Setibanya di rumah. Andra dan Sagara langsung masuk ke dalam. Karena waktu baru menunjuk angka delapan malam, mereka pun memilih untuk duduk di ruang tengah terlebih dahulu. Andra sedang tidak ingin melakukan apa pun. Ia hanya sedang ingin menenangkan hati dan pikirannya yang sedang patah.“Tadi kan, habis ketemuan sama Citra. Elo belum kasih tau dengan detail karena kepotong lihat adegan Suster Indah sama Dokter Aris berpelukan kayak teletubies. Kenapa dia nggak ada hubungi gue? Kasih kabar soal Anumerta.”Sagara ingin mengalihkan perasaan Andra yang kini terus memikirkan luka yang baru saja hadir di hatinya pria itu.“Dia lagi fokus menata diri. Sibuk urus kantor, move on, dan sibuk kuliah juga. Citra juga kasih tau tentang kondisi Clara. Udah masuk stadium akh—“Panggilan dari Citra memotong ucapan Andra yang tengah menjelaskan tentang kondisi Clara.“Orangnya nongol. Panjang umur banget ini perempuan. Gue angkat dulu.” Andra merasa seperti sedang diobati oleh perempuan yang menghu
Andra menghela napasnya. "Gue akan muncul setelah dokumen asli ketemu. Nggak akan muncul terlebih dahulu sebelum dokumen itu ditemukan. Agar setelah memasukkan Damar ke penjara, gue langsung mengganti nama itu agar bersih dari berita yang mungkin akan tersebar ke seluruh dunia."Andra manggut-manggut. "Pinter juga, lo. Biar nama elo tetap bersih, elo gak bakal muncul dalam pertikaian yang sebenernya udah elo buat."Sagara mengulas senyumnya. "Salah Damar. Karena udah membohongi semua instansi, costumer, bahkan mengumumkan gue melalui media kalau gue udah mati. Yaaa ... walaupun para staf di kantor pernah lihat gue sekali. Tapi, nggak ada bukti kalau gue masih hidup. Eropa taunya gue udah mati. Pun dengan yang lainnya. Pasti pada mengulang berita yang sudah tersimpan di jejaring sosial. Membuktikan kalau gue udah mati atas pengumuman yang dibuat Damar."Sagara tertawa bahagia. Tidak mungkin ia lakukan hal gila dan merugikan umat jika tidak tahu apa yang akan terjadi nanti."Waktunya hi
"Hanya baru berita yang belum resmi aja. Baru beberapa orang yang tau, belum begitu resmi. Karena furniture yang diproduksi oleh Lestari juga belum selesai. Mungkin akan ramai kalau furniture itu sudah selesai dibuat dan akan dikirim ke Jerman."Hanna manggut-manggut. "Begitu rupanya."Sagara menganggukkan kepalanya dengan pelan. Setelahnya ia meraup bibir Hanna dengan lembut, memiringkan kepalanya agar udara bisa masuk ke dalam rongga hidung mereka.Tautan itu semakin menjadi lantaran tangan Sagara sudah berkeliaran ke mana-mana. Menyentuh bagian sensitif milik Hanna. Melebarkan kaki itu dan mengusapi dengan lembut. Menciptakan sebuah desahan yang membuat suasana di dalam sana semakin panas.Gairah akan nafsu yang sudah membuncah dalam diri kedua insan itu semakin terasa. Sagara membuka seluruh kain yang menempel di tubuhnya. Pun dengan Hanna. Sehingga keduanya sudah sama-sama dalam keadaan polos tak satu pun kain menempel di tubuh keduanya."ASI-nya belum keluar, kan?" tanya Sagara
