Aku mengikuti kegiatan PKK yang diadakan di kampung ini. Awalnya aku menolak untuk ikut, tapi Indah-tetanggaku- terus memaksa agar tidak berdiam diri saja di rumah. "Mas, aku mau PKK dulu ya," ucapku meminta ijin dari suami. "Ambilin aku makan dulu, jangan lupa minumnya sekalian," sahut Mas Bagas, suamiku yang sedang asyik bermain ponsel. Aku segera mengambilkan suamiku makan lalu kuletakkan makanan itu di hadapannya. "Mas, itu sudah aku siapin." ucapku seraya menggendong Caca yang sedari tadi rebahan di depan televisi. "Kinan, ini chas dulu ponselku. Baru kamu pergi." ucap Mas Bagas seraya menyerahkan ponselnya padaku. Begitulah sikap Mas Bagas. Apapun selalu mengandalkanku. Dia selalu minta dilayani mulai dari bangun tidur hingga akan tidur kembali. Setelah memenuhi semua permintaan Mas Bagas, aku menjemput Mbak Indah di rumahnya dengan Caca dalam gendonganku. "Mbak, udah siap?" tanyaku saat memasuki rumah Mbak Indah.
Sontak semua Ibu-Ibu yang ada di situ tertawa mendengar perkataan Mbak Risa. Bahkan ada Seseibu yang lain yang ikut menimpali ucapannya. "Calon pelakor gak modal dong, Mbak. Kayak kuntilanak aja." sahut Bu Siska. "Gak tau diri itu namanya, Bu. Mungkin di rumahnya gak ada kaca jadi sok kecakepan dia," sahut Mbak Risa melirikku lagi. "Udah, Mbak. Pagi-pagi jangan gibahin orang. Mending mikir hari ini mau masak apa," sahut Mak Sarni mencoba menenangkan suasana. "Mak Sarni belum pernah ada di posisi kita sih, makanya bisa ngomong kayak gitu. Calon pelakor kok dibela, Mak" sahut Mbak Risa. Hatiku panas mendengar ucapannya. Tapi aku tak mau mempermalukan diri sendiri. Lebih baik aku cepat mengambil pesananku dan menyerahkan uangnya pada Mak Sarni. "Mak, tolong belanjaan saya dihitung," ucapku pada perempuan di depanku. "Total semua 18 ribu, Mbak." jawab Mak Sarni. Kubayar belanjaanku dengan selembar uang 20 ribuan. Setelah mene
TING! TING! TING! Ponselku berbunyi, Mas Rangga menelponku. Aku ragu antara mengangkatnya atau tidak. Di satu sisi aku takut dengan istrinya. Di sisi lain aku merindukan kasih sayang dari pria lain sepertinya. Aku punya suami tapi seperti hidup sendiri. Tak pernah kami mengobrol dari hati ke hati seperti dulu. Dia lebih suka pergi sendiri bersama teman-temannya. Hatiku hampa, aku kesepian tak ada lelaki yang memberiku kasih sayang. Ponsel itu terus berdering meminta perhatianku. Akhirnya kugeser tombol berwarna hijau. "Halo?" ucap suara di sana yang kuyakin itu adalah suara Mas Rangga. "Iya, Mas. Ada apa?" tanyaku ragu. "Kinan, kenapa baru dijawab? Dari kemarin aku telepon kamu," sahut Mas Rangga. "Aku takut, Mas. Nanti istrimu marah jika tahu kau menghubungiku." jawabku. Terdengar helaan nafas panjangnya. Aku yakin dia pun mempunyai perasaan takut yang sama denganku. Aku masih bertanya-tanya kenapa pria itu
"Iya saya sendiri. Maaf saya gak merasa memesan makanan. Mungkin Bapak salah orang atau salah alamat." jawabku. Mbak Indah yang ada di sampingku tampak berpikir."Iya, Pak. Coba dilihat lagi alamatnya." Pak Kurir menunjukkan alamat yang dia maksud padaku dan Mbak Indah, memang benar itu alamat rumahku namanya juga sama dengan namaku jadi tak mungkin sebuah kebetulan. Apa mungkin suamiku yang memesan makanan itu untukku. Apa dia menyesal dengan kejadian tadi pagi sehingga dia berinisiatif memberikan aku sesuatu. "Ini udah dibayar, Mbak. Gak apa-apa ambil aja. Mungkin ada seseorang yang sengaja mengirimkan makanan ini untuk Mbak," ucap Kurir itu. "Iya, Pak. Saya terima paketnya ya. Barangkali memang suami saya yang sudah memesannya, terima kasih," jawabku sambil tersenyum. Mbak Indah tersenyum menggodaku."Ternyata Bagas bisa romantis juga ya, Kinan. Mungkin dia mengirimkan makanan itu sebagai ucapan permintaan maafnya padamu." Aku merasa s
