Setibanya di kantor.Sagara mengambil alat pel dan menghampiri ruang meeting yang sudah dipastikan sedang membahas masalah yang sama dengan Anumerta. Sebab kedua perusahaan itu tengah bersaing untuk mendapatkan hasil yang baik kemudian bekerja sama dengan perusahaan yang ada di Jerman.“Kita tidak boleh kalah oleh Anumerta itu,” kata Andi—manager produksi di sana.“Mereka bisa menang karena anak dari pemilik perusahaan itu sangat pandai mengukir desain yang diinginkan oleh costumer-nya, Pak Andi. Jelas, kita akan kalah jika bersaing dengan perusahaan itu,” ujar Malik yang sudah putus asa jika mereka tidak akan bisa memenangkan persaingan itu.“Menurut kabar yang beredar, anak dari pemilik perusahaan itu sudah meninggal, Pak Malik. Sepertinya, kita masih memiliki kesempatan untuk memenangkan persaingan ini,” ucap Andi percaya diri.Sementara yang lainnya hanya manggut-manggut. Sebab mereka tak tahu apa yang terjadi sebenarnya dengan perusahaan tersebut.Klek!Sagara masuk ke dalam. Ia
Sagara menghela napas kasar. “Ada apa?” tanyanya datar. “Aku harus kembali bekerja karena sudah jam satu. Tidak perlu banyak basa-basi.”Clara mencelos mendengar ucapan Sagara. “Sagara! Kenapa mau-maunya kamu kerja seperti ini? Ada banyak perusahaan lain yang mau menerima kamu, Sagara!”Pria itu mengendikan bahunya. Kemudian meninggalkan Clara karena tidak ingin mendengar segala ocehan yang akan dikeluarkan oleh perempuan itu.“Sagara, tunggu!” Clara menahan tangan Sagara kembali.Pria itu memijat keningnya. Sungguh. Pertemuan dengan Clara di tempat yang sama sekali tidak dia inginkan itu membuatnya pusing. Ia tak mau sampai Krisna melihatnya.“Clara! Apa lagi yang ingin kamu bahas? Jangan bertele-tele. Aku harus kerja!” gertak Sagara yang sudah kesal kepada mantan kekasihnya itu.Perempuan itu lantas menghela napasnya dengan kasar. “Aku masih cinta sama kamu, Sagara. Kalau sejak awal kamu sudah selingkuh, kenapa sekarang malah ingin mengakhiri perselingkuhan kamu itu?”Sagara terseny
Waktu sudah menunjuk angka lima sore.Cup!Baru pulang ke rumah, pria itu mencium pipi sang istri yang sedang sibuk dengan kue di dalam dapur. Lantas pria itu memeluk sang istri dari belakang dengan kepala ia sandarkan di bahu Hanna.“Lagi buat apa?” tanyanya pelan.“Brownies kukus kesukaan kamu. Tunggu sebentar, yaa. Tiga puluh menit lagi selesai. Sekarang, mending mandi dulu.”Cup!Pria itu kembali mencium pipi sang istri kemudian melepaskan pelukan itu. “Tumben banget, bikinin aku kue. Ada yang kamu inginkan?” tanya Sagara penuh curiga.Hanna menggelengkan kepalanya. “Nggak kok. Lagi pengen bikin kue aja. Tiba-tiba pengen bikinin kamu kue. Murni atas kemauan aku.”“Mungkin bawaan baby. Tau aja, kalau papanya lagi pengen makan makanan yang manis.”Hanna lantas terkekeh dengan pelan. “Mandi dulu, Sagara. Bau asem tau nggak!”“Enak aja.