Sagara mengangguk tanda mempersilakan kepada Hanna untuk memberi kabar ini kepada Sinta.“Halo, Ma. Mama apa kabar?” Hanna langsung menghubungi Sinta.“Hanna?” Sinta terdengar begitu bahagia karena mendapat kabar dari sang anak. “Mama baik-baik saja, Sayang. Kamu apa kabar, Nak?” tanya Sinta antusias.“Aku juga baik, Ma. Sagara juga. Anak aku juga. Dua minggu lagi usianya sudah tujuh bulan. Udah hampir keluar,” ucapnya sembari mengusapi perut buncitnya itu.“Syukurlah kalau begitu. Mama senang dan lega mendengarnya. Ada apa, Nak?”Hanna menghela napasnya dengan pelan. “Sepertinya Mama belum melihat berita yang sudah tersebar di media sosial. Perusahaan Eropa sudah berangkat menuju Indonesia, Ma. Sagara sudah melakukan rencananya untuk menghancurkan kedua perusahaan itu.”“Oooh gitu. Mama belum melihat berita, Nak. Nanti Mama lihat. Seperti apa marahnya pihak Eropa saat tau desain miliknya diplagiat oleh Lestari. Pasti marah pake banget ya, Nak.”“Iya, Ma. Tidak ada yang tidak marah ji
“Sering dari mana, Andra? Cuma sekali dan itu pun karena gue denger kabar dari elo katanya kankernya udah masuk stadium akhir. Gue hanya minta maaf kalau ada salah ke dia. Namanya dia lagi sekarat, udah stadium akhir. Usianya tinggal menghitung hari,” tutur Sagara menjelaskan.“Ya udah sono. Jelasin ke Hanna. Ngapain jelasin ke gue? Emangnya gue lagi cemburu ke elo? Peak!” Andra menyunggingkan bibirnya kemudian menatap tab lantaran ada kandidat baru, masuk kembali.“Nih! Ada lagi. Buat di bagian barista. Usianya seusia kita. Dua puluh empat tahun.” Andra memberikan kandidat itu kepada Sagara.“Terima aja kalau menurut elo oke. Gue mau nyamperi Hanna dulu. Mau minta maaf.” Sagara menyerahkan semua pekerjaannya kepada Andra lantaran harus mengurus Hanna yang sedang marah padanya.Kemudian menghampiri Hanna yang tengah duduk di kursi taman belakang. Ada beberapa pegawai yang tengah menata bunga agar taman tersebut menjadi lebih indah.Sagara duduk di samping istrinya itu kemudian menghel
Damar tak bisa berkata-kata. Melihat langsung jika memang benar adanya, sebuah tanda tangan di atas meterai telah ia tandatangani. Walau tidak merasa jika dia sudah melakukan itu, tetap saja membuatnya tidak bisa berkata apa-apa.Mau bicara pun gugup lantaran banyaknya ajudan yang datang menyerbunya. Ia hanya bisa menatap satu persatu orang yang ada di depannya itu.“Saya berani bersumpah, tidak pernah menjual desain ini kepada Lestari. Bahkan, seharusnya saya yang memenangkan persaingan itu, daripada harus menjualnya,” ucap Damar kembali mencari pembelaan.“Sudah cukup, Pak Damar. Sudah ada bukti, tidak bisa mencari pembelaaan lagi. Seharusnya kami tau sebelum barangnya diproduksi. Maka dari itu, dengan terpaksa kami harus menghentikan semuanya dan Mr. Robert tidak bisa memiliki furniture tersebut sebelum Anda mau membayar denda atas penjualan illegal yang sudah Anda lakukan, Pak Damar!” tegas Ardi lagi.Damar memijat keningnya lantaran tidak bisa menuntut apa pun. Sedang bukti sudah
“SAGARAAA!!” teriak Andra sembari menggedor pintu kamar pria itu.Sagara yang tengah berada di atas tubuh istrinya lantas mengumpat sejadi-jadinya lantaran gedoran pintu yang maha dahsyat. Bisa jadi pintu tersebut bisa jebol karena gedoran yang dilakukan oleh Andra.“Anak dakjal! Sialan bener ini si Andra. Mau ngapain coba itu anak manggil-manggil. Nggak tau apa, lagi tanggung,” umpat Sagara sembari meneruskan pergulatan.“BENTAR, SETAN! Gue lagi tanggung!” teriak Sagara tak peduli apakah terdengar atau tidak oleh Andra.Namun, ketukan itu berhenti setelah Sagara berteriak. Mungkin ia paham dan akhirnya memilih untuk diam dan menunggu sampai Sagara menyelesaikan pergumulan tersebut.Hanna terkekeh melihat suaminya yang sedari tadi terus mengumpat karena gedoran pintu oleh Andra. Kemudian mengusap wajah Sagara dengan lembut.“Udah nggak ada lagi tuh, gedorannya. Jangan pasang muka masam lagi. Nanti, malah gairahnya hilang. Baru lima menit soalnya.” Hanna menggoda suaminya agar berhenti
