***Para tetangga memberi jalan pada pihak kepolisian untuk menggiring langkah Pak Edi menuju mobil polisi."Tunggu, Pak! Apa tidak bisa menunggu saya pulang dari rumah sakit, istri saya sedang sakit, Pak. Saya bahkan belum mengunjunginya." Pak Edi memelas di hadapan dua petugas kepolisian. Aku membantu ayah Bu Andin untuk mengoleskan minyak kayu putih pada istrinya. Bu RT pun dengan sigap menyodorkan teh hangat ketika Ibu Bu Andin mulai membuka matanya."Maaf, Pak Edi. Kami hanya melakukan pekerjaan sesuai dengan prosedur dan laporan yang sudah dibuat. Jadi, saya harap bapak juga mematuhi peraturan kami," jawab petugas polisi, membuat Pak Edi mengusap wajahnya kasar.Ayah Bu Andin menghampiri Pak Edi dan menepuk pundak menantunya dengan tegas."Pergilah, pertanggung jawabkan apa yang sudah kamu perbuat. Urusan Andin, biar menjadi urusan kami selaku orang tuanya. Kami juga yang akan mengajukan gugatan perceraian setelah Andin mendapatkan ingatannya kembali nanti." Setelah mengatakan d
***Aku membuka pintu pagar, bersyukur Mas Danu sudah pulang. Kulihat dia baru saja keluar dari kamar mandi, gegas aku membersihkan diri di kamar mandi bawah, sebelum membahas semuanya dengan suamiku.Setelah membersihkan diri, aku menyiapkan makan malam, mengingat tadi siang sepulang dari pengadilan, aku belum menyiapkan makanan apapun di rumah. Mas Danu menyantap makanan dengan lahap, sesekali bercerita tentang keadaan Bu Hajjah Aminah dan siapa yang menunggunya di rumah sakit. Aku menceritakan semua yang Kang Di katakan padaku, ketika Mas Danu sudah berselonjor kaki di depan televisi."Serahkan semuanya pada pihak yang berwajib, percayakan saja semuanya pada polisi, Dek. Jangan mengambil resiko, bagaimana jika Pak Ferdinan nekat kabur dan mencelakai Kang Di juga anak buahnya. Aku yakin, Pak Ferdinan juga bukan orang sembarangan." Aku mengangguk mengerti, ada benarnya juga ucapan Mas Danu.***Hari ini kami memulai a
***Sayup-sayup aku mendengar suara tawa yang menggema. Aku menggeliat, tapi seluruh badanku terasa kaku, astaga, ternyata ada tali yang melilit di kaki dan badanku. Badanku diikat dengan kedua tangan berada di samping. Aku melorotkan tubuh dari kursi dan terduduk dengan kedua kaki kutekuk. Mengikat tubuhku dengan tetap membiarkan kedua tanganku bebas memudahkanku untuk bisa membuka tali yang melilit di kaki.Memang, gerakanku menjadi tidak leluasa. Sesekali aku meringis karena tali yang semakin kencang terasa di lenganku, aku berusaha tetap membuka tali yang mengikat kedua kaki, agar bisa mengintip melalui celah kunci, siapa yang menculikku dan menyekapku di sini.Nafasku terengah-engah, aku sampai lupa jika mulutku diberi plester. Kuhentikan sejenak usaha untuk melepaskan ikatan di kaki, kepalaku menunduk, agar jemariku bisa membuka plester yang membekap mulut."Hhhhaahhh ... hhhhaahhh ..."Aku meraup udara sebanyak
***Bajuku sudah basah oleh air mata, kotor tentu saja, ada bekas muntah yang sudah mengering. Aku tidak tahu, apakah ini sudah malam, atau bahkan sudah pagi lagi. Tapi kurasa, ini masih hari yang sama, mengingat Bos yang mereka bicarakan tidak kunjung datang untuk melihatku. Siapa dalang di balik semua ini?Lelah menangis, aku bersandar di pintu almari dan menatap langit-langit kamar ini. Ada sebuah ranjang besar dan kuno, juga lemari reyot yang kubuka pintunya sudah