Sepanjang malam kuhabiskan waktuku bersama dengan Caca. Aku ingin anakku tidak merasakan kesepian seperti yang aku rasakan. Dia harus berpikiran bahwa ada Ibunya yang sangat menyayanginya. Mas Bagas bahkan tidak menghiraukan kami semenjak pulang kerja tadi. Dan aku memilih tak peduli. Dia mungkin marah, tapi aku jauh lebih sakit hati. Belum kering luka yang selama ini dibuatnya, ditambahinya lagi setiap hari hingga hati ini tak pernah sembuh dari luka. Aku melirik ponselku yang tergeletak di atas nakas. Kenapa aku jadi ingin menghubungi Mas Rangga. Kenapa tiba-tiba aku memikirkan pria itu. Ingin berbagi hatiku yang sepi dengannya meskipun aku tahu ini salah. Kuurungkan niatku karena aku takut Mbak Risa yang akan membuka pesanku. Bisa hancur aku ditangannya jika kedapatan menghubungi suaminya. KLUNTING!! Satu pesan masuk di ponselku. Kuraih dan kubuka pesan itu. Bibirku tersenyum ketika melihat nama si pengirim pesan. [Sudah tidur, Kinan] tanya Mas Rangga. [Belum, Mas] jawabk
"Dek, dari tadi kamu bantah aku terus ya. Apa susahnya sih nurutin yang aku minta!" serunya. "Aku gak bisa, Mas. Aku capek selalu menurutimu. Aku lelah ...." aku berkata dengan air mata yang tak dapat dibendung lagi. Mas Bagas menarik kursi kasar dan duduk di depan meja makan. Dia makan dengan lahap makanan yang telah aku sediakan tadi. Tak dihiraukannya aku yang menangis karena ulahnya. "Ya Allah .... berikan aku kesabaran menghadapi manusia sepertinya," batinku.**** Jam 9 kurang Mas Rangga menghubungiku. Suamiku sudah berangkat kerja dari jam 8 tadi. Caca sudah makan dan minum asi. Ibu mertuaku sudah mengambilnya dan dibawa ke rumahnya. Kuangkat teleponnya dan Mas Rangga berkata bahwa dia sudah menungguku di depan supermarket Indoapril yang ada di ujung gang. Kuganti daster lusuhku dengan celana jeans dan kaos oblong lengan panjang. Setelah itu aku memakai masker. Aku berjalan menuju supermarket itu. Perasaan ragu menghantui
Seperti biasa sore hari aku mengajak Caca bermain di depan rumah sambil menyuapinya makan. Kulihat Ibu-Ibu bergerombol membahas sesuatu yang seru. Ada Mbak Risa-istri Mas Rangga-diantara mereka. Melihatku datang bersama anakku, wajahnya mencebik. Aku tak peduli tujuanku ingin menyapa ibu-ibu yang lain, biar mereka tak menganggapku menutup diri. "Bu Siska, liat ini saya baru beli gelang emas baru. Modelnya limited edition," ucap Mbak Risa seraya menunjukkan gelang di tangannya yang berkilauan. "Wow, lagi banyak rejeki ya, Mbak Risa. Bagus sekali gelangnya, jadi pingin," sahut Bu Siska seraya memegang gelang milik Mbak Risa. "Hadiah dari Mas Rangga, Bu. Alhamdulillah dapat banyak rejeki. Buat apa ada duit kalau gak buat nyenengin istri. Mas Rangga gak bakalan ngelirik cewek lain, Bu. Dia cinta mati sama saya," ujar Mbak Risa seraya melirikku sinis. Aku tersenyum mendengar ucapan wanita itu. Apa jadinya jika dia tahu suaminya baru saja berbagi re
