***
"Perang dunia persilatan. Suami yang digadang-gadang punya jabatan tinggi di kantor, ternyata memiliki istri baru, Mbak Anggi murka dan terjadilah keributan ini!" jelas Mbak Hanin padaku. Aku manggut-manggut, itu berarti cukup lama juga mereka berseteru.
"Kok kalian tahu?" cecarku, apa mungkin Mbak Anggi menceritakan keburukan keluarga di depan banyak orang? Ah, tanpa bercerita pun orang-orang mungkin sudah bisa menebak, tidak mungkin ada pertengkaran hebat seperti ini jika tidak ada masalah yang serius."Biasa sih, Bu Halimah yang cerita!" sahut Mbak Fifi sambil menunjuk keberadaan Bu Halimah menggunakan dagu. Wanita itu berdiri dengan kedua tangan bersedekap dada dan mulutnya terlihat komat-kamit, berbicara entah apa dengan lawan bicaranya. Tentu saja para ibu-ibu kepo di kampung ini.Pantas saja berita ini cepat sekali menyebar. Apa Bu Halimah tidak malu setelah suaminya tertuduh sebagai tersangka kasus korupsi, eh, dia malah sibu***Semua orang membubarkan diri dari kerumunan, hanya tertinggal Pak RT dan Bu RT yang masih menemani Mbak Anggi. Kemana para sekutunya saat ini? Dulu saja, saat Mbak Anggi sedang dalam masa kejayaan, sekutunya selalu mengikuti, lalu di saat dia terpuruk seperti ini, kemana semua sahabat-sahabatnya? Sejak tadi aku bahkan tidak melihat Bu Andin, kemana dia?"Mau kemana Bu Endang?" tanya Mbak Fifi, ketika mendapatiku berjalan ke arah lain, tidak ke arah rumah."Ah, ini--""Mau ke rumah Bu Aminah, Mbak." Mas Danu yang sudah di belakangku langsung berbicara. Aku mengangguk ragu, entah mengapa aku merasakan sesuatu yang tidak pas di hati.Mbak Fifi hanya ber"O" ria, begitupun Mbak Hanin yang kini sudah berdiri di sampingnya. "Tapi emang kita nggak pernah liat Bu Hajjah Aminah loh, Bu Endang. Mungkin lagi pulang kampung," sahut Mbak Hanin, dengan tatapan menerawang jauh.Mas Danu menatap ke arahku, dia menaikkan dagunya, memberi isyarat apakah kita akan tetap berkunjung ke rumah Bu Hajjah
***"Tolong, Bu. Beri saya waktu dua Minggu, saya pasti bisa menebus sertifikat rumah ini beserta bunganya," ujar Bu Andin memelas, kulihat wanita yang duduk di kursi teras rumahnya hanya melengos.Tidak lama, seorang lelaki keluar dari sebuah mobil yang berhenti tepat di depan rumah Bu Andin."Siapa dia, Mbak fi?" tanyaku pada Mbak Fifi."Suami Bu Andin, Bu."Aku mengangguk dua kali. Baru kali ini aku melihat suami Bu Andin, aku jadi penasaran apa jabatannya di Endan Group."Stop! Stop! Tolong hentikan mengacak-acak rumah saya!" teriak s
***Bu Andin dan Pak Edi keluar dari rumah mereka dengan membawa dua koper yang kuperkirakan berisi baju. Sementara barang-barang berharga mereka yang lain, harus ditinggal di dalam rumah, karena sudah kesepakatan di awal perjanjian, jika tidak bisa melunasi utang, maka peminjam harus keluar hanya dengan membawa badan. Kurang lebih seperti itulah yang kubaca di surat yang Kinanti pegang."Bos, ada tiga set perhiasan emas, bagaimana?" tanya salah seorang preman kepada Kinanti, selaku bos besar mereka.Bu Andin menghentikan tangisnya dan sontak berdiri dengan mata membulat lebar. Dengan langkah lebar, dia mendekat ke arah di mana dua set perhiasannya dibawa oleh anak buah Kinanti. Aku berdecak heran, dia