"Halo cantik," sapa Nadine pada bayi dengan setelan pink membalut tubuh mungilnya. Bayi itu berceloteh seolah menjawab sapaan Nadine. Perlahan istri Rafael menggendong sang keponakan. Terlihat luwes, tidak canggung sama sekali."Kamu sudah minum berapa kali. Mamamu pasti kelaparan kalau kamu minum terus susunya.""Lah kan itu kerjaan dia," seloroh Sandy yang baru kembali dari kantor."No, no, no cium, papa belum mandi.""Geli aku dengarnya Nad. Kau panggil papa padaku.""Ngajarin anakmu. Kau pikir aku sudi manggil papa padamu."Sita menggelengkan kepala mendengar dua orang itu tak pernah akur. Padahal mereka pacaran pun tidak, tapi ada saja yang buat mereka berdebat tiap kali berjumpa."Kirain," goda Sandy sambil berlari masuk ke kamar. Takut kena sleding Nadine lagi.Wajah Nadine dari galak berubah manis saat mengajak Maira bicara. Sandy memberi nama Maira pada putrinya."Maira mau tidur belum?" Tanya Nadine dan bayi kecil itu bergumam tidak jelas. Perlahan Nadine meletakkan Maira
"Tuan, kami menemukannya."Rahadian Hendarto setengah berlari masuk ke ruangan sang jenderal setelah dia mengkonfirmasi sesuatu. Dia yakin kali ini dugaannya benar.Pria itu sebenarnya masih disibukkan dengan usahanya mencari Eva. Sudah satu minggu, belum ada kabar dari sang putri. Eva memang biasa pergi, bisa lama tapi selalu memberi kabar hingga dia tidak perlu cemas. Tapi kali ini agak lain, Eva sama sekali tidak menghubunginya, pun dengan ponsel sang putri ditemukan di kamar apartemen yang biasa dia tinggali. Sementara penghuninya raib entah ke mana."Kau yakin dia orangnya?" Sang jenderal bertanya. "Yakin, Tuan. Hanya saja kita sedang mengusik sebuah keluarga jika kita menculiknya." Rahadian memberi pertimbangan."Kau pikir aku peduli. Lakukan saja perintahku, bunuh dia kalau melawan."Rahadian meneguk ludak, tak percaya kalau sang tuan akan memberi perintah demikian. Tapi dirinya tak berani melawan, yang bisa dia lakukan hanya mengangguk patuh."Bawa dia ke alamat yang kukirim
"Nadine sudah pulang?" Rafael bertanya usai kembali dari bertemu Rama. Pria itu turun lagi dari kamarnya setelah tak mendapati Nadine ada di sana."Kayaknya belum. Coba tanya, siapa tahu ngelonin Maira atau Laiv," balas Arya yang kebetulan melintasNadine yang super santai beberapa waktu terakhir kerjaannya hanya main sama anak Sita dan Reva yang nyaris seperti kembar, beda dua bulan saja.Kalau tidak ke tempat Sita yang ke tempat Laiv, yang memang disediakan satu space di ruangan dekat jendela besar yang menghadap kolam renang. Di sana ada semua fasilitas yang sengaja disediakan untuk keperluan Laiv saat siang hari. Jika Reva sedang on duty, atau ada keperluan, Laiv akan diletakkan di sana dengan Paramita yang menjaga. Reva memang tidak menyewa baby sitter. Sebab sang mama yang kekeuh ingin merawat dan mengasuh Laiv."Terwujud cita-cita kalau tua momong cucu. Ya, Yah."Ucapan Mita diangguki kalem oleh Atma. Bersamaan dengan itu Rafael muncul. "Hai, Boy, tumben belum ngamar. Mamamu b
"Kali ini, apa urusannya?" Pras bertanya saat mereka sudah pindah ke mobil Roni."Rebutan warisan," celetuk Rafael dengan santai. Lelaki itu tengah berkutat dengan laptop untuk mengintai sebuah kediaman yang jadi tujuan mereka."Istrimu miliuner juga?" Hanya Pras yang punya nyali bicara asbun tanpa takut ditembak kepalanya."Gaklah, kebanyakan harta nanti aku. Dia cukup bagian ngabisin aja. Buat jajan seblak ama bakso tiap hari.""Ampe buntut elu delapan juga kagak bakalan habis kalau yang dibeli seblak ama bakso."Perdebatan macam itu cuma bisa dilakoni oleh Rafael dan Pras. "Enggak, aku beneran. Harta siapa yang direbutin?" Pras beralih ke mode serius. Ekspresi selengek-annya hilang."Harta keluarga Hanyokrokusuma," jawab Rafael pada akhirnya. "Yang punya pabrik kosmetik Sumber Ayu, sama tanah luasnya gak itungan itu ya?" Adi nimbrung kali ini."Kok kamu malah tahu?" Pras beralih memandang Adi."Tahulah. Sebab di kota kami ada tanah yang katanya mau diwakafkan untuk pembuatan gedu