Mbak Risa melengos melihatku. Mas Rangga tersenyum dan menyapaku."Kinan, Bagas gak ikut?" "Enggak, Mas. Aku sama Caca saja." jawabku seraya tersenyum. Mbak Risa memutar bola matanya malas. "Ayo bareng sama kita saja. Biar aku bawakan tasmu." Mas Ranggamenawarkan bantuan. Aku menolak bantuan Mas Rangga, takut Mbak Risa semakin jengkel kepadaku. Perempuan itu menatap tajam ke arahku. "Ayo, Mas. Buruan!" seru Mbak Risa pada Mas Rangga. Mas Rangga tak mempedulikan ucapan istrinya itu. Dia malah mengambil tasku begitu saja. Raut wajah Mbak Risa semakin tak enak dipandang. "Enggak usah, Mas. Aku bareng sama Mbak Indah," sahutku seraya mengambil kembali tas milikku. Mbak Risa menyeret tangan suaminya. Dengan wajah cemberut perempuan itu mengomel pada Mas Rangga. Aku jadi merasa tak enak sendiri. Aku menghampiri Mbak Indah di rumahnya. Ternyata dia bersama Nada sedang menyiapkan bekal yang akan mereka bawa. "Eh, Kinan. Kamu
"Yaelah ... kayak cewek aja sih pake curhat-curhatan segala!" cibir Rangga."Emang cewe doang yang butuh didengar, aku juga dong," sahut Dewa.Lia datang membawa teh hangat dan cemilan untuk Lala dan Dewa. Gadis itu lalu mempersilakan tamunya untuk mencicipinya."Silakan, seadanya saja ...."ucap Lia.Dewa memperhatikan adik Rangga itu, matanya tak berkedip melihat Lia yang polos namun tetep terlihat kecantikannya."Rangga, itu adik kamu bukan?" tanya Dewa berbisik."Iya, kenapa emang?" tanya Rangga balik."Kayaknya aku bakalan sering main ke rumah ibumu nanti deh, Ga." celetuk Dewa."Eh, gak ada ya, jangan coba-coba deketin adikku atau kamu akan berurusan sama kakaknya," balas Rangga seraya menunjuk dirinya."Yeay ... emang kamu gak mau punya ipar ganteng dan mapan kayak aku, Ga?" komentar Dewa."Udah deh, jangan becanda," jawab Rangga.Lia lalu pamit ke depan menemani Andika yang sedang bermain di luar, Dewa minta ijin Rangga untuk sekedar mengobrol bersama Lia di depan.Tinggal Lala
Kinan membuka map itu dan melihat apa isi di dalamnya. Ternyata di dalam map itu ada sertifikat rumah atas nama Kinan. Diam-diam Bu Niken dan suaminya telah membeli rumah Bu Nilam dan mengalihkan namanya atas nama Kinan.Kinan menyeka sudut matanya yang basah, rasa haru menyeruak di dada."Bu, Pak ... saya gak tahu harus bagaimana lagi untuk mengungkapkan rasa terima kasih saya kepada kalian. Begitu banyak yang sudah kalian berikan untukku," ucap Kinan dengan mata berkaca-kaca."Tak perlu begitu, Kinan. Kami juga orangtuamu jadi wajar kan kalau kami ingin memberikan sesuatu kepada putri kami," ucap Bu Niken dengan senyum lembutnya.Kinan lantas memeluk wanita yang telah melahirkan suaminya itu dengan perasaan bahagia. Bu Niken membalas pelukan menantunya dengan erat.Kinan lantas memeluk wanita yang telah melahirkan suaminya itu dengan perasaan bahagia. Bu Niken membalas pelukan menantunya dengan erat."Cukup dampingi Radit dan jadikan dia raja di hatimu, maka dia akan memperlakukan