Sagara menghela napas panjang. “Yaa … gue bilang, jangan khawatirin gue. Karena Hanna nggak seperti yang dia pikirkan. Hanna akan selalu ada di samping gue apa pun yang terjadi. Dia nggak akan ninggalin gue. Baik susah maupun senang. Udah. Dia langsung bilang, dia lega … karena dengar langsung dari mulut gue jika gue dan Hanna pasti bakal bahagia selamanya.”Sagara yang sedari tadi menahan tangis pun setelah mendengar penuturan Sagara tentang percakapannya dengan Clara cukup membuat hatinya sedih.Hingga tiba di rumah duka. Andra, Hanna dan Sagara mengusap air matanya terlebih dahulu kemudian keluar dari mobil tersebut.Namun, sambutan dari orang tua Clara cukup membuat ketiga orang itu terkejut bukan main.Bugh!Sebuah hantaman keras meluncur di pipi Sagara oleh Irwan.“Anak saya meninggal karena kamu, Sagara!” pekik pria itu dengan suara bergetar dan tatapan tajam menghunus wajah lebam Sagara.Sagara menganga mendengar ucapan dan pekikan yang berhasil membuat semua para pelayat mena
"Kita lakukan tes terlebih dahulu. Susternya sudah saya minta untuk membawakan alat tes kehamilan juga," kata Dokter Azmi menjelaskan.Sagara tampak terkejut. Ia bahkan tak menyangka jika Hanna bisa secepat itu memberinya keturunan, kalau memang alat itu menunjukkan dua garis biru.Tak lama kemudian, Dokter Aris datang dan memberikan tespack kepada Hanna. "Silakan dicek terlebih dahulu, Bu Hanna. Kita periksa setelah hasilnya sudah keluar."Hanna mengangguk kemudian mengambil alat tes kehamilan itu. Lalu, masuk ke dalam toilet untuk segera melakukan tes kehamilan. Semakin cepat, semakin baik. Begitu menurutnya.Lima menit kemudian. Hanna keluar dari toilet. Sagara tengah duduk di samping sang anak yang sedang memakan buah apel yang sudah Sagara potong-potong."Positif, Dok." Hanna memberikan alat itu untuk diperlihatkan kepada Dokter Aris.Dokter Aris manggut-manggut. "Kalau begitu, kita lakukan USG terlebih dahulu. Agar tahu, sudah berapa usianya."Sagara juga ikut ke ruang USG. Pun
Sagara menelan salivanya dengan pelan. Kenangan terburuk yang pernah dia alami begitu menyakitkan hatinya. Di mana nasib buruk itu mengguncang dirinya, datang secara bersamaan.Namun, hasil yang kini dia dapatkan jauh lebih baik dari apa yang pernah dia miliki. Bahkan, orang-orang yang sudah merendahkannya kini bertekuk lutut padanya.Waktu sudah menunjuk angka sepuluh malam. Di mana acara pernikahan itu sudah selesai dilaksanakan. Para tamu yang datang sudah pulang ke rumah masing-masing.Pun dengan Sagara dan juga Hanna. Mereka memilih untuk pulang setelah acaranya selesai.Di dalam kamar hotel. Keduanya terlihat canggung karena tidak tahu harus dimulai dari mana.Andra pun mengirim pesan kepada Sagara untuk menanyakan perihal malam pertama yang harus dia lakukan.Andra: [Udah molor, belum? Apa jangan-jangan mau ngalahin gue!]Pesan terkirim.Sementara Indah masih berada di dalam kamar mandi. Seolah tak tahu, apa yang harus dia lakukan.Ting!Sagara: [Baru pemanasan. Tapi, karena el