berdecit, juga beberapa foto yang terbingkai di pigora. Mataku memicing, melihat sebuah foto pernikahan. Dengan langkah berat, aku mendekat ke arah berlawanan, melihat dengan seksama, foto siapa yang tertempel di dinding kamar ini.Bu Hajjah Aminah?Ya, aku yakin sekali wanita itu Bu Hajjah Aminah, itu artinya ....Pak Ferdinan, di samping wanita yang memakai baju pengantin model jaman dulu itu adalah Pak Ferdinan. Itu artinya aku berada di rumah me
***Kang Di dan kedua anak buahnya memasuki sebuah kamar. Dengan langkah mengendap-endap, aku mengikuti mereka di balik cahaya rumah yang temaram. Hal ini menguntungkan bagiku, sebab mereka tidak akan bisa mengetahui keberadaanku."Ferdinan memintaku untuk membawa tawanan ke rumahnya." Suara Kang Di aku dengar lebih dulu. Pintu ruangan yang tidak tertutup rapat, membuatku bisa leluasa mendengar apa yang mereka bicarakan."Kenapa bisa begitu? Bukankah Bos menyuruh kami untuk menahan wanita itu di rumah ini. Jangan mencoba mengakali kami, Di! Aku tahu, kamu ingin menikmati wanita itu sendirian!" ujar lelaki bertubuh tambun dengan sengit.Kang Di mendesah, kulihat dia merogoh gawainya dan memperdengarkan suara yang kuyakini itu adalah Pak Ferdinan."Biarkan wanita itu pergi bersama Diharyo, aku ingin mengeksekusi dia lebih dulu di rumahku!" Diharyo, adalah nama lengkap Kang Di. Aku selalu memanggilnya Kang, sebab kami sud
***PoV Author."Kris, tolong aku kali ini saja. Aku tidak ada sangkut pautnya dengan penculikan kakak kamu." Reina memelas dengan kedua tangan yang sudah diborgol.Tatapan matanya mengisyaratkan kesedihan yang teramat dalam. Hidupnya sudah hancur sejak dia memutuskan untuk melanjutkan hubungannya dengan Ferdinan. Reina pikir, menikah dengan pria yang sudah menanam benih dalam rahimnya, akan membuat Reina begitu dicintai. Nyatanya, Ferdinan selalu melampiaskan kemarahannya pada Reina dengan kekerasan fisik. Tentu saja hal tersebut membuat Reina frustasi, dalam keadaan hamil, dia mendapat perlakuan buruk oleh lelaki yang sudah menghamilinya.
DIKIRA MISKIN KARENA TIDAK MEMAKAI PERHIASAN (39)***PoV Author."Lihat Bu, perhiasanku banyak sekali, kan? Mas Edi memang suami yang baik, dia belikan aku perhiasan sebanyak ini," ujar Andini pada ibunya, ketika kedua orang tuanya berkunjung ke rumah sakit jiwa.Jamilah--ibu Andini dan Husni-- ayah Andini, setiap seminggu sekali mereka berkunjung ke rumah sakit, memantau keadaan Andini yang kian hari kian mengenaskan."Sembuhlah, Nak. Sepulang dari sini nanti ibu akan membelikanmu perhiasan yang kamu mau, a
PoV Author***'Tapi kalau melalang buana, aku dapat uang gede darimana buat ngelunasin semua ganti rugi ke Endan Group. Bisa-bisa aku jadi DPO nanti' batin Adi berperang melawan akal pikirannya."Tunggu apalagi, pergi dari sini!" usir Hantoro, dengan melempar kedua koper Adi keluar rumah.Para tetangga yang melihat tidak bisa ikut campur. Sudah bukan menjadi rahasia lagi, jika Adi yang terkenal kaya di perantauan, seolah lupa dengan kedua orang tuanya yang mulai sakit-sakitan."Pak, Bu. Biarkan aku tinggal di sini. Rumahku sudah dijual oleh Anggi. Bapak dan Ibu tahu kan, bagaimana cara hidup Anggi selama ini. Rumahku dia jual untuk melunasi hutang-hutangnya." Adi mendekat ke arah Bapak dan Ibunya. Dia memasang wajah sendu agar kedua orang tuanya percaya dengan apa yang dia ucapkan.