menyimpan begitu banyak perhiasan, tetapi untuk melunasi ut
***Adi berjalan dengan langkah gontai, mobil yang dia beli hasil dari kerja keras selama bekerja, tidak boleh dibawa oleh Anggi. Anggi benar-benar ingin membuat miskin Adi dengan merampas semua kartu kredit yang Adi miliki. Dalam hati wanita itu, tidak ingin ada wanita lain yang ikut menikmati harta suaminya, apalagi hasil kerja kerasnya bersama Anggi.Dengan pikiran buntu, Adi merogoh gawai dan mencari kontak Adelia di sana. Tujuan Adi saat ini adalah rumah Adelia, yang merupakan pemberian Adi sebagai mas kawin pernikahan mereka. Urusan pekerjaan, lelaki itu tidak mau ambil pusing, mengingat dirinya adalah lulusan sarjana ekonomi, dia yakin, ada banyak perusahaan atau pabrik yang akan menerimanya bekerja nanti. Kesombongan benar-benar telah menguasai hati Adi, padahal, rejeki adalah hak mutlak Allah pada makhluknya."Halo, Del. Jemput aku se
***Adi terduduk di pinggir jalan dengan memegangi perutnya. Melihat di seberang jalan, sebuah rumah makan Padang sudah buka dan sesak dipenuhi pengunjung. Melihat banyaknya aneka lauk dari kaca, membuat cacing di perut Adi berteriak meminta amunisi. Keputusannya sudah bulat, dia akan kembali ke rumahnya sendiri, yakni rumah yang dia bangun atas kerja kerasnya bersama Anggi. Tidak ada pilihan lain, bagi Adi, lebih baik mengemis pada istrinya itu daripada harus nekat pulang ke rumah orang tuanya dalam keadaan begini.Dia berjalan sampai terseok-seok membawa dua koper besar. Hari sudah menjelang sore, hampir seharian dia belum makan. Tiba-tiba dadanya bergemuruh mengingat kejadian barusan, bagaimana Adelia dengan cerdiknya menipu dirinya. Adi menyesal telah menyia-nyiakan Anggi, ternyata wanita yang dia jadikan istri kedua hanya ingin mengerok hartanya saja.
****PoV Endang"Gila?" gumamku lirih, Mbak Hanin mengangguk samar dan menggigit bibirnya."Bu Endang nggak kesana? Ayo, bareng sama saya," ajak Mbak Hanin, aku mengangguk pasti.Kami berjalan beriringan menuju rumah Bu Andin. Beberapa warga sudah berkerumun di sana. Nampak dua orang paruh baya sedang menangis di samping Bu Andin yang kini bertingkah seperti anak kecil.Dia berlari-lari dan menakuti para tetangga seolah anak kecil tengah bermain dengan kawan-kawannya. Aneh, di leher, tangan, jemari dan kaki Mbak Andin melingkar sebuah tali rafia berwana kuning. Untuk apa itu?"Hai, lihat nih, perhiasanku banyak kan?" pamernya pada salah satu tetangga yang dia dekati. Pak Edi panik dan menarik tangan Bu Andin agar
***Para tetangga memberi jalan pada pihak kepolisian untuk menggiring langkah Pak Edi menuju mobil polisi."Tunggu, Pak! Apa tidak bisa menunggu saya pulang dari rumah sakit, istri saya sedang sakit, Pak. Saya bahkan belum mengunjunginya." Pak Edi memelas di hadapan dua petugas kepolisian. Aku membantu ayah Bu Andin untuk mengoleskan minyak kayu putih pada istrinya. Bu RT pun dengan sigap menyodorkan teh hangat ketika Ibu Bu Andin mulai membuka matanya."Maaf, Pak Edi. Kami hanya melakukan pekerjaan sesuai dengan prosedur dan laporan yang sudah dibuat. Jadi, saya harap bapak juga mematuhi peraturan kami," jawab petugas polisi, membuat Pak Edi mengusap wajahnya kasar.Ayah Bu Andin