Nadine tentu terkejut dengan kalimat Mega barusan. Pembunuh? Maksudnya pria ini yang sudah menghabisi nyawa ayah dan ibu Mega. Apa sebabnya. Tanya itu berputar terus di kepala Nadine. Ada banyak hal yang ingin dia tahu, tapi tak mungkin ia bertanya sekarang.Sementara Mega terus menolak untuk menandatangi berkas entah apa itu, Nadine tidak tahu."Kau akan celaka jika terus menolak," ancam Rahadian."Bunuh saja aku!" Pekik Mega kalap.Toh dia sebatang kara di dunia ini, tidak punya siapapun. Bahkan suami yang ia harapkan jadi sandaran hidupnya, justru membencinya. Jika bukan karena teman-teman yang menguatkannya. Mega sudah rubuh dari dulu."Kau memang keras kepala macam mereka!" Sebuah tembakan membuat Mega bungkam, dengan Nadine mematung di tempatnya duduk. Sementara Rafael dan yang lainnya saling pandang. Rafael lekas keluar dari mobil setelah mengokang senjatanya lalu menyelipkannya di pinggang."Kalian tunggu Rama datang. Kami akan menyelinap masuk," perintah Rafael pada Roni dan
Lelaki itu bernama Nurman Razan, seorang jenderal dengan bintang tiga melekat di pundaknya, memiliki jabatan tinggi di sebuah instansi militeri di negeri ini. Dengan kedudukannya Nurman Razan hampir bisa melakukan apa saja. Dia punya kendali atas kekuatan militer, dia mengetahui rahasia negara yang orang lain tidak tahu. Juga hal-hal lain yang bahkan tidak terpikirkan oleh orang biasa.Salah satunya bisnis yang bisa menghasilkan cuan yang tidak sedikit. Atau penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Nurman Razan harusnya mengabdi untuk negeri ini. Tapi sifat serakah dalam dirinya merajalela.Dengan kedudukannya, dia melakukan apa yang dia mau tanpa memikirkan akibatnya. Terkadang semua dilakukan hanya karena faktor keuntungan semata. Seperti saat dia mendapati sebuah proyek bisa memberinya untung yang sangat besar. Dia punya bahannya tapi tak punya tempat. Dia perlu lokasi yang bisa menyamarkan pabriknya.Ketika dia bertemu Rahadian, lelaki itu menawarkan tanah yang menjad
Mega mengucap astagfirullah berulang kali saat tangan Nurman menyentuh dirinya. Pun dengan Nadine yang berusaha melepaskan diri dari ikatan yang menjerat tangan dan kakinya.Saat dia berhasil membuka ikatannya, dia langsung menghantam tubuh Nurman dengan kursi yang tadi dia duduki."Pergi kau, brengsek!" Nadine lantas mengembalikan hijab Mega. Mengikatnya asal setelah membenahi bagian gamis Mega."Kurang ajar!" Nurman mendorong tubuh Nadine hingga perempuan itu kembali membentur dinding. Kali ini rasa sakit turut menghantam perut Nadine. Istri Rafael mengaduh kesakitan, terlebih saat Nurman juga menjambak rambutnya."Kau pikir selamanya akan tetap jadi nyonya besar. Kau juga bisa kulempar ke jalanan kalau aku mau. Aku bisa menghancurkan bisnis suamimu dalam sekelip mata!"Nadine tertawa mengejek. "Anda pikir suami saya selemah itu. Asal Anda tahu, kematian putra Anda adalah rekayasa teman suami saya."Bola mata Nurman membelalak terbuka. Tidak percaya dengan apa yang Nadine ucapkan.