PoV Endang *** Tidak terasa, waktu cepat sekali berlalu. Hari ini, hari dimana Krisna akan melepas masa lajangnya bersama Hana. Kentara sekali raut bahagia Krisna, begitupun Ibu dan Ayah. Pihak keluarga Hana pun demikian. Aku menyesal sekali karena tidak mencegah kepergian Bu Andin waktu itu. Siapa yang menyangka jika Kenan, lelaki yang ambisius dengan Hana malah membunuh Bu Andin dengan menjatuhkannya ke dalam jurang. Sehari setelah proses pertunangan Krisna dan Hana, kami sekeluarga kelelahan dan menonton acara berita bersama. Bagai dihantam godam yang besar, saat aku mendengarkan sebuah siaran tentang seorang wanita yang dibuang di kawasan puncak. Penyiar televisi mengatakan nama Bu Andin karena kebetulan dompet korban memang masih berada di saku celana. Mataku membeliak lebar kala itu, benar saja, setelah tayangan pengangkutan jenazah, tidak lama, orang tua korban turut diwawancarai, tidak salah lagi. Itu orang tua Bu Andin. Aku berteriak memanggil Mas Danu yang kebetulan seda
PoV Author***Acara pertunangan Krisna dan Hana berjalan dengan lancar. Banyak sekali pose foto yang berhasil dibidik untuk mendokumentasikan hari bahagia mereka. Sengaja, beberapa tetangga dari kampung Endang, mereka undang, termasuk Hanin, Fifi, dan Bu Hajjah Halimah, juga Pak RT beserta istrinya. Dan masih banyak lagi.Memang, acara pertunangan ini dimeriahkan, mengingat Krisna adalah putra bungsu keluarga Bastian. Mereka sudah lama tidak mengadakan acara semewah ini setelah pernikahan Endang beberapa tahun yang lalu.Beruntung rumah Tini memiliki halaman yang luas. Sehingga nuansa alam menjadi pilihan utama mereka dalam menyelenggarakan acara penting ini. Tak lupa pula, Hartini datang anak-anaknya, Endang yang mengundang mereka."Masya Allah, ini baru acara lamaran udah meriah kayak gini ya," celetuk Hanin, menatap takjub pada dekorasi pertunangan Krisna dan Hana."Horang kaya mah bebas, Mbak Han!" sahut Fifi cekikikan. Endang menonjok pelan lengan Fifi, membuat wanita itu mering
PoV Author *** Para tetangga yang masih termasuk sanak saudara Fatma, membopong tubuh Halimah untuk dibaringkan di kamar. Kasak-kusuk tetangga mulai terdengar, mereka mengasihani nasib Halimah yang tragis. Menurut para tetangga, Halimah adalah sosok wanita pekerja keras. Siapa sangka, justru Halimah adalah perusak rumah tangga orang lain. Jika mereka tahu, mungkin mereka akan mengimani bahwa apa yang sudah Halimah terima kini adalah karma dari perbuatannya sendiri. Halimah merusak rumah tangga Hartini demi mendapatkan uang. Bukan kehidupan yang terjamin untuk Ibu dan anaknya, justru kematian putranya yang dia dapatkan. Suaminya bermain api dengan wanita lain. Sama persis dengan apa yang sudah Halimah perbuat. Rumah Fatma bahkan belum sempat di renovasi karena semua uang kiriman dari Halimah harus dikelola lagi oleh Rusdi-- suami sah Halimah. Rusdi sengaja membangun rumah di kampung sebelah, di atas tanah peninggalan orang tua Cantika, selingkuhannya. Mereka sengaja mengeruk uang ki
PoV Author***Halimah berjalan gontai menuju ke jalan raya. Dia merutuki kebodohannya yang belum sempat mengamankan semua aset Suryono selama ini. Memang, kebutuhan Halimah dan keluarganya di kampung terpenuhi dengan baik, tapi tetap saja, dia merasa rugi karena pergi meninggalkan rumah Suryono tanpa membawa satu pun harta. Hanya perhiasan yang masih melekat di tubuhnya."Sialan! An-jing! Bisa-bisanya Hartini dan Endang mempermalukan diriku seperti ini!" dengkus Halimah kesal. Meskipun secara sadar dia tahu jika Endang tidak ada hubungannya dengan pengusiran warga terhadap dirinya, tetap saja, nama Endang selalu terlihat buruk di mata Halimah."Lihat saja, aku akan kembali untuk menuntut harta gono-gini!" gumam Halimah dengan menggerakkan giginya.Beruntung dompetnya berada
