Sepanjang malam kuhabiskan waktuku bersama dengan Caca. Aku ingin anakku tidak merasakan kesepian seperti yang aku rasakan. Dia harus berpikiran bahwa ada Ibunya yang sangat menyayanginya. Mas Bagas bahkan tidak menghiraukan kami semenjak pulang kerja tadi. Dan aku memilih tak peduli. Dia mungkin marah, tapi aku jauh lebih sakit hati. Belum kering luka yang selama ini dibuatnya, ditambahinya lagi setiap hari hingga hati ini tak pernah sembuh dari luka. Aku melirik ponselku yang tergeletak di atas nakas. Kenapa aku jadi ingin menghubungi Mas Rangga. Kenapa tiba-tiba aku memikirkan pria itu. Ingin berbagi hatiku yang sepi dengannya meskipun aku tahu ini salah. Kuurungkan niatku karena aku takut Mbak Risa yang akan membuka pesanku. Bisa hancur aku ditangannya jika kedapatan menghubungi suaminya. KLUNTING!! Satu pesan masuk di ponselku. Kuraih dan kubuka pesan itu. Bibirku tersenyum ketika melihat nama si pengirim pesan. [Sudah tidur, Kinan] tanya Mas Rangga. [Belum, Mas] jawabk
"Dek, dari tadi kamu bantah aku terus ya. Apa susahnya sih nurutin yang aku minta!" serunya. "Aku gak bisa, Mas. Aku capek selalu menurutimu. Aku lelah ...." aku berkata dengan air mata yang tak dapat dibendung lagi. Mas Bagas menarik kursi kasar dan duduk di depan meja makan. Dia makan dengan lahap makanan yang telah aku sediakan tadi. Tak dihiraukannya aku yang menangis karena ulahnya. "Ya Allah .... berikan aku kesabaran menghadapi manusia sepertinya," batinku.**** Jam 9 kurang Mas Rangga menghubungiku. Suamiku sudah berangkat kerja dari jam 8 tadi. Caca sudah makan dan minum asi. Ibu mertuaku sudah mengambilnya dan dibawa ke rumahnya. Kuangkat teleponnya dan Mas Rangga berkata bahwa dia sudah menungguku di depan supermarket Indoapril yang ada di ujung gang. Kuganti daster lusuhku dengan celana jeans dan kaos oblong lengan panjang. Setelah itu aku memakai masker. Aku berjalan menuju supermarket itu. Perasaan ragu menghantui
Seperti biasa sore hari aku mengajak Caca bermain di depan rumah sambil menyuapinya makan. Kulihat Ibu-Ibu bergerombol membahas sesuatu yang seru. Ada Mbak Risa-istri Mas Rangga-diantara mereka. Melihatku datang bersama anakku, wajahnya mencebik. Aku tak peduli tujuanku ingin menyapa ibu-ibu yang lain, biar mereka tak menganggapku menutup diri. "Bu Siska, liat ini saya baru beli gelang emas baru. Modelnya limited edition," ucap Mbak Risa seraya menunjukkan gelang di tangannya yang berkilauan. "Wow, lagi banyak rejeki ya, Mbak Risa. Bagus sekali gelangnya, jadi pingin," sahut Bu Siska seraya memegang gelang milik Mbak Risa. "Hadiah dari Mas Rangga, Bu. Alhamdulillah dapat banyak rejeki. Buat apa ada duit kalau gak buat nyenengin istri. Mas Rangga gak bakalan ngelirik cewek lain, Bu. Dia cinta mati sama saya," ujar Mbak Risa seraya melirikku sinis. Aku tersenyum mendengar ucapan wanita itu. Apa jadinya jika dia tahu suaminya baru saja berbagi re
