang ia rasa saat ini.Dimas mengatup mulut rapat membiarkan wanita itu mengeluarkan semua beban dalam tangisnya. Ia tidak bisa apa-apa, hanya terbawa sendu suasana dengan sengaja menginjak gas perlahan. Saat tidak tahu akan ke mana arah mereka, ia mengemudi berputar dua kali di jalan raya yang sama.Jiwa lelakinya ingin sekali melindungi wanita di sebelahnya ini, tapi tertahan karena mereka belum 24 jam mengenal. Seandainya sudah akrab, ingin sekali Dimas merelakan bahu tempat Rahma bersandar membagi beban.“Hm, Rahma, ini mau aku antar ke mana?” Dimas baru membuka suara setelah Rahma tampak sudah menguasai diri. “… mm-maaf, ya,” ucap Rahma menyadari dirinya sudah membuat lelaki di sebelahnya ini bingung. “Aku sebenarnya belum tau akan ke mana … bisakah kau carikan
“Lega Sayang akhirnya kita resmi jugaaa ….” Tangan Harlan tak mau lepas dari pinggang istri barunya yang tengah membersihkan wajah dengan susu pembersih.“Beneran ya, Mas Har, janjinya.” Bibir sudah bebas lipstick itu manyun dua senti, ingin memastikan janji lelaki ini akan ditepati. Harlan yang gemas segera menyerang bibir Safea dengan mulut lebar miliknya.“Mmmh, ugh, sabar dong, Mas ....” Perempuan berwajah imut itu mendorong dadanya sampai mundur. “Janjinya?”“Iya, iya. Kamu tenang aja, itu semua gampang kalau mas tamvanmu ini yang urus.” Harlan menepuk dada.“Awh ….” Bibir kembali diterkam singa jantan itu, Safea jadi mengaduh berkali-kali.Harlan mengangkat tubuhnya sedikit melemparkan ke peraduan empuk. Lelaki itu berubah buas saat melihat sosok menggoda mata yang kini resmi jadi miliknya. Seorang istri yang bebas ia sentuh kapan saja saat suka.Tercapai sudah rasa ingin memiliki perempuan berisi itu secara utuh. Namun, puluhan menit kemudian usai terkulai lemas, dalam hati H
“Iya, Ra, kita makan bareng. Jarang-jarang lho Jay bawa makanan ke sini,” goda Dini inisiatif mengurai suasana yang kaku, ia berpura tak menyadari salah tingkah keduanya. “B-baiklah, Mbak, saya cuci tangan dulu." Rahma melangkah menuju wastafel, lalu sigap mengambil mangkuk dan sendok dibawa ke meja makan.Rahma mulai memindahkan makanan masih panas itu dari plastik ke dalam mangkuk.“Nadia belum pulang les?” Dimas juga sudah cuci tangan, kembali menarik kursi sambil memandangi tangan Rahma yang menyiapkan makanan.“Belum, seperempat jam lagi aku jemput. Habis makan inih,” tunjuk Dini pada isi mangkuknya yang sudah siap disantap.“Saos, kecapnya, Mbak Dini?”“Oh iya lupa, makasih ya, Ra. Kamu jangan segan sama aku, Ra, pake aku aja. Kalau saya kesannya terlalu formal kitanya,” alasan Dini, membuat suasanan jadi lebih akrab.“Iya Mbak Dini aja. Bisa.”"Gitu dong."Mereka mulai menyantap mie ayam yang masih hangat sambil ngobrol ringan.Diam-diam Dimas suka melihat dua perempuan itu su