Rafael gemetar membaca kertas yang ada di tangannya. Air mata perlahan turun membasahi pipi yang seketika mengucap hamdalah, tanpa putus. Di tengah dera coba yang menerpa, setitik bahagia Yang Maha Kuasa limpahkan pada mereka.Pria itu mengusap pelan bulir bening di netranya. Langkahnya ingin masuk menemui Nadine tapi seorang staf medis mengatakan sang istri masih dalam pengawasan dokter. Nadine akan diistirahatkan total untuk malam ini. Boleh dikatakan kondisinya cukup mengkhawatirkan.Rafael menganggu pasrah, menyerahkan perawatan Nadine sepenuhnya di tangan dokter, sementara dia memutar langkah mencari David yang ia perkirakan sudah selesai ditangani.Saat dia sampai di depan ruang perawatan Mega, dia menjumpai David yang berdiri diam macam patung saat seorang dokter bicara padanya. Ekspresi wajah David tampak kosong. "Ada apa, Dok?" Rafael memburu sang dokter yang tampak lega melihatnya.Sepertinya David sama sekali tak bisa diajak bicara. "Begini, Pak. Mohon maaf, kandungan nyo
"Sah?" "Sah!" Ucapan syukur terdengar melaung di ruang luas kediaman Rafael yang kini disulap jadi sebuah tempat berhias penuh bunga. Area di mana Rionald akhirnya bisa menikahi Dewi kembali. Pria itu tak bisa menahan haru kala melihat Dewi muncul diantar Paramita. "Ingat, Bang. Jangan sia-siakan kesempatan kedua yang sudah diberikan. Jangan sampai kamu sakiti dia lagi. Malu sama cucu yang sudah seabrek dan masih mau nambah lagi." Paramita memperingatkan Rionald yang langsung mengangguk. Diraihnya tangan Dewi, dipandanginya paras perempuan yang kini kembali jadi istrinya. Dalam pandangan Rionald, wajah Dewi masih sama cantiknya seperti tiga puluh tahun lalu. "Ingatkan aku jika aku berbuat salah, pukul kalau perlu." Rionald sungguh ingin memperbaiki semua. Dia hanya ingin menghabiskan sisa hidup bersama Dewi sambil merawat cucu kandung mereka yang lima bulan lagi akan lahir. Dewi mengangguk, dia sangat terharu juga tersentuh, setelah melihat kesungguhan Rionald yang ingin ber
"Cedric Laurent De Angelo dan Celine Laura De Angelo. Intinya mereka adalah sumber kebahagiaan, bukankah surga itu tempat di mana semua orang merasa bahagia. Nama mereka juga bermakna pemenang. Walau perjalanan mereka sejujurnya baru saja dimulai." Nadine tak bisa berhenti tersenyum, menatap dua buah hatinya yang sedang tidur pulas, setelah tadi menjerit karena lapar. Seperti kata Rafael, ASI Nadine memang keluar lebih awal, hingga perempuan itu tak kesusahan pasal ASI. Anugerah lain yang tidak semua perempuan dapatkan. Sita contohnya, ASI-nya baru keluar di hari keempat, dan mulai lancar setelah satu minggu. Nadine sendiri langsung bisa duduk dan berjalan ke kamar mandi, persalinan normal memang lebih cepat pulih. Terlebih perempuan itu melahirkan tanpa jahitan sama sekali. Yang Nadine rasakan tinggal rasa perut yang masih tidak nyaman dan kesulitan jika akan ke kamar mandi. Langkahnya juga masih pelan, belum secepat keadaan normal. Karenanya dia masih memakai kursi roda jika