Mbak Risa melengos melihatku. Mas Rangga tersenyum dan menyapaku."Kinan, Bagas gak ikut?" "Enggak, Mas. Aku sama Caca saja." jawabku seraya tersenyum. Mbak Risa memutar bola matanya malas. "Ayo bareng sama kita saja. Biar aku bawakan tasmu." Mas Ranggamenawarkan bantuan. Aku menolak bantuan Mas Rangga, takut Mbak Risa semakin jengkel kepadaku. Perempuan itu menatap tajam ke arahku. "Ayo, Mas. Buruan!" seru Mbak Risa pada Mas Rangga. Mas Rangga tak mempedulikan ucapan istrinya itu. Dia malah mengambil tasku begitu saja. Raut wajah Mbak Risa semakin tak enak dipandang. "Enggak usah, Mas. Aku bareng sama Mbak Indah," sahutku seraya mengambil kembali tas milikku. Mbak Risa menyeret tangan suaminya. Dengan wajah cemberut perempuan itu mengomel pada Mas Rangga. Aku jadi merasa tak enak sendiri. Aku menghampiri Mbak Indah di rumahnya. Ternyata dia bersama Nada sedang menyiapkan bekal yang akan mereka bawa. "Eh, Kinan. Kamu
"Kinan, kamu gak turun?" tanya Mas Rangga padaku. "Enggak, Mas. Caca sedang tertidur pulas. Kasihan dia jika harus bangun lagi," ucapku. Mas Rangga kemudian berpamitan untuk keluar sebentar. Aku pikir dia merokok di luar bus. Tak lama dia kembali dengan membawa dua tas kresek besar berisi jajanan khas oleh-oleh. "Kinan, ini buatmu." ucap Mas Rangga seraya memberikan dua kantong kresek itu. "Mas, aku emang sengaja gak beli. Kamu gak usah repot-repot gini." sahutku tek enak. "Udahlah, jangan pernah menolak pemberianku. Ini juga tak seberapa,"ujarnya. Aku melihat mata pria itu. Sepertinya dia tulus padaku."Terima kasih, Mas." "Kenapa melihatku seperti itu? Baru nyadar kalau aku ganteng ya," guraunya tertawa lebar. Aku tersenyum mendengar perkataannya. Pria itu lalu menatapku serius. Ada sesuatu yang ingin dikatakannya. "Kinan, besok jadi ya? Aku ingin bersamamu sebelum berangkat ke luar kota," ucapnya dengan sorot mata
Baru juga tiba di rumah, suamiku itu sudah membuatku sakit hati lagi. Apa tak bisa dia memperlakukan aku selayaknya pendamping hidup dan bukannya musuh. "Setidaknya hargai orang yang bertamu di rumah kita. Aku malu liat kelakuanmu itu," serunya lagi. "Itu karena dia Mbak Nita, mantan kamu. Makanya kamu marah sama aku. Ingat gak kamu saat Ibu dan Adikku ke sini, jangankan menegur mereka, memperlakukan mereka dengan sopan pun enggak. Kamu tak menganggap keberadaan mereka!" jelasku panjang lebar. "Akhir-akhir ini kamu selalu bantah perkataanku, Kinan. Apa kamu mau aku potong jatah uang belanjamu, hah?" Mas Bagas mengancamku. "Silakan, Mas. Paling aku gak akan masakin kamu lagi. Uang belanja tak seberapa masih juga kamu ungkit-ungkit padahal kamu juga yang memakannya." sahutku tak takut. "Baiklah, aku gak main-main dengan ucapanku," geramnya. Pria itu lantas tidur dengan memunggungiku. Aku tak peduli lagi dengan kemarahannya. Jika pun dia
POV RANGGA Kinan, satu nama yang membuatku terpana saat pertama kali berjumpa dengannya. Wajah polos dan kesederhanaannya tak dapat menyembunyikan kecantikannya. Tubuh dengan berat badan proporsional dan kulit cerah menambah nilai plus dirinya. Sikap pemalunya membuat gemas siapa saja yang melihatnya. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Meskipun kutahu dia adalah istri dari tetanggaku dan aku juga sudah berkeluarga. Anakku Andika sudah berusia 4 tahun saat itu. Risa istriku selalu menuntutku dengan banyak hal. Begitu juga dengan Mertuaku. Mereka selalu menuntutku untuk memberi lebih. Pernah aku meminta pada istriku untuk pisah rumah dengan orangtuanya, aku bahkan sudah mendapatkan kontrakan untuk kutinggali bersama anak istriku. Aku ingin mengatur rumah tanggaku sendiri tanpa campur tangan orangtua. Tak kusangka, Risa menolak dengan keputusanku. Dia tak mau hidup berpisah dengan orangtuanya. Padahal di rumah itu juga sudah ada dua adiknya y