“Milla kenapa jadi begitu? Bener-bener sampul nggak bisa menjamin bisa dipercaya,” kata Hanna setelah kembali dari kamar mandi.Sagara mengendikan bahunya. “Lagi suka sama seseorang, kali. Makanya cari perhatian.”Hanna lantas menolehkan kepalanya kepada Sagara. “Kalau sukanya sama kamu, gimana?”Sagara tersenyum miring. “Yaa nggak gimana gimana, Sayang. Mau diganti lagi? Aku sih, terserah kamu aja. Karena aku nggak akan terkena rayuan apa pun kalau dia berani merayuku.”Perempuan itu hanya melirik Sagara yang berbicara dengan santainya. Sebab memang begitu kenyataannya. Tidak tergoda sedikit pun pada orang-orang yang berani menggodanya."Gak akan kelar, kalau diganti lagi dan lagi. Biar aja. Kecuali kamunya oleng."Sagara menatap Hanna kemudian menghela napas kasar. "Nggak akan. Janji, gak akan oleng. Aku gak mau kehilangan kamu. Daripada ladenin orang macam dia, lebih baik aku pindah jabatan aja, kerja di Lestari aja."Hanna terkekeh pelan. "Yaa bagus. Jangan sampai membuang berlian
Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi.Di ruang makan. Sagara, Hanna, Mayang dan juga Suster Indah tengah sarapan bersama.“Jadi gimana, Sus? Tetap mau resign?” tanya Sagara setelah menyelesaikan acara makannya.Suster Indah menganggukkan kepalanya dengan pelan. “Bisa kita bicara, Mas Sagara?”Sagara mengangguk. “Temui saya di ruang kerja!” ucapnya kemudian beranjak dari duduknya. Setelahnya, diikuti oleh Suster Indah setelah pamit kepada Hanna dan juga Mayang.“Jadi gimana, Sus?” tanya Sagara setelah tiba di ruang kerjanya.Suster Indah memberikan catatan yang setiap hari ia tulis mengenai kondisi kesehatan Mayang.“Bu Mayang masih butuh pendamping, Mas Sagara. Dan sepertinya, harus selalu ditemani sampai selamanya. Kondisi kejiwaannya tidak sepenuhnya kembali. Dan memang, banyaknya pasien yang sembuh itu tidak sembuh permanen,” tutur Suster Indah menjelaskan.Sagara melihat catatan tersebut. Kemudian menghela napasnya dengan pelan. “Harusnya cari yang udah tua, janda atau perawan tu
Sampai akhirnya mereka tiba di Indonesia. Setelah berjam-jam lamanya, tanpa ada transit terlebih dahulu. Akhirnya tiba di tanah kelahiran.Waktu sudah menunjuk angka tujuh malam. Waktu yang tepat untuk mereka makan terlebih dahulu sebelum kembali ke rumah. Makan di resto mereka, yang saat itu tidak terlalu ramai. Mereka memilih untuk makan di lantai tiga, ruang privasi sang pemilik resto.“Sayang. Rivano-nya tidurin di tempat tidurnya aja. Bawa ke sini,” teriak Sagara kepada Hanna yang tengah menyusui sang anak.“Iyaaa!” sahut Hanna kemudian.Sagara pun kembali menyesap kopi miliknya yang ia pesan lima menit yang lalu. Sembari menunggu makanan yang mereka pesan tiba.“Gue mau bahas project di Singapura. Kemaren, mereka pengen revisi motif yang ada di ujung deket kaca gitu. Katanya, terlalu rame dan warnanya juga kurang cocok dengan warna tembok kantor mereka.”Sagara manggut-manggut dengan pelan. “Sebenarnya gue lagi males bahas kerjaan. Karena gue masih cuti. Tapi, karena besok udah
Wisnu sudah tak tahan lagi dengan ucapan tak masuk akal Linda. Meminta agar Hanna dimasukkan ke dalam pemilik Lestari. Daripada meladeni ucapan aneh istrinya itu, ia pun memilih untuk pergi dari rumah itu.Linda mendengus kasar. Ia kemudian menghubungi Hanna untuk memarahi anaknya itu karena sudah berani berhenti bekerja.“Ma. Kan, udah Mas Adi yang menghidupi aku. Setiap bulan juga, aku selalu kirim uang ke Mam,” keluh Hanna dalam panggilan tersebut.Kebetulan sekali, perempuan itu sedang berada di rumah Hanna karena diminta untuk datang ke sana. Membantunya membuka semua kado dari para tamu undangan.“Kenapa dia?” tanya Andra yang juga ikut membantu membuka kado.Hanna mengendikan bahunya. “Kayaknya … mamanya Hanna matre, deh. Kedengerannya sih, Hanna ini diminta untuk kerja lagi.”"Ya elaaah! Si Adi gajinya udah puluhan juta juga. Masih aja kudu kerja. Beneran sih, kalau kayak gitu mah. Matre." Andra menepuk jidatnya.Hanna kembali duduk di samping Hanna, kemudian menghela napas pa