“Siapa yang sudah mendesain motif furniture ini?”Krisna mengumpulkam seluruh staff yang ikut serta dalam membuat desain furniture setelah tiga hari lamanya mereka menunggu kepastian, apakah berhasil lolos atau tidak. Pertanyaan Krisna membuat jantung kelima orang itu berirama dengan sangat kencang.Karena yang mereka kirimkan adalah desain yang dibuat oleh Sagara. Namun, semuanya masih bungkam lantaran takut hasilnya gagal. Sampai akhirnya Krisna bertanya kembali, siapa yang sudah membuat motif tersebut.Andi lantas mengangkat tangannya. “Sa—saya, Pak,” ucapnya dengan sisa-sisa keberaniannya.Pria itu manggut-manggut kemudian menerbitkan senyumnya dengan sangat lebar. “Luar biasa! Anda sudah mengembangkan bakat Anda dalam seni ukir yang disukai oleh para pengusaha kelas international.”Andi tak mengerti dengan ucapan Krisna. “Ma—maksud Anda? Mohon maaf, saya kurang mengerti.”Krisna menghela napasnya dengan pelan. “Kita berhasil memenangkan persaingan ini. Ketiga motif yang dikirim p
Sagara menoleh kemudian menghela napasnya. “Belum saatnya. Aku menikahi kamu karena hanya menumpang hidup, kemudian memerankan peran sebagai suami yang baik untuk kamu. Tapi, keinginan untuk menyentuh kamu, belum ada niat dalam diri aku, Hanna.“Tapi, kamu jangan salah paham dulu. Bukan karena kamu sudah bukan gadis lagi atau karena kamu sedang hamil. Ada hal yang tidak bisa kita lakukan terlebih dahulu. Hanya itu, dan tentunya karena aku belum ingin. Akan ada saatnya kita bisa saling menyentuh dan memuaskan satu sama lain.”Sagara menerbitkan senyumnya sembari mengusap pucuk rambut istrinya itu. Kembali fokus pada laju menuju rumah sakit.“Kamu … benar-benar belum pernah melakukan itu, Sagara?” tanya Hanna dengan pelan.Sagara menggelengkan kepalanya dengan pelan. “Belum. Aku tidak pernah kepikiran ke arah sana saat sedang menjalin hubungan dengan siapa pun.”Hanna tersenyum, menyembunyikan rasa malu karena sikap Sagara jauh berbeda dengan Raffael yang mencintai Hanna hanya karena na
Sagara membalas senyum yang amat manis itu kemudian menganggukkan kepalanya. “Iya, Hanna.” Lalu, pria itu melajukan mobilnya menuju resto yang menyajikan makanan khas Jepang.“Aku ada resto yang sering aku kunjungi di sana, Hanna. Model kamu ini, pasti tau di mana tempat itu?”“Niagara Resto?”Sagara menerbitkan senyum dengan lebar, hingga giginya terlihat. “Ya. Dengan siapa kamu ke sana, aku nggak akan tanya. Yang jelas, selera kita sama. Sama-sama sering pergi ke tempat yang sama.”Hanna menerbitkan senyumnya. “Kebetulan, aku selalu pergi sendiri ke resto itu. Semua pria termasuk Raffael, tidak menyukai makanan khas Jepang. Teman-temanku juga hanya sebagian. Tapi, aku lebih senang jika pergi sendiri.”Sagara manggut-manggut kemudian menghela napas kasar. “Mungkin, garis jodoh kita sudah tercipta sebelum kita bertemu, Hanna. Bahkan, dengan Andra pun dia hanya menemaniku pergi ke tempat itu. Aku sering pergi sendiri juga.”Hanna terkekeh pelan sembari menganggukkan kepalanya.”Iya, Sag
Hanna menerbitkan senyumnya. Namun, baru saja ia hendak mengambil segelas air minum, orang yang sangat ia benci berdiri tegak di depannya. Mata itu menatap tajam ke arah pria bernama Raffael itu.“Ya elah! Ini anak kenapa ada di sini coba,” gerutu Sagara kala melihat kehadiran Raffael yang sudah mengganggu ketenangan makan malamnya.“Hanna! Kalau memang anak itu adalah anakku, kita lakukan tes DNA sekarang juga!” ucapnya to the point. Maksud kedatangan dia ke sana, mencari keberadaan Hanna hingga akhirnya ditemukan. Sebab Raffael masih ingat jika mantan kekasihnya itu sangat menyukai makanan khas Jepang.Hanna memutar bola matanya dengan pelan. “Untuk apa? Nggak perlu! Kalau kamu tidak mau mengakuinya, ya sudah. Aku tidak butuh tes-tes seperti itu. Lagi pula, sudah ada Sagara yang bertanggung jawab dan mau menerimaku apa adanya!” tegas Hanna kemudian.Sagara mengusapi punggung Hanna sembari mengulas senyumnya. “Jangan didengerin. Mungkin dia habis bangun tidur, habis mimpi dikejar-kej