“Telepon siapa, Ra?” Saat bersiap ke kantor Dini melihat Rahma menarik napas panjang usai menutup telepon. Ia baru mengaktifkan ponsel dan menelepon seseorang.“Habis telepon Ibu, Mbak. Anakku katanya lagi kurang sehat. Aku mau pulang pagi ini, Mbak Dini."“Iya nggak apa, Ra. Semoga anakmu cepat sehat." Dini menyentuh pundak Rahma, memberikan dukungan kalau ia pasti bisa melewati semua."Aamiin. Makasih banyak ya Mbak. Kebaikan Mbak Dini nggak akan saya lupakan seumur hidup.""Jangan berlebihan. Justru kamu yang banyak bantu mbak. Mbak akan kangen nggak ada teman ngobrol lagi. Pokoknya jangan marah kalau mbak minta Dimas jemput kamu buat ke sini. Bawa Azka juga tentunya, hum?"Rahma mengulas senyum haru. “Aku juga akan kangen sama Mbak Dini.""Nunggu Jay dulu Ra buat anterin.”“Enggak usah, Mbak Din. Aku naik taksi online saja. Bisa minta nomernya kalau mbak Dini punya langganan?”Rahma belum pernah naik taksi daring sebelumnya. Ia terbiasa pakai sepeda, atau angkutan umum.“Nanti ak
"Ada apa?" Dimas mendorong dua pundak Safea untuk melepaskan diri."Ada orang ngejar aku, Mas ... makanya aku lari ke sini ...." Safea kembali memeluknya.“Sebentar, sebentar.” Merasa risi, Dimas menjauh sambil memanggil Rahma. “Sayang, ini ada adekmu,” ujar Dimas pada istrinya di kamar.Rahma langsung keluar, menghampiri Safea dengan wajah terheran-heran.“Safea? Ngapain kamu sampai ke sini?”“Mbak ... aku diganggu orang, makanya tau Mbak Rahma nginap di sini aku lari ke sini. Tolong aku, Mbak … biarkan aku di sini malam ini aja ....” Safea meminta tumpangan nginap sampai pagi, karena merasa diri sedang tidak aman keluar. Mendengar itu tubuh Rahma langsung membatu. Hatinya memang tersentuh, takut Safea benar dalam bahaya, tapi sisi lain ia juga tak ingin kembali dibodohi. Sebelum pernikahan ini terjadi Safea pernah datang ke rumah Dimas, merayu pria itu dengan sangat murahan dan memalukan dirinya sebagai kakak. Untunglah Dimas tahu kelakuan adiknya itu, ia langsung menegur keras a
Besok akad nikah Rahma-Dimas akan dilaksanakan. Malam ini dua calon pengantin itu merasakan gugup teramat sangat.Rahma merasa terus ada yang geli merayap di perut, seperti baru pertama menjadi calon pengantin saja. Bibirnya senyum-senyum sendiri membayangkan akan menjadi istri seorang Dimas Jayadi. Ia berbaring di kasur sudah sejak tadi, tapi sulit memejamkan mata. Kesendiriannya karena Azka memilih tidur bersama sang nenek membawa seraut wajah Dimas menari-nari di pelupuk mata. Geli mengingat peristiwa sore kemarin, di hari terakhir pertemuan mereka sebelum resmi besok. Saat ia minta waktu bicara berdua dengan Dimas.“Sebelum semua terlanjur, apa kamu nggak akan nyesal akan menikahiku, Mas?”“Kenapa? Kamu masih ragu?” Dimas langsung menanggapi serius, dengan menatap manik mata Rahma dalam-dalam.Terdiam sesaat, perempuan kuat ini menata kata yang tepat untuk mewakili sedikit ganjalan di hati.“Aku hadir dalam hidupmu bersama Azka, dua orang yang nggak mungkin terpisah. Apa hati Ma
Sekilas Rahma melirik dua orang pengunjung di belakang Harlan, yang langsung memberi kode anggukan kepala padanya."Baiklah, Mas. Nggak usah lama-lama. Ini uangnya." Rahma merogoh tas, seolah akan mengambil uang. Harlan pun tersenyum-senyum tak sabar."Aaagg!" Bukan uang yang diberikan tapi tempelan senjata kejut listrik pada tangan membuat Harlan sontak memekik.Di saat terkejut dan lengah itulah dua orang petugas yang menyamar jadi pengunjung tadi langsung mudah menyergap, dan mengunci tangan Harlan ke belakang. Borgol besi segera menyatukan dua pergelangan di belakang punggungnya. “Apa-apaan ini! Rahma!” bentak lelaki bopeng itu.“Anda ditangkap dengan tuduhan melakukan penipuan, dan pemerasan.” Petugas menyebut singkat kasus yang dilaporkan belakangan ini.Harlan mengelak, tapi dua petugas itu tetap tegas akan mendengar penjelasannya nanti di kantor polisi saja. Tim lain masuk bantu menyeret Harlan keluar.Lelaki yang pernah merasa hitup di atas angin itu segera menembakkan ka