menghampiri Pak Edi dan menepuk pundak menantunya dengan tegas."Pergilah, pertanggung jawabkan apa yang sudah kamu perbuat. Urusan Andin, biar menjadi urusan kami selaku orang tuanya. Kami juga yang akan mengajukan gugatan perceraian setelah Andin mendapatkan ingatannya kembali nanti." Setelah mengatakan d
***Aku membuka pintu pagar, bersyukur Mas Danu sudah pulang. Kulihat dia baru saja keluar dari kamar mandi, gegas aku membersihkan diri di kamar mandi bawah, sebelum membahas semuanya dengan suamiku.Setelah membersihkan diri, aku menyiapkan makan malam, mengingat tadi siang sepulang dari pengadilan, aku belum menyiapkan makanan apapun di rumah. Mas Danu menyantap makanan dengan lahap, sesekali bercerita tentang keadaan Bu Hajjah Aminah dan siapa yang menunggunya di rumah sakit. Aku menceritakan semua yang Kang Di katakan padaku, ketika Mas Danu sudah berselonjor kaki di depan televisi."Serahkan semuanya pada pihak yang berwajib, percayakan saja semuanya pada polisi, Dek. Jangan mengambil resiko, bagaimana jika Pak Ferdinan nekat kabur dan mencelakai Kang Di juga anak buahnya. Aku yakin, Pak Ferdinan juga bukan orang sembarangan." Aku mengangguk mengerti, ada benarnya juga ucapan Mas Danu.***Hari ini kami memulai a
PoV Endang *** Tidak terasa, waktu cepat sekali berlalu. Hari ini, hari dimana Krisna akan melepas masa lajangnya bersama Hana. Kentara sekali raut bahagia Krisna, begitupun Ibu dan Ayah. Pihak keluarga Hana pun demikian. Aku menyesal sekali karena tidak mencegah kepergian Bu Andin waktu itu. Siapa yang menyangka jika Kenan, lelaki yang ambisius dengan Hana malah membunuh Bu Andin dengan menjatuhkannya ke dalam jurang. Sehari setelah proses pertunangan Krisna dan Hana, kami sekeluarga kelelahan dan menonton acara berita bersama. Bagai dihantam godam yang besar, saat aku mendengarkan sebuah siaran tentang seorang wanita yang dibuang di kawasan puncak. Penyiar televisi mengatakan nama Bu Andin karena kebetulan dompet korban memang masih berada di saku celana. Mataku membeliak lebar kala itu, benar saja, setelah tayangan pengangkutan jenazah, tidak lama, orang tua korban turut diwawancarai, tidak salah lagi. Itu orang tua Bu Andin. Aku berteriak memanggil Mas Danu yang kebetulan seda
PoV Author***Acara pertunangan Krisna dan Hana berjalan dengan lancar. Banyak sekali pose foto yang berhasil dibidik untuk mendokumentasikan hari bahagia mereka. Sengaja, beberapa tetangga dari kampung Endang, mereka undang, termasuk Hanin, Fifi, dan Bu Hajjah Halimah, juga Pak RT beserta istrinya. Dan masih banyak lagi.Memang, acara pertunangan ini dimeriahkan, mengingat Krisna adalah putra bungsu keluarga Bastian. Mereka sudah lama tidak mengadakan acara semewah ini setelah pernikahan Endang beberapa tahun yang lalu.Beruntung rumah Tini memiliki halaman yang luas. Sehingga nuansa alam menjadi pilihan utama mereka dalam menyelenggarakan acara penting ini. Tak lupa pula, Hartini datang anak-anaknya, Endang yang mengundang mereka."Masya Allah, ini baru acara lamaran udah meriah kayak gini ya," celetuk Hanin, menatap takjub pada dekorasi pertunangan Krisna dan Hana."Horang kaya mah bebas, Mbak Han!" sahut Fifi cekikikan. Endang menonjok pelan lengan Fifi, membuat wanita itu mering