"Kinan?! Rangga?! Sedang apa kalian di sini?" tanya seseorang. Kinan dan Rangga terhenyak, mereka sontak menoleh pada orang yang memanggilnya. Indah berdiri mematung dengan tatapan tajam ke arah Rangga dan Kinan. Wanita itu baru saja keluar dari supermarket karena membeli sesuatu. "Eh, Mbak Indah ... ini tadi barusan ketemu Kinan yang mau membeli buah, jadi aku ajak bareng sekalian" sahut Rangga mencari alasan. "I-iya, Mbak. Benar begitu," imbuh Kinan menyahuti ucapan Rangga. Indah tak percaya begitu saja dengan perkataan kedua orang yang ada di depannya. Tapi dia juga tak punya bukti jika keduanya ada hubungan. "Yaudah makasih, Mas Rangga. Kami duluan ya," ucap Kinan seraya menggandeng tangan Indah untuk pulang bareng. Sepanjang perjalanan Indah hanya diam. Perempuan itu masih berpikir tentang hubungan Rangga dan Kinan. "Kinan, kamu menganggapku kakak, 'kan?" tanya Indah. "Tentu saja, Mbak. Selama ini kamu memperla
"Yaelah ... kayak cewek aja sih pake curhat-curhatan segala!" cibir Rangga."Emang cewe doang yang butuh didengar, aku juga dong," sahut Dewa.Lia datang membawa teh hangat dan cemilan untuk Lala dan Dewa. Gadis itu lalu mempersilakan tamunya untuk mencicipinya."Silakan, seadanya saja ...."ucap Lia.Dewa memperhatikan adik Rangga itu, matanya tak berkedip melihat Lia yang polos namun tetep terlihat kecantikannya."Rangga, itu adik kamu bukan?" tanya Dewa berbisik."Iya, kenapa emang?" tanya Rangga balik."Kayaknya aku bakalan sering main ke rumah ibumu nanti deh, Ga." celetuk Dewa."Eh, gak ada ya, jangan coba-coba deketin adikku atau kamu akan berurusan sama kakaknya," balas Rangga seraya menunjuk dirinya."Yeay ... emang kamu gak mau punya ipar ganteng dan mapan kayak aku, Ga?" komentar Dewa."Udah deh, jangan becanda," jawab Rangga.Lia lalu pamit ke depan menemani Andika yang sedang bermain di luar, Dewa minta ijin Rangga untuk sekedar mengobrol bersama Lia di depan.Tinggal Lala
Kinan membuka map itu dan melihat apa isi di dalamnya. Ternyata di dalam map itu ada sertifikat rumah atas nama Kinan. Diam-diam Bu Niken dan suaminya telah membeli rumah Bu Nilam dan mengalihkan namanya atas nama Kinan.Kinan menyeka sudut matanya yang basah, rasa haru menyeruak di dada."Bu, Pak ... saya gak tahu harus bagaimana lagi untuk mengungkapkan rasa terima kasih saya kepada kalian. Begitu banyak yang sudah kalian berikan untukku," ucap Kinan dengan mata berkaca-kaca."Tak perlu begitu, Kinan. Kami juga orangtuamu jadi wajar kan kalau kami ingin memberikan sesuatu kepada putri kami," ucap Bu Niken dengan senyum lembutnya.Kinan lantas memeluk wanita yang telah melahirkan suaminya itu dengan perasaan bahagia. Bu Niken membalas pelukan menantunya dengan erat.Kinan lantas memeluk wanita yang telah melahirkan suaminya itu dengan perasaan bahagia. Bu Niken membalas pelukan menantunya dengan erat."Cukup dampingi Radit dan jadikan dia raja di hatimu, maka dia akan memperlakukan