Dalam hal ini, mereka memang seperti dunia terbalik. Bukannya Hanna yang meminta Sagara agar mengabulkan permintaannya untuk pergi ke luar negeri. Dan yang terjadi di sana malah Sagara yang terlihat begitu antusias untuk mengajak Hanna pergi ke luar negeri."Sayang. Andra pengen lamar Suster Indah di sana.""Sebenarnya aku masih capek. Tapi, kalau kamu maksa, ya udah. Karena tempat itu memang tempat yang sangat ingin aku kunjungi. Aku pernah punya mimpi, ingin pergi ke sana bersama orang yang aku cinta.""Dan aku akan mewujudkannya. Kamu nggak perlu gendong Rivano, biar aku aja. Karena aku nggak tahu kapan akan bisa punya waktu untuk mewujudkan semua keinginan kamu, untuk pergi ke luar negeri. Termasuk Budapest. Enam bulan yang akan datang, aku akan disibukkan dengan kuliah juga dengan pekerjaan kantor. Sepertinya tidak akan punya waktu banyak untuk kamu dan juga Rivano."Kita manfaatkan waktu ini untuk pergi ke tempat-tempat yang ingin kamu kunjungi. Kita hanya punya waktu weekend sa
Sagara mengulas senyumnya. “I love you more. Kamu sangat mencintaiku, aku lebih lebih mencintai kamu. Don’t leave me. Aku butuh kamu.”“Hanya akan pergi, jika kamu yang menginginkanku pergi. Tidak dibutuhkan lagi untuk mengisi hidupmu.”“Dan itu tidak akan pernah terjadi,” ucapnya kemudian meraup bibir istrinya kembali.Permainan kedua akan dimulai lagi. Kemudian, Hanna menghentikan Sagara yang tengah meraup bibirnya.“Mau, yang lebih dari ini?” tanyanya sembari mengusapi milik Sagara yang semakin mengeras.“Apa itu?” tanyanya kemudian.Tanpa memberi tahu, Hanna menjatuhkan tubuh Sagara kemudian merangkak ke bawah sana. Melahap benda itu dengan gerakan yang membuat Sagara semakin menggila.“Arrgghh! Fuck you, Hanna!” Sagara meremas lengan Hanna seraya menikmati setiap permainan yang tengah dilakukan oleh istrinya itu.“Don’t stop, Honey!” lirih Sagara yang tengah kegirangan akan permainan yang dilakukan oleh Hanna.“Never!” ucapnya kemudian tersenyum menyeringai.**Waktu sudah menunj
“Di tempat ini?” tanya Suster Indah dengan pelan. Deru napas Andra bahkan masih sangat terasa karena jarak yang memisahkan mereka hanya satu helai rambut saja.Andra mengulas senyumnya. “No! Hanya spontan saja. Di tempat ini, terlalu biasa dan aku nggak bawa apa-apa. Di tempat yang lain aja. Kita tunggu waktunya tiba.” Kemudian Andra mengecup kening kekasihnya itu. “Terima kasih, sudah menjadi pembuka hatiku yang dulu tidak pernah bisa dibuka karena hal dan lainnya.”Suster Indah mengangguk. “Terima kasih, sudah menjadi yang pertama dan semoga menjadi yang terakhir.”Andra mengangguk. “Aamiin. Kita berusaha sama-sama. Menjalaninya juga bersama-sama. Apa pun yang terjadi nanti, kita harus bisa menghadapinya.”Perempuan itu kembali menerbitkan senyumnya. “Iya, Mas.”“Aku mau ke dalam lagi. Kamu, masih tetap ingin di sini? Memangnya, Tante Mayang masih belum waras betul, yaa?”“Belum, Mas. Kejiwaan seseorang tidak akan kembali normal seperti dulu. Pasti akan selalu ada yang namanya kambu