Hanna menggeleng. “Nggak kok. Yang kamu ucapkan memang benar. Aku yang nggak selektif dalam mencari pasangan,” ucapnya kemudian menerbitkan senyumnya. Senyum menyimpan sedikit luka karena ucapan menohok Sagara.“Aku bayar dulu,” ucapnya kemudian bangun dari duduknya dan pergi menuju kasir.Sagara yang tahu jika istrinya itu sedikit berbeda lantas menyesal karena sudah berucap seperti itu kepada Hanna. Ia yang sedang emosi jelas tidak bisa mengontrol diri hingga ucapan yang menyakiti hati dan perasaan Hanna pun terlontar.‘Maafkan aku, Hanna. Aku hanya sedang emosi. Aku sudah menyinggung perasaan kamu, Hanna,’ ucapnya dalam hati kemudian menelan saliva dengan pelan.Hingga tiba di rumah. Sikap Hanna masih dingin. Bahkan tidur pun kembali membelakangi Sagara. Siapa pun orang pasti merasakan kesedihan yang sedang Hanna alami saat ini. Tanpa sengaja Sagara sudah menaruh luka di dalam hati perempuan itu.Sagara yang masih terjaga tengah menatap langit-langit kamar sembari memikirkan hal ya
"Kita lakukan tes terlebih dahulu. Susternya sudah saya minta untuk membawakan alat tes kehamilan juga," kata Dokter Azmi menjelaskan.Sagara tampak terkejut. Ia bahkan tak menyangka jika Hanna bisa secepat itu memberinya keturunan, kalau memang alat itu menunjukkan dua garis biru.Tak lama kemudian, Dokter Aris datang dan memberikan tespack kepada Hanna. "Silakan dicek terlebih dahulu, Bu Hanna. Kita periksa setelah hasilnya sudah keluar."Hanna mengangguk kemudian mengambil alat tes kehamilan itu. Lalu, masuk ke dalam toilet untuk segera melakukan tes kehamilan. Semakin cepat, semakin baik. Begitu menurutnya.Lima menit kemudian. Hanna keluar dari toilet. Sagara tengah duduk di samping sang anak yang sedang memakan buah apel yang sudah Sagara potong-potong."Positif, Dok." Hanna memberikan alat itu untuk diperlihatkan kepada Dokter Aris.Dokter Aris manggut-manggut. "Kalau begitu, kita lakukan USG terlebih dahulu. Agar tahu, sudah berapa usianya."Sagara juga ikut ke ruang USG. Pun
Sagara menelan salivanya dengan pelan. Kenangan terburuk yang pernah dia alami begitu menyakitkan hatinya. Di mana nasib buruk itu mengguncang dirinya, datang secara bersamaan.Namun, hasil yang kini dia dapatkan jauh lebih baik dari apa yang pernah dia miliki. Bahkan, orang-orang yang sudah merendahkannya kini bertekuk lutut padanya.Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Di mana acara pernikahan itu sudah selesai dilaksanakan. Para tamu yang datang sudah pulang ke rumah masing-masing.Pun dengan Sagara dan juga Hanna. Mereka memilih untuk pulang setelah acaranya selesai.Di dalam kamar hotel. Keduanya terlihat canggung karena tidak tahu harus dimulai dari mana.Andra pun mengirim pesan kepada Sagara untuk menanyakan perihal malam pertama yang harus dia lakukan.Andra: [Udah molor, belum? Apa jangan-jangan mau ngalahin gue!]Pesan terkirim.Sementara Indah masih berada di dalam kamar mandi. Seolah tak tahu, apa yang harus dia lakukan.Ting!Sagara: [Baru pemanasan. Tapi, karena el