"Bagaimana mungkin, Mas? Andika belum punya kekuatan hukum karena dia anak di bawah umur. Lalu bagaimana kalau aku menikah dengan Dion nanti, sementara dia tak ingin tinggal bareng ibuku?" tanya Risa tak terima.Bu Lina dan Lia menggelengkan kepala tak percaya dengan penuturan Risa. Sementara Bu Yuni menatap tajam putrinya."Apa kamu bilang? Dan kamu lebih memilih Dion daripada Ibumu sendiri, hah?!" tanya Bu Yuni dengan mendelikkan matanya."Sudahlah, Bu. Aku tak mau nantinya Dion seperti Mas Rangga, pergi meninggalkanku karena sikap Ibu," jawab Risa datar."Hei, ibu bahkan belum tahu bagaimana dan siapa Dion, apa pekerjaannya, sudah mapankah dia hingga berani menikahi putriku?" seru Bu Yuni."Tak penting, Bu. Yang penting anak dalam kandunganku memiliki seorang ayah," jawab Risa kekeh.Bu Lina dan Lia merasa heran dengan perdebatan anak dan ibu itu. Sebegitu tak berharganya kah seorang Rangga di mata mereka hingga di depannya mereka berdebat tentang seorang laki-laki lain tanpa ada r
"Loh, sayang banget, Mbak. Apa karena sedang hamil ya jadi gitu? Tapi beneran loh, Mbak ... mumpung ada gratisan, uenak pula," Bu Abdul kembali menawari Risa."Saya kan udah bilang gak berselera, Bu!" ucap Risa dengan wajah ditekuk.Karena merasa tak tahan saat melihat semua orang mengucapkan selamat kepada Kinan dan Radit, apalagi melihat Kinan yang selalu tersenyum bahagia membuat Risa pergi dari tempat itu dengan rasa dongkol.Ini merupakan kejutan buat Risa. Di saat dia mengira Kinan akan menderita karena gagal menikah, justru Kinan kini bahahia dengan sebuah kejutan istimewa.****Risa pulang ke rumah dengan rasa panas di hati. Ketika sampai, dia melihat ibunya-Bu Yuni- sudah duduk di ruang tamu bersama Bu Lina dan Lia "Oh, sudah sampai, Bu. Kirain besok mau ke sininya," ucap Risa kepada ibunya."Iyalah, setelah mendengar ceritamu waktu kamu telepon kemarin hati Ibu langsung panas aja," jawab Bu Yuni.Setelah itu dia beralih menatap Bu Lina dan bertanya kepadanya."Jadi selama i
Radit duduk di samping Ayahnya. Pak Penghulu mengambil tempat di depan Radit bersama wakilnya.Paklik dari Radit kemudian memberi sambutan untuk tamu yang sudah hadir. Setelah mengucapkan salam dan basa-basi kecil, dia mengungkapkan tujuannya datang ke rumah Kinan bersama keluarga."Saya rasa Bapak/Ibu sekalian tahu apa maksud kami datang ke sini ya ... karena ada Pak Penghulu bersama kami. Benar kami ingin menikahkan putra kami Radit Mahesa bersama Kinan Wulandari yang tempo hari sempat tertunda karena suatu hal." tutur Paklik Radit.Suasana kembali riuh saat Paklik dari Radit memperjelas maksud dan tujuannya."Dan untuk mempersingkat waktu, kami ingin segera memulai acara akadnya, silakan, Pak bisa dimulai ...." Paklil Radit mempersilakan.Kinan yang ada di dalam akhirnya disuruh keluar oleh adiknya, Dinda."Mbak, udah ditungguin, cepetan keluar," ucap Dinda."Eh, bentar Mbak. Ganti baju, gih. Ini ada kebaya cantik dan kerudungnya," ucap MuA itu bergegas."Bu Niken dan keluarganya
Hari itu Bu Rina meminta bantuan Ranti dan Dinda serta beberapa tetangga lainnya. Pak Abdul dan istrinya juga secara khusus diminta bantuannya.Sementara ada orang suruhan Bu Niken yang membantu Kinan agar tampak lebih cantik."Kenapa aku mesti dirias seperti ini, Mbak?" tanya Kinan heran."Ini atas perintah Bu Niken. Dia ingin mengunjungimu dan dia tak ingin melihatmu pucat seperti ini." ucap perempuan itu.Kinan pun akhirnya menurut dan membiarkan dirinya dirias oleh orang suruhan Bu Niken."Aku juga bawain baju yang cantik buat Mbak Kinan. Setelah ini Mbak ganti baju juga ya," ucap perempuan itu.Kinan mengangguk kecil, sebenarnya dia ingin menolak untuk berhias apalagi jika dia mengingat Radit masih terbaring lemah. Tapi karena semua atas permintaan Bu Niken, maka Kinan tak dapat menolaknya.Sementara Bu Rina dengan wajah sumringah, membersihkan rumahnya dengan bantuan Ranti, seolah akan ada acara di rumahnya. Dinda lebih memilih untuk menjaga Caca."Bu, ini bunga pesanan Ibu, say