***PoV HalimahDua hari lagi acara lamaran Krisna dan Hana akan dilangsungkan. Aku bersyukur, Hana mau menerima Krisna sebagai pendamping hidupnya, mengingat keluarga kami yang sudah menyebabkan Mang Kosim meninggal.Hana gadis yang baik, aku percaya dia bisa menjadi istri yang baik pula untuk Krisna. Apalagi adik manjaku itu selalu melalaikan kewajibannya sebagai seorang muslim. Semoga Hana bisa membawa Krisna ke jalan yang Allah ridhoi.Kasus Pak Ferdinan berjalan dengan lancar. Dia dan para anak buahnya kini mendekam di penjara. Begitu juga dengan Reina, entah bagaimana nasibnya nanti ketika akan melahirkan. Membayangkan saja sudah bikin perutku mulas.Bu Hajjah Aminah sudah berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Setidaknya itulah yang aku tangkap dari perilakunya kepada keluargaku se
PoV Author***"Katakan, Ma. Apa kamu selama ini tidak mengirimkan uang pendidikan untuk anak-anakku?!" bentak Suryono sengit. Halimah meneguk ludahnya kasar, belum pernah Suryono berkata dengan nada tinggi sebelumnya.Halimah melirik ke arah para tetangganya yang sudah berkerumun di depan rumahnya. Sudah kepalang malu, sekalian saja dia tunjukkan dirinya yang sebenarnya."Memang kenapa? Anak kamu udah ada ibunya, jangan manjain mereka dengan mengirimkan uang. Bukannya dibuat biaya pendidikan, malah dibuat foya-foya sama Emaknya!" sindir Halimah, membuat Hartini semakin meradang. Pasalnya, sejak Suryono meninggalkan dirinya dan juga anak-anaknya, Hartini banting tulang untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari, karena memang biaya pendidikan ketiga anaknya sudah ditopang oleh Suryono selaku Ayah mereka."Gi-la nggak sih, udah merebut seorang Ayah dari anaknya, eh, uang untuk biaya pendidikan pun ikut diembat juga!" seloroh tetangga Halimah."Nggak nyangka banget deh, ternyata Bu Halimah
PoV Author***"Kamu dan Hana pergi saja, Kris. Cari seserahan sekalian cincin untuk pertunangan besok lusa." Endang melirik ke arah Krisna yang nampak malu-malu tapi mau. Sementara Hana hanya tersenyum dan mengangguk menanggapi usulan dari Endang."Betul itu! Jangan apa-apa kamu serahin ke Mbak-mu! Bisa cepet tua dia nanti!" seloroh Mas Danu, Endang mendelik ke arah suaminya yang malah cekikikan.Hana ikut tertawa melihat Danu yang menggoda Endang, begitupun Tini dan Bastian, mereka merasa bahagia sebentar lagi anak bungsunya akan bertunangan."Ibu sudah membicarakan semuanya dengan Ibu Hana, Kris. Jadi persiapan sudah kami siapkan dengan matang. Tinggal kamu dan Hana aja, buruan cari cincin nikah. Atau kalau mau cari seserahan yang Hana mau, belikan! Jangan pelit sama calon mantu ibu!" hardik Tini pada Krisna, pipi Hana bersemu merah mendapat kasih sayang yang tulus dari keluarga Krisna. Apalagi Hana adalah anak dari lelaki yang sudah mengorbankan nyawanya demi keluarga Bastian.Kri
PoV Author***Jdor!Jdor!Jdor!"Halimah, keluar kamu!" teriak seorang wanita dengan menggedor pintu rumah Halimah."Dasar pelakor, keluar kamu dari rumah ini. Ini rumah suamiku!" Mendengar keributan, para tetangga bergegas keluar dan mencoba menenangkan seseibu yang sedang marah-marah di depan rumah Halimah. Pak RT dan istrinya mendekati wanita tersebut dan meminta untuk tenang."Bagaimana saya bisa sabar, Halimah itu pelakor! Dia sudah merebut suami saya!" ujar wanita itu lantang.Halimah tidak kunjung keluar, dia bersembunyi di dalam kamar karena takut kedoknya selama ini terbongkar."Tapi Bu Halimah sudah memiliki suami, mana mungkin dia merebut suami ibu," sela tetangga baik Halimah.Wanita yang memperkenalkan dirinya dengan nama Hartini itu melotot ke arah tetangga baik Halimah."Suami yang mana maksut kamu, hah?!"Hartini berkacak pinggang di hadapan para tetangga Halimah. Pasalnya, semua tetangga memang tidak tahu, jika suami Halimah yang tak lain adalah Suryono adalah suam
PoV Author.***"Maaf, Bu. Saya menemukan kejanggalan pada gangguan yang Bu Andin alami," ujar seorang psikiater pada kedua orang tua Andin.Jamilah dan Husni saling berpandangan. Masih mencoba mencerna apa maksut dari ucapan dokter cantik di depannya."Maksut saya, Bu Andin tidak mengalami gangguan jiwa seperti yang Ibu dan bapak keluhkan.Saya bisa menilai dari cara dia menjawab semua pertanyaan saya dengan detail. Tatapan matanya bukan tatapan mata kosong seperti orang dengan gangguan jiwa pada umumnya. Juga, dia tidak sibuk dengan dunianya seperti pasien ODGJ lainnya. Saya rasa, Bu Andin hanya sedang menyembunyikan sesuatu dari kalian selaku orang tuanya.Saran saya, Bapak dan Ibu bicarakan ini baik-baik dengan Bu Andin. Karena ketika laporan saya nanti ma