"Bagaimana mungkin, Mas? Andika belum punya kekuatan hukum karena dia anak di bawah umur. Lalu bagaimana kalau aku menikah dengan Dion nanti, sementara dia tak ingin tinggal bareng ibuku?" tanya Risa tak terima.Bu Lina dan Lia menggelengkan kepala tak percaya dengan penuturan Risa. Sementara Bu Yuni menatap tajam putrinya."Apa kamu bilang? Dan kamu lebih memilih Dion daripada Ibumu sendiri, hah?!" tanya Bu Yuni dengan mendelikkan matanya."Sudahlah, Bu. Aku tak mau nantinya Dion seperti Mas Rangga, pergi meninggalkanku karena sikap Ibu," jawab Risa datar."Hei, ibu bahkan belum tahu bagaimana dan siapa Dion, apa pekerjaannya, sudah mapankah dia hingga berani menikahi putriku?" seru Bu Yuni."Tak penting, Bu. Yang penting anak dalam kandunganku memiliki seorang ayah," jawab Risa kekeh.Bu Lina dan Lia merasa heran dengan perdebatan anak dan ibu itu. Sebegitu tak berharganya kah seorang Rangga di mata mereka hingga di depannya mereka berdebat tentang seorang laki-laki lain tanpa ada r
"Loh, sayang banget, Mbak. Apa karena sedang hamil ya jadi gitu? Tapi beneran loh, Mbak ... mumpung ada gratisan, uenak pula," Bu Abdul kembali menawari Risa."Saya kan udah bilang gak berselera, Bu!" ucap Risa dengan wajah ditekuk.Karena merasa tak tahan saat melihat semua orang mengucapkan selamat kepada Kinan dan Radit, apalagi melihat Kinan yang selalu tersenyum bahagia membuat Risa pergi dari tempat itu dengan rasa dongkol.Ini merupakan kejutan buat Risa. Di saat dia mengira Kinan akan menderita karena gagal menikah, justru Kinan kini bahahia dengan sebuah kejutan istimewa.****Risa pulang ke rumah dengan rasa panas di hati. Ketika sampai, dia melihat ibunya-Bu Yuni- sudah duduk di ruang tamu bersama Bu Lina dan Lia "Oh, sudah sampai, Bu. Kirain besok mau ke sininya," ucap Risa kepada ibunya."Iyalah, setelah mendengar ceritamu waktu kamu telepon kemarin hati Ibu langsung panas aja," jawab Bu Yuni.Setelah itu dia beralih menatap Bu Lina dan bertanya kepadanya."Jadi selama i
Radit duduk di samping Ayahnya. Pak Penghulu mengambil tempat di depan Radit bersama wakilnya.Paklik dari Radit kemudian memberi sambutan untuk tamu yang sudah hadir. Setelah mengucapkan salam dan basa-basi kecil, dia mengungkapkan tujuannya datang ke rumah Kinan bersama keluarga."Saya rasa Bapak/Ibu sekalian tahu apa maksud kami datang ke sini ya ... karena ada Pak Penghulu bersama kami. Benar kami ingin menikahkan putra kami Radit Mahesa bersama Kinan Wulandari yang tempo hari sempat tertunda karena suatu hal." tutur Paklik Radit.Suasana kembali riuh saat Paklik dari Radit memperjelas maksud dan tujuannya."Dan untuk mempersingkat waktu, kami ingin segera memulai acara akadnya, silakan, Pak bisa dimulai ...." Paklil Radit mempersilakan.Kinan yang ada di dalam akhirnya disuruh keluar oleh adiknya, Dinda."Mbak, udah ditungguin, cepetan keluar," ucap Dinda."Eh, bentar Mbak. Ganti baju, gih. Ini ada kebaya cantik dan kerudungnya," ucap MuA itu bergegas."Bu Niken dan keluarganya
Hari itu Bu Rina meminta bantuan Ranti dan Dinda serta beberapa tetangga lainnya. Pak Abdul dan istrinya juga secara khusus diminta bantuannya.Sementara ada orang suruhan Bu Niken yang membantu Kinan agar tampak lebih cantik."Kenapa aku mesti dirias seperti ini, Mbak?" tanya Kinan heran."Ini atas perintah Bu Niken. Dia ingin mengunjungimu dan dia tak ingin melihatmu pucat seperti ini." ucap perempuan itu.Kinan pun akhirnya menurut dan membiarkan dirinya dirias oleh orang suruhan Bu Niken."Aku juga bawain baju yang cantik buat Mbak Kinan. Setelah ini Mbak ganti baju juga ya," ucap perempuan itu.Kinan mengangguk kecil, sebenarnya dia ingin menolak untuk berhias apalagi jika dia mengingat Radit masih terbaring lemah. Tapi karena semua atas permintaan Bu Niken, maka Kinan tak dapat menolaknya.Sementara Bu Rina dengan wajah sumringah, membersihkan rumahnya dengan bantuan Ranti, seolah akan ada acara di rumahnya. Dinda lebih memilih untuk menjaga Caca."Bu, ini bunga pesanan Ibu, say