Rahma mulai menjalankan rencana yang menjadi bagiannya. Ia harus negosiasi dengan Harlan yang menuntut segera ditransfer. Sudah Rahma minta mereka bertemu di suatu tempat. Namun ternyata bukan hal mudah, lelaki itu malah mencurigai maksudnya.“Jangan banyak omong! Cepat transfer ke rekeningku!” pekik Harlan dalam sambungan telepon. Setelah berulang kali dihubungi baru sekarang panggilan Rahma diterima.“Mas, aku sudah berbulan-bulan nggak ketemu Azka, biarkan kami ketemu sebentar aja. Kali ini aja, Mas, skalian aku kasih uangnya.” Tak ingin kalah licik, Rahma membuat suara sesedih mungkin. “Aku ... akan tambah sepuluh juta kalau Mas Harlan bolehkan. Mas Harlan, tolong ya ... aku ngerasa bersalah sudah lama nggak ketemu Azka ...." Hening sejenak. Harlan tergiur tambahan 10 juta yang sangat sulit didapatnya akhir-akhir ini.Harlan menggaruk dahi. “Baiklah, ketemu di mana?” jawabnya kemudian.Rahma langsung menyebut tempat yang pernah direkomendasi Dini kalau mereka bertemu, tapi Harl
Menghela napas sejenak Dimas tersenyum kemudian menjawab, “Jay nurut saja, asal Mami bahagia.” Ia mengecup punggung tangan maminya. “Jay mau nengok kerjaan di kantor dulu, Mi, nanti ke sini lagi.”“Ya, Nak. Hati-hati di jalan.” Dimas mencuci muka di kamar mandi, lalu keluar sambil menguncir rambutnya. “Sebentar.” Bu Hakim menarik tangan Dimas keluar kamar. “Kenapa, Mi?” Pria tersebut kulitnya lebih legam bekas berjemur di pantai selama dua hari pergi, ia tampak bingung maminya menarik ke dapur seperti mencari seseorang, tapi kembali lagi ke ruang tengah.“Itu.” Langkah Bu Hakim terhenti melihat Rahma keluar dari kamar dengan pakaian rapi, sepertinya akan keluar rumah. “Dimas? Alhamdulillah, syukurlah kamu sudah pulang,” ujar Rahma cepat menguasai diri dari rasa terkejut melihat pria itu.Karena Dimas malah terpaku memandangnya Rahma langsung pamit pada Bu Hakim. “Saya mau keluar sebentar, Bu.” Ia menangkup tangan sebelum berbalik. Tak nyaman terjebak canggung antara dirinya, Bu
Lelaki berambut gondrong itu duduk selonjoran pasir, mengatur napas yang ngos-ngosan usai lari tanpa henti di bibir pantai. Ia membuang energi negatif dalam dirinya dengan berolah raga begini.“Mau sampai kapan di sini, Bos? Kasihan tuh yang pada nyariin.” Anto menghampirinya.“Gimana kerjaan, An?”“Masalah kerja brebes, Bos. Anto ini sudah pasti bisa dipercaya,” sombongnya menepuk dada.Senyum yang diharap terbit di bibir Dimas tak didapat jua. “Kenapa sih tiap tertekan harus pergi? Mbak Dini bilang mami Bos kurang sehat, tuh, titip pesan kalau ketemu disuruh pulang.”Dimas menatap teman sekaligus assistennya itu sebentar. Ini salah satu risiko memutuskan pergi, pasti maminya sedang kalut sekarang. Acara tinggal dua hari.Dimas beranjak berdiri, menepuk bahu sobatnya itu. “Ayo!” ujarnya membuat lelaki di sebelahnya menganga.“Maksudnya, pulang nih?” goda Anto. “Hm, kamu mau gantian di sini?” balas Dimas cuek sambil melangkah cepat.Anto tersenyum geli, ia bersusaha menjajari langka