"Bayinya tidak menangis," gumam seorang staf tanpa sadar. Dirinya baru menyadari kesalahannya saat sang rekan menyenggol lengannya, dan reflek menutup mulutnya.Sementara Reva serta sang dokter langsung memeriksa, dan wajah keduanya seketika berubah pucat berbalut panik. Leher bayi laki-laki Nadine terlilit tali pusat. Bagaimana bisa, padahal USG terakhir tidak menunjukkan hal tersebut.Pertolongan lekas dilakukan . Tali pusat dipotong dengan oksigen segera diberikan. Namun bayi mungil itu tak jua memberi respon, sedangkan saudarinya terus menjerit melengking.Suaranya terdengar sampai ke ruang tunggu di mana hampir semua anggota keluarga De Angelo plus Hermawan dan Heni ada di sana."Pak, kenapa cuma satu yang menangis?" Heni bertanya dengan kecemasan level tinggi pada sang suami. "Berdoa ya, Bu. Semua mohon doanya. Semoga Nadine dan bayinya diberi keselamatan."Semua orang lantas menundukkan, berdoa dalam hati masing-masing. Bahkan David, orang yang tak kenal kata doa ikut trenyuh
"La? Malah sudah pecah. Bukaan baru empat.""Kita masih bisa tunggu, Dok." Reva mengangguk paham, sebagai dokter dia tahu kalau mereka punya waktu dua puluh empat jam setelah ketuban pecah untuk melahirkan bayi, tanpa ada efek samping yang membahayakan bayinya.Meski kehamilan Nadine lemah di awal tapi semakin ke sini, kandungan Nadine menunjukkan kekuatannya. Hingga tidak ada masalah jika mereka harus menunggu lagi, tanpa perlu tindakan sesar."Sabar ya, aku tahu rasanya sakit. Tapi percaya deh, yang sedang kamu perjuangkan melalui rasa sakit ini adalah hal yang tak ternilai harganya."Nadine mengangguk mendengar ucapan Reva. Selang oksigen dan infus sudah terpasang, sebab tadi Nadine mengeluh sesak. Saat itulah ponsel Reva berdering. Perempuan itu melihat siapa penelponnya. Hingga dia menjawabnya di situ, tanpa berpindah tempat."Kenapa, Re?" Tanya Rafael dari ujung sana."Abang cepet ke rumah dah, anakmu tidak sabar ingin segera melihat dunia," balas Reva bersamaan dengan Nadine
"Kok makin kenceng, Re. Aduh sorry." Sita melotot melihat tangannya diremas reflek oleh sang kakak. Suasana mobil berubah panik. Reva yang menyetir bak orang gila turut menambah atmosfer Too Fast Too Furious di dalamnya."Re, slow, Re! Banyak nyawa di dalam sini." Paramita memperingatkan. Perempuan itu mendekap erat dua cucunya. Takut kalau Reva membuat kesalahan fatal."Tenang Ma, Reva punya lisensi balapan F1," Reva menjawab asal. Sebuah wireless blue tooth terpasang di telinganya. Perempuan itu tengah berkoordinasi dengan dokter di rumah sakit."Jangan ngaco kamu. F1 cuma buat kamu doang penumpangnya, ini se-erte penumpangnya." Paramita masih bisa berteriak di sela desis kesakitan Nadine. Perempuan itu dengan cepat kehilangan rona merah di parasnya."Santai Ma. Santai Nad. Jangan jejeritan. Nanti tenaganya habis. Kalau betul kontraksi mungkin itu baru satu atau dua. Aku bisa periksa tapi gak mungkin kan aku lakukan di sini, depan anak-anak pula. Jadi tahan ya, kita cus ke rumah s
Meski bahasanya masih belepotan, belum jelas pengucapannya, tapi Maira yang tadinya ditindih Laiv sampai menjerit melengking, bisa paham apa yang Nadine perintahkan. Bocah yang masih memakai baju tidur itu lekas berlari ke arah dapur, di mana Paramita tadi berada. Tak berapa lama perempuan itu datang dengam seorang ART mengikuti. "Bukan kontraksi kan?" Tanya Paramita. Dia dan sang ART memapah Nadine untuk duduk di sofa."Kayaknya bukan, Nadine cuma kaget, Maira di-smack down Laiv."Paramita melotot pada sang cucu sementara yang dimarah malah pasang muka innocent, tidak bersalah. Laiv kadang bisa kalem, kadang bisa ikutan tantrum macam Maira yang memang hobi ngereog."Maira, bisa tolong panggilkan Tante Reva di kamar. Bilang Tante Nadine perutnya sakit. Laiv tunggu di sini.""Peyut atit," kutip Maira sambil melangkah pergi seraya melompat kegirangan.Sepeninggal Maira, giliran Laiv yang ditatar Paramita. "Laiv, Sayang. Lain kali gak boleh kayak gitu lagi. Maira nanti bisa terluka. Bi