"Tolong! Kinan!?"Bu Rina berteriak kala melihat api yang membakar beberapa perabotan rumah tangga dan sebagian dapurnya.Kinan terlonjak!Wajahnya pucat pasi dan baru menyadari keadaan sekitarnya. Dengan wajah panik, Kinan mencoba menyiramkan air ke arah api yang mulai membesar.Dinda yang semula di kamar ketakutan, dia ikut membantu Kinan mengambil air di kamar mandi."Din, kamu bawa Caca keluar, banyak asap di sini!" perintah Kinan pada adiknya.Lantas Dinda menghampiri Caca yang masih tertidur dan membawanya ke depan rumah.Alih-alih padam, api itu semakin besar dan merembet.Bu Rina berlari keluar dan meminta pertolongam kepada para tetangga."Tolong! Tolong kebakaran!"Karena hari masih pagi, masih banyak orang yang ada di rumah dan belum berangkat bekerja.Para lelaki yang ada di sana segera berlarian ke rumah Kinan, ada Pak Abdul dan Rangga juga yang turut membantu.Mereka bekerja sama memadamkan api itu hingga tak lama kemudian api bisa dipadamkan.Semua merasa lega, setidakn
"Apa maksudnya, Mbak? Coba jelaskan dan tolong jangan bertele-tele." Bu Niken penasaran.Rangga mulai merasa ada yang aneh dengan ucapan Risa, namun dia tak dapat mencegah karena Risa jauh dari jangkauannya."Radit terlalu baik untuk seorang Kinan. Kalian belum tahu sepenuhnya siapa perempuan itu, dia wanita perusak rumah tangga orang, dia merebut suami saya dan kini pernikahan saya sudah diujung tanduk. Suami saya menceraikan saya karena Kinan dan kini saya tinggal menunggu surat gugatan cerai darinya," Risa berkata dengan mata berkaca-kaca.Sebisa mungkin Risa ingin membuat mereka percaya, dia memasang wajah sendu seolah dia memang pihak yang terdzalimi.Rangga segera menghampiri Risa dan menarik tangannya."Hentikan, Risa! Pergi dari sini sekarang juga!" ucap Rangga seraya menarik tangan Risa."Tidak, Mas. Biarkan aku bicara, aku ingin mengungkapkan kebenaran ini di depan mereka semua, Kinan pantas mendapatkannya," teriak Risa seraya melepaskan tangan Rangga.Kinan tertunduk malu,
Telepon selular itu jatuh begitu saja setelah Kinan mendapatkan kabar buruk dari Alya, kakak Radit."Kinan, ada apa ini? Siapa yang menelponmu, Nak," seru Bu Rina cemas.Ranti mengambil telepon yang masih terhubung itu, dia mencoba berbicara dengan si penelpon dan masih ada Alya yang menunggu tanggapan dari keluarga Kinan.Wajah Ranti berubah pias begitu mendengar keterangan dari Alya. Sedangkan saat ini semua orang menunggu penjelasan dari Ranti."Ada apa, Ran?" tanya Pak Abdul.Bu Rina bersender di tembok, hatinya terlalu lemah untuk mendengarkan kabar buruk. Sedangkan Kinan masih mematung dengan wajah dingin, tak bersuara dan tatapan matanya kosong."Radit kecelakaan, dia terluka parah dan saat ini ada di rumah sakit," terang Ranti.Semua ternganga, suasana berubah menjadi gempar, setiap orang berbicara dengan pendapatnya masing-masing."Kita harus ke rumah sakit sekarang juga, semoga Radit baik-baik saja," ucap Pak Abdul memberi komando."Kinan! Hei, Kinan ada apa denganmu?!" teri