PoV Author *** Para tetangga yang masih termasuk sanak saudara Fatma, membopong tubuh Halimah untuk dibaringkan di kamar. Kasak-kusuk tetangga mulai terdengar, mereka mengasihani nasib Halimah yang tragis. Menurut para tetangga, Halimah adalah sosok wanita pekerja keras. Siapa sangka, justru Halimah adalah perusak rumah tangga orang lain. Jika mereka tahu, mungkin mereka akan mengimani bahwa apa yang sudah Halimah terima kini adalah karma dari perbuatannya sendiri. Halimah merusak rumah tangga Hartini demi mendapatkan uang. Bukan kehidupan yang terjamin untuk Ibu dan anaknya, justru kematian putranya yang dia dapatkan. Suaminya bermain api dengan wanita lain. Sama persis dengan apa yang sudah Halimah perbuat. Rumah Fatma bahkan belum sempat di renovasi karena semua uang kiriman dari Halimah harus dikelola lagi oleh Rusdi-- suami sah Halimah. Rusdi sengaja membangun rumah di kampung sebelah, di atas tanah peninggalan orang tua Cantika, selingkuhannya. Mereka sengaja mengeruk uang ki
PoV Author***Halimah berjalan gontai menuju ke jalan raya. Dia merutuki kebodohannya yang belum sempat mengamankan semua aset Suryono selama ini. Memang, kebutuhan Halimah dan keluarganya di kampung terpenuhi dengan baik, tapi tetap saja, dia merasa rugi karena pergi meninggalkan rumah Suryono tanpa membawa satu pun harta. Hanya perhiasan yang masih melekat di tubuhnya."Sialan! An-jing! Bisa-bisanya Hartini dan Endang mempermalukan diriku seperti ini!" dengkus Halimah kesal. Meskipun secara sadar dia tahu jika Endang tidak ada hubungannya dengan pengusiran warga terhadap dirinya, tetap saja, nama Endang selalu terlihat buruk di mata Halimah."Lihat saja, aku akan kembali untuk menuntut harta gono-gini!" gumam Halimah dengan menggerakkan giginya.Beruntung dompetnya berada
***PoV HalimahDua hari lagi acara lamaran Krisna dan Hana akan dilangsungkan. Aku bersyukur, Hana mau menerima Krisna sebagai pendamping hidupnya, mengingat keluarga kami yang sudah menyebabkan Mang Kosim meninggal.Hana gadis yang baik, aku percaya dia bisa menjadi istri yang baik pula untuk Krisna. Apalagi adik manjaku itu selalu melalaikan kewajibannya sebagai seorang muslim. Semoga Hana bisa membawa Krisna ke jalan yang Allah ridhoi.Kasus Pak Ferdinan berjalan dengan lancar. Dia dan para anak buahnya kini mendekam di penjara. Begitu juga dengan Reina, entah bagaimana nasibnya nanti ketika akan melahirkan. Membayangkan saja sudah bikin perutku mulas.Bu Hajjah Aminah sudah berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Setidaknya itulah yang aku tangkap dari perilakunya kepada keluargaku se
PoV Author***"Katakan, Ma. Apa kamu selama ini tidak mengirimkan uang pendidikan untuk anak-anakku?!" bentak Suryono sengit. Halimah meneguk ludahnya kasar, belum pernah Suryono berkata dengan nada tinggi sebelumnya.Halimah melirik ke arah para tetangganya yang sudah berkerumun di depan rumahnya. Sudah kepalang malu, sekalian saja dia tunjukkan dirinya yang sebenarnya."Memang kenapa? Anak kamu udah ada ibunya, jangan manjain mereka dengan mengirimkan uang. Bukannya dibuat biaya pendidikan, malah dibuat foya-foya sama Emaknya!" sindir Halimah, membuat Hartini semakin meradang. Pasalnya, sejak Suryono meninggalkan dirinya dan juga anak-anaknya, Hartini banting tulang untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari, karena memang biaya pendidikan ketiga anaknya sudah ditopang oleh Suryono selaku Ayah mereka."Gi-la nggak sih, udah merebut seorang Ayah dari anaknya, eh, uang untuk biaya pendidikan pun ikut diembat juga!" seloroh tetangga Halimah."Nggak nyangka banget deh, ternyata Bu Halimah