“Maksudnya apa ini, Mas Harlan?!”[Hei, rindunya aku dengar kata ‘Mas Harlan’ dari bibirmu, Rahma … tapi nggak usah semarah gitu juga. Aku mantan suami sekaligus masih adik iparmu lho. Aku sengaja bawa Azka keluar. Jalan-jalan biar bisa main kayak anak-anak lain, tapi kami kehabisan duit.]“Azka dibawa main ke mana?”[Hm, belum bisa main ini kami masih nepi di jalan …][Kamu kirim uang dulu buat Azka]“Aku akan kirim 200 ribu, tapi habis itu Mas cepat bawa Azka pulang. Mainnya biar diantar Ibu aja.”Terdengar cengengesan tawa Harlan di sana. [Mana cukup segitu, Maniis … aku minta kamu kirim lima juta, Rahma. Kami tunggu!]“Gila! Kamu mau memerasku?!”[Hehehe. Biasa aja, Manis. Kalau kamu nggak kirim, aku sama Azka akan tahan makan sampai kelaparan di jalan. Kamu mau kami ma-] “Awas kau, Harlan! Kalau Azka kenapa-kenapa, aku nggak pikir panjang membalasmu!”[Uww, takut. Hahaa. Cepat kirim uangnya Rahma! Aku serius ini!]Panggilan terputus. Detik kemudian pesan masuk berisi nomor reken
Pentungan besi satpam tepat mengenai jari Nadine, berhasil membuat pisaunya terlempar jauh. Gadis itu mengerang dan meloncat-loncat menahan nyeri.“Tolong mbaknya!” Beberapa orang masuk langsung membantu Rahma bangun, dan diobati lukanya.“Mam-mi …??” Seketika tubuh Nadine membeku melihat ada Bu Hakim di depan pintu, tengah menatapnya kecewa. “Se-sejak kapan Mami di sini?”“Kamu angkat tangan!” Satu dari tiga orang laki-laki membawa borgol meneriakinya. “Bawa dia ke kantor polisi!”“Saya nggak salah, Pak! Dia itu janda gatal! Dia sembunyikan calon suami saya!”“Nanti Mbak jelaskan di kantor saja,” tegas mereka tetap memborgol dan menggiringnya keluar.“Mi, tolong Nadine, Mi! Aku ini calon istri Jay, Mi!”Sayangnya Bu Hakim tak sedikit pun mau melihat wajahnya. “Mi! Ini semua juga gara-gara Mami! Gara-gara Jay!! Kalian semuaa!” pekik gadis itu terus histeris sampai di lantai bawah.Beberapa orang kembali turun usai Rahma mengatakan dirinya baik-baik saja, dan menolak ke rumah sakit. T
Harlan datang ke rumah Bu Tami dengan gaya khasnya, seolah lelaki tertampan sedunia.Kehadirannya disambut raut masam dua perempuan yang duduk di ruang tamu.“Woi! Kenapa lihat aku begitu? Mana Azka?” tanyanya sambil celingukan.Safea buang muka lantas gegas ke kamar. Ia sudah lama muak lihat wajah Harlan. Tidak mau lagi berurusan dengan lelaki yang menolak menceraikannya itu.“Azka lagi tidur. Kenapa? Tumbenan ingat rumah ini?” Bu Tami bersedekap.“Lah, lah? Apa maksud Ibu? Oh, pasti Ibu mau halangi aku temui Azka, hum?”Alis lelaki itu naik sebelah. “Aku rindu anakku sekarang. bukan rindu istri cantikku yang hobi manyun itu.”“Kenapa baru sekarang anggap Azka anak? Mana tanggung jawabmu setelah berapa lama hilang?”Seminggu sejak keributan parahnya dengan Safea, Harlan memang tak pernah muncul batang hidungnya, lalu sekarang datang seolah tak bersalah.“Itu urusan pribadi, Bu. Nggak perlu juga kali aku jelaskan.” Ia melewati begitu saja Bu Tami yang melarangnya ke kamar Azka.“Mau ap