“Milla kenapa jadi begitu? Bener-bener sampul nggak bisa menjamin bisa dipercaya,” kata Hanna setelah kembali dari kamar mandi.Sagara mengendikan bahunya. “Lagi suka sama seseorang, kali. Makanya cari perhatian.”Hanna lantas menolehkan kepalanya kepada Sagara. “Kalau sukanya sama kamu, gimana?”Sagara tersenyum miring. “Yaa nggak gimana gimana, Sayang. Mau diganti lagi? Aku sih, terserah kamu aja. Karena aku nggak akan terkena rayuan apa pun kalau dia berani merayuku.”Perempuan itu hanya melirik Sagara yang berbicara dengan santainya. Sebab memang begitu kenyataannya. Tidak tergoda sedikit pun pada orang-orang yang berani menggodanya."Gak akan kelar, kalau diganti lagi dan lagi. Biar aja. Kecuali kamunya oleng."Sagara menatap Hanna kemudian menghela napas kasar. "Nggak akan. Janji, gak akan oleng. Aku gak mau kehilangan kamu. Daripada ladenin orang macam dia, lebih baik aku pindah jabatan aja, kerja di Lestari aja."Hanna terkekeh pelan. "Yaa bagus. Jangan sampai membuang berlian
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi.Di ruang makan. Sagara, Hanna, Mayang dan juga Suster Indah tengah sarapan bersama.“Jadi gimana, Sus? Tetap mau resign?” tanya Sagara setelah menyelesaikan acara makannya.Suster Indah menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Bisa kita bicara, Mas Sagara?”Sagara mengangguk. “Temui saya di ruang kerja!” ucapnya kemudian beranjak dari duduknya. Setelahnya, diikuti oleh Suster Indah setelah pamit kepada Hanna dan juga Mayang.“Jadi gimana, Sus?” tanya Sagara setelah tiba di ruang kerjanya.Suster Indah memberikan catatan yang setiap hari ia tulis mengenai kondisi kesehatan Mayang.“Bu Mayang masih butuh pendamping, Mas Sagara. Dan sepertinya, harus selalu ditemani sampai selamanya. Kondisi kejiwaannya tidak sepenuhnya kembali. Dan memang, banyaknya pasien yang sembuh itu tidak sembuh permanen,” tutur Suster Indah menjelaskan.Sagara melihat catatan tersebut. Kemudian menghela napasnya dengan pelan. “Harusnya cari yang udah tua, janda atau perawan tu
Sampai akhirnya mereka tiba di Indonesia. Setelah berjam-jam lamanya, tanpa ada transit terlebih dahulu. Akhirnya tiba di tanah kelahiran.Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Waktu yang tepat untuk mereka makan terlebih dahulu sebelum kembali ke rumah. Makan di resto mereka, yang saat itu tidak terlalu ramai. Mereka memilih untuk makan di lantai tiga, ruang privasi sang pemilik resto.“Sayang. Rivano-nya tidurin di tempat tidurnya aja. Bawa ke sini,” teriak Sagara kepada Hanna yang tengah menyusui sang anak.“Iyaaa!” sahut Hanna kemudian.Sagara pun kembali menyesap kopi miliknya yang ia pesan lima menit yang lalu. Sembari menunggu makanan yang mereka pesan tiba.“Gue mau bahas project di Singapura. Kemaren, mereka pengen revisi motif yang ada di ujung deket kaca gitu. Katanya, terlalu rame dan warnanya juga kurang cocok dengan warna tembok kantor mereka.”Sagara manggut-manggut dengan pelan. “Sebenarnya gue lagi males bahas kerjaan. Karena gue masih cuti. Tapi, karena besok udah