PoV Author***"Kamu dan Hana pergi saja, Kris. Cari seserahan sekalian cincin untuk pertunangan besok lusa." Endang melirik ke arah Krisna yang nampak malu-malu tapi mau. Sementara Hana hanya tersenyum dan mengangguk menanggapi usulan dari Endang."Betul itu! Jangan apa-apa kamu serahin ke Mbak-mu! Bisa cepet tua dia nanti!" seloroh Mas Danu, Endang mendelik ke arah suaminya yang malah cekikikan.Hana ikut tertawa melihat Danu yang menggoda Endang, begitupun Tini dan Bastian, mereka merasa bahagia sebentar lagi anak bungsunya akan bertunangan."Ibu sudah membicarakan semuanya dengan Ibu Hana, Kris. Jadi persiapan sudah kami siapkan dengan matang. Tinggal kamu dan Hana aja, buruan cari cincin nikah. Atau kalau mau cari seserahan yang Hana mau, belikan! Jangan pelit sama calon mantu ibu!" hardik Tini pada Krisna, pipi Hana bersemu merah mendapat kasih sayang yang tulus dari keluarga Krisna. Apalagi Hana adalah anak dari lelaki yang sudah mengorbankan nyawanya demi keluarga Bastian.Kri
PoV Author***Jdor!Jdor!Jdor!"Halimah, keluar kamu!" teriak seorang wanita dengan menggedor pintu rumah Halimah."Dasar pelakor, keluar kamu dari rumah ini. Ini rumah suamiku!" Mendengar keributan, para tetangga bergegas keluar dan mencoba menenangkan seseibu yang sedang marah-marah di depan rumah Halimah. Pak RT dan istrinya mendekati wanita tersebut dan meminta untuk tenang."Bagaimana saya bisa sabar, Halimah itu pelakor! Dia sudah merebut suami saya!" ujar wanita itu lantang.Halimah tidak kunjung keluar, dia bersembunyi di dalam kamar karena takut kedoknya selama ini terbongkar."Tapi Bu Halimah sudah memiliki suami, mana mungkin dia merebut suami ibu," sela tetangga baik Halimah.Wanita yang memperkenalkan dirinya dengan nama Hartini itu melotot ke arah tetangga baik Halimah."Suami yang mana maksut kamu, hah?!"Hartini berkacak pinggang di hadapan para tetangga Halimah. Pasalnya, semua tetangga memang tidak tahu, jika suami Halimah yang tak lain adalah Suryono adalah suam
PoV Author.***"Maaf, Bu. Saya menemukan kejanggalan pada gangguan yang Bu Andin alami," ujar seorang psikiater pada kedua orang tua Andin.Jamilah dan Husni saling berpandangan. Masih mencoba mencerna apa maksut dari ucapan dokter cantik di depannya."Maksut saya, Bu Andin tidak mengalami gangguan jiwa seperti yang Ibu dan bapak keluhkan.Saya bisa menilai dari cara dia menjawab semua pertanyaan saya dengan detail. Tatapan matanya bukan tatapan mata kosong seperti orang dengan gangguan jiwa pada umumnya. Juga, dia tidak sibuk dengan dunianya seperti pasien ODGJ lainnya. Saya rasa, Bu Andin hanya sedang menyembunyikan sesuatu dari kalian selaku orang tuanya.Saran saya, Bapak dan Ibu bicarakan ini baik-baik dengan Bu Andin. Karena ketika laporan saya nanti ma