"Tolong! Kinan!?"Bu Rina berteriak kala melihat api yang membakar beberapa perabotan rumah tangga dan sebagian dapurnya.Kinan terlonjak!Wajahnya pucat pasi dan baru menyadari keadaan sekitarnya. Dengan wajah panik, Kinan mencoba menyiramkan air ke arah api yang mulai membesar.Dinda yang semula di kamar ketakutan, dia ikut membantu Kinan mengambil air di kamar mandi."Din, kamu bawa Caca keluar, banyak asap di sini!" perintah Kinan pada adiknya.Lantas Dinda menghampiri Caca yang masih tertidur dan membawanya ke depan rumah.Alih-alih padam, api itu semakin besar dan merembet.Bu Rina berlari keluar dan meminta pertolongam kepada para tetangga."Tolong! Tolong kebakaran!"Karena hari masih pagi, masih banyak orang yang ada di rumah dan belum berangkat bekerja.Para lelaki yang ada di sana segera berlarian ke rumah Kinan, ada Pak Abdul dan Rangga juga yang turut membantu.Mereka bekerja sama memadamkan api itu hingga tak lama kemudian api bisa dipadamkan.Semua merasa lega, setidakn
"Apa maksudnya, Mbak? Coba jelaskan dan tolong jangan bertele-tele." Bu Niken penasaran.Rangga mulai merasa ada yang aneh dengan ucapan Risa, namun dia tak dapat mencegah karena Risa jauh dari jangkauannya."Radit terlalu baik untuk seorang Kinan. Kalian belum tahu sepenuhnya siapa perempuan itu, dia wanita perusak rumah tangga orang, dia merebut suami saya dan kini pernikahan saya sudah diujung tanduk. Suami saya menceraikan saya karena Kinan dan kini saya tinggal menunggu surat gugatan cerai darinya," Risa berkata dengan mata berkaca-kaca.Sebisa mungkin Risa ingin membuat mereka percaya, dia memasang wajah sendu seolah dia memang pihak yang terdzalimi.Rangga segera menghampiri Risa dan menarik tangannya."Hentikan, Risa! Pergi dari sini sekarang juga!" ucap Rangga seraya menarik tangan Risa."Tidak, Mas. Biarkan aku bicara, aku ingin mengungkapkan kebenaran ini di depan mereka semua, Kinan pantas mendapatkannya," teriak Risa seraya melepaskan tangan Rangga.Kinan tertunduk malu,
Telepon selular itu jatuh begitu saja setelah Kinan mendapatkan kabar buruk dari Alya, kakak Radit."Kinan, ada apa ini? Siapa yang menelponmu, Nak," seru Bu Rina cemas.Ranti mengambil telepon yang masih terhubung itu, dia mencoba berbicara dengan si penelpon dan masih ada Alya yang menunggu tanggapan dari keluarga Kinan.Wajah Ranti berubah pias begitu mendengar keterangan dari Alya. Sedangkan saat ini semua orang menunggu penjelasan dari Ranti."Ada apa, Ran?" tanya Pak Abdul.Bu Rina bersender di tembok, hatinya terlalu lemah untuk mendengarkan kabar buruk. Sedangkan Kinan masih mematung dengan wajah dingin, tak bersuara dan tatapan matanya kosong."Radit kecelakaan, dia terluka parah dan saat ini ada di rumah sakit," terang Ranti.Semua ternganga, suasana berubah menjadi gempar, setiap orang berbicara dengan pendapatnya masing-masing."Kita harus ke rumah sakit sekarang juga, semoga Radit baik-baik saja," ucap Pak Abdul memberi komando."Kinan! Hei, Kinan ada apa denganmu?!" teri