Seminggu sejak kasus Dewi masuk ke ranah pengadilan, persoalan itu justru merembet ke pihak berwajib. Ternyata si Jojo ini spesialias menikahi wanita untuk dikuras hartanya.Modusnya sama, pria itu akan menjerat janda yang dia nilai kaya, lalu istrinya akan menuntut si perempuan karena sudah mengganggu rumah tangganya. Jelas-jelas di sini Jonathan adalah seorang penipu, tapi para korbannya tidak mau melaporkan kejadian ini pada aparat keamanan. Dengan alasan malu. Mereka lebih suka menyerahkan harta bendanya, menanggung rugi dari pada aibnya tersebar luas.Sepertinya petualangan Jonathan bakal berakhir ketika dia berusaha menjerat Dewi. Bukannya untung, dia malah buntung. Jangan sangka jika Rafael akan diam saja, melihat tantenya ditipu mentah-mentah oleh lelaki yang tampang saja tak lebih baik dari satpam dirumahnya."Aku heran deh, dia pakai pelet apa waktu menipu, Tante."Itu komen Rafael yang masih tak habis pikir. Bagaimana bisa Dewi terjerat lelaki macam Jonathan."Tante pikir
"Siapa Jonathan?""Rivalnya Om," timpal Rafael cepat atas pertanyaan sang paman.Rionald lekas berdiri untuk mengintip sosok pria yang disebut Rafael sebagai saingannya. Tampak seorang lelaki mengenakan pakaian yang lumayan mahal, melongok dari luar gerbang. Terlihat kepo sekali dengan kediaman Rafael."B aja. Ganas siapa antara aku sama dia?" Selidik Rionald yang seketika membuat Dewi merona. Kenapa juga mantan suaminya malah menyinggung urusan ranjang. Dewi akui, Jonathan tak selihai Rionald, maklumlah, Rionald mantan player, pengalamannya menyenangkan wanita jangan ditanya lagi. Namun ketika membahasnya langsung dihadapan banyak orang, tentu saja Dewi malu setengah mati."Om, itu kan privasi. Tanyanya waktu di kamarlah, jangan di forum terbuka begini. Bikin malu aja," tandas Rafael seolah tahu apa yang Dewi pikirkan."Oke deh, nanti aku tanya kalau kita sudah sekamar lagi. Jadi, apa ni rencana kita?""Kita samperinlah, kita cari tahu apa maunya si Jojo ini."Tak berapa lama, Rafae
Ha? Suami baru? Kapan Dewi menikah lagi? Mereka tidak ada yang tahu. Dan kini mendadak wanita ayu yang masih diuber Rionald ini muncul di pintu kediaman Rafael. Minta bantuan untuk disembunyikan dari suami barunya. Kenapa?"Emang Tante kapan nikahnya?" Ceplos Nadine sambil menyuapi Rafael."Emm, dua bulan lalu," balas Dewi malu-malu."Terus kenapa kamu lari ke sini? Maaf, bukannya kami tidak menerimamu. Tapi akan jadi runyam urusannya kalau kamu sudah punya suami." Atma berujar pelan, penuh kehati-hatian agar tidak menyinggung perasaan perempuan yang bagaimanapun adalah ibu dari cucunya. Bahkan Rionald masih tergila-gila pada Dewi sampai detik ini. Rionald tidak mau menerima perempuan lain selain mama David."Maaf, Yah. Tapi aku sudah bingung harus cari perlindungan ke mana." Dewi mulai menangis dengan Paramita lekas mendekat untuk menenangkan."Jangan menangis, cerita dulu. Nanti kita lihat kami bisa bantu atau tidak."Paramita membimbing Dewi duduk di sebuah sofa, Arya mengulurkan