Wisnu sudah tak tahan lagi dengan ucapan tak masuk akal Linda. Meminta agar Hanna dimasukkan ke dalam pemilik Lestari. Daripada meladeni ucapan aneh istrinya itu, ia pun memilih untuk pergi dari rumah itu.Linda mendengus kasar. Ia kemudian menghubungi Hanna untuk memarahi anaknya itu karena sudah berani berhenti bekerja.“Ma. Kan, udah Mas Adi yang menghidupi aku. Setiap bulan juga, aku selalu kirim uang ke Mam,” keluh Hanna dalam panggilan tersebut.Kebetulan sekali, perempuan itu sedang berada di rumah Hanna karena diminta untuk datang ke sana. Membantunya membuka semua kado dari para tamu undangan.“Kenapa dia?” tanya Andra yang juga ikut membantu membuka kado.Hanna mengendikan bahunya. “Kayaknya … mamanya Hanna matre, deh. Kedengerannya sih, Hanna ini diminta untuk kerja lagi.”"Ya elaaah! Si Adi gajinya udah puluhan juta juga. Masih aja kudu kerja. Beneran sih, kalau kayak gitu mah. Matre." Andra menepuk jidatnya.Hanna kembali duduk di samping Hanna, kemudian menghela napas pa
Dalam hal ini, mereka memang seperti dunia terbalik. Bukannya Hanna yang meminta Sagara agar mengabulkan permintaannya untuk pergi ke luar negeri. Dan yang terjadi di sana malah Sagara yang terlihat begitu antusias untuk mengajak Hanna pergi ke luar negeri."Sayang. Andra pengen lamar Suster Indah di sana.""Sebenarnya aku masih capek. Tapi, kalau kamu maksa, ya udah. Karena tempat itu memang tempat yang sangat ingin aku kunjungi. Aku pernah punya mimpi, ingin pergi ke sana bersama orang yang aku cinta.""Dan aku akan mewujudkannya. Kamu nggak perlu gendong Rivano, biar aku aja. Karena aku nggak tahu kapan akan bisa punya waktu untuk mewujudkan semua keinginan kamu, untuk pergi ke luar negeri. Termasuk Budapest. Enam bulan yang akan datang, aku akan disibukkan dengan kuliah juga dengan pekerjaan kantor. Sepertinya tidak akan punya waktu banyak untuk kamu dan juga Rivano."Kita manfaatkan waktu ini untuk pergi ke tempat-tempat yang ingin kamu kunjungi. Kita hanya punya waktu weekend sa
Sagara mengulas senyumnya. “I love you more. Kamu sangat mencintaiku, aku lebih lebih mencintai kamu. Don’t leave me. Aku butuh kamu.”“Hanya akan pergi, jika kamu yang menginginkanku pergi. Tidak dibutuhkan lagi untuk mengisi hidupmu.”“Dan itu tidak akan pernah terjadi,” ucapnya kemudian meraup bibir istrinya kembali.Permainan kedua akan dimulai lagi. Kemudian, Hanna menghentikan Sagara yang tengah meraup bibirnya.“Mau, yang lebih dari ini?” tanyanya sembari mengusapi milik Sagara yang semakin mengeras.“Apa itu?” tanyanya kemudian.Tanpa memberi tahu, Hanna menjatuhkan tubuh Sagara kemudian merangkak ke bawah sana. Melahap benda itu dengan gerakan yang membuat Sagara semakin menggila.“Arrgghh! Fuck you, Hanna!” Sagara meremas lengan Hanna seraya menikmati setiap permainan yang tengah dilakukan oleh istrinya itu.“Don’t stop, Honey!” lirih Sagara yang tengah kegirangan akan permainan yang dilakukan oleh Hanna.“Never!” ucapnya kemudian tersenyum menyeringai.**Waktu sudah menunj
“Di tempat ini?” tanya Suster Indah dengan pelan. Deru napas Andra bahkan masih sangat terasa karena jarak yang memisahkan mereka hanya satu helai rambut saja.Andra mengulas senyumnya. “No! Hanya spontan saja. Di tempat ini, terlalu biasa dan aku nggak bawa apa-apa. Di tempat yang lain aja. Kita tunggu waktunya tiba.” Kemudian Andra mengecup kening kekasihnya itu. “Terima kasih, sudah menjadi pembuka hatiku yang dulu tidak pernah bisa dibuka karena hal dan lainnya.”Suster Indah mengangguk. “Terima kasih, sudah menjadi yang pertama dan semoga menjadi yang terakhir.”Andra mengangguk. “Aamiin. Kita berusaha sama-sama. Menjalaninya juga bersama-sama. Apa pun yang terjadi nanti, kita harus bisa menghadapinya.”Perempuan itu kembali menerbitkan senyumnya. “Iya, Mas.”“Aku mau ke dalam lagi. Kamu, masih tetap ingin di sini? Memangnya, Tante Mayang masih belum waras betul, yaa?”“Belum, Mas. Kejiwaan seseorang tidak akan kembali normal seperti dulu. Pasti akan selalu ada yang namanya kambu